Kata Inspisari Terindah

Orang Malas Tidak Akan Menangkap Buruannya, Tetapi Orang Rajin Akan Memperoleh Harta Yang Berharga (Amsal 12 : 27) By : Bona Sumbayak
ff

Tuesday 24 March 2015

prinsip untuk penafsiran Alkitab secara benar



Bagi Calvin, Alkitab adalah kitab dari Allah, yang berbicara kepada-nya dalam setiap halaman dan tujuan Allah dalam kaitan dengan keselamatannya, dan juga dengan kewajibannya dalam setiap bidang kehidupan. Seorang Calvinis memandang otoritas dari Alkitab sebagai hal yang mutlak.  Ia tidak menganggap Alkitab hanya sebagai sekumpulan nasihat yang bagus, yang bebas manusia ikuti bilamana ia merasa hal itu menguntungkan dan abaikan jika ia menginginkannya. Baginya Alkitab adalah kaidah mutlak yang harus senantiasa ditaatinya. Alkitab memerintahkan kepadanya apa yang harus dipercayainya dan apa yang harus dilakukannya.[1] Ada lima prinsip untuk penafsiran Alkitab secara benar yaitu:[2]
1.      Prinsip Harafiah
Prinsip harafiah artinya adalah memahami Kitab Suci dalam maknanya yang alamiah, makna yang biasa. Itu berarti, mencari apakah arti umum dari kata-kata yang dipakai itu? Kalau Allah ingin mengkomunikasikan firman-Nya kepada kita, Ia akan melakukannya dalam cara yang paling jelas dan sederhana dalam kata-kata yang dapat dimengerti dengan jelas. Kendatipun ada bahasa kiasan, simbolisme dan alegori (Galatia 4:19-31) dalam kitab suci, hal pertama yang harus dicari adalah arti harafiahnya, bukan suatu rahasia yang lebih dalam tersembunyi ataupun penafsiran yang dirohanikan.
2.      Prinsip Sejarah
Prinsip sejarah adalah juga prinsip pokok untuk menafsirkan Alkitab. Prinsip ini paling pokok untuk menciptakan kembali latar belakang sejararah ketika nats itu ditulis. Kalau orang mengerti latar belakang sejarah nats Alkitab, sering nats itu akan menafsirkan dirinya sendiri.
3.      Prinsip Tata Bahasa
Barangkali tata bahasa bukanlah suatu pokok yang sangat kita sukai, tetapi kita memerlukannya bila kita menafsirkan Kitab Suci. Kita tidak dapat begitu saja memetik sesuatu dari suatu nats dan memaksanya mengatakan apa yang kita inginkan. Kita harus mengikuti urutan kata-kata dan kalimat supaya kita tahu dengan apa yang dikatakan oleh Firman Allah.
4.      Prinsip Sintesa
Prinsip Sintesa digunakan oleh para reformator lama untuk menyebutkan analogia Scriptura. Prinsip Sintesa di dasarkan pada pendapat bahwa tidak adaa bagian Alkitab yang bertentangan dengan bagian yang lain. Satu pengarang yakni Roh Kudus mengilhami seluruh Alkitab. Alkitab mempunyai satu kesatuan yang mengagumkan. Bila kita mendengar penafsiran tentang suatu nats yang tidak cocok dengan sesuatu di dalam perikop yang lain, salah satu nats keliru ditafsirkan. Roh Kudus tidak bertentangan dengan dirinya sendiri.
5.      Prinsip Praktis
Prinsip praktis adalah apa yang harus kita pakai untuk menerapkan Alkitab dalam kehidupan kita sendiri. Sama seperti yang tertulis di dalam 2 Tim.3:16 berkata, “segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanafaat untuk mengajar.” Semua disini berlaku untuk hidup kita dalam berbagai cara. Hal itu bermanfaat untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.
Secara umum ibadah dimaknai sebagai salah satu wadah bagi penganut kepercayaan untuk menyatakan puji-pujian, ucapan syukur, persembahan, permohonan dan melambangkan persekutuannya dengan Tuhannya. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengungkapkan bahwa ibadah merupakan perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[3] Dengan kata lain ibadah tidak hanya mencakup pengakuan, tetapi lebih jauh ibadah merupakan segenap sikap dan aktivitas yang dilakukan untuk menunjukkan rasa hormat dan penghargaan manusia kepada penicptanya. Ibadah dalam bahasa Ibrani dinyatakan dari bentuk dasar kata kerja abad yang berarti pekerjaan, kinerja, pelayanan, ibadah, membawa ke luar dan penghormatan.[4] Jadi ibadah berarti melayani, bekerja menghambakan diri sebagai suatu bentuk penghormatan dan dilakukan tanpa paksaan (suka rela). Dalam ibadah, ditekankan cinta kasih kepada Allah. Dalam ajaran-Nya, Yesus menyatakan bahwa mendekati Allah melalui perantaraan ritual dan imamat bukan menjadi hal yang terpenting dalam ibadah. Karena pada akhirnya, ibadah adalah latriea yang sebenarnya yakni suatu pelayanan penghambaan diri kepada Allah dalam arti ibadah di Bait Suci dan juga pelayanan kepada sesama (Luk. 10:25; Mat. 5:23; Yoh. 4:20-24; Yak.27).
Ibadah kharismatik tidak berlangsung secara terstruktur formal atau tidak berlangsung secara mekanis. Ibadah kharismatik memiliki unsur-unsur penyembahan, puji-pujian, ucapan syukur dan medengarkan Firman Tuhan. Namun semua unsur-unsur ini tidak dilakukan secara mekanis seperti yang biasa dilakukan dalam ibadah-ibadah gereja tradisional. Menurut penulis segmen puji-pujian adalah benar-benar menjadi penentu keberhasilan ibadah. Karena itu dalam pelaksanaan ibadah kharismatik musik memegang peranan yang sangat dominan yang membuat puji-pujian menjadi hidup dan dapat di resapi. Oleh sebab itu, fokus ibadah kharismatik bukanlah mengenal Yesus lebih banyak tetapi mengalami Yesus lebih banyak.
Penulis berpendapat bahwa berangkat dari pemahaman ibadah adalah kegiatan yang dilakukan manusia untuk merespon segala kebaikan Allah dan kerinduan untuk bersekutu dengan Allah serta menyampaikan pengakuan dan permohonan doa umat, maka ibadah semestinya ditata begitu rupa untuk mendukung maksud umat beribadah. Harus disadari bahwa yang membenarkan suatu ibadah bukanlah urut-urutan liturgi, melainkan sikap umat yang beribadah. Bagaimana umat sebagai pribadi secara eksistensial berada dihadapan Allah dalam beribadah. Jadi, bukan bentuk liturgi dan juga bukan kebebasan berekspresi melainkan hubungan dengan Allah yang dilandasi hati yang penuh kasih dan ketaatan pribadi. Ibadah akan membuat hubungan manusia semakin dekat kepada Allah. Dalam ibadah manusia sebagai gambar Allah  merefleksikan imannya.[5]
Praktek memberikan persepuluhan telah dilakukan pada masa Abraham. Upacara kurban merupakan praktek kuno guna menjalin hubungan dengan Allah lewat persembahan kepada imam.[6] Persembahan dikumpulkan di rumah Tuhan (Ul. 12:5-19. 2 Taw 31:11-12, Neh 10:38, Neh 13:10-12, Mal 3:10) untuk pemeliharaan rumah Tuhan dan penghidupan para imam. Persepuluhan merupakan sepersepuluh bagian dari hasil yang di dapat baik dari hasil tanah maupun ternak.[7]  Sementara itu konsep persembahan dalam Perjnajian Baru sifatnya sudah bukan lagi merupakan ritus dan kewajiban keagamaan, tetapi merupakan buah kasih orang yang telah memperoleh karunia keselamatan dalam Kristus. [8] Persembahan terutama tidak menekankan perhitungan persepuluhan, tetapi persembahan terutama dipahami sebagai ibadah. Karena itu persembahan menuntut sikap kerohanian dan doa, baik dari dalam diri umat yang memberi maupun gereja yang menerima. Persembahan syukur  dan persepuluhan bukan hanya bagian dari suatu rencana ekonomis untuk gereja, melainkan tindakan iman dan penyembahan (Mal. 3:18).[9]
Berdasarkan di atas , penulis berpendapat bahwa persembahan tidak didasarkan pada perhitungan persepuluhan; tetapi yang terpenting adalah didasarkan pada kasih kita kepada Tuhan. Persembahan itu harusnya menjadi cara kita merespon kasih Tuhan, yang diberikan dengan sukacita bukan cara kita menuntut Tuhan.


[1] H. Henry Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, (Surabaya: Momentum, 2009), 21-22
[2] John F. Mac Arthur, The Charismatics, (USA: Zondervan Publishing House, 1978), 44-46
[3] Tim Penyusun, KBBI, 318
[4] Willem Van Gemeren, New International Dictionary Of Old Testament Theology And Exegesis, (USA: United Kingdom, 1997), 307
[5] James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2002), 15
[6] Herlinato, Teologi Sukses, 165
[7] Kevin J. Corner, Jemaat dalam Perjanjian Baru, 583
[8] Herlianto, Teologi Sukses, 172
[9] Wilfred J. Samuel, 66

No comments:

Post a Comment