Kata Inspisari Terindah

Orang Malas Tidak Akan Menangkap Buruannya, Tetapi Orang Rajin Akan Memperoleh Harta Yang Berharga (Amsal 12 : 27) By : Bona Sumbayak
ff

Sunday 8 March 2015

Ajaran Buddha Tentang Jalan Kelepasan



Ajaran Buddha Tentang Jalan Kelepasan
I.                   Pendahuluan
Buddha merupakan agama hasil perpecahan dari agama Hindu, namun walaupun demikian setiap ajaran-ajaran yang telah dikonsepkan oleh Hindu tidak seluruhnya dicopy paste oleh Buddha, terkhususnya  mengenai bagaimana pencapaian jalan kelepasan. Buddha memiliki ciri khas tersendiri dalam pencapaian kelepasan atau mencapai Nirvana. Jika di dalam Agama Hindu tidak semua orang bisa mencapai Nirvana, maka di dalam agama Buddha semua orang dapat mencapai Nirvana, sebab di dalam Agama Buddha tidak mengenal akan adanya kasta-kasta. Oleh sebab itu, melalui sajian kita kali ini, Semoga kita dapat mengetahui bagaimana cara-cara di dalam agama Buddha untuk mencapai Kelepasan.
II.                Pembahasan
2.1. Sekilas Tentang Buddha
Agama Buddha dapat dikatakan sebagai agama yang dihasilkan selama bertahun-tahun oleh seorang Risyi di India yang bernama Sidarta Gautama. Ia adalah seorang bangsawan putra raja yang bernama Suddhodana dari kasta kesatria. Ia tidak rela melihat bahwa kemewahan di dalam kehidupan keluarga kerajaanya yang serba berlebihan, sedangkan masyarakat di sekitarnya menderita. Lalu ia bertekad untuk mengubah kondisi masyarakatnya, dengan jalan menciptakan bentuk-bentuk pergaulan yang bermoral menuju kea rah terjaminnya sifat-sifat yang berprikemanusiaan.[1]
2.2. Shangha (Jemaat)
Pengikut agama Buddha terbagi menjadi dua bagian, yaitu para Biksu atau para rahib dan kaum awam. Inti masyarakat Buddha dalam arti yang sebenarnya, sebetulnya hanya terdiri dari para Rahib. Sebab hanya hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi. Seluruh persekutuan hidup para rahib disebut Sangha atau Jemaat.[2]Namun mereka memahami bahwa semua penganut agama Buddha (para Rahib dan kaum awam) selalu mengalami penderitaan dalam kehidupan mereka hanya saja penderitaan yang dialami oleh para kaum rahib dan kaum awam berbeda. Oleh karena itu Maka mereka juga memiliki hak untuk mencapai kelepasan atau kehidupan yang tertinggi (Nirvana).[3]
2.3. Latar Belakang Konsep Buddha Tentang Jalan Kelepasan
Berdasarkan sejarah dan asal-usul munculnya agama Buddha menimbulkan suatu pemahaman mengapa manusia itu harus mencapai jalan kelepasan. Konsep jalan kelepasan sendiri merupakan hasil dari kepercayaan Sidarta Gautama yaitu bahwa hidup adalah menderita. Seandainya di dunia ini tidak ada penderitaan, maka Buddhapun tidak akan menjelma di dunia. Orang dilahirkan, menjadi tua, dan mati; tiada hidup yang tetap. Sedangakan untuk menjalani itu semua,  manusia akan mengalami menderita sakit.[4] Oleh karena pemahaman di atas agama Buddha mungkin hanya dapat dikatakan sebagai agama Filsafat hidup  (Philosofy life), yang hanya mengajarkan tentang budi pekerti moral dan ajaran utama adalah hakikat hidup menderita, oleh karena itu jalan satu-satunya yang penting adalah kelepasan dari penderitaan. Maka agama Buddha sangat mengusahakan untuk kelepasan hidup di dunia yang fana ini dari segala keinginan.[5]
2.4. Konsep Ajaran Budha Tentang Jalan Pelepasan
Di dalam ajaran Buddha hal yang paling inti adalah suatu ajaran “Kelepasan” apa itu Kelepasan?, secara singkat dapat dikatakan melepaskan diri dari  penderitaan yang disebabkan oleh keinginan hidup dan kehidupan.[6]Jalan kelepasan dalam agama Buddha diungkapkan dengan bermacam-macam ungkapan, seperti Wimoksa atau Wimukti, yang berarti keselamatan atau kelepasan. Ungkapan-ungkapan lainya terkandung di dalamnya gagasan tentang “akhir penderitaan”,“air hidup”, perdamaian yang tak pernah berakhir” dan sebagainya. Namun ungkapan yang paling terkenal adalah Nirwana [7]. Secara Harafiah kata Nirwana berarti pemadaman atau pendinginan. Apa yang padam, tiada lagi, yaitu apinya. Lalu apa yang menjadi dingin bukan berarti menjadi musnah. Melainkan panas menjadi hilang. Kedua istilah ini dapat disebut sebagai dua segi satu kenyataan. Yaitu segi yang positif dan segi yang negatif. Yang dipadamkan adalah api kebencian atau nafsu.[8] Dalam ajaran agama Buddha untuk mencapai kelepasan atau Nirwana selalu berkaitan dengan etika dalam bertindak dan bertingkah laku. Perintah, norma peraturan hidup, sikap dan keadaan baik. Di dalam Anguttara Nikaya X, 170, di dalam suatu pandangan tentang “ tepi sebelah sini” dan “tepi sebelah sana” Buddha memberikan suatu ikhtisar singkat mengenai ajarannya yang bersangkutan dengan etika yaitu:
Wahai para rahib, apakah tepi di sebelah sini, dan apakah tepi sebelah sana?” membunuh, hai para rahib, adalah tepi sebelah sini, dan mencegah diri untuk membunuh itu tepi sebelah sana, mencuri adalah tepi sebelah sini, menjauhkan diri dari mencuri itu tepi sebelah sana, pelanggaran dalam lapangan seksual, adalah tepi sebelah sini, menjauhkan diri dari pelanggaran lapangan seksual adalah itu tepi sebelah sana, berdusta adalah tepi sebalah sini, mejauhkan diri dari dusta itu adalah tepi sebelah sana, berkata kasar adalah tepi sebelah sini, menjauhkan diri dari berkata kasar itu adalah tepi sebelah sana, omong kosong adalah tepi sini, menjauhkan diri dari omong kosong adalah tepi sebelah sana, tamak adalah tepi sebelah sini, menjauhkan diri dari tamak adalah tepi sebelah sana, Niat yang jahat adalah tepi sebelah sini, niat yang baik itu adalah tepi di sebalah sana, inilah hai para rahib, tepi sebalah sini dan itu tepi sebelah sana.[9]
Jadi dari ikthisar pengajaran di atas dapat diketahui bahwa dalam pandang Buddha kehidupan ini memiliki dua sisi atau tepi, dimana tepi sebelah sini adalah sisi yang jahat dan tepi sebelah sana adalah sisi yang baik yang dapat mengantar orang menuju kelepasan. Menurut agama Buddha pada dasarnya bebas memilih tepi sebelah mana, akan tetapi untuk mencapai jalan kelepasan maka bagi agama Buddha harus mengikuti tepi sebelah sana.
2.4.1.      Ajaran Buddha Menuju Nirwana
Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui di dalam ajaran agama Buddha, bahwa di dalam mencapai kelepasan mereka harus meyakini sesuatu kebenaran yang nyata di dalam kehidupan ini. Yaitu:
1.      Lahir  menjadi tua dan meninggal dunia adalah penderita. Demikian pula dengan bersedih hati, menyesal, mengaduh, kesal hati, putus asa, mengalami hal-hal yang tidak enak dan mendapat apa-apa yang diinginkan. Semua itu adalah penderitaan.
2.      Penderitaan itu disebabkan oleh hati yang tidak ikhlas dan hawa nafsu untuk mencapai kesenangan, hawa nafsu untuk hidup.
3.      Penderitaan dapat dihilangkan kalau hati ikhlas, dan hawa nafsu dapat disingkirkan apabila semua keinginan dapat di padamkan.
4.      Cara melepaskan penderitaan itu hanya dapat mempraktekkan “delapan jalan kebenaran Utama” atau jalan tengah yang diberikan oleh sang Buddha Sidartha Gautama yaitu: a. Percaya yang benar, b. keputusan yang benar, c. Berbicara yang benar, d. berbuat yang benar, e. penghidupan yang benar, f. berusaha yang benar, g. semedi yang benar, h. mengheningkan cipta yang baik dan benar.[10]
Jadi pembagian pelepasan itu dibagi dan dirangkumkan berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan di dalam ajaran tentang kedelapan jalan itu maka sampai kepada pemetaan yaitu:
Tingkat persiapan   : Sradata
Tingkat I  (2-7)       : Sila (Etika)
Tingkat II (8)          : Samadhi
Tingkat III              : Pengetahuan atau pemandangan mendalam
Tingkat IV              : Kelepasan[11]
Oleh sebab itu, pelapasan dari penderitaan hanya dapat dicapai jika orang yakin dengan empat kenyataan tersebut. Tidak perlu mempelajari secara mendalam isi kitab Weda, Brahman, atau Uphanisad, dan tidak berguna pertapaan yang lama. Yang penting hanya menjalankan delapan petunjuk yang diberikan tersebut. Maka demikianlah cara mencapai Nirwana.[12]
Delapan jalan kebenaran yang diajarakan di dalam bagian Arya Satyani yang ke-empat (Salah satu nama kitab di dalam kitab Suci Buddha), Sering disingkat menjadi empat tingkatan. Masing-masing tingkatan ditandai oleh pematahan ikatan-ikatan yang mengikat orang kepada dunia. Yaitu:
a.       Srotapana (Pertobatan), yaitu tingkatan dimana orang tersebut sudah berada di dalam jalur atau perbuatan yang baik serta telah berlindung kepada Buddha, namun walaupun demikian belum terlepas dari kenajisan dunia. Hidupnya masih harus dilahirkan kembali hingga 7 kali, sebagai manusia dan dewa.
b.      Sakradagamin, yaitu tingkatan orang yang masih harus di lahirkan satu kali lagi. Setelah itu baru mencapai kelepasan yang sempurna. (proses mematahkan dari hawa nafsu (kama) dan kebencian).
c.       Anagamin, tingkatan yang sudah tidak dilahirkan kembali dan sudah mendapat kelepasan. Dk boleh berban idasegala hawa nafsu dan kebencian telah ditiadakan.
d.      Arhat, tingkatan orang yang sudah bebas dari segala kehidupan dunia. Dan sudah berada pada puncak Nirwana.[13]
Disamping 4 kenyataan dan 8 jalan kebenaran yang disebut diatas ada lima pantangan dan larangan bagi semua penganut Buddha yaitu:
1.      Tidak dapat membunuh
2.      Tidak dapat mencuri
3.      Tidak boleh berbuat yang tidak senonoh (berjinah)
4.      Tidak dapat berbohong
5.      Tidak dapat minum minuman keras
Bagi para rahib atau biksu di tambah lima pantangan lagi yaitu:
1.      Tidak boleh makan dalam waktu tertentu
2.      Tidak boleh menyanyi, menari dan melihat pertunjukan.
3.      Tidak boleh menggunakan alas tidur hanya selembar tikar diatas lantai
4.      Tidak boleh menerima hadiah emas, perak dan swasa.
5.      Tidak memakai minyak wangi dan perhiasan.
Sepuluh pantangan tersebut diistilahkan dengan dasar sila.[14]
Demikianlah ajaran agama Buddha tentang jalan menuju kelepasan, yang dapat diperoleh oleh semua Sangha (Jemaat). Dengan melakukan peraturan-peraturan yang berlaku dalam kepada setiap golongan.
III.             Kesimpulan
Dari pemaparan karya Ilmiah di atas kami dapat menyimpulkan bahwa ajaran Buddha tentang bagaimana mereka dalam mencapai kelepasan atau menuju kehidupan yang tertinggi (Nirwana) memiliki proses yang sangat panjang. Tahapan-tahapan atau tingkatan-tingkatan yang disusun oleh Buddha sudah menjadi suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap penganut agama Buddha baik para rahib dan kaum awam. Hal yang perlu untuk diketahui bahwa ternyata agama Buddha dalam pencapaian kelepasan itu, mengutamakan Sila dalam kehidupan mereka dan tidak dapat dipungkiri bahwa agama Buddha terkenal dengan Toleransi kemanusiannya.
IV.              Refleksi Theologis
Setelah kita mengetahui bagaimana proses agama Buddha dalam pencapaian jalan keselamatan bagi mereka. Ajaran Kristen sendiri memiliki jalan tersendiri yang mungkin secara umum kita telah mengetahuinya. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Martin Luther tentang tiga konsep kesalamatan yaitu Sola Fide, Sola Gracia dan Sola Scriptura yang masing-masing telah memiliki dasar-dasar teologi. Namun segala sesuatu ajaran Kristen selalu berpusat kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat manusia yang telah membebaskan menusia dari segala dosa.
V.                 Daftar Pustaka
Hadikusuma, Hilman H,  Antropologi Agama I , Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993
Hadiwijono, Harun,  Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
Hadiwijono, Harun, Apa dan Siapa Tuhan Allah?,(Pandangan Dari Beberapa Agama), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974
Honig Jr, A.G,  Ilmu Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
Thalhas ,T.H.,  Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Galura Pase, 2006
Wowor, Cornelius, Pandangan Sosial Agama Buddha, Arya Surya Chandra: 1997



[1] Hilman H. Hadikusuma, Antropologi Agama I , (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), 231
[2] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 83
[3] Cornelius Wowor, Pandangan Sosial Agama Buddha, (Arya Surya Chandra: 1997), 29
[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha,  71
[5] T.H. Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Galura Pase, 2006), 74-77
[6]Ibid, 78
[7] Nirwana adalah menyatakan suatu tempat dan keadaan yang sulit untuk digambarkan tetapi yang pasti tempat itu dipenuhi dengan kesenangan dan tidak ada lagi penderitaan dan lepas dari segala Samsara.
[8]Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, 81
[9]A.G. Honig Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 196-197
[10] T.H. Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama, 78-79
[11] A.G. Honig Jr, Ilmu Agama, 196
[12] Harun Hadiwijono, Apa dan Siapa Tuhan Allah? (Pandangan Dari Beberapa Agama), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), 19 
[13] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, 80-81
[14]  T.H. Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama, 79-80

No comments:

Post a Comment