Kata Inspisari Terindah

Orang Malas Tidak Akan Menangkap Buruannya, Tetapi Orang Rajin Akan Memperoleh Harta Yang Berharga (Amsal 12 : 27) By : Bona Sumbayak
ff

Monday 26 February 2018

Gereja dan Disabilitas


Gereja Yang Tebuka Untuk Semua Orang Termasuk di Dalamnya Kelompok “Disabilitas” Sebuah Refleksi Dari Gereja Awal
Penulis: Bona Sogi Sumbayak
I.                   Latarbelakang Masalah
Dari zaman dulu hingga sekarang selalu ada di tengah tengah kita manusia yang disability tanpa membedakan bangsa, gender, ekonomi, politik, kulit, social dan agama. Memang boleh dikatakan tidak ada manusia mau, kalau bisa, lahir dengan kondisi disability. Tetapi kondisi ability atau disability bukanlah sekedar pilihan hidup karena kondisi itu datang tanpa direncanakan atau diharapkan. Maka, pemikiran terbaik adalah bagaimana hidup bersama dengan bersama dengan mereka yang disability tanpa menghakimi dan memarginalkan mereka. Mereka juga adalah ciptaan Tuhan yang diciptakan menurut gambarNya seperti manusia yang lain, mereka yang disability juga mempunyai aspek ability. Jadi adalah hal yang wajar bila mereka ikut aktif berpartisipasi penuh membangun kehidupan ini. Seminar ini bertujuan untuk memaparkan bagaimana Perjanjian Baru menceritakan keberadaan mereka yang disability didalam pelayanan Yesus Kristus sampai kepada sejarah gereja mula-mula, dan bagaimana sikap gereja terhadap mereka kamu disability
II.                Pembahasan
2.1. Pengertian dan Pengistilahan Kata Bagi Kaum Disabilitas
Pengistilahan bagi orang-orang cacat telah banyak digunakan pada perkembangannya kata cacat, kecacatan, penyandang cacat mengalami penghalisan kata. Penghalusan kata yang dilakukan dengan penggunaan kata Tuna bagi penyandang cacat. Kata disabilitas merupakan kata serapan dari kata Ingris yaitu disability yang berarti ketidakmampuan. Disability merupakan istilah bagi penyandang cacat atau suatu bentuk ketidakmampuan. Disability berasal dari kata dis dan ability. Kata dis  menunjukan kata ke-tidak atau hilang atau juga kesalahan. Sedangkan ability adalah kemampuan. Dari pengertian ini disability diartikan sebagai ketidak mampuan atau kehilangan kemampuan. Penyebutan lain yang digunakan bagi penyandang cacat adalah impairment, handicap, dan difabel. Sedangkan kata difabel merupakan singkatan dari differently abled, yang berarti kemampuan yang berbeda. Istilah bagi penyandang cacat terus mengalami perubahan sampai kepada penggunaan kata difabel yang artinya kemampuan yang berbeda. Perubahan penyebutan ini merupakan salah satu upaya untuk merekonstruksi pandangan, pemahaman dan persepsi masyarakat pada orang-orang difabel yang merupakan seorang yang tidak normal.
2.2. Pandangan Alkitab Tentang Disabilitas
Istilah disability adalah istilah modern yang tidak mempunyai kesejajaran dengan bahasa kuno seperti Ibrani dan Yunani di alkitab. Dialkitab kita membaca tentang orang yang buta. Tuli, lumpuh dan juga orang yang luka semuanya pada zaman sekarang kita sebut orang yang difabel, dan orang yang mempunyai kelainan mental disebut difabel. Jadi, istilah difabel adalah istilah modern yang dibangun atas pengertian modern terhadap orang-orang difabel sebagai kelompok orang yang membutuhkan kebutuhan khusus oleh karena perbedaan fungsi fisik atau mental.[1]
Dari sudut pandang alkitab setiap orang tanpa terkecuali (termasuk penyandang difabel) adalah gambar dan citra Allah. Maka segala kekurangan yang terdapat dalam diri manusia, bukanlah penghalang bagi mereka untuk menjadi gambar dan rupa Allah yang seutuhnya. Gereja seharusnya menerapkan konsep Alkitab ini dalam memandang manusia sebagai gambar dan citra Allah seutuhnya. Gereja seharusnya menerapkan konsep Alkitab ini dalam memandang manusia sebagai gambar dan citra Allah: baik cacat atau sehat, miskin atau kaya, sama sama dapat menjadi penatalayan di bumi untuk mendukung kehidupan menjadi lebih baik. Maka segala bentuk diskriminasi terhadap orang cacat tentu sangatlah menyakitkan hati Tuhan sebagai pencipta karan prbuatan itu berarti merusak gambar dan rupa Allah. Tubuh manusia dengan segala keberadaan adan keterbatasannya tidak dianggap sebagai penghalang hubungannya dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam sekitar.[2]
Adalah sesuatu yang cukup sulit untuk setuju tentang apa yang alkitab sebutkan mengenai disability. Orang yang disability pada prinsipnya tidak mengharapkan simpati atau belaskasihan karena yang mereka harapkan adalah kesempatan yang sama sebagaimana orang lain miliki. Mereka tidak rela untuk diperlakukan berbeda. Pada zaman alkitabiah mereka yang disability jarang sekali berfungsi sepenuhnya sebagai anggota masyarakat. Pertemuan Yesus sendiri dengan orang yang disability selalu ditandai dengan belas kasihan dan kemudian menyembuhkannya. Injil Markus mencatatnya, dalam Markus 1:41. Sikap ini mendukung model penyembuhan karena seorang yang disability mempunyai kekurangan dan perlu bantuan.[3]
Dalam Alkitab ibrani tidak terdapat istilah paralel dari kata difabel secara teapt, hanya saja kata cacat jasmani atau ketidak mampuan yang mengarah kepada kelompok ini dalam Perjanjian Lama diartikan sebagai defects.[4] Dalam Perjanjian Lama, difabel dialami sebagai tanda kelemahan dan sekaligus dipahami sebagai sesuatu yang terikat dengan dosa. Perjanjian Lama terlihat bersikap diskriminasi terhadap penyandang difabel dengan menyebut bahwa mereka tidak dapat mengikuti kelompok imam (Imamat 21:17-21). Orang cacat, sakit, kerasukan roh jahat dianggap tidak mengambil bagian dalam berkat Allah perjanjian Allah umat Israel, (Imamat 21:18-20, Ulangan 23:1-2, Imamat 20:27 ; 13:45-46). [5] Dengan demikian pada konteks Perjanjian Lama, orang Cacat selalu didiagnosa serta diawali dengan pernyataan apa dan siapa yang berdosa, Difabel merupakan hukuman atas perbuatan yang salah atau berdosa kepada Allah.[6]
Perjanjian Baru menyebutkan disability itu antara lain adalah, orang tuli yang tidak mampu berbicara dan mendengar (Markus 7:23), dan ada juga yang tuli untuk sementara (Lukas 1:20). Lumpuh adalah istilah umum bagi tubuh yang lemah dan cacat (Johannes 5:5 ; 1Timotius 5:23), sakit lepros atau kusta merupakan sakit kulit yang sangat ditakuti oleh orang-orang di zaman Alkitab karena mereka akan diisolasi disituasi tertentu (Lukas 5:18), ada juga orang yang mati sebelah tangannya (Matius 12:10). Orang pada zaman Alkitab menghubungkan kebajikan dengan kebaikan fisik. Pandanga umum terhadap disability adalah bahwa penyakit dikirim Allah sebagai hukuman karena dosa s(Ulangan 32:39 ; John 9:2). Beberapa dari disability itu juga diyakini akibat kerasukan roh (Markus 9:17). Tetapi memang Yesus datang membawa kerajaan Allah sehingga orang yang disability diterima dan bisa disembuhkan.[7]
Kecacatan pada seseorang rentan sekali dihubungkan dengan dosa. Kata umum untuk dosa ialah Hamartia yang hampir selalu dipakai dalam bentuk tunggal, dan biasanya berarti dalam keadaan berdosa. orang-orang farisi dengan pengertian yang sangat meragukan, yang ditimbulkan dari pandangan bahwa kebutaan secara langsung diakibatkan oleh dosa.[8]
Rasul Petrus dalam suratnya menyebutkan tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitahukan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib, kamu yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umatNya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belaskasihan (I Petrus 2:9-10). Ungkapan ini merupakan pandangan yang membangun gambar diri positif penyandang cacat mental juga manusia normal.[9]
Jika kita mendalami akan gejolak dalam batin, maka sesungguhnya gambari diri mereka adalah sebuah penderitaan yang terpatri sedemikian rupa dalam hidup, karena kecacatan itu akan disandang seumur hidup, sebuah gelar yang belum tentu semua orang dapat menyandangnya. Yang perlu dipahami adalah apa arti dan makna yang terkandung dalam penderitaan sehingga dapat mengerti bahwa penderitaan merupakan salah satu alat yang Allah guakan untuk membuat kita lebih peka dan mencapai tujuanNya dalam kehidupan kita. Dalam pemahaman yang lebih mendalam yaitu pada rencana Allah, penderitaan adalah sesuatu yang menuntut manusia supaya berfikir positif. Penderitaan dimaknai pada tujuan utamanya agar terbentuk sikap-sikap Kristus dalam diri seseorang (Roma 8:28-29). [10]
2.3. Disabilitas Pada Gereja Mula-mula[11]
Pemahaman para nabi Perjanjian itu dipahami oleh gereja mula-mula dengan mengaitkan situasi ini dengan apa yang telah dilakukan Yesus Kristusmelalui mukjizat penyembuhan yang dilakukanNya. Jika kita membaca kisah-kisahNya Yesus menyembuhkan orang buta, orang lumpuh, orang bisu-tuli, dan kaum disability lainnya yang terdapat dalam injil, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi, yaitu:
a.       Ada beberap stigma yang yang diberikan kepada kaum disabled ini, yaitu mereka adalah orang-orang yang tidak bisa berbuat apa-apa dan patu dikasihani sehingga mereka sangat bergantung pada Yesus yang bisa membebaskan mereka dari situasi tersebut. Kehadiran Yesus kemudian dimaknai bahwa karyaNya akan membuat orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang buta menjadi tahir, orangtuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik (Lukas 7:22 ; 4:18-19)
b.      Kisah-kisah penyembuhan oleh Yesus sering kali terabaikan sebab orangYahudi percaya disability berhubungan dengan dosa, kenajisan, dan peyakit. Pemahaman ini kemudian ditolak oleh Yesus ketika ia mengatakan Bukan dia danj juga bukan orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia (Yoh. 9:3)
c.       Kisah-kisah penyembuhan oleh Yesus memperlihatkan kaitan disabilitas dengan roh jahat; misalnya ketika Yesus mengusir roh jahat dan menyembuhkan seseorang, baik secara fisik maupun mental (Matius 4:24 ; Markus 1:32-34 ; Lukas 7:21 ; Kisah Para Rasul 8:7)
Berdasarkan tiga penjelasan tentang gambaran orang-orang disabled dalam kitab injil ini, tampak bahwa orang-orang disabled menjadi orang-orang yang tersingkir karena mereka digambarkan sebagai orang-orang yang bergantung pada kuasa penyembuhan Allah, orang-orang berdosa, dan yang dirasuki oleh roh jahat.
2.4. Teologi Disabilitas
Teologi disabilitas adalah upaya pengkajian teologi disailitas dan non-disabilitas. Diamana orang Kristen dapat memahami dan menafsirkan injil Yesus Kristus, dan latar belakang sejarah serta pengalaman kontemporer dari para pendeta. Gerakan teologi ini muncul atas kritik sosilologis yang mendiskriminasikan penyandang disabilitas.[12]
Manusia adalah makhluk yang bergantung sepenuhnya pada Allah dan ciptaan lain. Saya setuju dengan pemikiran Thomas E. Reynolds yang mengintepretasikan pemikiran Friedrich Schleiermacher tentang “perasaan tentang ketergantungan absolut.”[13] Reynolds menyatakan bahwa keadaan manusia yang merasakan ketergantungan absolut ini tidak menjadikan manusia pasif, melainkan manusia yang menerima keringkihannya sebagai anugerah.[14] Betapa indahnya bergantung pada Allah yang memberikan kebebasan dan menciptakan keindahan melalui keberagaman.
Jika setiap pribadi diciptakan sebagai gambar Kristus, maka setiap pribadi memiliki keindahan Allah dan keindahan tersebut tidak dapat ditampung sendiri. Keindahan yang dimiliki oleh setiap pribadi adalah anugerah yang melimpah, karena itu setiap pribadi tidak bisa tidak berbagi keindahan dengan pribadi lainnya di dalam komunitas.
2.5.Gereja dan Disabilitas
2.5.1.      Tugas Gereja Menolong Kaum Disabilitas
Anak penyandang cacat mental juga membutuhkan kathekisasi di gereja, dimana pada saat bernyayi merekapun bisa mengikuti gerak-gerik temannya yang lain, mereka bisa berdoa dengan bahasa yang sedikit terbata-bata, dan bisa mengikuti kegiatan lain dalam Sekolah Minggu dan ibadah umum. Walaupun keadaan mereka masih dipandang sebelah mata oleh jemaat, namun mereka bisa memahami firman Tuhan dengan merespon cerita dalam bentuk menceritakan pengalaman yang berkaitan dengan cerita. Menurut Penyeminar kathekisasi merupakan salah satu cara untuk menerima hak sebagai warga jemaat. Kathekisasi berasal dari bahasa Yunani yaitu Katekhein yang berarti memberitahukan, memberitakan, mengajar, memberi pengajaran (Luk. 1:4 ; Kis. 18:25 ; 21:21 ; Rom.2:17 ; 1Kor. 14:19 ; Gal. 6:6). Kathekisasi juga dapat menjadi sebuah sarana akan adanya sebuah pengakuan bagi kaum difabel mental, sehingga mereka dapat bergabung dan turut serta dalam setiap persekutuan yang dilakukan oleh warga jemaat.[15]
Gereja mempunyai tugas penting dalam pelayanan terhadap kaum disabilitas dan tugas pelayanan tersebut haruslah ditunaikan secara berkesinambungan serta kongkrit. Sehubungan tugas gereja terhadap penyandang disabilitas dilakukan dengan apa yang mereka butuhkan. Yang mereka butuhkan adalah tindakanpelayanan yang memberi pengertian serta dapat memimpin mereka kepada Allah didalam Kristus dan mereka mengimani bahwa Kristus selalu menyertai mereka ditengah pendertitaan yang mereka alami, dan tujuan yang akan dicapai adalah mereka agar dapat menerima keadaan sebagai tuna netra serta memiliki kemauan bertemu dan bercakap-cakap kepada Tuhan tentang keadaanya. Sampai pada keadaan dimana mereka berdamai terhadap kekurangan yang disandangnya akan menghantar iman mereka bahwa penderitaan adalah sebagai sesuatu yang memperkaya hidupnya. Satu hal yang perlu diingat dalam melayani kaum disabilitas haruslah dilakukan seperti pelayanan kepada manusia biasa, dalam artia pelayanan tidak dibeda-bedaka, sebab pelayanan yang dilakukan bukan dilihat sebagai kecacatan, tapi dilihat dari sudut pandang Allah.[16]
III.             Refleksi Teologis
Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak adalah satu tubuh didalam Kristus: Tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita..(Roma 12:4-6). Ini adalah nasihat penting agar kita tetap sadar bahwa kita adalah bagian dari tubuh Kristus yang merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari saudara-saudara seiman lainnya. Selain itu Tuhan juga mengingatkan bahwa kita harus saling mengasihi, karena Tuhan sendiri begitu mengasihi kita. Untuk itu jangan pernah membeda bedakan kehadiran setiap orang didalam kehidupan ini, mari kita melihat bahwa ada karya terbesar yang Allah kehendaki terhadap seseorang, mari lihat bahwa disabilitas juga adalah bagian dari karya Allah.
IV.             Kesimpulan
Istilah disability adalah istilah modern yang mengacu kepada orang-orang yang mengalami pelemaham fisik atau mental yang secara substansi membatasi satu atau  lebih aktivitas kehidupan seseorang seperti berjalan, melihat, bernafas dan lain sebagainya. Kondisi disability itu memasuki semua lapisan masyarakat tanpa membedakan status. Alkitab meceritakan bahwa banyak alasan mengapa orang mengalami disabilitas, dan salah satu adalah karena dosa atau penghukuman (Yoh. 9:2). Oleh karena Yesus peduli melayani semua orang, termasuk mereka yang disabilitas, maka gereja sebagai tubuh Kristus diminta untuk setia memperhatikan para disabilitas. Sebagai umat yang percaya, mereka yang disabilitas perlu diterima sebagaimana adanya. Mereka tidak hanya diterima, tetapi juga dirangkul untuk berpartisipasi penuh di persekutuan orang yang percaya dalam membangun Gereja sebagai tubuh Kristus



[1] Arne Fritzon,”People With disability in the Bible: Who are they and what can we learn from them?” (Leicester: Intervarsity Press, 1992), 300
[2] Petrus Pardede,Tanggungjawab Manusia Sebagai Imagodei, Maj.IMMANUEL, vol:112, no.7(Tapanuli Utara: HKBP 2002), 31-34
[3] Batara Sihombing, Perjanjian Baru dan disability. Dalam Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Edisi XXX Juli-Desember. (Medan: STT Abdi  Sabda, 2013),18
[4] Saul M. Olyan Disability In The Hebrew Bible. (Amerika, Cambrigde University Press, 2008),1
[5] Nancy L. Eisland, Theology of the Disable God; Toward A Liberatory Disability (Nashvile; Abingdon Press, 1994),73-74
[6] Nancy L. Eisland, Theology of the Disable God; Toward A Liberatory Disability (Nashvile; Abingdon Press, 1994),80
[7] Batara Sihombing, dalam Jurnal: Gereja dan Disabilitas Edisi XXX:Juli-Desember 2013, (Medan:Abdi Sabda, 2013), 20-21
[8] Donal Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (Jakarta: BPK-GM, 2012), 207-208
[9] Daniel L. Migliore, Faith Seeking Understanding: An Introduction to Christian Theology, third edition., (Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company, 2014), loc. 145.
[10] Anthony A. Hoekema, Created in God’s Image. (Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1994), 21
[11] Jan S. Aritonang,Mereka Juga Citra Allah,(Jakarta:BPK-GM, 2017), 193-194
[12] Jhon Swinton,Disability Theology, dalam The Cambridge of Dictionary Christian Theology, Ian A. McFarland, dkk (ed.), (New York: Cambridge University Press, 2011), 141
[13] Thomas E. Reynolds, Vulnerable Communion: A Theology of Disability and Hospitality, (Grand Rapids, MI: Brazoss Press, 2008), loc. 3560
[14] Thomas E. Reynolds, Vulnerable Communion: A Theology of Disability and Hospitality, (Grand Rapids, MI: Brazoss Press, 2008), loc. 3560
[15] M. Bons Strom,Apakah Penggembalaan itu? (Jakarta:BPK-GM, 1979),115
[16] Dr. J.I.CH. Abineno,Pelayanan Pastoral Kepada Orang-orang Sakit, (Jakarta:BPK-GM, 1997), 39