Kata Inspisari Terindah

Orang Malas Tidak Akan Menangkap Buruannya, Tetapi Orang Rajin Akan Memperoleh Harta Yang Berharga (Amsal 12 : 27) By : Bona Sumbayak
ff

Wednesday 20 May 2015

Doktrin Tentang Allah: Teologia Allah Yang Mati (F.W. Nietzche) & Hukum II Decalog



Doktrin Tentang Allah: Teologia Allah Yang Mati (F.W. Nietzche)
& Hukum II Decalog
I.                   Pendahuluan
Pada pertemuan yang lalu kita telah mebahas Doktrin tentang Allah mengenai mengungkap kesiapaan Allah menurut pengalaman spiritual tokoh-tokoh Alkitab dan para penulis Alkitab yaitu tokoh Alkitab zaman bapa leluhur s/d zaman Yosua, para penulis Pentateukh-Hexateukh (teori-teori sumber), dan Allah menurut Pasal I Pengakuan Iman Rasuli (PIR). Pada pertemuan kita kali ini, kita akan membahas Doktrin Tentang Allah: Teologi Allah yang Mati (F.W. Nietzche) dan Hukum II Decalog. Dari sajian ini, kita akan mengetahui bahwa manusia sekarang menggap bahwa Allah itu telah mati dan telah meninggalkan manusia, dan Hukum II Decalog akan membahas tentang sepuluh perintah Tuhan yaitu perintah yang kedua yang diberikan oleh Tuhan kepada bangsa Isreal melalui Musa di gunung Horeb. Semoga pembahasan kita kali ini, dapat bermanfaat bagi kita.
II.                Pembahasan
2.1              Hakikat Allah
            Allah merupakan zat. Akan tetapi, Allah bukanlah zat bendawi, melainkan zat rohani. Yesus mengatakan “Allah itu Roh” (Yoh. 4:24), pernyataan ini menetapkan hakikat Allah sebagai Rohani, antara lain:[1]
  1. Allah tidak berbadan dan tidak berwujud
      Yesus mengatakan, “... Roh (hantu) tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat pada-Ku (Luk. 24:39). Jika Allah adalah Roh, maka dengan sendirinya Ia tidak berbadan dan tidak berwujud. Perintah kedua dari sepuluh perintah Allah yang melarang pembuatan segala jenis patung atau gambaran (Kel. 20:4), dilandaskan pada keadaan Allah yang tidak berbadan.
  1. Allah tidak dapat dilihat
      Orang-orang Israel “tidak melihat sesuatu rupa” ketika Allah menampakkan diri kepada mereka di Gunung Horeb, karena itu mereka dilarang membuat patung Alah (Ul. 4:15-19). Yohanes mengatakan “tidak seorangpun yang pernah melihat Allah” (Yoh. 1:18). Paulus menyebut Tuhan sebagai “Allah yang tidak kelihatan” (Kol. 1:15, Band. Rm. 1:20; I Tim. 1:17) serta menyatakan bahwa tidak ada orang yang telah melihat atau dapat melihat Allah (I Tim. 6:16).
  1. Allah itu hidup
      Pengertian tentang Roh meniadakan bukan saja kesan adanya zat bendawi, tetapi juga meniadakan pengertian mengenai adanya zat yang tidak hidup. Hal ini berarti Allah hidup. Dengan demikian Allah disebut sebagai “Allah yang hidup” (Yos. 3:10; I Sam. 17:26; Mzm. 84:3; Mat. 16:16; I Tim. 3:15; Why. 7:2). Allah merupakan sumber dan pemelihara segenap kehidupan yang ada: tanaman, hewan, manusia, rohani, dan kekal (Mzm. 36:10; Yoh. 5:26).
2.2              Pengertian Teologi Allah yang Mati
Teologi mengenai tentang teologi Allah mati berasal dari pandangan materialistik yang artinya suatu paham yang menyangkal hal yang rohani “Allah dan jiwa manusia” yang hanya menerima keberadaan hal atau realiti yang dapat langsung di amati.[2] Tuhan mati berarti bahwa manusia dapat hidup sendiri, menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat. Tuhan mati berarti manusia hidup tanpa harus memakai Tuhan Sebagai kapital bagi hidupnya, segala sesuatu berada ditangan manusia sendiri. Dunia akan diperbaiki oleh manusia itu sendiri.[3]
2.3              Latar Belakang Teologi Allah yang Mati
Gerakan ketiga di abad ke-20 ini yang menekankan imanensi Allah adalah teologi Kematian Allah. Sekalipun terdapat banyak  nuansa makna dalam ungkapan “kematian Allah,” pada umumnya yang dimaksudkan dengan istilah ini ialah bahwa dahulu Allah ada secara transenden. Kematian Allah merupakan semacam tindakan bunuh diri Allah yang ada sejak dahulu kala itu, yaitu dengan sukarela melepaskan status-Nya yang paling mendasar.[4] Gagasan tentang kematian Tuhan telah dimunculkan oleh beberapa teolog yang sebelumnya, seperti Gogartem, Bonhoeffer, Tillich, dll. Namun, proklamasi pertama yang mengenai kematian Tuhan itu dikumandangkan oleh F.W. Nietzche dalam suatu bagian dari bukunya Die Frohliche Wissenschaft (Ilmu Pengetahuan yang Menggirangkan) yang ditulis pada tahun 1882.[5]
Nietzsche juga menulis: “Allah sudah mati. Allah tetap mati. Dan kita telah membunuh-Nya”. Suatu gerhana Allah (kegelapan Allah) turun atas bumi kita. Lentera-lentera pada siang harus dinyalakan untuk dapat mengapai Allah. Nietzsche menceritakan tentang  “seorang gila” yang datang dengan lentera ke pasar dan bertanya kepada orang-orang di sana: “Kemana Allah pergi?” Dan dia sendiri memberikan jawabnya: “ Saya akan mengatakannya kepadamu! Kita telah membunuh-Nya; kamu dan saya! Tetapi bagaimana kita melakukannya?” Dan Nietzsche memberi jawaban: Allah sudah mati, karena dunia metafisik sudah mati. Ketika di Barat dunia yang tidak tampak kehilangan daya geraknya, bersama dengan itu Allah meninggal. Allah terus-menerus ditolak dan Ia kehilangan tempat.[6]
2.4              Doktrin Teologi Allah yang Mati
Doktrin Teologi Allah Mati (The Death Of God Theology) memandang Allah sudah mati dalam semua dimensi kehidupan manusia. Allah tidak terlibat disana. Maka yang sebaliknya berperan adalah manusia. Manusia dapat mengatur dunia ini. Hidup manusia tergantung dari keputusan pribadinya. Dimensi dimensi kehidupan itu antara lain :
1.                   Di dalam filsafat
Penyelidikan tentang Allah tidak berguna. Penyelidikan tentang Allah adalah bagian dari filsafat metafisika (sesuatu diluar jangkauan manusia).. Jadi setiap konsep pemikiran tentang Allah yang berdasarkan metafisika tidak ada artinya. Mereka mencela metafisika.
2.                   Di dalam kepercayaan (agama) Allah sudah mati
Mujizat adalah sesuatu yang tidak bisa diterima dengan rasio. Mereka menolak mujizat. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah bersifat alamiah dan merupakan akibat dari keputusan-keputusan manusia. Doa, ibadah sia-sia. Agama tidak diperlukan.
3.                   Di dalam Eksistensinya Allah telah mati
Dalam eksistensinya, Allah dirasakan sebagai Yang Menekan dan Yang Melukai, yang dari-Nya kita ingin dibebaskan. Bagi kebanyakan orang Kristen percaya di tengah-tengah zaman kematian Tuhan ini berarti bahwa mereka merasakan Tuhan hadir di tempat yang mereka tidak inginkan dengan cara yang tidak mereka inginkan juga, tetapi sebaliknya, Tuhan dirasakan tidak hadir jika mereka menginginkan Dia.[7]
4.                   Di dalam persoalan kemasyarakatan Allah telah mati
Mereka beranggapan bahwa Allah tidak dapat menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat. Misalnya : peperangan, kelaparan, diskriminasi rasial dan lain-lain.
5.                   Di dalam Teologia Allah telah mati
Di dalam Teologi oleh pemikiran Barat D. Bonhoeffer bahwa semua manusia telah belajar dalam segala hal untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri tanpa meminta bantuan daripada hipotesa kerja Allah. Semuanya berjalan tanpa Dia.[8]
2.5              Doktrin Teologi Allah yang Mati Menurut Para Tokoh
1.                  F.W. Nietzsche
Sebetulnya Allah sudah tidak berarti, sudah mati.[9] Nietzsche ingin menghentikan gagasan kristiani tentang Tuhan bangsa Israel yang menginginkan kalau tuhan-tuhan yang lain itu harus pergi, supaya umat manusia dibebaskan dari kesewenang-wenangan Tuhan dan dikembalikan menjadi orang-orang yang kreatif di bidang kebudayaan. Tuhan yang mengira telah menciptakan manusia serta telah menciptakannya kembali menjadi gambarNya, Tuhan ini harus mati. Sebab Ia terlalu banyak mencampuri urusan manusia. Manusia harus dikembalikan menjadi “superman” (Ubermensch) yang mempunyai kehendak untuk menguasai dunia secara sempurna. Manusia yang telah diperbudak oleh Tuhan itu harus membalas dendamnya dan membunuhNya. Tuhan harus mati supaya manusia dapat mencapai kebudayaan yang tanpa batas.[10]
2.                  William Hamilton
Menurut William Hamilton, kini kita hidup disuatu zaman “Tuhan Mati”, yaitu suatu zaman yang orang-orangnya menganggap bahwa Tuhan telah mengundurkan diri dari dunia ini, bahwa Tuhan tidak hadir lagi di dalam dunia ini, sehingga bagaimana pun harus dikatakan, bahwa Tuhan Mati. Anggapan yang demikian itu, menurut Hamilton, makin hari makin tumbuh, baik diantara orang-orang non-Kristen, maupun diantara orang-orang Kristen. Kini orang-orang Kristen seolah-olah menyerupai nabi-nabi palsu paa zaman Nabi Elia, yang di kaki Gunung Karmel mulai pagi hingga sampai tengah hari berseru-seru kepada Baal: “Ya Baal, jawablah kami!”, tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab (1 Raj. 18:26). Banyak orang Kristen yang kini telah berseru-seru kepada Tuhan supaya ditolong, tetapi tidak ada pertolongan. Oleh karena kejadian yang demikian itu berkali-kali terjadi maka mereka bertanya-tanya apakah kiranya Tuhan tidak telah mengundurkan dari dunia ini dan dari diri para orang milikNya.[11]
3.                  Gabriel Vahanian
Gabriel Vahanian melihat persoalan tentang kematian Tuhan ini dari segi kebudayaan yang post-kristiani. Untuk itu pada tahun 1961, ia menulis bukunya, The Death of God (Kematian Tuhan), dengan subjudul: The Culture of our Post-Christian Era (Kebudayaan Zaman Post-Kristani Kita). Tuhan mati, artinya Tuhan tidak berguna lagi, segera Ia dijadikan barang tambahan bagi cita-cita umat manusia.kebudayaan Barat saat ini telah menjadi imanen, yang dimana manusia yang menjadi pokoknya.[12]
2.6              Hukum II Decalog
2.6.1        Pengertian Decalog
Dekalog adalah kata “Yunani Untuk” Dasa Titah atau Sepuluh Perintah Allah (Kel. 34:28). Dekalog, yang diberikan dalam dua bentuk itu (Kel. 20 dan Ul. 5), merupakan hukum Ibrani yang paling awal dan tradisi menganggap berasal dari Musa. Ada dua cara pembagian Dekalog: Kel. 20:3, dalam urutan umat Kristen adalah hukum pertama, namun dalam tradisi Yahudi disatukan dengan hukum berikutnya-larangan untuk menyembah patung-dan kemudian, hukum yang terakhir mengenai keirihatian, dibagi menjadi dua, sehingga semuanya tetap sepuluh.[13] Dekalog juga menyadarkan manusia akan dosanya. Dari Dekalog manusia belajar bahwa ia adalah orang berdosa yang patut dihukum oleh Allah. Dekalog  untuk mengatur mereka yang tidak menaati perintah-perintah Allah dengan sukarela. Demi ketentraman masyarakat mereka harus dipaksa dengan ancaman hukuman ilahi untuk menghindari perbuatan-perbuatan jahat.[14]
2.6.2        Sejarah Decalog/ Dasa Titah
Di Gunung Sinai juga disebut Horeb adalah tempat Allah telah mengikat perjanjianNya dengan Bangsa Israel, menyatakan hukum-hukumNya, serta menahbiskan kebaktian Israel sebagai jalan penghapusan dosa. Bagi Israel, pemberian Taurat itu barulah mendapat artinya di dalam keseluruhan peristiwa di Gunung Sinai, yang terjadi sebenarnya adalah pertemuan antara Allah dengan Bangsa Israel. Allah turun serta menyatakan kehadiranNya di dalam awam, Israel disuruh menguduskan dirinya, lalu dipanggil berkumpul, Allah berfirman dengan perantaraan Musa. Pemberian Dasa Titah itu pun memainkan peranan di dalam pertemuan tadi.[15]
2.6.3        Pengertian Hukum II Decalog
Hukum II Decalog adalah Hukum Taurat yang ke-2 yang berisi, “Jangan Membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada dilangit diatas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi”. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya. Maksud dari perintah ini ialah, Dia tidak mau ibadah yang sah terhadapNya dinodai dengan upacara-upacara ketakhayulan. Hal ini berarti Dialah satu-satunya tempat kita berpegang. Dan supaya mendorong kita untuk berpegang padaNya, dimaklumkanNya kekuasaanNya yang tidak menerima bila dihina atau direndahkan.[16]
Di dalam titah yang kedua, Tuhan melarang manusia menyembah Dia “menurut cara sendiri”. Manusia tidak boleh mencari sesuatu yang menggambarkan Yahweh, baik di langit maupun di bumi, ataupun di dalam air, sebab barangsiapa mencari atau membuat patung untuk maksud itu, maka ia sebenarnya mencoba menguasai ke-Allahan Tuhan. Padahal kita adalah milik Tuhan. Bukanlah kita yang memiliki Tuhan.[17]
Yang dilarang adalah membuat gambar Allah berupa patung, bukan karena Allah adalah Roh yang tidak kelihatan, bukan pula karena Allah adalah Pencipta dan patung adalah ciptaan manusia.[18]
2.6.4        Hubungan Teologi Allah yang Mati dan Hukum II Decalog
Nietzche mengatakan, karena munculnya Yahweh, Tuhan bangsa Israel, maka semua Tuhan yang lain harus pergi. Tuhan bangsa Israel inilah Tuhan yang pencemburu, yang tidak menghendaki adanya tuhan-tuhan yang lain di sampingNya. Itulah sebabnya Ia memerintahkan: “ Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu (Kel. 20:3)[19], dan Jangan Membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada dilangit diatas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi (Kel. 20:4), melalui hukum inilah Allah mengatakan bahwa, tidak boleh ada tuhan-tuhan lain yang kamu sembah selain Aku, tuhan-tuhan yang lain itu harus mati. Orang-orang pada zaman sekarang ini, menggap bahwa Allah itu telah mati, dan manusia menuhankan pikiran mereka saja segingga mereka tirdak percaya lagi akan Tuhan dan kuasa Tuhan itu. Hal yang sama telah terjadi pada masa bangsa Israel keluar dari Mesir dan berada di padang gurun. Mereka membangun dan menyembah tuhan-tuhan lain karena mereka beranggapan bahwa Tuhan telah meninggalkan mereka. Ketika itulah Tuhan memberikan Hukum II Decalog kepada bangsa Isreal di Gunung Horeb melalui perantaraan Musa, agar bangsa Isreael tidak lagi menhembah allah-allah lain.
III.             Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, kita telah mengetahui tentang Teolgi Allah yang Mati dan Hukum II Decalog. Tuhan mati berarti bahwa manusia dapat hidup sendiri, menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat. Tuhan mati berarti manusia hidup tanpa harus memakai Tuhan Sebagai kapital bagi hidupnya, segala sesuatu berada ditangan manusia sendiri. Dunia akan diperbaiki oleh manusia itu sendiri. Gagasan tentang kematian Tuhan telah dimunculkan oleh beberapa teolog yang sebelumnya, seperti Gogartem, Bonhoeffer, Tillich, dll. Namun, proklamasi pertama yang mengenai kematian Tuhan itu dikumandangkan oleh F.W. Nietzche dalam suatu bagian dari bukunya Die Frohliche Wissenschaft (Ilmu Pengetahuan yang Menggirangkan) yang ditulis pada tahun 1882. Di dalam titah yang kedua, Tuhan melarang manusia menyembah Dia “menurut cara sendiri”. Manusia tidak boleh mencari sesuatu yang menggambarkan Yahweh, baik di langit maupun di bumi, ataupun di dalam air, sebab barangsiapa mencari atau membuat patung untuk maksud itu, maka ia sebenarnya mencoba menguasai ke-Allahan Tuhan. Padahal kita adalah milik Tuhan. Bukanlah kita yang memiliki Tuhan.
IV.              Daftar Pustaka
Barth Christoph dan Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 1, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2012
Becker. Theol. Dieter, Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2012
Browning. W.R.F., Kamus Alkitab, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2014
Calvin. Yohanes, Instituio Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013
Collins Gerald O’ dan Edward G. Faruggla, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1995
Erickson Millard J., Teologi Kristen Volume Satu, Malang: Gandum Mas, 2004
Hadiwijono Harun, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2011
Jonge Christian de, Apa itu Calvinisme?, Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 1999
SJ. Tom Jacobs, Paham Allah, dalam Filsafat, Agama-agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002
Thiessen Henry C., Teologi Sistematika, Malang: Gandum Mas, 1993
Verkuyl J., Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2012


[1]  Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang: Gandum Mas, 1993), 114-116
[2] Gerald O’ Collins dan Edward G. Faruggla, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 193
[3] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2011 ), 189
[4] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume Satu, (Malang: Gandum Mas, 2004), 498
[5] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 188
[6] Theol. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2012), 63-64
[7]  Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris,192
[8] Theol. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, 64
[9] Tom Jacobs, SJ, Paham Allah, dalam Filsafat, Agama-agama, dan Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 28
[10]  Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 188-189
[11]  Ibid, 190
[12] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad Ke 20, 195
[13] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2014), 77-78
[14] Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme?, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 1999), 58
[15]Christoph Barth dan Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2012) , 269-278
[16]  Yohanes Calvin, Instituio Pengajaran Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013), 96-97
[17] J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2012), 102
[18] Christoph Barth dan Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 1,  324
[19]  Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad Ke 20, 188