Kata Inspisari Terindah

Orang Malas Tidak Akan Menangkap Buruannya, Tetapi Orang Rajin Akan Memperoleh Harta Yang Berharga (Amsal 12 : 27) By : Bona Sumbayak
ff

Monday 9 May 2016

Etika Eksistensialisme



Tinjauan Etika Kirsten Terhadap Eksistensialisme
I.                   Pendahuluan
Membahas topik etika dalam konteks eksistensialisme kadang-kadang menghasilkan respon yang mengidentikkan bahwa: seorang eksistensialis pasti adalah seorang ateis, yang menganut paham anarkis dan nihilisme. Pemikiran seperti ini sepenuhnya tidaklah tepat dan terkadang muncul dari pemahaman yang kurang mendalam mengenai eksistensialisme. Semakin banyak juga salah pengartian mengenai eksistensialisme yang berpacu pada pemikiran bahwa Tuhan telah mati dan Neraka adalah musuh yang harus diperangi. Untuk itu penyaji akan menjelaskan Tentang Eksistensialisme untuk lebih jelasnya.
II.                Isi
2.1.Pengertian Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi.  Pada umumnya kata eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi didalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, tidaklah demikian cara manusia berada. Manusia berada bersama sama dengan bend- benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia. Disamping itu manusia berada bersama- sama dengan manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan, bahwa benda- benda  “berada”, sedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi hanya manusialah yang bereksistensi.
Kata eksistensi berasal dari kata  “eks” (keluar) dan sintesi. Yang diturunkan dari kata “sisto” (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai dirinya sendiri, manusia sadar bahwa dirinya ada. Dirinya tersebut disebutnya dengan “aku” dan segala sesuatu disekitarnya dihubungkannya dengan dirinya contohnya Mejaku, Kursiku, temanku, dsb.[1]
2.2.Sejarah Eksistensialisme[2]
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang muncul di Jerman setelah perang dunia I dan berkembang di Perancis setelah perang dunia II. Bermula dari reaksi terhadap esensialisme Hegel, yang memandang bahwa konstruksi dipahami sebagai suatu lintasan dari sesuatu yang tidak eksis (No existence, not being) kepada ‘sesuatu yang eksis’. Kierkegaard menentang pandangan tersebut dengan menyatakan tentang kebenaran subjektif, yaitu suatu bentuk penegasan keunikan dan sesuatu yang konkrit dan nyata sebagai sesuatu yang berlawanan dengan yang abstrak. Konsep tersebut merupakan perlawanan terhadap usaha untuk mengkonstruksi gambaran tentang dunia dengan memakai konsep kecukupan intelek pada dirinya sendiri. Apa pun yang eksis menjadi sesuatu yang dihadapi secara yakin sebagai sesuatu yang lebih aktual dibanding dengan sesuatu yang dipikirkan.
Eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan materialisme. Paham materialisme ini memandang bahwa pada akhirnya manusia itu adalah benda, layaknya batu atau kayu, meski tidak secara eksplisit. Materialisme menganggap hakekat manusia itu hanyalah sesuatu yang material, betul-betul materi. Materialisme menganggap bahwa dari segi keberadaannya manusia sama saja dengan benda-benda lainnya, sementara eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda lain itu tidaklah sama. Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi manusia itu mengalami beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia menyadari dirinya ada di dunia. Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai subjek, artinya sebagai yang menyadari, sedangkan benda-benda yang disadarinya adalah objek.
Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Idealisme dan materialisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakekat yang ekstrem. Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek, dan hal ini dilebih-lebihkan pula oleh paham idealisme yang menganggap tidak ada benda lain selain pikiran. Idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek, dan materialisme memandangnya sebagai objek. Maka muncullah eksistensialisme sebagai jalan keluar dari kedua paham tersebut, yang menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek. Manusia sebagai tema sentral dalam pemikiran.
Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara umum, terutama dunia Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada umumnya tidak menentu akibat perang. Di mana-mana terjadi krisis nilai. Manusia menjadi orang yang gelisah, merasa eksistensinya terancam oleh ulahnya sendiri. Manusia melupakan individualitasnya. Dari sanalah para filosof berpikir dan mengharap adanya pegangan yang dapat mengeluarkan manusia dari krisis tersebut. Dari proses itulah lahir eksistensialisme.
Kierkegaard seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme yang terkenal abad 19 berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki keterbatasan untuk melakukan itu. Jean-Paul Sartre filsuf lain dari Eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam dunia. Tidak ada natur manusia, karena itu tidak ada Tuhan yang memiliki tentang konsepsi itu. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri.
2.3. Pemikiran dan Tokoh-tokoh Eksistensialisme
Ajaran Eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah satu aliran filsafat yang bersifat tehnis, yang menjelma dengan bermacam macam sistem, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada juga ciri ciri yang sama yang menjadikan sistem sistem itu dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme. Paling sedikit ada 4 pemikiran yang jelas dapat disebut eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers dan gabriel Marcel.
Paham eksistensialisme terdiri dari berbagai pandangan yang berbedabeda. Meski berbeda pandangan-pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan tersebut dapat digolongkan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut di antaranya:
a) Motif pokok eksistensialisme adalah apa yang disebut “eksistensi”, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Dengan kata lain bersifat humanis.
b) Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
c) Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap sesama manusia.
d) Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang eksistensial.[3]
1. Jean Paul Sartre (1905)[4]
Jean-Paul Sartre filsuf lain dari eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam dunia. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre” melainkan “a etre”. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-hentinya.
Satre berkeyakinan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling menegasikan terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek bagi yang lain. Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan orang lain ke dalam pusat ”dunia”-nya. Mengikuti Nietzsche, Sartre mengutuk setiap bentuk objektivikasi dan impersonalisasi.Tak ada standar baik dan buruk kecuali kebebasan itu sendiri. Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
Sepanjang sejarah eksistensialisme, kebebasan ala Sartre ini boleh dibilang paling ekstrim dan radikal. Dalam sejarah perkembangan filsafat, agaknya tidak ada pendirian tentang kebebasan yang ekstrim dan radikal seperti Sartre.
2. . Karl Jaspers (1883-1969)
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri .Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
2.4. Konsep- Konsep Dasar eksistensialisme[5]
1.      Ada dan Nonada
Ada (being) dan Non-ada (non-being) adalah konsep ontologis yang digunakan oleh para eksistensialis dan untuk menerangkan gejala dasar dari keberadaan manusia. Ada ialah ukuran bagi keberadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada kesubjekan manusia. Dengan meng-ada, manusia hadir menampakan diri, mengalami dirinya sebagai subjek yang sadar, aktif dan berproses. Sedangkan non-ada adalah ukuran bagi ketiadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada keobjekan dari manusia. Dalam nonada, manusia melakukan negasi atas keberadaannya dan mengalami dirinya sebagai objek ( sartre, 1976)
2.      Ada- dalam- duniam
Konsep ada dalam dunia yang diperkenalkan oleh Martin Heidegger ini mengandung implikasi bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya dengan mengada di dalam dunia ini. heideger sendiri menekankan bahwa ada dalam dunia adalah Seinkonnen yang berarti manusia mampu berada. Jadi, ada dalam dunia itu tidak menuju kepada fakta beradanya manusia di dalam dunia seperti beras di dalam karung, melainkan menujuk kepada realitas dasar bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya di dalam dunia sambil merancang, mengolah atau membangun dunia itu. Perlu dicatat pula bahwa manusia manusia dan dunia adalah totalitas yang menjalin reaksi dialektis. Torelaksi dan dialektis manusia-duniaitu mengandung implikasi bahwa keberadaan dan perkembangan manusia tidak terlepas dari keberadaan dan perkembangan dunia. Dalam kenyataannya, manusia akan berkembang jika dia mengembangkan dunianya.
3.      Relasi Aku- Kamu
Martin Buber (1970) mengembangkan konsep relasi aku dan kamu untuk menggambarkan relasi antar pribadi yang sungguh sungguh atau sejati, yang kontras dengan suatu bentuk relasi yang disebut I- it relationship. Didalam relasi ini individu sadar dan menghargai partner relasinya sebagai subjek seperti dirinya.
4.      Kesadaran Diri
Kesadaran diri Para eksistensialis percaya bahwa kesadaran dalam hal ini kesadaran diri (self-consciousness), adalah salah satu ciri yang unik dan mendasar pada manusia, yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya. May 1953) menyebut kesadaran diri sebagai kapasitas yang memungkinkan manusia mampu membedakan diri dan dunia, mampu mengamati dirinya sendiri, mampu menempatkan diri dalam waktu maupun melam pauinya, mampu menciptakan dan memahami simbol, khususnya bahasa dan mampu menempatkan diri dalam dunia orang lain atau mencoba memahami orang lain. Pendek kata, pandangan para eksistensialis dalam kesadaran diri adalah kapasitas yang memungkinkan manusia bisa hidup sebagai pribadi dalam arti kata yang sesungguhnya, yakni pribadi yang utuh atau penuh. Dan sebagaimana dinyatakan oleh Kierkegaard, semakin tinggi kesadaran diri seseorang, maka akan semakin utuh pula pribadi orang itu.
5.      Kebebasan dan Tanggung jawab
Kebebasan adalah konsep yang memberi aroma yang kuat pada eksisten sialisme, sebab para eksistensialis selalu menekankan kebebasan seba ciri yang esensial dari manusia. Para eksistensialis melihat kebebasan selalu di dalam kaitan dengan tanggung jawab membuat putusan-putusan Manusia ada jawab) bebas sekaligus bertanggung jawab dituntut dalam untuk membuat putusan-putusan atau memilih tindakan-tindakan rangka membentuk kehidupan atau keberadaan Karena itulah Nietzsche menyebut kebebasan sebagai kapasitas manusia untuk menentukan siapa dan bagaimana dia jadinya. menegaskan pen Sartre dapat Nietzsche itu melalui pernyataannya yang terkenal: Saya adalah sesuatu yang saya pilih ejalan dengan Nietzsche, May mengemukakan bahwa kebebasan adalah kapasitas manusia untuk menentukan sikap terhadap diri dan du nianya, kapasitas untuk menentukan tindakan-tindakan dan bahkan arah kehidupannya. Bersama dengan kesadaran diri, kebebasan memungkinkan manusia mampu melampaui rantai kekuatan-kek deterministik yang dalam maupun yang ada di luar dirinya. (May, 1953; Frankl, 1984)
2.5. Etika eksistensialisme
Dalam hal Etika, karena karena hidup ini terbuka, kaum eksistensial memegang kemerdekaan sebagai norma. Dirumuskan secara ringkas sebagai aliran Etika, eksistensialisme adalah paham yang memandang hidup sebagai proyek untuk mencapai bentuk keberadaan yang optima. Untuk melaksanakan proyek hidup itu, kemerdekaan merupakan hal yang mutlak dan tanggung jawab pribadi merupakan sikap utama. Sebagai satu satunya hal yang dipertimbangkan dalam bertindak adalah situasi. Adapun tata tertib, kebiasaan, peraturan, hukum, dan norma dianggap penggangu kemerdekaan dan mengaburkan masa depan yang menjadi ruang penyelesaian proyek hidup.[6]
Segi positif dan merupakan kekuatan dan daya tarik etika eksistensialis adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan atas peran situasi, penglihatannya tentang masa depan. Berbeda dengan orang lain yang berpikiran bahwa hidup ini telah selesai dan yang harus diterima seperti apa adanya, dan tak perlu dirubah. Etika eksistensialisme berpendapat bahwa hidup ini belum selesai, tidak harus diterima sebagai mana adanya, dan dapat diubah, dan memang harus dirubah. Orang yang memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai sikap pasrah, adalah orang yang tidak berjuang untuk memperbaharui kehidupan ini dengan kata lain orang pasrah dan malas. [7]
III.             Kesimpulan
·         Eksistensialisme adalah Aliran yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
·         Penulis melihat bahwa Etika Kristen menerima sisi positif dari Etika Eksistensialisme dan menolak sisi Negatif Etika Eksistensialisme
·         Segi positif dan merupakan kekuatan dan daya tarik etika eksistensialis adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan atas peran situasi, penglihatannya tentang masa depan. Berbeda dengan orang lain yang berpikiran bahwa hidup ini telah selesai dan yang harus diterima seperti apa adanya, dan tak perlu dirubah. Etika eksistensialisme berpendapat bahwa hidup ini belum selesai, tidak harus diterima sebagai mana adanya, dan dapat diubah, dan memang harus dirubah. Orang yang memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai sikap pasrah, adalah orang yang tidak berjuang untuk memperbaharui kehidupan ini dengan kata lain orang pasrah dan malas. Etika kristen menerima ini karena Seseorang telah diberikan Tuhan akal dan pikiran untuk memperbaharui Hidupnya, sehingga manusia tidak hanya berpasrah atas apa yang ia terima dari awal atau beranggapan pasrah terhadap nasib.
·         Segi Negatif Etika Eksistensialisme ialah yang pertama etika ini terperosok kedalam sifat yang Individualisme, kedua,dengan mengabaikan peraturan, tata tertib dan hukum, kaum ini menjadi individu yang antisosial, ketiga¸dengan mengambil sikab bebas merdeka kaum eksistensialis memandang kebebasan tidak terbatas. Padahal dihidup ini tidak ada kebebasan tanpa batas.keempat,kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namun, situasi itu mudah goyah. Bila orang bersandar pada situasi dan diri sendiri saja, pandangnnya menjadi terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit, dan pendiriannya rapuh
IV.             Daftar Pustaka
Brouwer M.A.W.,Psikologi eksistensial, (Bandung: Kasinus, 1987)
Hadiwijono Harun,Sari sejarah filsafat barat 2, (Yogyakarta:Kasinus, 1980)
Hadiwijono Harun,Sari sejarah filsafat barat, (Yogyakarta:Kanisus,1988)
Mangunhardjana A., Isme-isme dalam etika dari A-Z,(Yogyakarta: Kasinus, 1997

Sumber Media lain ( media internet )
Muktar Ibenk, sumber internet yang diakses pada tanggal 05 mei 2016 di http://mukhtaribenk.blogspot.co.id/2010/10/filsafat-eksistensialisme.html


[1] Harun Hadiwijono,Sari sejarah filsafat barat 2, (Yogyakarta:Kasinus, 1980) 148

[3]Harun hadiwijono,Sari sejarah filsafat barat, (Yogyakarta:Kanisus,1988), 149
[4] Muktar Ibenk, sumber internet yang diakses pada tanggal 05 mei 2016 di http://mukhtaribenk.blogspot.co.id/2010/10/filsafat-eksistensialisme.html
[5] M.A.W. Brouwer,Psikologi eksistensial, (Bandung: Kasinus, 1987), 9-14
[6] A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam etika dari A-Z,(Yogyakarta: Kasinus, 1997),63
[7] Ibid, 64