Perkembangan Agama Buddha
serta Aliran-alirannya
I.
Pendahuluan
Sang Buddha meninggal pada tahun 483
SM. Setelah beliau meninggal, ia tidak meninggalkan suatu kitab untuk bisa
dapat diteladani oleh pengikut-Nya, melainkan beliau hanya meninggalkan
ajaran-ajaran-Nya secara lisan. Berdasarkan hal inilah, timbul beberapa pemahaman
yang berbeda dari para Rahib dan hal ini jugalah yang akan memicu munculnya dua
aliran dalam agama Buddha.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai
perkembangan agama Buddha setelah meninggalanya Siddharta Gautama serta
aliran-aliran yang muncul dalam agama Buddha. Kami para penyaji akan memaparkan
serta mendiskusikannya pada kesempatan kali ini. Semoga hasil pemaparan dan
diskusi ini akan menambah wawasan kita.
II.
Pembahasan
2.1. Perkembangan Agama
Buddha
Budhisme adalah nama yang diberikan
kepada orang-orang yang mengikuti ajaran sang Buddha.[1]
Agama Buddha ini lahir dan berkembang pada abad ke- 6 SM. Namanya dari nama
pendirinya, yaitu Siddharta Gautama yang lebih terkenal dengan panggilan
Buddha. Menurut keyakinan Buddhis ada banyak Buddha, yaitu orang yang sudah
mendapatkan pencerahan Buddhis. Dan
Buddhis juga sebelum tahap zaman sekarang ini, sudah ada tahap zaman
yang tak terbilang banyaknya. Tiap zaman memiliki Buddhanya sendiri-sendiri.[2]
Karena didalam sejarah agama Buddha
terjadi suatu perkembangan yang sangat berbeda-beda , hal ini karena Buddha
pada wafatnya tidak meninggalakan sebuah instansipun yang berkuasa mengenai
ajarannya. Ia tidak menunjukkan seseorang sebagai penganutnya. Bahkan ajaran
ini pun belum ditulis dalam kitab yang sah.[3]
Sebab tidak ada yang dapat menggantikan kedudukan sang Buddha yang tiggal
hanyalah ajarannya saja, yang pada waktu itu belum di bukukan. Lalu
pengikut-pengikutnya mendirikan ikatan-ikatan yang bertujuan untuk memelihara
ajaran Buddha.[4]
Sebab sewaktu Buddha masih hidup banyak ajarannya yang telah dihapal dengan
cermat oleh pengikut-pengikutnya.
Sejarah agama Buddha dimulai pada
abad ke 4 SM hingga abad ke 2 yang dibagi menjadi dua tahap, yaitu mulai abad
ke 6 hingga abad ke 3 sM hingga abad ke 2.
1. Tahap
pertama abad ke- 6 hingga abad ke- 3 SM
Tahap ini ditentukan oleh dua
muktamar yang besar, yaitu muktamar di Rajgraha pada tahun 383 SM, dan muktamar
di Waisali pada tahun 283 SM. Sesudah Buddha meninggal, diadakan konsili
sebanyak 2 kali yaitu:
a. Konsili
pertama diadakan partama kali di Rijgraha, yang dihadiri 500 orang rahib.
Dipimpin oleh Kasyapa yang agung. Dalam muktamar ada dua orang yang paling
penting, yaitu Upala (dikenal sebagai pengenal Winaya) dan Ananda (dikenal
sebagai pengenal Sutra).[5]
Dan didalam muktamar ini diambil keputusan-keputusan, karena Buddha sang guru
sudah meninggal maka pengikut-pengikutnya[6]
mengambil keputusan bahwa mereka tetap bepegang pada peraturan-peraturan yang
diberikan oleh sang Buddha sendiri, agar kaum awam tidak berpendapat bahwa
sekarang para biksu meninggalkan peraturan sang Buddha.[7]
Melainkan mereka harus menjaga hukum dan ajaran itu sebagaimana sudah
ditetapkan Buddha tanpa ditambah atau dikurangi[8]
b. Konsili
di Waisali pada tahun 283 SM, seratus tahun setelah konsili di Rajgraha, timbul
lagi persoalan baru. Para rahib di Waisili telah menyimpang dari peraturan
ajaran Buddha yang sudah ditetapkan, diantaranya yaitu: para Rahib menyimpan
garam lebih banyak dari pada yang diperkenankan, para Rahib makan dua kali di
dua desa yang berlainan, lebih mematuhi Rahib yang sudah tua bukan kepada
hukum, menerima emas, perak dan sebagainya.[9]
2. Tahap
ke dua abad ke- 3 hingga abad ke- 2 SM
Pada tuhun 269 SM Asoka memerintah
hingga tahun 233 SM. Dibawah pemerintahannya agama Buddha berkembang dengan
cepat,hingga sampai diluar India. Agama Buddha mengembangkan sayapnya ke Selatan hingga ke Langka, ke Barat hingga
ke Bakteria. Dan di Bakteria hanya dibangun Kuil dan patung-patung Buddha yang
sangat dipengaruhi dengan kebudayaan Yunani. Pada zaman kejayaan agama Buddha
disertai dengan zaman perselisihan dan zaman perpecahan.[10]
Atas anjuran kaisar pada tahun 244 SM
berlangsung konsili ke II di Patali Putra. Disinilah pokok-pokok ajaran Buddha
mulai disusun secara tertulis dalam bentuk Tripitaka prestasi besar agama
Buddha pada saat ini adalah ditandai dengan usaha kaisar dengan mengirim
misi-misi Buddha keberbagai penguasa diluar India, diantaranya ke Syiria,
Mesir, Lybia, Makedonia, Grik, Sailan, dan Birma.[11]
Sekalipun demikian perpecahan berjalan terus pada abad ke- II diadakan kembali
konsili/muktamardi Kashmir yaitu pada zaman pemerintahan Kaniska, sejak konsili
ini perpecahan makin menghebat sehinga timbullah 2 sekte (aliran) budhisme
yaitu Mahayana dan Hinayana.[12]
Sebelum abad ke II peril diketahui bahwa pada tahun 184 SM kekaisaran Maurya
dipimpin oleh kaisar Asoka yang ditumbangkan oleh dinasti Sunggah 184 SM- 78
M. pada waktu tahun 78 M dinasti Kusana
(78-178M) berhasil menumpas dinasti Sungga, masa ini agama-agama diberikan sikap
yang toleran dari penguasa dan dinasti ini berakhir pada abad ke III dampaknya
pengaruh agama Buddha di India mulai mundur, bahkan pada abad ke V agama ini
hampir lenyap dari India namun mengalami perkembangan yang cukup berarti di
Sailand, Dirma, Muangtai, Kamboja, Laos Vietnam, Tiongkok, Korea, dan Jepang.[13]
2.2. Aliran-aliran dalam
Agama Buddha
2.2.1.
Aliran Theravada (Hinayana)
Theravada atau Buddhisme Hinayana berkembang dibagian
Selatan Asia seperti Srilanka, Thiland dan Burma. Aliran selatan ini (Hinaya) berdasrkan
pada naskah awal Khotbah sang Buddha yang menitik beratkan pada sangha dan pada pencapaian
Nirvana.[14] Di Negara-negara Trevada, biara-biara Buddha yang besar selalu mempunyai peranan nyata dan khusus
dalam kehidupan nasionalnya. Biara dinggap penting sebagai tempat pendidikan
orang-orang awam dalam priode tertentu untuk menjalani hidup membiara.
Pendidikan tersebut di khususkan bagi kaum pria yang diharapkan sampai dewasa
nanti tetap menjalankan kebiasaan hidup membiara, khususnya dalam melawan
pengaruh Barat.[15]
Dalam pokok
ajaran Hinayana mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari dasar-dasar yang
terdapat didalam kitab-kitab yang kanonik. Ajaran tersebut dapat dirumuskan,
yakni:
v Segala sesuatu bersifat fana serta hanya berada untuk
sesaat saja (Dharma). Oleh karna itu tidak ada sesuatu untuk yang tetap berada.
Tidak ada aku yang berpikir, sebab yang ada adalah perasaan.
v Dharma-dharma itu adalah kenyataan atau realitas yang
kecil dan pendek dan yang berkelompok sebagai sebagai sebab dan akibat, karena
pengaliran dharma yang terusa menerus maka timbullah kesadaran aku yang palsu
atau ada “perorangan” yang palsu[16]
v Tujuan hidup adalah mencapai Nirvana. Anirvana bukanlah
suatu kedaan hampa /kekosongan atau tujuan dari eskapisme (aliran yang ingin melarikan
diri dari kenyataan). Nirvana bukanlah sesutu yang “ada” bukan pula “hancurnya segala yang ada” atau pun suatu tingkat surgawi. Nirvana
hanyalah lenyapnya kecendrungan yang tidak baik dan lenyapnya kepalsuan ilusi,
karna itu nirvana bukanlah suatu tempat, melainkan suatu tingkat kesadaran.[17]
v Cita-cita yang tertinggi ialah menjadi arhad, yaitu orang
sudah berhenti keinginannya, ketidak tahuannya dan sebagainya, dan oleh
karnanya tidak ditaklukkan lagi pada kelahiran kembali.[18]
Para pengikut
Hinayana percaya bahwa Teraveda identik dengan Tipitaka, Buddhaisme Hinayana
merupakan perkembangan logis mengenai dasar-daar karya resmi. Menurut
Buddhahisme semua mahluk adalah sementara. Tujuan eksitensi adalah pencapaiyan
nirwana atau
penghentian kesadaran seluruh kesadaran merupakan perasaan atau suatu yang
mengakibatkan perbudakan. Di dalam Hinayana tidak ada spekulasi mengenai apa
yang tinggal setelah nirwana. Hinayana melambangkan suatu konsepsi ontropomorfis,
berdasarkan pada panteisme populer, dan percaya akan suatu pencipta tertinggi
serta banyak dewa bawahan. Dalam Hinayana yang ortodoks sebenarnya Buddha sama dengan pria lainnya, hanya mempunyai kecerdasan
dan kemampuan yang lebih. Ibadah kepada Buddha hanya satu peringatan. Hinayana hampir mangabaikan nasihat
Gautama sehubungan dengan spekulasi yang tidak tampak. Hinayana hampir menjadi
pantaisme. Fenomenalisme filosofis dan panteisme religious dengan
kecendrungan-kecendrungan monarkis seperti yang kita miliki. Hinayana merupakan
agama yang tidak menarik yang mengingkari Tuhan dalam ajarannya, meskipun dalam
praktiknya ibadah kepada Buddha. Buddhaisme Hinayana bukan hanya jalan menuju nirwana, tapi juga mengajarkan kita jalan untuk lahir kembali
dalam dunia brahma dengan rahmat dan pertolongan Raha Kudus. Budhaisme Hanayana lebih suka dengan
batasan-batasan ketat secara filosofis. Haniayana mewakili tradisi-tradisi
Budha dengan setia dengan kecendrungan yang negatif dan abstraknya Hanayana
menjadi penjelmaan pikiran yang sudah mati dan jiwanya yang terpenjara. Hal itu
membuat manusia tidak mempunyai iman yang kuat dan cita-citanya nyata yang
diperlukan untuk hidup berkarya.[19]
2.2.2.
Aliran
Mahayana
Mahayana artinya “kendaraan besar”[20]
walaupun banyak keterangan Tuhan mengenai asal mula dan kemunculan Mahayana
yang kabur karna pengaruh waktu, tetapi kita mengetahui beberapa fakta sejarah.
Aliran utara atau Mahayana amat dipengaruhi oleh Universitas Nalanda di India
(suatu kekuatan Buddha yang bertahan selama lebih dari 1000 tahun). Mahayana dengan
mudah dapat dijumpai di Tabiet, Nepal, Sikkim, China, Vietnam dan Jepang lebih
menitik beeratkan tujuan menjadi bothisatwa yaitu seorang yang walaupun telah
mencapai tingkatan terakhir dari kebuddhaan dan mencapai nirwana sehingga tidak
perlu lagi dilahirkan kembali untuk menolong dan menyelamatkan orang lain yang
belum mencapai tingkat tersebut.[21]
Dua kata
yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran Mahayana adalah Bodhisattwa dan
sunyata karena itu hampir terdapat pada tiap hal aman tulisan-tulisan Mahayana.
Secara harafiah Bodhisattwa berarti orang yang hakekat atau hakekatnya atau
tabiatnya adalah Bodhi (hikmat) yang
sempurna. Mahayana Bodhisattwa adalah orang sudah melepaskan dirinya dan dapat
menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada
diri orang lain. Seorang Bodhisattwa bukan hannya merenungkan kesengsaraan
dunia saja, melainkan juga turut merasakannya dengan berat. Oleh karenanya ia
sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktivitas sekarang dan
kelak guna keselamatan dunia. Karena kasihnya kepada dunia. Karena kasihnya
kepada dunia maka segala kebajikannya dipergunakan untuk menolong orang lain.[22]
Aliran Mahayana meliputi sejumlah Bodhisattwa,
malaikat-malaikat Agung dan orang-orang kudus. Dengan memberikan tempat yang
luasbagi bhakti, pandangan keselamatan Mahayana membuka jalan bagi masuknya
Tantrisme dan bentuk-bentuk mistik yang lain.[23]
Kesatuan agama Mahayana bisa dilihat dalam doktrin trikarya yang diterapkan
pada pribadi manusia yaitu:
a. Dhammakaya
: merupakan dasar eksistensis tertinggi. Barangkali ini bisa disamakan dengan
Brahman dari Gita.Ia bukan dewa yang biasa tetapi dewanya para dewa.
b. Ia
dewa (devati) ia pencipta Bodhisattva. Dengan
kata lain, dhammakaya itu relitas
yang tetap kalau mau diterapkan pada manusia.
c. Sambhogakarya :
merupakan tubuh kenikmatan atau Roh yang mempribadi.
Hal yang kedua memberi ciri Mahayana
ialah ajaran tentang sunyata yang artinya kekosongan. Kosong (berarti) berati:
tiada yang mendiaminya. Oleh karna itu sunyata berarti bahwa tiada pribadi
(yang mendiami orang). segala sesuatu adalah kosong, oleh karenanya tiada yang
dapat diingainkan atau dicari. Bukan hanya dunia yang kosong melainkan juga
Nirwana bahkan dunia juga kosong. Kebenran yang tertinggi adalah kosong, oleh
karenanya tidak dapat dijadikan sasaran kepercayaan yang mutlak tak dapat
dipegang, seandainya ia dapat dipegang, tak dapat dikenalnya sebab yang mutlak
tidak memiliki ciri-ciri yang meembedakan dengan yang lain.[25]
Ada 3 prinsip yang dianggap menjadi ajaran Budha
Mahayana antara lain:
Ø Orang
tidak boleh bergantung pada usaha mereka sendiri untuk mencapai nirwana. Akan
tetapi mereka dibantu oleh “Bodhisattwa” adalah orang yang telah mencapai
pencerahan tetapi masih tinggal dibumi karna pilihan untuk menolong orang lain
mencapai nirwana.
Ø Apapun
dapat digunakan sebagai menuju perncerahan, termasuk mantra, menebang pohon
atau mengalirkan air.
Ø Sangha
dapat membantu orang yang ingin mencapai pencerahan. Sangha adalah komunitas
para rahib mengikuti pengajaran sang aBudha. Cita-cita tertinggi Mahayana
adalah untuk mencapai Bodhisattwa.
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa setelah wafatynya Sang Buddha Gautama,
tmbul perpecahan dalam agam tersebut, yang menyebabkan adanya 2 aliran yang
timbul yaitu Theravada (Hinayana) dan Mahayana yang kemudian berkembang
kebeberapa Negara. Yang dimana cita-cita tertinggi dari hinayana adalah untuk
mencapai Arhat dan Mahayana adalah untuk mencapai Bodhisattwa.
IV.
Refleksi
Theologis
Buddha seseorang yang mendapat penegetahuan dengan
kekuatan sendiri. Dan ia mencapai penegetahun itu tidak dengan mendapat wahyu
dari sesuatu dari Allah. Bahkan ketika
Buddha meninggal dia tidak meniggalkan kitab-kitab, melainkan ia
meninggalkan ajaran secara lisan. Akan tetapi para pengikut ajaran Buddha merak
tetap mengingat ajaran tersebut dan tetap mempertahankannya, jadi sebagai
refleksi Theologis pada sajian ini bahwa agama Buddha yang memilikidua aliran
akan tetapi tetap ajaran Buddha. Seperti sama halnya dengan ayat alkitab yang
tertulis dari 1 Korintus 4:15, “ Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu
pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak Bapa. Karna akulah yang
dalam Kristus Yesus telah menjadi Bapamu oleh injil yang kuberitakan kepadamu.”
Sama halnya dengan dengan Agama Kristen walaupun banyak aliran gereja maupun
kepercyaan, tetap mengikuti dan menyembah Yesus, begitulah Agama Buddha,
memiliki dua aliran tetapi mengikuti ajaran dari pada Buddha.
V.
Daftar
Pustaka
Arifin,
H. M, Menguak misteri ajaran Agama-agama
Besar, Jakarta: PT. Citra Mandala Pratama, 1998
Donath,
Dorothy c, pengenalan
Buddha, Yayasan Penerbit Karniya,2005
Hadiwijino, Hadiwirun , Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK-GM, 2009
Harap,
Syahrin, Sejarah Agama-agama, Jakarta:
BPK-GM, 1994
Honig,
A.G, Ilmu Agama, Jakarta: BPK-GM,
2009
Keene,
Michael, Agama Dunia, Yogyakarta:
Kanasius, 2006
Shenk,
Davit, Ilah-ilah Global, Jakarta: BPK-GM, 2006
Sutrisno,
Mudji, Budhisme Pengaruhnya dalam Abad
Modern, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003
Talhas,
T. H, Pengantar Study Ilmu Perbandingan
Agama, Jakarta: Gulura Pase, 2006
[1] T. H. Thalhas, Pengantar
Study Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Gulura Pase, 2006), 81
[2] Harun Hadiwijono, Agama Hindu
dan Buddha, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 69
[3] A. G. Honig, Ilmu Agama,
(Jakarta: BPK-GM, 2009), 216
[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu
dan Buddha, 87-89
[5] Davit W. Shenk, Ilah-ilah
Global, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 131
[6] Mudji Sutrisno, Budhisme
Pengaruhnya dalam Abad Modern, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), 33
[7] Davit W. Shenk, Ilah-ilah
Global, 131
[8] Mudji Sutrisno, Budhisme
Pengaruhnya dalam Abad Modern, 66
[9] Harun Hadiwijono, Agama Hindu
- Buddha, (Jakarta: BPK-GM, 1993),
66
[10] Ibid, 88-89
[11] Syahrin Harahap, Sejarah
Agama-agama, (Jakarta: BPK-GM, 1994), 153
[12] H. M. Arifin, Menguak misteri
ajaran Agama-agama Besar, (Jakarta: PT. Citra Mandala Pratama, 1998), 108
[14] Dorothy c. Donath, pengenalan Buddha, (Yayasan Penerbit Karniya,2005), 22
[20] MichaelKeene, Agama Dunia,
(Yogyakarta: Kanasius, 2006), 70
[24] …..Ibid, 176
No comments:
Post a Comment