Kata Inspisari Terindah

Orang Malas Tidak Akan Menangkap Buruannya, Tetapi Orang Rajin Akan Memperoleh Harta Yang Berharga (Amsal 12 : 27) By : Bona Sumbayak
ff

Wednesday 20 May 2015

Ajaran Buddha Tentang Manusia



Ajaran Buddha Tentang Manusia
I.                   Pendahuluan
Pada sajian sebelumnya kita telah mempelajari tentang asal usul agama Buddha lahir dan kini kami penyaji akan memaparkan bagaimana ajaran-ajaran Buddha tentang manusia ketika agama Buddha telah ada. Semoga melalui pemaparan sajian ini, dapat menambah wawasan kita untuk memahami bagaimana ajaran yang ada dalam agama Buddha mengenai manusia.
II.                Pembahasan
2.1.Pengertian Manusia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia adalah mahluk yang berakal budi (mampu menguasai mahluk lain).[1] Tidak dapat disangkal bahwa menurut hakikatnya manusia adalah pribadi, mahluk individual. Tetapi juga tidak dapat disangkal bahwa ia berhubungan dengan mahluk lainnya, termasuk manusia lainnya.[2]
Manusia dalam pandangan Buddha disebut Manussa (Bahasa Pali) yang secara harfiah berarti mereka yang mempunyai suatu pikiran yang maju atau berkembang (Manno ussanam etasam).
Manussa dalam bahasa Sansekerta adalah manushya, yang berarti anak-anak manu (pikiran). Disebut demikian karena mereka menjadi beradab setelah pikirannya (manu). Dengan pengertian inilah maka manusia menurut ajaran Buddha adalah mahluk yang berusaha melepaskan dirinya dari Avijja (kebodohan) serta Moha (kegelapan bathin) sehingga mencapai kebijaksanaan (Panna).
Manussa terdiri dari jasmani (kaya) dan batin (nama) serta tinggal dielompok alam Kamasugati (alam kenikmatan nafsu indriawi)
Terdapat 4 jenis Manussa menurut agama Buddha, yaitu:
1.      Manussa Neraka: Manusia yang suka membunuh mahluk. Contohya: pemburu, penjagal, algojo. Perbuatannya selalu berdasarkan kebencian (dosa)
2.      Manussa Peta: Manusia yang tidak senang berbuat kebajikan, senang meladeni nafsu indriya. Perbuatannya selalu berdasarkan ketamakan (lobha)
3.      Manussa Tiracchana: Manusia yang tidak kenal kebajikan dan kejahatan, keras hati, sombong, senang berbicara kasar dan kotor, tidak berbakti pada orang tua, tidak akur dengan saudara. Perbuatannya selalu berdasarkan kebodohan (moha)
4.      Manussa Ulanussa: Manusia yang mengetahui yang baik daan yang buruk, yang pantas atau tidak pantas dilakukan, merasa malu (hiri) berbuat jahat dan takut (ottappa) akan akibat dari perbuatan jahat, selalu berjalan diatas kebenaran (Tri Bhumi).[3]
2.2.Ajaran Buddha Tentang Manusia
Umat Buddha memandang kemanusiaan sebagai bagian integral dari keseluruhan kosmos, dan karena itu konteks pemahaman mengenai kemanusiaan adalah saling ketergantungan dari seluruh semesta. Ada hubungan sebab akibat secara timbal-balik antara kita dan setiap keberadaan yang lain, namun tidak ada landasan tertinggi atau Allah pencipta. Umat Buddha sering kali menekankan bahwa nirwana, realitas tertinggi, adalah Samsara, berlalunya dunia penderitaan dan perubahan. Bagi agama Buddha, visi kosmis mengenai keterhubungan timbal-balik membentuk konteks kehidupan manusia. Manusia memiliki tempat istimewa didalam kosmos, karena kita sendiri dapat melarikan diri dari lingkaran kelahiran kembali dan penderitaan. Meskipun manusia memiliki kesempatan dan tanggung jawab istimewa, secara intrinsik ia tidak memiliki nilai yang lebih tinggi ketimbang keberadaan yang lain didalam kosmos.[4]
            Menurut ajaran Buddha, manusia adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu:[5]
1.      Rupakhanda (Kegemaran atau wujud atau bentuk), adalah semua yang terdapat dalam mahluk yang masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan dibayangkan oleh indera. Rupakhanda adalah hal-hal yang berhubungan dengan lima indera dengan obyek, seperti obyek yang terlihat, terdengar, terasa, tercium, ataupun tersentuh.
2.      Vedanakhandha (Kegemaran akan perasaan), adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan lima indera manusia dengan dunia luar, baik perasaan senang, susah ataupun netral.
3.      Sannakhandha, adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut identitas indera dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam bentuk suara, bau-bauan, cita rasa, sentuhan jasmani dan pikiran.
4.      Sankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran.
5.      Vinnanakhandha (Kegemaran akan kesadaran), adalah kegemaran terhadap reaksi atau jawaban yang berdasarkan pada salah satu dari keenam indera dengan obyek dari indera yang bersangkutan.
2.3.Ajaran Agama Buddha
2.3.1.      Ajaran Tentang Buddha
Sudah dikemukakan, bahwa bagi kepercayaan Buddhis hidup sang Buddha sebagai perorangan, sebagai manusia Siddharta atau Gautama atau Sakyamuni tidaklah penting. Buddha adalah sebuah “gelar”, suatu “jabatan” atau seorang “tokoh” yang sudah pernah menjelma pada seseorang.[6] Siddharta hidup dalam lingkungan masyarakat Hindu, pandangan-pandangannya yang palIng mendasar bersumber pada ajaran-ajaran filsafat Hindu. Ajaran-ajaran tentang roda kelahiran kembali dan hukum karma baginya merupakan pernyataan tentang masalah pokok dari keberadaan manusia. Walaupun ia dilingkari oleh roda kelahiran kembali, namun Buddha mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mengatasi masalah penderitaan tersebut tanpa membebaskan dirinya dan siklus kelahiran kembali dan ini tidak dapat terlaksana kembali kecuali dengan melenyapkan nafsunya.[7] Sejak wafatnya Siddharta banyaklah ilmu-ilmu filsafat dan pengajaran hikmat berkembang. Ajaran Buddha boleh dikatakan seluruhnya terdesak dari India, tetapi diluar India ajaran itu tidak hanya bertahan, bahkan didalam zaman kita ini agaknya ada kemungkinan besar lagi akan berkembang dan masuk ke India juga. Sekarangpun Buddha masih turut berbicara juga, lama sesudah ia wafat.[8]
2.3.2.      Ajaran Tentang Dharma atau Dhamma
Yang disebut Dharma ialah doktrin atau pokok ajaran. Inti ajaran agama Buddha dirumuskan didalam empat kebenaran yang mulia atau empat aryasatyani, yaitu ajaran yang diajarkan Buddha Gautama di Benares, sesudah ia mendapat pencerahan.[9]
Dharma menurt ajaran Buddha merupakan ajaran yang tegas dan jelas yang benar-benar menunjukkan jalan kepada keselamatan terakhir, tetapi ini menelantarkan orang awam tanpa pertolongan Tuhan untuk menghadapi peradilannya didunia ini. Dharma ditujukan kepada pemecahan terakhir mengenai masalah keberadaan manusia sehari-hari, sedangkan roh-roh dan dewa-dewa itu berbicara tentang persoalan-persoalan manusia sehari-hari.[10]
Aryastyani atau kebenaran yang mulia itu terdiri dari empat kata, yaitu: Dukha, Samudaya, Nirodha, dan Marga.
Yang disebut Dukha ialah penderitaan. Hidup adalah menderita. Kelahiran adalah penderitaan, umur tua adalah penderitaan, mati adalah penderitaan, disatukan dengan yang tidak dikasihi adalah penderitaan, tidak mencapai yang diiginkan adalah penderitaan: dengan singkat, kelima pendekatan pada dunia ini adalah penderitaan.
Yang dimaksud dengan Samudaya adalah sebab. Penderitaan ada sebabnya. Yang menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah keinginan pada hidup, dengan disertai nafsu yang mencari kepuasan disana-sini, yaitu kehausan pada kesenangan, kehausan pada yang ada, kehausan pada kekuasaan.
Yang dimaksud dengan Nirodha ialah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan secara sempurna, pembuangan keinginan itu, penyangkalan terhadapnya, pemisahannya dari dirinya, dan tidak memberi tempat kepadanya.
Yang dimaksud dengan Marga ialah jalan kelepasan. Jalan menuju pemadaman penderitaan ada delapan, yaitu: percaya yang benar, maksud yang benar, perbuatan yang benar, kata-kata yang benar, hidup yang benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, dan semadi yang benar.
Demikianlah yang dimaksud dengan empat Aryasatyani atau empat kebenaran yang mulia. Pokok ajaran Buddha Gautama ialah, bahwa hidup adalah  menderita. Segala macam kerugian jasmani maupun rohani adalah penderitaan. Penderitaan ini disebabkan karena kehausan.
Untuk menerangkan hal ini  diajarkan ada yang disebut Pratitya Samutpada, artinya, pokok permulaan yang bergantungan. Pokok permulaan sesuatu bergantung pada pokok permulaan yang mendahuluinya, dan pokok ini bergantung lagi pada pokok permulaan yang mendahuluinya lagi, demikian seterusnya. Seluruhnya diajarkan adanya 12 pokok permulaan. Pratitya Samutpada dirumuskan demikian:
Menjadi tua dan mati (jaramaranam) bergantung pada  kelahiran (jati), kelahiran bergantung pada hidup atau eksistensi yang lampau bergantung pada pengikatan pada makan dan minum dan sebagainya (upadana), pengikatan bergantung pada kehausan (tanha), kehausan bergantung pada emosi atau rencana (wedana), emosi bergantung pada sentuhan atau kontak (Sparsa), sentuhan bergantung pada indera dengan sasarannya  (sadayatana), indera dan sasarannya bergantung pada roh dan benda atau keadaan batin dan lahir (namarupa), roh dan benda bergantung pada kesadaran (wijuana), kesadaran bergantung pada penafsiran atau penggambaran yang salah (sanskara), penafsiran yang salah bergantung pada ketidaktahuan (awidya).
Ketidaktahuan ini adalah semacam ketidaktahuan yang kosmis, ketidaktahuan yang menjadikan orang dikaburkan pandangannya. Ketidaktahuan ini mengenai tabiat asasi alam semesta, yang memiliki tiga ciri yang mencolok, yaitu:
1.      Bahwa alam semesta penuh dengan penderitaan (Dukkha)
2.      Bahwa alam semesta adalah fana (anitya atau anicca)
3.      Bahwa tiada jiwa didalam dunia ini (anatman atau anatta)
Doktrin agama Buddha mengajarkan bahwa didalam dunia ini tiada sesuatu yang kekal (anitya). Semuanya adalah fana. Hidup adalah suatu rentetan yang terdiri dari hal-hal yang terjadi untuk sesaat dan yang sesudah terjadi segera tiada lagi. Hidup ini adalah suatu arus yang mengalir tanpa awal, tanpa sebab pertama, tanpa sebab akhir.
Dalam agama Buddha juga diajarkan tentang tiada jiwa (anatman). Ajaran ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran tentang anitya, yang mengajarkan bahwa tiada sesuatu yang tidak berubah. Jika tiada sesuatu yang tidak berubah maka juga tiada jiwa yang kekal. Seluruh keadaan manusia dapat diungkapkan dengan nama-rupa, sebutan, dan bentuk. Yang dimaksud nama adalah tabiat manusia, sedang yang dimaksud dengan rupa adalah jasmaniahnya. Manusia adalah suatu kesatuan yang terdiri dari tabiat batin dan lahir, segi batin, dan segi lahir.
Demikianlah manusia dipandang, sehingga dapat dikatakan bahwa hidup adalah penderitaan, bahwa segala sesuatu didalam dunia adalah fana atau tidak tetap, dan bahwa tiada jiwa yang ada dibelakang segala sesuatu. Dalam agama Buddha dalam hidup juga diajarkan tentang karma yang menyebabkan kelahiran kembali. Tetapi yang dilahirkan kembali bukanlah jiwa, tetapi yang dilahirkan kembali ialah watak atau sifat-sifat manusia. Jadi kelahiran kembali ialah perpindahan tenaga terus menerus melalui bentuk-bentuk yang tiada batasnya, maka yang dilahirkan kembali bukan pribadi manusia, melainkan sifat atau wataknya.
Karena adanya karma maka dalam agama Buddha juga mengajarkan tentang jalan kelepasan, yang terdiri dari pemadaman keinginan (nirodha). Agar orang dapat lepas dari penderitaan, ia harus melalui jalan yang terdiri dari 8 tingkatan atau 8 tahap, yaitu percaya yang benar, maksud yang benar, kata-kata yang benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, dan semadi yang benar. Delapan tingkatan ini dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Sraddha atau iman, yang terdiri dari tingkat pertama, Sila yang terdiri dari tingkat kedua hingga tingkat ketujuh, Semadi yang terdiri dari tingkat kedelapan.
Sraddha atau iman, terdiri dari “percaya yang benar”. Kepercayaan yang salah menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang salah. Oleh karena itu, agar kepercayaan yang salah dapat ditiadakan, diperlukan pengetahuan yang benar. Sila, semua orang harus berusaha mencapai moral yang tinggi, dimana melalui ajaran pada tingkat kedua hingga tingkat ketujuh menekankan tentang moral. Sesudah itu orang dapat masuk kejalan terakhir, yatu Semadi. Didalam persiapannya orang harus berusaha supaya perhatianya jangan sampai terpecah belah. Untuk itu harus menggunakan alat-alat seperti berikut: renungan manusia harus banyak bersedekah, merenungkan bahwa makan-minum membawa banyak kesusahan, merenungkan kebajikan dan kebesaran Buddha, Dharma, dan Sangha, merenungkan bahwa jenazah adalah bukti kefanaan dan jika itu telah direnungkan semuanya, ia harus mengmbil tempat duduk ditempat yang sunyi, mengatur nafasnya, serta merenungkan 4 Bhawana, yaitu:
1.      Metta : persahabatan yang universal
2.      Karuna : belas kasih yang universal
3.      Mudita : kesenangan dalam keuntungan dan kesenangan akan segala sesuatu
4.      Upakkha : tidak tergerak oleh apa saja yang menguntungkan diri sendiri, teman, musuh, dan sebagainya
Sesudah persiapan  itu masuklah orang kedalam semadi  yang sebenarnya, yang terdiri dari 4 tingkatan. Pertama orang harus memusatkan pikirannya pada suatu sasaran, sesudah itu  harus melepaskan rohnya dari segala uraian dan pertimbangan akan sasaran itu, kemudian sekalipun ia masih melihat sasaran itu, namun ia tidak lagi digirangkan atau disusahkan, setelah itu, ia akan masuk pada tahap terakhir yaitu bahwa Sukha dan Dukha lenyap semuanya. Delapan macam jalan yang diajarkan didalam bagian aryasatyani yang keempat ini sering disebut menjadi 4 tingkatan, atau 4 pangkat, yaitu:
1.      Srotapana atau pertobatan, yaitu tingkatan orang yang sudah ditempatkan pada arus yang benar, yang disebabkan karena pergaulannya baik, karena mendengarkan hukum, karena berbuat baik, dan sebagainya
2.      Sardagamin, yaitu tingkatan orang yang masih harus dilahirkan kembali sekali lagi. Sesudah itu ia akan mencapai kelepasan yang sempurna.
3.      Anagamini, yaitu tingkatan orang yang sudah tidak akan dilahirkan kembali dan yang sudah mendapat kelepasan didalam hidup sekarang ini.
4.      Arhat, yaitu tingkatan orang yang sudah bebas dari ssegala keinginan untuk dilahirkan kembali, baik didalam dunia yang berbentuk, maupun didalam dunia yang tidak berbentuk.
Kelepasan didalam agama Buddha diungkapkan dengan berbagai macam ungkapan, umpamanya Wimoksha atau Wimukti, yang berarti keselamatan atau kelepasan. Ungkapan yang paling terkenal ialah Nirwana. Secara harfiah kata nirwana berarti pemadaman atau pendinginan. Yang dipadamkan ialah keinginan, api nafsu, kebencian dan sebagainya. Sekalipun demikian sukar sekali untuk merumuskan nirwana. Dikatakan bahwa nirwana adalah suatu kebahagiaan yang tanpa pengamatan, tanpa perasaan dengan sadar. Disitu ketidaktenangan hidup telah berakhir, sehingga ada kebahagiaan yang pasti. Berdasarkan hal itu biasanya nirwana dibedakan dalam 2 macam, yaitu Uphadisesa (status orang yang sudah mendapat kelepasan, tetapi yang hidup lahirnya masih terus berjalan) dan Anuphadisesa (status orang yang mendapat kelepasan yang hidup lahirnya sudah tak ada lagi). Jadi Anuphadisesa dicapai sesudah mati.[11]
2.3.3.      Ajaran Tentang Sangha[12]
Pengikut agama Buddha dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: para biksu atau para rahib dan kaum awam. Inti masyarakat Buddhis dalam arti yang sebenarnya, sebetulnya hanya terdiri dari para rahib. Sebab hanya hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi. Seluruh persekutuan para rahib disebut Sangha atau jemaat.
      Hidup kerahiban diatur didalam kitab Winaya Pitaka. Dari kitab ini kita dapat mengetahui bahwa hidup para rahib ditandai oleh 3 hal, yaitu:
1.      Kemiskinan
Ia tidak diperkenankan memiliki sesuatu, kecuali jubahnya, yang harus dibuat dari kain lampin, yang didapatkan dari sana-sini, selanjutnya tempurung sebagai alat mengemis, dan sebuah jarum untuk menjarumi jubahnya, sebuah tasbih, sebuah pisau cukur untuk mencukur rambutnya, dan sebuah penyaring air untuk menyaring air minumnya, agar dibersihkan dari binatang-binatang kecil
2.      Hidup membujang
Ia tidak diperkenankan berhubungan dengan wanita. Sebab hubungan seks dipandang sebagai sumber dosa. Dosa yang terbesar, yang menjadikan seorang rahib dikeluarkan dari sangha ialah hidup mesum. Oleh karena itu ada banyak sekali peringatan, supaya seorang rahib menjauhi wanita
3.      Ahimsa (tanpa perkosaan)
Dalam praktiknya hal ini berarti bahwa ia tidak diperkenankan membunuh atau melukai mahluk lain. Empat dosa besar yang harus dijauhi rahib, ialah: hidup mesum, mencuri, membunuh mahluk yang hidup, dan meninggikan diri karena kecakapannya membuat mujizat. Kesusilaan rahib dicantumkan didalam dasasila, yang dalam praktiknya mewujudkan sepuluh larangan, yaitu larangan untuk membunuh, mencuri, hidup mesum, berdusta, minum-minuman keras, makan pada waktu terlarang, mengunjungi tempat keramaian duniawi, bersolek, tidur pada tempat tidur yang enak, dan menerima hadiah
Pengikut Buddha yang kedua ialah para kaum awam. Mereka adalah orang-orang yang mengakui Buddha sebagai pemimpin keagamaannya, yang menerima ajarannya, namun tetap hidup didalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakikatnya para kaum awam tak dapat mencapai nirwana didalam hidupnya. Sekalipun demikian kedudukan mereka adalah penting sekali. Mereka sudah ada pada awal jalan yang menuju pada kelepasan. Sebab mereka sudah percaya kepada Buddha dan ajarannya. Sekalipun belum sempurna, hal itu sudah berarti juga melepaskan diri dari dunia serta memalingkan pandangannya dari dunia yang tampak kepada dunia yang tak tampak, sekalipun belum juga mencapainya. Bagaimanapun mereka akan mendapat pahalanya sekalipun belum pahala yang tertinggi. Pahala itu bisa didapatkannya dengan bersedekah, baik kepada sesamanya, maupun kepada rahib. Mereka dapat menetapi pancasila atau lima larangan yang pertama dari dasasila yang diharuskan bagi para rahib. Pancasila itu ialah: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak hidup mesum (dalam arti tidak berzinah), tidak berdusta, tidak minum-minuman keras.  Mereka dapat belajar sabar dan bersahabat dengan sesamanya.
Sekalipun semuanya itu belum dapat membawa orang kepada nirwana, namun dapat menjadikan mereka dilahirkan kembali di dalam dunia yang lebih baik daripada yang sekarang mereka alami. Demikianlah keadaan para pengikut Buddha.
III.             Kesimpulan
Dalam agama Buddha manusia adalah mahluk yang berusaha melepaskan dirinya dari Avijja (kebodohan) serta Moha (kegelapan bathin) sehingga mencapai kebijaksanaan (Panna). Menurut ajaran Buddha mereka tidak mengakui adanya jiwa, sebab segala sesuatu adalah anatta atau anatman, bukan pribadi. Yang dianggap pribadi pada manusia sebenarnya adalah kelompok nama dan rupa, artinya suatu kelompok unsur-unsur batiniah dan lahiriah, yang dapat dibedakan dalam lima skandha. Maksud ajaran Buddha ini ialah menunjukkan bahwa pada manusia tiada sesuatupun yang permanen atau tetap. Yang ada pada manusia ialah gerak yang terus menerus, tiada hentinya.
Dalam agama Buddha tidak ada dijelaskan mengenai asal usul manusia, melainkan bagaimana mereka dapat hidup mencapai nirwana sebagai penuntun untuk masuk kesitu. Dalam agama ini tidak ada dijelaskan mengenai pencipta sehingga manusia tidak memiliki tugas kepada sang ilahi. Buddha tidak harus menerangkan ala mini, tetapi bagaimana mereka lepas dari penderitaan yang membelenggunya.
Manusia adalah suatu sosok dalam proses menjadi. Kehidupan manusia bukanlah suatu apapun melainkan suatu manifestasi tentang menjadi, punah dan berakhir. Sehingga dipahami manusia baru akan lahir kembali dan itu tidak akan sama dengan yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Jadi dapat dikatakan agama Buddha tidak dapat dilepaskan dengan penggeraknya dalam mencapai nirwana. Jadi manusia bukanlah hasil ciptaan melainkan suatu sebab akibat yang terus menerus sehingga terbentuklah manusia. Adanya manusia adalah proses cahaya yang nantinya akan lahir dalam suatu keadaan perubahan sehingga terbentuklah manusia. Manusia dipengaruhi sifat keTuhanan dan sifat jahat.



IV.              Refleksi Teologis
 Kejadian 2:7 “ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup kedalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup”.
Ayat ini menunjukkan, bahwa manusia bukanlah berada dengan sendirinya, melainkan bahwa ada yang menciptakannya, yaitu Tuhan Allah sendiri. Tuhan Allahlah yang menciptakan manusia, yang semula belum ada, sehingga menjadi ada. Jadi adanya manusia karena kehendak Allah (Bnd. Kej. 1:26 yang menyebutkan hal putusan Allah untuk menciptakan manusia). Manusia bukanlah keturunan Tuhan Allah, ia juga bukan mengalir keluar daripada Allah, tetapi ia diciptakan oleh Allah. Manusia diciptakan Allah dari debu tanah, yang kedalamnya dihembuskan nafas hidup. Dalam hal ini arti debu tanah ialah tubuh manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa tubuh atau badan menampakkan pribadi manusia dalam keseluruhannya dari segi yang lahir. Manusia tidak mungkin berada tanpa tubuh. Jiwa atau nyawa adalah ungkapan yang digunakan  untuk menyebutkan manusia sebagai mahluk yang bernafsu, berkehendak, berfikir dan sebagainya. Sehingga jiwa menampakkan bahwa manusia dalam keseluruhannya, dari segi yang batin. Badan bukanlah suatu substansi atau zat yang berdiri sendiri, sebaliknya jiwa atau nyawa atau hati atau roh juga bukanlah substansi yang bediri sendiri. Badan mengungkapkan manusia seutuhnya, jiwa atau nyawa mengungkapkan manusia seutuhnya. Jadi, Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa manusia bersifat fana, dapat mati, terbatas umurnya.[13]
Jadi yang dipesankan disini ialah karena kita ini merupakan ciptaan Allah, maka hendaklah kita menjauhi segala kejahatan, mengejar keadilan, kesetian, kasih, kesabaran, dan kelembutan (1 Timotius 6:11)
V.                 Daftar Pustaka
Hadiwijono Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2014
Honig, A. G., Ilmu Agama, Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2012
Hadiwijono Harun, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2010
……, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: YKBK, 1999
Sutrisno Mudji, Manusia dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya, Yogyakarta:kanisius, 1993
Kumala Albert, “Manusia” dalam Ensiklopedia Praktis Kerukunan Umat Beragama (ed) Ahmad Rivai Harahap, dkk Medan: Perdana Publhising, 2012
D. Lefebure Leo, Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2006
Rekaman catatan akademik Novaria Situmeang, I-C Teologi
Eugene Donal, Agama dan Modernisasi Politik, Jakarta: CV. Rajawali, 1985



[1] ……, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: YKBK, 1999), 629
[2] Mudji Sutrisno, Manusia dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya, (Yogyakarta:kanisius, 1993), 33
[3] Albert Kumala, “Manusia” dalam Ensiklopedia Praktis Kerukunan Umat Beragama (ed) Ahmad Rivai Harahap, dkk (Medan: Perdana Publhising, 2012), 389-390
[4] Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2006), 241-242
[5] Rekaman Catatan Akademik Novaria Situmeang, I-C Teologi
[6] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010), 69
[7] Donal Eugene, Agama dan Modernisasi Politik, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 57
[8] A. G. Honig, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2012), 188
[9] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2010), 70-71
[10] Donal Eugene, Agama dan Modernisasi Politik, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 59-60
[11] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2010),  71-82
[12] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, 83-85
[13] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2014), 173-181

No comments:

Post a Comment