Bagi Calvin, Alkitab
adalah kitab dari Allah, yang berbicara kepada-nya dalam setiap halaman dan
tujuan Allah dalam kaitan dengan keselamatannya, dan juga dengan kewajibannya
dalam setiap bidang kehidupan. Seorang Calvinis memandang otoritas dari Alkitab
sebagai hal yang mutlak. Ia tidak
menganggap Alkitab hanya sebagai sekumpulan nasihat yang bagus, yang bebas
manusia ikuti bilamana ia merasa hal itu menguntungkan dan abaikan jika ia
menginginkannya. Baginya Alkitab adalah kaidah mutlak yang harus senantiasa
ditaatinya. Alkitab memerintahkan kepadanya apa yang harus dipercayainya dan
apa yang harus dilakukannya.[1] Ada lima prinsip untuk
penafsiran Alkitab secara benar yaitu:[2]
1. Prinsip
Harafiah
Prinsip harafiah artinya
adalah memahami Kitab Suci dalam maknanya yang alamiah, makna yang biasa. Itu
berarti, mencari apakah arti umum dari kata-kata yang dipakai itu? Kalau Allah
ingin mengkomunikasikan firman-Nya kepada kita, Ia akan melakukannya dalam cara
yang paling jelas dan sederhana dalam kata-kata yang dapat dimengerti dengan
jelas. Kendatipun ada bahasa kiasan, simbolisme dan alegori (Galatia 4:19-31)
dalam kitab suci, hal pertama yang harus dicari adalah arti harafiahnya, bukan
suatu rahasia yang lebih dalam tersembunyi ataupun penafsiran yang dirohanikan.
2. Prinsip
Sejarah
Prinsip sejarah adalah
juga prinsip pokok untuk menafsirkan Alkitab. Prinsip ini paling pokok untuk
menciptakan kembali latar belakang sejararah ketika nats itu ditulis. Kalau
orang mengerti latar belakang sejarah nats Alkitab, sering nats itu akan
menafsirkan dirinya sendiri.
3. Prinsip
Tata Bahasa
Barangkali tata bahasa
bukanlah suatu pokok yang sangat kita sukai, tetapi kita memerlukannya bila
kita menafsirkan Kitab Suci. Kita tidak dapat begitu saja memetik sesuatu dari
suatu nats dan memaksanya mengatakan apa yang kita inginkan. Kita harus
mengikuti urutan kata-kata dan kalimat supaya kita tahu dengan apa yang
dikatakan oleh Firman Allah.
4. Prinsip
Sintesa
Prinsip
Sintesa digunakan oleh para reformator lama untuk menyebutkan analogia
Scriptura. Prinsip Sintesa di dasarkan pada pendapat bahwa tidak adaa bagian
Alkitab yang bertentangan dengan bagian yang lain. Satu pengarang yakni Roh
Kudus mengilhami seluruh Alkitab. Alkitab mempunyai satu kesatuan yang
mengagumkan. Bila kita mendengar penafsiran tentang suatu nats yang tidak cocok
dengan sesuatu di dalam perikop yang lain, salah satu nats keliru ditafsirkan.
Roh Kudus tidak bertentangan dengan dirinya sendiri.
5. Prinsip
Praktis
Prinsip praktis adalah
apa yang harus kita pakai untuk menerapkan Alkitab dalam kehidupan kita
sendiri. Sama seperti yang tertulis di dalam 2 Tim.3:16 berkata, “segala
tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanafaat untuk mengajar.” Semua disini
berlaku untuk hidup kita dalam berbagai cara. Hal itu bermanfaat untuk
menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran.
Secara umum ibadah
dimaknai sebagai salah satu wadah bagi penganut kepercayaan untuk menyatakan
puji-pujian, ucapan syukur, persembahan, permohonan dan melambangkan
persekutuannya dengan Tuhannya. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengungkapkan
bahwa ibadah merupakan perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang
didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[3] Dengan kata lain ibadah
tidak hanya mencakup pengakuan, tetapi lebih jauh ibadah merupakan segenap
sikap dan aktivitas yang dilakukan untuk menunjukkan rasa hormat dan
penghargaan manusia kepada penicptanya. Ibadah dalam bahasa Ibrani dinyatakan
dari bentuk dasar kata kerja abad yang berarti pekerjaan, kinerja, pelayanan,
ibadah, membawa ke luar dan penghormatan.[4] Jadi ibadah berarti
melayani, bekerja menghambakan diri sebagai suatu bentuk penghormatan dan
dilakukan tanpa paksaan (suka rela). Dalam ibadah, ditekankan cinta kasih
kepada Allah. Dalam ajaran-Nya, Yesus menyatakan bahwa mendekati Allah melalui
perantaraan ritual dan imamat bukan menjadi hal yang terpenting dalam ibadah.
Karena pada akhirnya, ibadah adalah latriea yang sebenarnya yakni suatu
pelayanan penghambaan diri kepada Allah dalam arti ibadah di Bait Suci dan juga
pelayanan kepada sesama (Luk. 10:25; Mat. 5:23; Yoh. 4:20-24; Yak.27).
Ibadah kharismatik tidak
berlangsung secara terstruktur formal atau tidak berlangsung secara mekanis.
Ibadah kharismatik memiliki unsur-unsur penyembahan, puji-pujian, ucapan syukur
dan medengarkan Firman Tuhan. Namun semua unsur-unsur ini tidak dilakukan
secara mekanis seperti yang biasa dilakukan dalam ibadah-ibadah gereja
tradisional. Menurut penulis segmen puji-pujian adalah benar-benar menjadi
penentu keberhasilan ibadah. Karena itu dalam pelaksanaan ibadah kharismatik
musik memegang peranan yang sangat dominan yang membuat puji-pujian menjadi
hidup dan dapat di resapi. Oleh sebab itu, fokus ibadah kharismatik bukanlah
mengenal Yesus lebih banyak tetapi mengalami Yesus lebih banyak.
Penulis berpendapat bahwa
berangkat dari pemahaman ibadah adalah kegiatan yang dilakukan manusia untuk
merespon segala kebaikan Allah dan kerinduan untuk bersekutu dengan Allah serta
menyampaikan pengakuan dan permohonan doa umat, maka ibadah semestinya ditata
begitu rupa untuk mendukung maksud umat beribadah. Harus disadari bahwa yang
membenarkan suatu ibadah bukanlah urut-urutan liturgi, melainkan sikap umat
yang beribadah. Bagaimana umat sebagai pribadi secara eksistensial berada
dihadapan Allah dalam beribadah. Jadi, bukan bentuk liturgi dan juga bukan
kebebasan berekspresi melainkan hubungan dengan Allah yang dilandasi hati yang
penuh kasih dan ketaatan pribadi. Ibadah akan membuat hubungan manusia semakin
dekat kepada Allah. Dalam ibadah manusia sebagai gambar Allah merefleksikan imannya.[5]
Praktek memberikan
persepuluhan telah dilakukan pada masa Abraham. Upacara kurban merupakan
praktek kuno guna menjalin hubungan dengan Allah lewat persembahan kepada imam.[6] Persembahan dikumpulkan di
rumah Tuhan (Ul. 12:5-19. 2 Taw 31:11-12, Neh 10:38, Neh 13:10-12, Mal 3:10)
untuk pemeliharaan rumah Tuhan dan penghidupan para imam. Persepuluhan
merupakan sepersepuluh bagian dari hasil yang di dapat baik dari hasil tanah
maupun ternak.[7] Sementara itu konsep persembahan dalam
Perjnajian Baru sifatnya sudah bukan lagi merupakan ritus dan kewajiban keagamaan,
tetapi merupakan buah kasih orang yang telah memperoleh karunia keselamatan
dalam Kristus. [8]
Persembahan terutama tidak menekankan perhitungan persepuluhan, tetapi
persembahan terutama dipahami sebagai ibadah. Karena itu persembahan menuntut
sikap kerohanian dan doa, baik dari dalam diri umat yang memberi maupun gereja
yang menerima. Persembahan syukur dan
persepuluhan bukan hanya bagian dari suatu rencana ekonomis untuk gereja,
melainkan tindakan iman dan penyembahan (Mal. 3:18).[9]
Berdasarkan di atas ,
penulis berpendapat bahwa persembahan tidak didasarkan pada perhitungan
persepuluhan; tetapi yang terpenting adalah didasarkan pada kasih kita kepada
Tuhan. Persembahan itu harusnya menjadi cara kita merespon kasih Tuhan, yang
diberikan dengan sukacita bukan cara kita menuntut Tuhan.
[1] H. Henry Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme,
(Surabaya: Momentum, 2009), 21-22
[2] John F. Mac Arthur, The Charismatics, (USA: Zondervan
Publishing House, 1978), 44-46
[3] Tim Penyusun, KBBI, 318
[4] Willem Van Gemeren, New
International Dictionary Of Old Testament Theology And Exegesis, (USA: United
Kingdom, 1997), 307
[5] James F.
White, Pengantar Ibadah Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2002), 15
[6] Herlinato, Teologi Sukses, 165
[7] Kevin J. Corner, Jemaat dalam
Perjanjian Baru, 583
[8] Herlianto, Teologi Sukses, 172
[9] Wilfred J. Samuel, 66