Ajaran Buddha Tentang Jalan Kelepasan
I.
Pendahuluan
Buddha merupakan agama hasil perpecahan dari agama
Hindu, namun walaupun demikian setiap ajaran-ajaran yang telah dikonsepkan oleh
Hindu tidak seluruhnya dicopy paste oleh Buddha, terkhususnya mengenai bagaimana pencapaian jalan
kelepasan. Buddha memiliki ciri khas tersendiri dalam pencapaian kelepasan atau
mencapai Nirvana. Jika di dalam Agama Hindu tidak semua orang bisa mencapai
Nirvana, maka di dalam agama Buddha semua orang dapat mencapai Nirvana, sebab
di dalam Agama Buddha tidak mengenal akan adanya kasta-kasta. Oleh sebab itu,
melalui sajian kita kali ini, Semoga kita dapat mengetahui bagaimana cara-cara
di dalam agama Buddha untuk mencapai Kelepasan.
II.
Pembahasan
2.1.
Sekilas Tentang Buddha
Agama
Buddha dapat dikatakan sebagai agama yang dihasilkan selama bertahun-tahun oleh
seorang Risyi di India yang bernama Sidarta Gautama. Ia adalah seorang
bangsawan putra raja yang bernama Suddhodana dari kasta kesatria. Ia tidak rela
melihat bahwa kemewahan di dalam kehidupan keluarga kerajaanya yang serba
berlebihan, sedangkan masyarakat di sekitarnya menderita. Lalu ia bertekad
untuk mengubah kondisi masyarakatnya, dengan jalan menciptakan bentuk-bentuk
pergaulan yang bermoral menuju kea rah terjaminnya sifat-sifat yang
berprikemanusiaan.[1]
2.2.
Shangha (Jemaat)
Pengikut agama
Buddha terbagi menjadi dua bagian, yaitu para Biksu atau para rahib dan kaum
awam. Inti masyarakat Buddha dalam arti yang sebenarnya, sebetulnya hanya
terdiri dari para Rahib. Sebab hanya hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan
suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi. Seluruh
persekutuan hidup para rahib disebut Sangha
atau Jemaat.[2]Namun
mereka memahami bahwa semua penganut agama Buddha (para Rahib dan kaum awam)
selalu mengalami penderitaan dalam kehidupan mereka hanya saja penderitaan yang
dialami oleh para kaum rahib dan kaum awam berbeda. Oleh karena itu Maka mereka
juga memiliki hak untuk mencapai kelepasan atau kehidupan yang tertinggi
(Nirvana).[3]
2.3.
Latar Belakang Konsep Buddha Tentang Jalan Kelepasan
Berdasarkan
sejarah dan asal-usul munculnya agama Buddha menimbulkan suatu pemahaman
mengapa manusia itu harus mencapai jalan kelepasan. Konsep jalan kelepasan
sendiri merupakan hasil dari kepercayaan Sidarta Gautama yaitu bahwa hidup
adalah menderita. Seandainya di dunia ini tidak ada penderitaan, maka Buddhapun
tidak akan menjelma di dunia. Orang dilahirkan, menjadi tua, dan mati; tiada
hidup yang tetap. Sedangakan untuk menjalani itu semua, manusia akan mengalami menderita sakit.[4]
Oleh karena pemahaman di atas agama Buddha mungkin hanya dapat dikatakan
sebagai agama Filsafat hidup (Philosofy
life), yang hanya mengajarkan tentang budi pekerti moral dan ajaran utama
adalah hakikat hidup menderita, oleh karena itu jalan satu-satunya yang penting
adalah kelepasan dari penderitaan. Maka agama Buddha sangat mengusahakan untuk
kelepasan hidup di dunia yang fana ini dari segala keinginan.[5]
2.4.
Konsep Ajaran Budha Tentang Jalan Pelepasan
Di
dalam ajaran Buddha hal yang paling inti adalah suatu ajaran “Kelepasan” apa
itu Kelepasan?, secara singkat dapat dikatakan melepaskan diri dari penderitaan yang disebabkan oleh keinginan
hidup dan kehidupan.[6]Jalan
kelepasan dalam agama Buddha diungkapkan dengan bermacam-macam ungkapan,
seperti Wimoksa atau Wimukti, yang berarti keselamatan atau
kelepasan. Ungkapan-ungkapan lainya terkandung di dalamnya gagasan tentang
“akhir penderitaan”,“air hidup”, perdamaian yang tak pernah berakhir” dan
sebagainya. Namun ungkapan yang paling terkenal adalah Nirwana [7].
Secara Harafiah kata Nirwana
berarti pemadaman atau pendinginan. Apa yang padam, tiada lagi, yaitu apinya.
Lalu apa yang menjadi dingin bukan berarti menjadi musnah. Melainkan panas
menjadi hilang. Kedua istilah ini dapat disebut sebagai dua segi satu
kenyataan. Yaitu segi yang positif dan segi yang negatif. Yang dipadamkan
adalah api kebencian atau nafsu.[8]
Dalam ajaran agama Buddha untuk mencapai kelepasan atau Nirwana selalu berkaitan dengan etika dalam bertindak dan
bertingkah laku. Perintah, norma peraturan hidup, sikap dan keadaan baik. Di
dalam Anguttara Nikaya X, 170, di dalam suatu pandangan tentang “ tepi sebelah
sini” dan “tepi sebelah sana” Buddha memberikan suatu ikhtisar singkat mengenai
ajarannya yang bersangkutan dengan etika yaitu:
“Wahai para rahib, apakah tepi di sebelah
sini, dan apakah tepi sebelah sana?” membunuh, hai para rahib, adalah tepi
sebelah sini, dan mencegah diri untuk membunuh itu tepi sebelah sana, mencuri
adalah tepi sebelah sini, menjauhkan diri dari mencuri itu tepi sebelah sana,
pelanggaran dalam lapangan seksual, adalah tepi sebelah sini, menjauhkan diri
dari pelanggaran lapangan seksual adalah itu tepi sebelah sana, berdusta adalah
tepi sebalah sini, mejauhkan diri dari dusta itu adalah tepi sebelah sana,
berkata kasar adalah tepi sebelah sini, menjauhkan diri dari berkata kasar itu
adalah tepi sebelah sana, omong kosong adalah tepi sini, menjauhkan diri dari
omong kosong adalah tepi sebelah sana, tamak adalah tepi sebelah sini,
menjauhkan diri dari tamak adalah tepi sebelah sana, Niat yang jahat adalah
tepi sebelah sini, niat yang baik itu adalah tepi di sebalah sana, inilah hai
para rahib, tepi sebalah sini dan itu tepi sebelah sana.[9]
Jadi
dari ikthisar pengajaran di atas dapat diketahui bahwa dalam pandang Buddha
kehidupan ini memiliki dua sisi atau tepi, dimana tepi sebelah sini adalah sisi
yang jahat dan tepi sebelah sana adalah sisi yang baik yang dapat mengantar
orang menuju kelepasan. Menurut agama Buddha pada dasarnya bebas memilih tepi
sebelah mana, akan tetapi untuk mencapai jalan kelepasan maka bagi agama Buddha
harus mengikuti tepi sebelah sana.
2.4.1.
Ajaran
Buddha Menuju Nirwana
Ada
beberapa hal yang perlu kita ketahui di dalam ajaran agama Buddha, bahwa di
dalam mencapai kelepasan mereka harus meyakini sesuatu kebenaran yang nyata di
dalam kehidupan ini. Yaitu:
1. Lahir menjadi tua dan meninggal dunia adalah
penderita. Demikian pula dengan bersedih hati, menyesal, mengaduh, kesal hati,
putus asa, mengalami hal-hal yang tidak enak dan mendapat apa-apa yang
diinginkan. Semua itu adalah penderitaan.
2. Penderitaan
itu disebabkan oleh hati yang tidak ikhlas dan hawa nafsu untuk mencapai
kesenangan, hawa nafsu untuk hidup.
3. Penderitaan
dapat dihilangkan kalau hati ikhlas, dan hawa nafsu dapat disingkirkan apabila
semua keinginan dapat di padamkan.
4. Cara melepaskan
penderitaan itu hanya dapat mempraktekkan “delapan jalan kebenaran Utama” atau
jalan tengah yang diberikan oleh sang Buddha Sidartha Gautama yaitu: a. Percaya
yang benar, b. keputusan yang benar, c. Berbicara yang benar, d. berbuat yang
benar, e. penghidupan yang benar, f. berusaha yang benar, g. semedi yang benar,
h. mengheningkan cipta yang baik dan benar.[10]
Jadi pembagian pelepasan itu dibagi dan dirangkumkan
berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan di dalam ajaran tentang kedelapan
jalan itu maka sampai kepada pemetaan yaitu:
Tingkat persiapan : Sradata
Tingkat I (2-7) :
Sila (Etika)
Tingkat II (8) : Samadhi
Tingkat III : Pengetahuan atau pemandangan mendalam
Tingkat IV : Kelepasan[11]
Oleh sebab itu, pelapasan dari penderitaan hanya dapat
dicapai jika orang yakin dengan empat kenyataan tersebut. Tidak perlu
mempelajari secara mendalam isi kitab Weda, Brahman, atau Uphanisad, dan tidak
berguna pertapaan yang lama. Yang penting hanya menjalankan delapan petunjuk
yang diberikan tersebut. Maka demikianlah cara mencapai Nirwana.[12]
Delapan jalan kebenaran yang
diajarakan di dalam bagian Arya Satyani
yang ke-empat (Salah satu nama kitab di dalam kitab Suci Buddha), Sering disingkat menjadi empat
tingkatan. Masing-masing tingkatan ditandai oleh pematahan ikatan-ikatan yang
mengikat orang kepada dunia. Yaitu:
a. Srotapana (Pertobatan),
yaitu tingkatan dimana orang tersebut sudah berada di dalam jalur atau
perbuatan yang baik serta telah berlindung kepada Buddha, namun walaupun
demikian belum terlepas dari kenajisan dunia. Hidupnya masih harus dilahirkan
kembali hingga 7 kali, sebagai manusia dan dewa.
b. Sakradagamin, yaitu tingkatan
orang yang masih harus di lahirkan satu kali lagi. Setelah itu baru mencapai
kelepasan yang sempurna. (proses mematahkan dari hawa nafsu (kama) dan kebencian).
c. Anagamin, tingkatan yang
sudah tidak dilahirkan kembali dan sudah mendapat kelepasan. Dk boleh berban
idasegala hawa nafsu dan kebencian telah ditiadakan.
d. Arhat, tingkatan orang
yang sudah bebas dari segala kehidupan dunia. Dan sudah berada pada puncak
Nirwana.[13]
Disamping 4 kenyataan dan 8 jalan kebenaran yang
disebut diatas ada lima pantangan dan larangan bagi semua penganut Buddha
yaitu:
1. Tidak
dapat membunuh
2. Tidak
dapat mencuri
3. Tidak
boleh berbuat yang tidak senonoh (berjinah)
4. Tidak
dapat berbohong
5. Tidak
dapat minum minuman keras
Bagi
para rahib atau biksu di tambah lima pantangan lagi yaitu:
1. Tidak
boleh makan dalam waktu tertentu
2. Tidak
boleh menyanyi, menari dan melihat pertunjukan.
3. Tidak
boleh menggunakan alas tidur hanya selembar tikar diatas lantai
4. Tidak
boleh menerima hadiah emas, perak dan swasa.
5. Tidak
memakai minyak wangi dan perhiasan.
Sepuluh
pantangan tersebut diistilahkan dengan dasar sila.[14]
Demikianlah ajaran agama Buddha tentang jalan menuju
kelepasan, yang dapat diperoleh oleh semua Sangha (Jemaat). Dengan melakukan
peraturan-peraturan yang berlaku dalam kepada setiap golongan.
III.
Kesimpulan
Dari pemaparan karya Ilmiah di atas kami dapat
menyimpulkan bahwa ajaran Buddha tentang bagaimana mereka dalam mencapai
kelepasan atau menuju kehidupan yang tertinggi (Nirwana) memiliki proses yang
sangat panjang. Tahapan-tahapan atau tingkatan-tingkatan yang disusun oleh
Buddha sudah menjadi suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap penganut
agama Buddha baik para rahib dan kaum awam. Hal yang perlu untuk diketahui
bahwa ternyata agama Buddha dalam pencapaian kelepasan itu, mengutamakan Sila
dalam kehidupan mereka dan tidak dapat dipungkiri bahwa agama Buddha terkenal
dengan Toleransi kemanusiannya.
IV.
Refleksi
Theologis
Setelah
kita mengetahui bagaimana proses agama Buddha dalam pencapaian jalan
keselamatan bagi mereka. Ajaran Kristen sendiri memiliki jalan tersendiri yang
mungkin secara umum kita telah mengetahuinya. Sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh Martin Luther tentang tiga konsep kesalamatan yaitu Sola Fide,
Sola Gracia dan Sola Scriptura yang masing-masing telah memiliki dasar-dasar
teologi. Namun segala sesuatu ajaran Kristen selalu berpusat kepada Yesus
Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat manusia yang telah membebaskan menusia
dari segala dosa.
V.
Daftar
Pustaka
Hadikusuma,
Hilman H, Antropologi Agama I , Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993
Hadiwijono,
Harun, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
Hadiwijono,
Harun, Apa dan Siapa Tuhan Allah?,(Pandangan
Dari Beberapa Agama), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974
Honig
Jr, A.G, Ilmu Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
Thalhas
,T.H., Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Galura Pase, 2006
Wowor,
Cornelius, Pandangan Sosial Agama Buddha,
Arya Surya Chandra: 1997
[1] Hilman H. Hadikusuma, Antropologi Agama I , (Jakarta: Citra
Aditya Bakti, 1993), 231
[2] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009), 83
[3] Cornelius Wowor, Pandangan Sosial Agama Buddha, (Arya
Surya Chandra: 1997), 29
[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, 71
[5] T.H. Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta:
Galura Pase, 2006), 74-77
[6]Ibid, 78
[7] Nirwana
adalah menyatakan suatu tempat dan keadaan yang sulit untuk digambarkan tetapi
yang pasti tempat itu dipenuhi dengan kesenangan dan tidak ada lagi penderitaan
dan lepas dari segala Samsara.
[8]Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, 81
[9]A.G. Honig Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009), 196-197
[10] T.H. Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama, 78-79
[11] A.G. Honig Jr, Ilmu Agama, 196
[12] Harun Hadiwijono, Apa dan Siapa Tuhan Allah? (Pandangan
Dari Beberapa Agama), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), 19
[13] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, 80-81
No comments:
Post a Comment