I.
Pendahuluan
Pada pertemuan minggu lalu kita membahas beberapa buku dan
hubungannya dengan teologi komunikasi. Pada pertemuan kali ini kami para
penyaji akan memaparkan hasil resensi buku yang berjudul perempuan di dalam
perbatasan, dan hubungannya dengan teologi komunikasi. Semoga sajian kali ini
dapat menambah wawasan kita bersama.
II.
Pembahsasan
2.1 Biodata
buku
Judul
buku : PEREMPUAN
DALAM PERBATASAN
(Pergulatan Evangelikalisme dan feminisme)
Pengarang : Nicola Hoggard
Creegan dan Christine D.Pohl
Penerbit : PT BPK Gunung
Mulia
Tebal
Buku : 292 halaman
Tempat/Tahun
Terbit : Jakarta/2010
2.2 Pengertian Teologi Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa latin “communication” atau “commuias”
yang artinya sama atau menjadikan milik bersama. Berkomunikasi: berusaha agar
apa yang disampaikan kepada orang lain menjadi miliknya. Communication: berbagi
atau menjadi milik bersama.
Jadi komunikasi adalah suatu proses dimana 2 orang atau lebih
membentuk atau melakukan pertukarn informasi dengan satu sama lainnya. Yang
pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.
Teologi adalah pemikiran, ajaran/doktrin yang sistemtis tentang
Allah dan ciptaannya. Berteologi berarti cara bagaimana manusia manusia
menghayati dan mengaplikasikan imannya kepada Allah dalam setiap konteksnya.
2.2 Isi Buku
Bab 1. Dimana Para Perempuan Cakap
Dimanakah para perempuan cakap? Pertanyaan ini dipertanyakan
ketika panitia rekrutmen mempertimbangkan para pelamar untuk posisi dalam
bidang teologi, etika, studi biblika, dan sejarah gereja. Pertanyaan ini
mengudang demensi-dimensi institusional, teologis, personal, dan praktis.
Apakah perempuan itu sedang tersesat, hilang atau tidak terlihat?sebuah cerita
menjelaskan betapa kompleksnya persoalan ini. karena keahlian dalam bidangnya,
chistine sering diminta menjadi pembicara utama dala sebuah konferensi tentang
keramah tamahan Kristen. Kami mendeskripsikan suatu wilayah yang kebanyakan
tidak terpetakan,yaitu wilayah perbatasan dimana perempuan evangelikal,
feminisme dan pendidikan teologi saling bersinggungan. Karena wilayah tersebut
merupakan substansi kehidupan kami, maka wilayah ini cukup personal, dan kami
memilih untuk menggunakan pendekatan narasi yang telah dimodifikasi.
Bab 2. Berbagai Suara dan Kisah
Berbagai tanggapan tentang pertanyaaan tetang evangelikal, serta
hubungannya dengan gender dan feminisme sungguh menyingkapkan cara-cara yang
diupayakan perempuan untuk diupayakan perempuan unuk merundingkan berbagai
dunia dan alasan-alasan mereka untuk tinggal atau meninggalkan dunia
evangelikal. Beberapa responden menyimpulkan bahwa integritas pribadi menurut
pilihan antara evangelikalisme dan feminisme, tetapi yang lainnya tidak ingin
menggunakan istilah perbatasan sama sekali. Sejumlah perempuang memilih
menggunakan label yang berbeda atau mengindentifikasikan diri dengan tradisi
yang berbeda, sementara sebagian kecil perempuan tidak melihat feminisme
menarik atau secara khusus merupakan hal yang mendesak. Namun, bagi sebagian
besar perempuan-perempuan yang di survei pertanyaan-pertanyaan ini melibatkan
suatu pergumulan spiritual. Hidup di perbatasan melibatkan refleksi
terus-menerus mengenai identitas dan secaara teatur bergulatdengn kompleksits
asumsi gender di lembaga-lembaga evanglikal. Pemahaman mengenai gender,
meskipun tidak secara eksplisit merupakan bagian dari banyak pertanyaan dan
pengakuan iman, tampak jelaas dalam praktik, tata bahasa, serta retorika gereja
dan komunitas.
Perempual evangelikal yang mengajar dalam
bidang teologi menjumpai batas-batas ini secara teologis, instutional, dan
personal. Pada tahun-tahun selanjutnya, pertanyaan seputar identitas
evangelikal telah ditempatkan secara luas, tetapi sampe akhir-akhir ini
percakapan akademis dengan cara yang aneh sering diam mengenai peran dan arti
penting asumsi gender dalam dunia evangelikal.
Bab 3. Isu-isu Gender dan Evangelikalisme Masa Kini
Dalam bab ini telah di gambarkan banyak keterangan seputar
gender dalam identitas, intitusi, dan komitmen evanggelikal dalam upaya
meningkatkan diskusi kita tentang hidup diperbatasan dalam dunia evangelikal
yang lebih besar. Budaya evanggelikal terdiri dari sejumlah paradoks dan
kompleks, beberapa tersembunyi dan beberapa cukup jelas. Komitmen dan
batas-batas kognitif merupakan prioritas yang jelas diatas faktor pengalaman,
tetapi memberikan nilai penting dari kehidupan evangelikal. Asumsi-asumsi
gender merupakan hal yang paling tersembunyi tetapi sangat penting dalam
memilihara identitas simbolik dan identitas actual. Pentingnya hubungan
kelembagaan tidak di tekankan tetapi sangat penting untuk memiliki suara dalam
lingkungan evangelikal.
Walaupun berbagai komitmen teologis mungkin telah digambarkan
sebagai karakreristik yang menjelaskan dari evangekalisme, praktik dan
kepercayaan yang terkait jender memiliki peran yang sangat penting. Perempuan
evangelikal yang terampil secara akademis menghadapi tantangn-tantanglahan
tertentu dalam upaya bekerja dalam ruang yang digenderkan ini.
Evangelikalisme dan feminisme telah memangdang saru sama lain
dengan kerugian yang dalam, dan retorika mengenai “yang lain” telah dilakukan
oleh kedua sisi. Posisi-posisi ini telah mempersulit upaya yang menempatkan
persoalan-persoalan gender dalam evangelikalisme dan untuk menemukan sebuah
tempat dimana kekuatan kedua pandangan ditegaskan.
Bab 4 Megabaikan Meja, Menemukan Sebuah Suara
Bab
ini telah menguji isu-isu kompleks mengenai kedirian, serta identitas dan
cara-cara cendikia yang didalamnya perempuan evangelikal bergumul dan bertekun
dalam lingkungan akademis melalui anugerah , perlawanan yang gigih, dan
liminalitas. Perempuan menghargai beberapa pembimbingdan model yang ada serta
berpegang pada panggilan yang kadang-kadang diremehkan.
Bab 5 Membentuk Perempuan Yang Cakap
Dalam komunitas, keluarga, dan gereja, kami menjumpai suara
penegasan dan kadang-kadang penyangkalan. Sering, teman-teman dan keluarga
melihat cakrawala yang lebih luas daripada yang dapat kami bayangkan untuk diri
kami sendiri. Perempuan telah menemukan berbagai cara untuk memilihara
panggilan dan komitmen mereka. Namun sebagai mahluk yang sangat relasional
dalam citra Allah yang tritunggal, kami sangat terganggu menjumpai
ketidakhadiran masyarakat dan percakapan di dalam inti terdalam dari jemaat
Kristen dan pemikiran teologis. Perempuan, yang berkomitmen pada Gereja,
merindukan tempat aman untuk percakapan yng menganugerahkan kehidupan dan
komunitas iman yang lebih bersemangat serta percakapan yang mengakui
keberagaman dunia yang kami diami.
Bab 6 Peta-peta Evangelikal dan Feminis
Perempuan evangelikal dilingkungan akademis mencoba melakukan
teologi dalam konteks yang sering tidak terbuka bagi suara feminis, konteks
dimana kehadian perempuan sebagai pemimpin teologis dapat menyembunyikan alarm
yang menggagu keseimbangan gender “alami”. Kadang-usaha yang dituntut untuk
tetap tinggal dalam percakapan benar-benar mengasyikan. Apa yang dapat
dilakukan oleh perempuan yang terlatih dalam bidang teologi harus dilakukan
diantara celah-celah, begitu istilahnya, dan dalam beberapa cara berupa dialog
antara suatu kesadaran feminis dan dunia kehidupan yang berpengetahuan biblis.
Mengamati keseluruhan melintasi peta yang terbagi ini, intuisi teologis kami
dipertajam dan dialog menjadi lebih kaya ketika dimensi vertical dan horizontal
iman diyataka melalui pemahaman evangelikal wawasan feminis.
Bab 7 Melanjutkan Dialog Teologis
Apakah mungkin hidup
diperbatasan antara evangelikalisme dan feminisme,atau bahkan untuk mengklaim
kembali perbatasan sebagai pusat? Apakah mungkin untuk hidup dalam kedua dunia
secara teologis? Memunculkan pertanyaan ini adalah memunculkan sebuah ruang kabar
baik (gospel) baagi pembalikan yang
mengejutkan dan hidup dalam harapan dari keyataan yang diproklamasikannya.
Memilih untuh hidup dalam ruang ini berarti kita tidak akan sanggup untuk
menjelaskan ke depa semua yang baik bagi kita atau dimana tepatnya perbatasan
hermeneutika berada. Perempuan feminis evangelikal tetap yakin pada hakikat
teks yang diterima dan kekuatan Firman untuk membentuk kehidupan kita. Kita
sama-sama yakin bahwa suara kenabian menyatakan ulang Firman tersebutdan
menafsirkannya kembali dalam setiap generasi di bawah kuasa Roh Kudus bagi
perempuan sebagaimana halnya juga bagi laki-laki. Suara yang telah kita dengar
dari perbatasan ini begitu bergairah dan tajam. Peduli dengan anugerah dan
keadilan, berorientasi pada masa depan, dan selalu bertanya-tanya untuk
merenugkan, sering kali di tengah-tengah kekacauan dan konfklik, jika terdapat
suatu teologi yang berbeda dan suatu spiritualitas yang dibarui yang muncul
diperbatsan, kita berharap dan berdoa bahwa hal itu kan berpusat pada kristus,
bersifat egaliter. Menganugerahkan kehidupan, dan adikodrati serta yang akan
menyatukan ketimbang memecahbelah berbagai segi dan dalam gereja.
Bab 8 Kesimpulan
Apakah Feminisme Evangelikal Mungkin?
Seorang perempuan muda,
yang memulai studi doctoral dalam bidang teologi, memberi pendapat,
Saya sangat kecewa kepada teman-teman evangelikal konservatif
dan liberal saya saling berbicara buruk
tentang yang lainnya. Mereka terlihat sedang berpikir “mengapa merasa terganggu
megapan terganggu dengan percakapan? Apa yang mungkin kami miliki
bersama-sama?” Dan saya ingin menjawab, “kamu memiliki saya dalam kebersamaan
dan itu seharusnya cukup bagi sebuah permulaan”
Kesimpulan YA,
feminisme evangelikal memang mungkin; kami memasukkan peta-peta yang saling
melengkapi. Kami mungkin tidak mengerjakan semua detail. Mungkin juga kami
berhadapan dengan konflik dan ketegangan setiap hari. Namun, mungkin sampai
tingkat tertentu kami siap membawa asumsi dan komitmen ini secara bersama-sama,
baik sebagai feminis maupun sebagai evangelikal. Kedua dunia merupakan bagian
dari identitas kami. Bagi keduadunia itu pula, sangat membantu jika beberapa
orang hidup di persimpangan.
2.3 Hubungan
dengan Teologi Komunikasi
2.3.1
Komunikator (communicator)
Nicola
Hoggard Creegan dan Christine D.Pohl, adalahdua orang perempuan yang
berpendidikan teolgi (evangelikal)
2.3.2
Komunikan (audience)
Perempuan-perepuan
yang belajar teologi (studi lanjut).
2.3.3
Media
Melalui
e-mail, internet
2.3.4
Pesan
Pesan
yang disampaikan komunikator adalah bahwa perempuan juga bisa menjadi seorang
evangelikal, tanpan melihat perbadaan gender laki-laki dan perempuan. Karena
itu merupakan panggilan dan tanggung jawad.
2.3.5
Umpan balik
Sebagian
besar perempuan menceritakan perjalanan mereka dan sangat ingin berpartisipasi.
Namun, beberapa perempuan enggan membari respon.
2.4 Kekurangan
dan Kelebihan Buku
2.4.1
Kelebihan
·
Setiap bab
buku ini memiliki kesimpulan sehingga mudah dimengerti
2.4.2
Kekurangan
·
Bahasa yang
digunakan terlalu tinggi hingga susah dimengerti.
·
Tidak ada
gambar pendukung yang membuat lebig mengerti
trimakasih , sangat membantu
ReplyDelete