MARI MENGENAL
Suku simalungun
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
Nama :BONA
SOGI SUMBAYAK
Ting/Jur :
I b/Theologia
NIM :14. 01.1108
Dosen :
i.
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis
panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyusun karya tulisini dengan tepat pada
waktunya. Karya tulis ini membahas tentang keberadaan suku simalungun dan
budaya simalaungun itu sendiri
Penulis menulis judul
ini karena penulis adalah orang simalungun dan ingin mengenalakan sedikit
banyaknya budaya simalungun dan yang paling utama karena penulis cinta suku
simalungun. Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis banyak mendapat tantangan
dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya tulis ini.
Penulis menyadari bahwa
dalam menyusun karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis
sangat mengharapakan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya
karya tulis ini. Penulis berharap semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi saudara/saudari
pembaca .
Medan, November 2014
Penulis
I.
Arti dan Makna Kata Simalungun
Arti kata Simalungun masih sering menjadi bahan
perbincangan yang hangat. D.Kenan Purba dan J.D. Poerba dalam bukunya yang
berjudul Sejarah Simalungun yang
mencantumkan beberapa pendapat
berkaitan dengan nama Simalungun. Pendapat Drs. Urich H. Damanik: Simalungun
berasal dari kata si-malungun. Secara
etimologis ia menerangkan bahwa Si sebagai
kata penunjuk, Ma adalah awalan dan Lungun yang artinya sunyi atau rindu. Malungun berarti yang sunyi atau yang dirindui. T.Ms.
Purbaraya menjelaskan bahwa Simalungun berasal dari kata silou-ma-lungun. Ia menghubungkan nama Simalungun dengan sejarah
runtuhnya kerajaan Silou Tua sebagai lanjutan dari Kerajan Nagur. T.B.A Purba
Tambak menjelaskan bahwa Simalungun berasal dari kata Simou dan lungun berarti
sunyi atau lengang. Kesunyian atau kelengangan itu disebabkan oleh keadaan
wilayah yang dulunya terdiri dari hutan belantara dan penduduknya hampir tidak
kelihatan. D. Kenan Purba SH berpendapat bahwa kata Simalungu berasal dari kata
sim-lungun. Sima berarti sisa dan lungun berarti kesedihan, maka
Simalungun artinya sisa dari kesedihan.
Asal kata Simalungun berasal dari bahasa
Simalungun. Pokok kata Simalungun ialah lungun artinya sunyi atau sepi.
Kata-kata ini dipergunakan pada umumnya diwaktu mengalami sendiri suasana yang
sepi. Bila pengalaman itu diceritakan ditempat lain pada orang lain, menurut
tata bahasa Simalungun ditambah dengang kata “ma” lengkapnya disebut “Malungun”. Kata tunjuk lungun ialah “ma” berarti kata penunjuk
bagi suatu yang keadaanya sunyi atau sepi. Maksudnya semula untuk menerangkan
situasi daerah yang sunyi sepi tersebut.dalam perkembangan tata bahasa
Simalungun, bila kata sebutan tentang sesuatu benda atau wilayah menjadi nama,
biasanya ditambah dengan “si”.
Umpamanya si Anu, si bergabung menjadi suku kata, seperti Si Marjarunjung
(Simarjarunjung). Dalam hal ini sebutan malungun
disebut Simalungun waktu bercerita terhadap orang lain. Malungun memberi dua pengertian yaitu:
1. Suatu perasaan terhadap seseorang
Sampai sekarang telah muncul beberapa pendapat
tentang asal-usul istilah Simalungun
terutama dari putra daerah Simalungun sendiri. Namun demikian, belum ada
keseragaman pendapat mengenai hal tersebut. Yang jelas, istilah “Simalungun”
dipergunakan untuk menunjukkan salah satu puak dari Suku-bangsa Batak yang
berdiam di sekitar sebelah Timur Danau Toba; yang mempunyai bahasa daerah
sendiri, kebudayaan daerah sendiri, aksara sendiri dan kekhususan-kekhususan
lainnya. Karena kediamannya sebelah Timur Danau Toba maka orang Barat sering
menyebutnya Simalungun sebagai Batak Timur. Selain itu ia disebut juga
Simalungun, Simelungun, Sebelungun. Namun orang Simalungun sendiri menyebut
dirinya Simalungun. Keragaman penyebutan yang demikian ini menyebabkan
Pemerintah Daerah Simalungun melalui lembaga DPRD telah memutuskan bahwa
Kabupaten yang ibukotanya Pematang Siantar tersebut adalah bernama KABUPATEN
SIMALUNGUN. Sebelumnya peggunaan kata Simalugun memiliki beberapa pendapat.
Namun pada akhirnya Pemerintah Daerah Simalungun melalui lembaga DPRD
menetapkan ibukota Pematang Siantar adalah Kabupaten Simalungun. Akar Kata
Simalungun adalah lungun artinya
sunyi atau sepi. Kata-kata ini dipergunakan pada umumnya di aktu mengalami
suasana yang sepi dan juga sebagai pengertian atas suatu keadaan tempat atau
daerah. Sebab wilayah itu dulunya terdiri dari hutan belantara dan penduduknya
hampir tidak kelihatan.
II.
Gambaran Wilayah Geografis Simalungun
Kabupaten Simalungun terletak anatara 02036’-0301’
Lintang utara, dan berbatasan dengan lima kabupaten tetangga yaitu; Kabupaten
Serdang Bedagei, Kabupaten Karo, Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir dan
Kabupaten Asahan. Wilayah Simalungun mempunyai luas 4.386.6 km2 atau 6,12% dari
luas wilayah provinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduknya sampai pada tahun 2008
adalah sebanyak 841.189 jiwa, yang terdiri dari 31 Kecamatan dan 202 desa.[2][5]
Simalungun membentuk mulai titik
batas di puncak bukit hingga berangsur-angsur menurun dan menyentuh pantai
timur Danau Toba. Beberapa gunung seperti dolok Mardinding, Marpalatuk,
Sisae-sae, Batu loting dan Simanuk-manuk merupakan gunung-gunung yang memisah
Simalungun dari wilayah Tapanuli dan Asahan. Sementara di Gunung Sipiso-piso,
Singgalang dan Gunung Simbolon menjadi tapal batas antara wilayah Simalungun
dan Karo. Beberapa di antaranya adalah gunung Singgalang dan gunung Simbolon
yang dianggap suci oleh masyarakat hingga kini.Dengan demikian batas-batas
Geografis wilayah Simalungun adalah sebelah Utara dengan Deli Serdang, sebelah
Timur dengan Asahan, sebelah Barat dengan tanah Karo dan sebelah Selatan dengan
Tapanuli Utara. Letak gunung pada umumnya di atas pegunungan Simanuk-manuk
yaitu gunung Sijambak Bahir (2245 m), Gunung Simarjarunjung (2100 m), dan
Gunung Singgalang Seribudolok, Gunung Sipiso-piso di perbatasan Simalungun-
Karo dan Gunung Simbolon (2125 m) sekitar Raya. Sungai yang terbesar adalah Bah
Bolon mengalir dari pegunungan Simanuk-manuk melalui wilayah Sidamanik lintas
di tengah-tengah kota Pematang Siantar terus ke Perdagangan bertemu dengan Bah
Tongguran, bermuara di laut Selat Malaka (Kuala Tanjung).
III.
Filosifi Hidup Orang Simalungun
Budaya terdiri dari adat istiadat. Berdasarkan
hasil seminar budaya yang diadakan, maka ditetapkan dasar budaya Simalungun
adalah habonaron do bona yang artinya
kebenaran adalah pangkal. Dan filosofi ini telah dijadikan sebagai motto
lambang kabupaten Simalungun. Begitu juga dengan “Sapangambei manoktok hitei” yang artinya adalah bersama-sama
membangun jembatan atau gotong royong/bahu-membahu untuk membangun. Falsafah
budaya Simalungun tercermin pada “tolu
sahundulan lima saodoran”. Tolu
sahundulan artinya tiga pada satu tempat yaitu, sanina, tondong, boru.
Semboyan tolusahundulan sama artinya
dengan sanina pangalopan riah, tondong
pangalopan podah, boru pangalopan gogoh. Marsanina ningon pakkei, manat. Martondong ningon hormat, sombah dan
marboru ningon elek, pandei.[3][12] (pihak yang semarga sebagai
tempat bermusyarah, pihak marga pemberi istri sebagai pemberi Nasehat, kepada
teman semarga harus sopan, berhati-hati. Kepada pihak marga pemberi istri harus
tetap hormat dan kepada pihak kelompok marga lelaki yang mengawini putri marga
pemberi istri harus berpengertian)
Ada suatu pemahaman yang sangat kental pada
keyakinan leluhur orang Simalungun, bahwa Naibata
Maha Kuasa, Maha adil dan Maha benar. Manusia juga dituntut untuk besikap
benar dan segala sesuatu harus didasarkan kepada hal yang benar. Itulah prinsip
dasar dari filosfi habonaron do bona. Arti harafiah habonaron do bona
adalah kebenaran adalah dasar dari segla sesuatu yaitu mereka
Menganut aliran pemikiran dan
kepercayaan bahwa segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran, sehingga baik
bagi semua pihak, di mana mereka dituntut senantiasa harus menjaga kejujurannya
di hadapan semua manusia. Secara umum prinsip habonaron do bona menanamkan kehati-hatian, hidup bijaksana, matang
dalam berencana sehingga tidak terjadi penyesalan dikemudian hari.
Menurut MD Purba sebagai penjabaran habonaron do bona dapat disebutkan dalam
8 nilai kebenaran yang dianut pada saat itu yakni:
1. Berpandangan yang benar
2. Berencana (berniat) yang benar
3. Berbicara yang benar
4. Bekerja yang benar
5. Berpenghidupan (berprinsip) yang benar
6. Berusaha (berkarya) yang benar
7. Berperhatian
(berkonsentrasi) yang benar
8. Berpikiran yang benar.
Habonaron do bona merupakan salah satu dasar dari budaya Simalungun. Ungkapan tersebut telah
dijadikan sebagai motto lambang Kabupaten Simalungun. Arti hanonaron do bona adalah pangkal. Atau dapat disebut Kebenaran
adalah dasar dari manusia untuk bertindak. Manusia dituntut untuk selalu
bersikap berhati-hati dalam ucapan dan perbuatan, bersiakap bijaksana dan
selalu mengutamakan kebenaran dalam setiap hal. Dan habonaron do bona ini tercermin dalam tolu sahundulan lima saodoran.
IV.
Sistem Kekerabatan Orang Simalungun
Orang Simalungun
membubuhkan nama marga Bapaknya
dibelakang nama kecilnya. Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi
orang-orang yang mempunyai kakek bersama, atau orang yang percaya bahwa mereka
adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut perhitungan garis
patrilenial. Anggota dari satu marga dilarang kawin. Semua orang yang semarga
adalah orang yang berkerabat dan dengan orang yang berlainan marga juga bisa
dicari kaitan kekerabatan, karena mungkin saja dia mempunyai hubungan
kekerabatan dengan bibi, paman, saudara lain melalui hubungan perkawinan.
Hubungan kekerabatan
menyangkut jauh dekatnya relasi seseorang (individu) dengan orang lain. Untuk
menentukan jauh dekatnya seseorang dalam kekerabatan menurut adat-istiadat
Simalungun kriteria yang digunakan adalah garis keturuna pihak laki-laki (ayah)
dan pertalian “darah” akibat perkawinan (dari pihak perempuan). Di samping itu
masih ada hubungan kekerabatan yang diperhitungkan melalui “keibuan” (bilineal discent) karena kelompok
keluarga ibu menduduki posisi sangat penting sebagai tempat meminta berkat.
Oleh karena itu terdapat hubungan erat antara kelompok ayah dengan kelompok
keluarga ibu. Dengan system kekerabatan seperti itu maka kelompok kekerabatan
orang Simalungun dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: kelompok keluarga inti
(Suami, istri dan anak-anak yang belum kawin), kelompok di luar keluarga inti
(kerabat ayah atau kerabat ibu), dan kelompok keluarga luas (hubunguan
kekerabatan akibat adanya perkawinan antara suami dan istri yang menjadi
kelompok keluarga yang lebih besar merupakan gabungan kerabat suami dan istri).
Masyarakat Simalungun
memiliki susunan lembaga adat yang terkenal dalam nama tolu shundulan dan lima
saodoran, kelompok yang tergolong dalam tolu
sahundulan adalah tondong (kelompok kerabat istri), sanina (sanak saudara satu
keturunan/marga), dan anak boru (pihak
ipar). Kelompok yang tergolong dalam lima
saodoran adalah tondong, sanina, anak boru, tondong ni tondong, (kelompok pemberi
istri kepada tondong) anak boru mintori (kelompok boru dari
pihak ipar). Dalam upacara adat, orang Simalungun dengan sendirinya akan
mengerti di mana seseorang mesti duduk atau menempatkan diri. Demikian juga
dalam kehidupan sehari-hari orang Simalungun yang sudah dewasa akan mengerti
kewajiban atau sikap seperti apa yang harus dibuat pada kerabat sesuai dengan
posisi masing-masing
V.
Kepercayaan Asli Orang Simalungun
Pada umumnya agama suku meyakini bahwa roh-roh itu
merupakan mahkluk-mahkluk yang tidak bisa dilihat tetapi pada hal-hal tertentu
kadang-kadang dapat dilihat memiliki tubuh sendiri. Orang-orang suku Timur
Tengah mempercayai bahwa jin-jin adalah makluk supranatural yang dapat mengambil
rupa manusia atau binatang. Umumnya dipercayai bahwa ada tiga sifat roh yang
dikenal agama suku antara lain: roh yang bersifat baik roh yang bersifat jahat
dan roh yang memiliki keduanya sifat yang baik dan jahat. Baik roh yang berasal
dari roh-roh orang yang baik ketika masa hidupnya. Suku Batak juga menghormati
roh-roh mati bukan saja melalui pemberian makanan yang enak buat roh-roh itu,
tetapi juga dengan membangun buat mereka monumen, kuburan yang sangat mahal
sekali, yang disebut dengan tugu. Jadi hidup ketergantungan antara orang yang
mati dan yang hidup sangat penting sekali bagi masyarakat suku dan itu sebabnya
orang yang tidak memiliki keturunan sangat takut sekali kepada kematian .
karena nantinya rohnya tidak akan dihormati oleh orang –orang yang hidup,
khususnya karena ketiadaan keturunan.
Menurut Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa
penduduk daerah Simalungun, sebagian besar belum beragama. Yang dimaksud dengan
agama di sini ialah kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Esa atau Monotheisme,
seperti agama Islam dan Kristen. menurut dugaan sampai saat ini, dapatlah
dikatakan bahwa penduduk yang telah beragama ada kira-kira setengah dari jumlah
penduduk, yaitu sebagian memeluk agama Kristen dan sebagian lagi memeluk agama
Islam.Demikianlah kebanyakan dari penduduk masih Percaya akan roh nenek moyang,
pohon-pohon keramat, tempat-tempat keramat dan Parsinumbahan menurut istilah di tempat itu.
Dengan perkataan lain sebagian besar dari penduduk
masih Parbegu. Setelah kita merdeka, maka rakyat
kian hari kian terbuka kearah kemajuan disegala lapangan inklusif agama.
Sebagai akibatnya dari hari ke hari penduduk yang tadinya parbegu berangsur –angsur memeluk agama yang ber-Tuhan satu, yaitu
Kristen dan Islam.
Jahutar Damanik menjelaskan bahwa di wilayah Simalugun
masih terlihat sisa ajaran ibadat Baal, terutama bagi datu-datu dalam upacara,
hal ini misalnya tampak dalam membuat suatu parsilih
dari bahan batang pisang yang dibentuk sedemikian rupa, mirip bentuk manusia. Parsilih dianggap mempunyai tengag gaib
(roh) atas panggilan mantera datu. Ada
sebuah keyakinan bahwa tenaga gaib berkuasa mengelakkan kesukaran, menyembuhkan
penyakit dan mendatangkan rejeki bagi keluarga.. Dahulu juga dikenal dengan mendirikan bangunan tempat korban
persembahan (anjab-anjab), yaitu
sebuah altar sebagai meja tempat korban persembahan, di puncak bukit yang
tertinggi disekitarnya. Upacara persembahan tersebut dapat dilangsungkan
perseorangan atau keluarga yang bertujuan untuk mengharapkan panen yang
berlimpah, menjauhkan bala, dan mohon datang hujan. Selain upacara keagamaan
tersebut masih terdapat upacara lain yang membuat makna religius dari praksis
agama asli Simalungun yakni, pesta
rondang bintang yang mempersembahkan korban dari binatang peliharaan
terpilih disertai nitak yang sudah
diolah dalam ramuannya. Lalu datu memanjatkan
doa (mantra) dengan perantaraan roh nenek moyang (simangot ni ompu) terhadap
Naibata I Nagori atas upacara ini dilakukan untuk mengucapkan syukur atas
anugerah Tuhan yang telah mereka peroleh. Selain itu masih ada upacara lain
yang memuat dimensi religio-cultural, misalnya: parsiarhon (kesurupan),dan parsinumbahan
(tempat keramat) Kedua cara itu untuk memohon sesuatu yang diharapkan,
melalui orang yang kesurupan atau pemantauan seorang datu maupun mengunjungi tempat tertentu yang diangap keramat.
Di pihak lain untuk mengetahui agama asli orang
Simalungun tidaklah begitu mudah. Namun dapat dilihat apa yang disebutkan para
penerjemah Alkitab kedalam bahasa Simalungun dan juga terhadap lagu-lagu
Simalungun tentang apa yang dulunya dipercayai oleh masyarakat Simalungun.
Yaitu: Parbegu, Sisombah Gana-gana,
sipajuh Begu-begu (Kis 13:46-48) dan dalam Buku Doding Haleluya GKPS No.54 menyebutkan puho ma perbeg-begu ase
lihar nasiam…dst, dan Haleluya No.144 menyebutkan: bolak open a golap in, bai bangsa na i atas tanoh on, sibolis do na
manrajai in, isombah halak begu-begu in..dst.
Ada data yang menyebutkan bahwa Zendelinglah yang pertama memakai nama Parbegu untuk menyebut nama asli orang
simalungun. Dan kita harus akui bahwa
Simalungun percaya akan adanya kuasa tertinggi yang mencipta langit dan bumi ini. pencipta itu mereka
sebut Naibata, sedangkan masyarakat umum memuja Sumagod (Roh leluhur satu kelompok marga ) Tonduy Jabu (roh nenek moyang satu Keluarga ) dan Sinumbah (roh sakti yang dipercaya
menghuni suatu lokasi sehingga disebut sebagai tempat keramat). Dan di wilayah
Simalungun Khusus bagi orang-orang Simalungun dikenal dengan Istilah sipajuh begu-begu.
Dalam kepercayaan suku
simalungun jug ada terihat ajaran ibadat baal[4][24], terutama bagi Datu-datu dalam upacara. umpanya membuat
suatu parsilih dari bahan batang pisang, dibentuk sedemikian rupa mirip bentuk
manusia yang dianggap mempunyai tenaga
gaib atas panggilan mantera datu. Dimana tenaga gaib tersebut dianggap berkuasa
mengelakkan, menyembuhkan penyakit dan mendatangkan rejeki bagi seseorang.
Menurut T. B. A. Purba
Tambak, agama asli dalam bahasa Simalungun disebut parbegu atau sering disebut animisme, yang masih berlangsung dan
tetap ada hingga pertengahan abad ke-20. upacara-upacara tersebut pada umumnya
dimaksudkan untuk menolak bala,
menyembuhkan penyakit, menghindarkan bahaya maut bagi yang sudah lama
mengidap penyakit (buang jakka), dan
mengusir setan (begu-begu nasotokka).[5][26]
Sehinnga dapat terlihat
bagaimana dulunya kepercayaan suku Simalungun yang meyakini ada kekuatan
tertinggi di luar dari dirinya sendiri. Sehingga mereka sering menyembah
hal-hal yang demikian. Salah satunya adalah kepercayaan terhadap Naibata, memuja sumagod (Roh leluhur satu
kelompok marga ) Tonduy Jabu (roh nenek
moyang satu Keluarga ) dan Sinumbah (roh
sakti yang dipercaya menghuni suatu lokasi sehingga disebut sebagai tempat
keramat. Dan juga masyarakat Simalungun dikenal dengan parbegu yang diyakini dapat melindungi setiap orang yang menyembah
kepadanya. Dan ada hal lain yang sering di lakukan oleh masyarakat Simalungun
yaitu pasiarhon (kesurupan), diyakini
bahwa melalui orang yang kesurupan mereka mendapatkan suatu nasehat, pesan penting yang harus
dilakukan atas apa yang sudah diperintahkannya.
VI.
Adat Istiadat Simalungun
1. Adat Memindahkan Tulang-Belulang
Sebenarnya budaya Simalungun tidak ada acara adat “mangongkal hol na dob matei” (menggali
tulang belulang yang sudah meninggal) sebab yang ada hanya “paturehon panimbunon” (memperbaiki
kuburan). Jadi adat menggali tulang belulang merupakan adat yang baru, sebagai
pengaruh adanya percampuran budaya dengan puak lain (Toba). Adapun yang menjadi
penyebab pemindahan tulang belulang adalah kemungkinan pada saat orang tua
meninggal terpaksa dimakamkan pada tempat terpisah dari kuburan keluarga karena
situasi yang tidak mendukung, mungkin di antara keturunan ingin mempersatukan
beberapa orang tua yang sudah meninggal dalam satu pemakaman dan mendirikan
tugu serta alasan masyarakat Simalungun memindahkan tulang belulang kemungkinan
karena terancam longsor atau perluasan kota dan yang terakhir adalah karena
mungkin pemakaman bapak/ibu terpisah. Adat memindahkan tulang belulang ini
boleh dilakukan kepada seseorang yang meninggal sari matua dan sayur matua.
Acara ini meliputi dua bagian yang pertama membangun pemakaman baru dan kedua
memasukkan tulang belulang kedalamnya. Dalam acara memidahkan tulang-belulang
ini hasuhuton menyampaikan
seperangkat sirih pada tondong pamupus almarhum. Tujuannya mohon ijin
agara tondong pamupus memberi nasehat
pelaksanaan. Lalau tondong pamupus memberi
nasehat sekaligus memegang cangkul dan menggali tiga kali cangkul tanda
persetujuan. Cara menggali oleh tondong
pamupus diikuti tondong lainnya
serta hasuhuton dan cucu-cucu almarhum, kemudian
diselesaikan oleh boru. Lalu tulang
belulangnya diserahkan kepada tondong
pamupus untuk diletakkan pada kain putih yang telah digendongkannya.
Setelah selesai, tulang belulangnya dibersihkan dengan air yang telah dicampur
dengan jeruk purut kemudian disusun dalam tapongan yang beralaskan gendongan
tadi dan ditutup dengan kain putih dan tulang belulangnya disusun di dalam peti
seperti sedia kala. lalu Liang kubur ditutup kembali dan di atasnya ditanam
pisang kapuk. Satu di atas kepala dan satu lagi di atas letak tumit. Setelah
itu baru dipindahkan dalam pemakaman baru. Adapun arti dari ditanamnya pisang
tersebut adalah supaya seluruh kehidupan keturunanya seperti tumbuhnya pisang
tersebut yaitu bertumbuh, beranak cucu dan berbuah. Sebab memang menurut
pandangan orang Simalungun seluruh bagian dari pisang itu bermamfaat. Yang
berikut adalah acara pesta peresmian kuburan. Adapun acara pesta kuburan ini
disebut juga “pesta semen” terdiri dari beberapa kegiatan yang pada garis
besarnya adalah
1.
Acara “horja manurun”
(menguburkan kembali)
Sebelum horja manurun dilakukan, tulang belulang
dimasukkanke dalam peti kayu yang telah tersedia, lalu dengan upacara khusus
dimasukkan peti itu ke dalam kuburan yang baru. biasanya dalam acara ini
didahului dengan doa dari pihak tondong atau pengurus Gereja. Sekembalinya
rombongan dari kuburan yang baru, maka mereka akan disambut dengan bunyi
gendang, lalu semua Suhut menari
bersama diikuti setelah selesai baru dilanjutkan oleh boru..
2.
Menerima tamu undangan
Rombongan tamu undangan yang pertama menari adalah
semua tondong, boleh sekaligus semua
yang disebut tondong tetapi bisa juga
masing-masing menurut rombongan, mulai dari “,tondong pamupus, tondong jabu, tondong bona, tondong mangihut,dan tondong ni tondong, masing-masing
membawa beras seperlunya. Dalam acara ini biasanya rombongan tondong memberikan hiou adat (kain adat) sesuai dengan persiapan masing-masing. Dan
rombongan yang lain seperti sanina, boru,
dan anak boru mintori memberikan tuppak (sejumlah uang sebagai sumbangan)
3. Makan bersama
Pada acara ini biasanya semua keluarga dekat dan
panitia berkumpul, untuk menyelesaikan pikiran-pikiran tentang biaya kepada suhut ni horja (yang punya pesta). Biasa
juga di adakan acara makan bersama sebagai ucapan terimakasih kepada semua
orang yang telah letih bekerja demi suksesnya suatu pesta.
3.
Konsep tentang Tonduy dan Tuah
Orang Simalungun percaya bahwa roh orang yang
meninggal tidak mati, melainkan beralih kepada suatu keadaan yang disebut
dengan tonduy. Ia dapat dipanggil
sewaktu melalui ritual khusus. Tonduy dipercaya
dapat mendatangkan berkat apabila ia diperdulikan dan juga sebaliknya. Hampir seluruh pelaksanaan adat pada hakekatnya
tidak dapat dipisahkan dari religi yang dianut dalam masyarakat-adat yang
bersangkutan. Untuk masyarakat Simalungun, ada konsep tentang tonduy dan tuah. Suatu ungkapan menyatakan: martonduy na manggoluh, marbegu na dob matei, artinya, bahwa
manusia yang hiduplah yang mempunyai roh, sementara orang yang sudah meninggal
rohnya berubah menjadi semacam hantu. Belakangan ini konsep ini berubah
sedemikian rupa sehingga orang meninggal sudah dianggap mempunyai roh (tonduy) yang harus dihormati.
Bagi masyarakat Simalungun tuah, tonduy dan begu mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Tonduy tidak pernah mengganggu makhluk lain, tetapi sebaliknya begu yang mengganggu makhluk hidup.
Kebahagian manusia dan keberuntungannya dalam kehidupan di dunia ini ditentukan
oleh tonduy. Istilah “pinindo” jelas menggambarkan adanya
relasi antara kemauan tonduy dan
kemauan manusia atas kenyataan-kenyataan hidup yang dihadapi dalam hal-hal
tertentu. Dipahami juga bahwa tonduy dapat
meninggalkan tubuh. Sehingga untuk membujuk kembali agar tonduynya dapat kembali maka
diperlukan usaha-usaha tertentu di antaranya: maranggir, padaskan sir ni uhur (memakan makanan yang dihajatkan), dan manonggot-nonggot. Kemarahan tonduy
terhadap tubuh bukannya disebabkan oleh perbuatan-perbuatan yang jahat,
melainkan perbuatan yang tidak mengacuhkan keinginan tonduy. Bisa saja tonduy mendukung seseorang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tercela tanpa mengganggu keseimbangan antara tubuh dan tonduy. Berdasarkan perbedaan tersebut
dibuatlah mambere-berean dan membuat
tangkal.
Seseorang yang banyak anak,
banyak harta dan tinggi martabat biasanya disebut martuah. Tuah ini dapat dipindahkan kepada orang lain. Tonduy
(sebenarnya begu-begu)
orang seperti ini setelah ianya meninggal sering dipuja atau disembah
(sinumbah) dengan acara-acara khusus. Dalam Kristen masyarakat Simalungun
sekarang ini pun masih sering kita lihat sisa-sisa acara/usaha meminta tuah
dari nenek moyang yang telah meninggal baik acara yang dilakukan di
pekuburan maupun acara penguburan itu sendiri.
Nampaknya seolah-olah hanya bersifat penghormatan kepada orang tua,
tetapi pada hakikatnya berwujud permintaan
tuah dari orang yang telah meninggal.
Dari pemahaman di atas jelas terlihat bagaima
keyakinan akan orang Simalungun tentang adanya tonduy atau roh orang yang telah meninggal. Bahwa sebenarnya orang
yang meninggal tersebut roh nya berubah jadi hantu. Itu sebabnya masyarakat
Simalungun meyakini mereka masih dapat berkomunikasi dengan meninggal tersebut
melalui acara khusus. Tonduy dapat
memberikan yang baik jika memang mereka dperlakukan dengan baik begitu juga
sebaliknya.
4.
Pemahaman Masyarakat Simalungun
terhadap Penguburan
Anggapan orang Simalungun bahwa roh-roh orang mati
masih hidup disuatu tempat dan akan selalu sehat-sehat kalau ia din puja
keluarganya, sehingga tak heran jika para zendeling pada masa penginjilan
mendapat kritikan tajam. Bagi para zendeling hungungan antara orang yang masih
hidup dan mati sudah tidak ada lagi. Tuhan tidak pernah menganjurkan supaya
orang hidup melakukan pemujaan kepada roh-roh orang meninggal melainkan hanya
kepada Allah saja. Sebab Tuhan adalah bagin orang yang hidup dan yang mati.
Orang Simalungun tidak terima jika kuburan yang terkena siasat dikuburkan
didekat perkampungan atau kuburan umum. Karena ada pemahaman bagi orang
Simalungun bahwa rohnya akan mengganggu kehidupan penduduk. Itu sebabnya orang yang terkena siasat akan
dikuburkan jauh dari perkampungan karena dipandang dia bukan orang yang baik.
Itu sebabnya ada kuburan orang yang dianggap baik dan ada kuburan bagi orang
yang dianggap jahat. Didalam pelayanan penguburan
dipandang sebagai bagiann dari tugas gerja yang tidak dapat dipandang sebelah
mata. Bagi GKPS, tujuan penguburan adalah untuk memberitakan firman Tuhan
tentang kematian dn kebangkitan serta memberi penghiburan kepada keluarga yang
ditinggalkan. Itulah sebabnya jika ada amggota keluarga jemaat meninggalGereja
akan mewartakannya pada kebaktian minggu. Selama jenazah belum dibawa ke
pemakaman, gereja mnegadakan kebaktian penghiburan. Itu didasarkan atas mufakat
antara pihak keluarga yang meninggal dengan Majelis Jemaat setempat. Pendetalah
yang melaksanakan pelayanan pengubran, tetapi tugas itu bisa juga diserahkan
kepada para penatua Gereja. Dalam agama suku, kematian bukanlah akhir dari
segalanya. Melainkan beralih kepada suatu keadaan yang disebut dunia roh-roh
atau dunia tonduy ini berada di huta parsaranan parpudi (kampong
peristirahatan terakhir)
Setelah hal ini muncullah persoalan yang dihadapi
oleh GKPS disekitar penguburan yang menyangkut kebiasaaan mangongkal holi
(memindahkan tulang-belulang dari tempat lam ke tempat baru yang dibangun
dengan biaya yang tidak sedikit). Apakah Alkitab membenarkan kegiatan seperti
ini? Bagi mereka yang menerima biasanya mengacu kepada Musa yang membawa
tulang-belulang Yusuf daari Mesir ke Tanah Kanaan (Kel.13:19). Masalahnya
kemudian muncul ketika pengerja jamaat melihat bahwa kegiatan nmangongkal holi itu sarat dengan ritual agama lama. Akhirnya
GKPS merumuskan pemikiran teologisnya bahwa tulang belulang orang meninggal
juga berharga bagi Tuhan. Dari pemahaman yang seperti ini dapatlah diterima
kegiatan mangongkal holi dengan
catatan , kegiatan itu dipahami hanya sebagai memindahkan tulang belulang atau
tempat kuburannya tanpa melakukan ritual agama lain.
Ketika A. Theis
tiba di Pematang Raya 2 September 1903, pada saat yang sama berlangsung
upcara penguburan terhadap tuan Rondahaim Saragih,Raja Raya yang di juluki tuan
na mabajan, artinya tuan yang sangat
jelek dan kejam. Bgai A.Theis upacara penguburan ini menunjukkan betapa
kegelapan menguasai orang Simalungun, karena yang mereka laukukan adalah
pekerjaan kekafiran. Penguburan tuan Rondahaim merupakan orang Kristen yang
pertama di Pematang Raya yang menarik bagi A. Theis. A. Theis masih mengijinkan
kepada keluarga melakukan upacara adat seperti: menari disekitar jenazah dan
member makan terahir kepadanya, namun mereka tidak diizinkan untuk melakukan
ritual pemujaan roh-roh.
Namun dalam kenyataannya tetap saja ritual pemujaan
roh-roh itu tidak sepenuhnya hilang., meski dalam bentuk yang berbeda. Dalam
agama suku, orang tua dan tondong (saudara
istri) dipandang sebagai pembawa berkat, jadi ketika meninggal, roh mereka
masih dianggap hadir memberi berkat dengan melakukan ritual khusus. Kini
setelah pemujaan kepada berhala mulai terkikis Allah yang dipercaya orang Kristen itulah pemberi berkat.
Dengan demikian Allah yang kini dipercaya lebih berkuasa dari orang tua
atau tondong. Kematian tidak lagi
dipandang sebagai peristiwa yang menakutkan dan membuat putus asa keluarga yang
ditinggalkannya. Kematian tidak menghalangi kuasaAllah memberi berkat kepada
orang yang percaya kepadanNya. Itulah sebabnya dalam peristiwa kematian,
nyanyian-nyanyian gerejawi selalau dikumandangkan,baik sebelum jenajah dibawa
ke pemakaman maupun setelah acara pemakaman.
Dalam kepercayaan orang Simalungun, roh orang yang
meninggal itu akan mendiami suatu tempat yang disebut huta parsadaan parpudi. Karena tempat itu sangat jauh dibumi,
keluarga yang ditinggalkan dan kerabat orang meninggal itu diminta memberi
bekal perjalanan kepada roh itu. Dalam perayaan upacara penguburan terutama
pada orang tua yang berumur (sarimatua dan
saur matua), biasanya diadakan pesta yang
meriah. Apalagi keluarga itu tergolong keluarhga berada dan bangsawan. Perayaan
meriah seperti ini menghabiskan banyak biaya dan waktu yang panjang. Tetapi
perayaan seperti ini adalah pertanda bahwa orang yang meninggal merupakan orang
yang terhormat, dan keluarga yang ditinggalkan memiliki banyak harta. Dalam
perkembangan kemudian muncullah serangkaian permasalahan di sekitar upacara
kematian dqan penguburan. Para zendeling mememperketat pelaksanaan upacara
tersebut. Yaitu para zendeling melaranguntuk menari dan menggerak-gerakkan
tangan diatas jenazah, permainan musik yang dapat membangkitkan orang siar-siaron(histeris), memasukkan
benda-benda tertentu kedalam peti jenazah, berbicara kepada jenazah, dan
sebagainya. Selain itu juga ditetapkan kepada sia Dari penjelasan diatas
terlihat dahulunya masih terjadi dalam acara penguburan orang yang masih hidup
berbicara kepada jenazah. Penulis melihat praktak kekafiran sampai sekarang
maih berlangsung. Misalnya bentuknya dalam doa, namun isi doa cenderung memberi
penguatan kepada roh orang meninggal supaya sukses berjumpa dengan Allah di
surga. Upacara penguburan pun berlangsung dalam bentuk Kristen, tetapi masih
saja ada anggota jemaat menyelipkan sesuatu kedalam peti jenazah simati. Supaya
rohnya tidak kehilangan arah menuju tempat kediaman Allah. Dan belakangan ini
GKPS tidak mengijinkan jemaatnya memasukkan benda-benda tertentu kedalam peti
jenazah untuk menghindarkan pemahaman yang keliru tentang arti kematian dan
penguburan
5.
Sejarah Berkembangnya Pendirian Tugu di Simalungun
5.1. Sekilas Pendirian Tugu di Batak Toba
Pada awalnya budaya Batak Toba belum mengenal
istilah tugu, tetapi dahulu yang ada hanyalah “tambak” yaitu Makam (kuburan)
yang ditingggikan dengan menyusun bungki (Lempengan Tanah) dimakan orang tua yang sudah mempunyai
banyak keturunan. Baik tingkatan tambak, maupun lapisan lempengan tanah adalah
harus bilangan ganjil misalnya 3,5,7 tingkat. Sesuai dengan perkembangan zaman
dan dengan mulai maraknya pendirian monument-monumen perjuangan maupun sejarah
maka pembuatan tambak itu ditingkatkan menjadi batu na pir (batu yang kuat)
yakni makam yang sudah terbuat dari beton, batu na pir ini suda dapat memuat
beberepa tulang belulang. Jadi dapat dikatakan bahwa berdirinya tugu ditanah
batak adalah pengaruh modernisasi. Pada waktu perang dunia ke II masyarakat batak
belum mengenal istilah tugu. Yang ada hanyalah kuburan-kuburan yang ditnggikan
dengan bentuk semen dalam berbagai bentuk. Adakalanya semen dan beton ini
berbentuk manusia atau berbentuk lain
yang dibangun diatas kuburan yang sudah ditinggikan. Sesudah kemerdekaan Negara
kita, tugu-tugu kemerdekaan dan kepahlawanan dibangun dimana seperti tugu raja
Sisingamangaraja di Sopo Surung, Balige. Jadi pembangunan tugu menjadi
inspirasi kepada orang Batak dalam usaha membangun tugu sebagai lambang
penghormatan kepada orang tua. Adapun arti dan makna pendirian tugu bagi
masyarakat Batak Toba adalah
A.
Fungsi Fisikologis
Melalaui acara khusus untuk tondy dan penggalian
tulang belulang orang batak mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Mereka
ingin menhindari bencana, penyakit dan bahaya, dan juga ingin mendapatkan
kekayaan, tanaman yang subur,banyak anak dan damai sejahtera dalam kehidupan
sehari-hari. Para keturunan diyakinkan dengan acara seperti ini mereka akan
memperoleh bantuan dari leluhurnya, bukan hanya keselamatan, tetapi juga untuk
permintaan berkat.
B.
Fungsi Sakralisasi
Semua nenek moyang dihormati oleh keturunannya,
khusus pada waktu hidup, tondy mereka sangat diperhatikan dan begitu juga
setelah mati juga mash dipuja oleh keturunannya. Orang batak sangat menghargai
kehidupan manusia pada waktu hidup dan sesudah mati. Hal ini terklihat jelas
dalam ungkapan “martondi na mangolu, marsumangot dung mate” artinya memiliki
tondi pada waktu hidup dan memiliki sumangot setela meninggal.[6][42] Suku batak sangat terkenal dengan mencapai kekayaan, keberhaslan dan
kemuliaan. Dan setelah keberhasilan itu diraih dalam berbagai bidang sehingga
memberikan dorongan untuk memberikan ucapan syukurkepada para leluhurnya.dengan
melakukan pemujaan kepada roh-roh leluhurnya atas segala berkat yang
diterimanya. Penghormatan tertinggi yang diberikan kepeada leluhurnya dilakukan
dengan membangun tugu.
C.
Fungsi Transendental
Melalui pendirian tugu dan penggalian tulang
belulang dan berbagai pemberian sesajen. Arwah nenek moyang orang batak akan
semakin tinggi kedudukannya melalaui upacara-upacara tersebut. Jika orang batak
belum melaksanakannya yaitu penggalian tulang belulangnya, seolah-olah mereka
masih mempunyai utang, tetapi jika mereka telah melaksanakannya maka mereka
akan merasa aman dan percaya akan diberkati.
D.
Fungsi Identifikasi
Fungsi ini sangat menonjol ditanah batak dimana
mereka melaksanakan kewajiban sebagai anggota keluarga dan melalui hal tersebut
mereka menunjukkan identitas keluarga selain daripada mempersatukan kembali
hubungan keluarga yang retak dan mempererat kesatuan dalam keluarga. Dilain
pihak, penggalian tulang belulang menunjukkan bahwa mereka sudah banyak yang
kaya dan mempunyai jabatan. Kita juga
dapat melihat sisi positif dari pembangunan tugu ini yaitu untuk membangun
suatu sarana untuk meneguhkan kembali ikatan rohani, ikatan solidaritas yang
kuat dan bias mengenal asamuasal leluhurnya. Tetapi sisi yang menyalahi yang
diyakini mereka bisa membangun persekutuan antara seluruyh keturunan dengan
roh-roh leluhurnya, yaitu persekutuan dengan roh yang mati yang kemudian
diteguhkan kembali dalam diri generasi yang hidup jauh dimasa belakang.
E.
Pameran Gengsi Sosial
Seperti yang sudah kita ketahuibbahwa ada tiga “H” dalam masyarakat batak
Toba yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon
merupakan idaman seluruh batak toba oleh sebab itu salah satu hamoraon, hagabeon, hasangapon suku
batak terletak pada megahnya tugu para leluhurnya, bahkan dari pemantaun
penulis bahwasanya tugu ini dijadikan ajang perlombaan terkhusus bagi marga-marga,
dimana kemewahan dan kemegahan tugu leluhurnya merupakan kebanggan besar bagi
mereaka. Dan jika kita melewati kampung Simanindo disana terlihat tugu-tugu
mewah yang walaupun perumahan wartga tidak begitu mewah,
Salah satu budaya tertua manusia yang ternyata dilakukan oleh manusia
modern sekarang ini adalah penghormatan kepada leluhur yang suda meninggal
tahun 2000-1500 SM penghormatan itu dilakukan terhadap leluhur yang pada masa kehidupannya dianggap berjasa,
pemimpin atau pahlawan dalam peperangan. Bentuk penghormatan itu dilakukan
dengan membuat sarkopagus megalitis. Dimana
tempat belulang tersebut dipahami sebagai tempat keramat sehingga menjadi
tempat dan media komunikasi anatara manusia yang hidup dengan leluhurnya yang
sudah meninggal dunia. Sama halnya dengan kalangan batak yaitu untuk mendirikan
tambak atau batu na pir. Leluhur yang sudah meninggal pada tahun yang lalu
digali kembali dan tulang belulangnya ditempatkan kedalam Tambak. Orang batak
membuka kuburan-kuburan tanah yang sementara, sesudah lewat waktu pembusukan
yang dianggap perlu, lalu mengangkat tulang-tulang dari dalamnya yang menempatkannya dalam suatu kuburan semen
dengan mengadakan upacara tertentu.
6.
Sejarah Pendirian tugu di simalungun
Dalam sejarah berkembangnya pendirian tugu di simalungun secara benar,
sulit untuk menuliskannya secara pasti. Tapi ada beberapa faktor yang ingin
penulis sebutkan bahwasanya kebudayaan itu tidaklah bersifat statis tetapi
kebudayaan itu bersifat dinamis. Ada beberapa faktor berkembangnya pendirian
Tugu di simalungun, yakni:
Ø Pendirian tugu dahulunya adalah budaya Batak Toba, tetapi pada akhir-akhir
ini pendirian tugu sudah mulai berkembang di Simalungun. Hal ini berkembang
karena memang orang Simalungun bukan berdasarkan atas marga. Tetapi orang Simalungun
itu disebut jika seseorang itu Mar-ahap Simalungun.
Sehingga memang pendirian tugu tersebut sering dilakukan di Simalungun.
Ø Hal lain juga, Ada anggapan penulis bahwasanya pendirian tugu ini lanjutan
daripada acara mangongkal holi-holi/
saring-saring ni namatoras (memindahkan tulang belulang orang tua) namun
konsepnya telah dipengaruhi oleh Batak Toba. Walaupun sebenarnya pendirian tugu
itu berbeda dengan upacara mangongkal holi. Namun dari kedua hal
ini ada kemiripan yaitu pemindahan tulang belulang. Sehingga masyarakat
Simalungun dapat menerima pendirian tugu tersebut.
Ø Salah satu yang harus diakui oleh masyarakat Simalungun adalah jumlah
penduduk Batak Toba lebih dominan di tanah Simalungun daripada masyarakat
Simalungun sendiri. Secara tidak langsung pengaruh dari budaya Batak Toba
tersebut mewarnai budaya Simalungun. Meskipun kabupaten Simalungun adalah tanah
leluhur orang Simalungun, namun belakangan ini secara statistik orang
Simalungun hanyalah peringkat mayoritas ke-tiga, setelah orang jawa dan orang
yang berasal dari Toba. Kecilnya jumlah populasi orang Simalungun di tanah
leluhurnya membawa masalah tersendiri dan membuat semakin terdesaknya
eksistensi budaya orang Simalungun. Salah satu
contoh yang dapat penulis perlihatkan adalah ketika kita memberikan makanan
dalam acara adat tidak lagi memakai Dayok Nabinatur, Hambing siopat nahei atur
menggoluh ibagas talam melainkan
orang telah memberikan babi dalam
acara adat.
Ø Ditambah lagi dengan kepribadian orang Simalungun memiliki kepribadian jenis Phlegmatis. Yakni lebih banyak
mengevaluasi dan berfokus pada diri sendiri daripada mengomentari orang lain
sehingga budaya yang lain mudah untuk menerobos budaya Simalungun itu sendiri.
Sehingga pada akhiranya pendirian tugu itu berkembang di Simalungun.. Masyarakat Simalungun juga telah banyak
menikah dengan orang batak Toba. Sehingga terjadi percampuran budaya Simalungun
dengan budaya Batak toba.
Ø Masyarakat Simalungun melihat dampak positif dari pendirian tugu tersebut
yaitu untuk mempererat hubungan diantara
beberapa generasi ke generasi.
Sehingga hal ini merupakan Sesuatu hal yang dapat dilakukan untuk mengenal diantara beberapa keturunan.
Ø Masih kuatnya keyakinan terhadap kepercayaan kepada Nenek moyang. Di mana
masih adanya hubungan antara orang yang hidup dengan orang yang sudah
meninggal.. sehingga perlu rasanya adanya penghormatan dan komunikasi dengan
orang yang sudah meninggal. Yang dipandang juga bisa mendatangkan berkat bagi
orang yang menghormati leluhurnya.
Ø Pendirian tugu ini juga berkembang diakibatkan perekonomian suatu keluarga
itu sudah dikatakan mapan ditambah lagi keberhasilan dari suatu keluarga.
Sehingga sering ditemukan upacara pendirian tugu dengan biaya yang cukup mahal.
Sehingga menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang yang melakuaknnya. Semakin
banyak biaya yang dikeluarkan dalam acara tersebut menunjukkan betapa besarnya
mereka menghormati para leluhurnya.
Ø Pendirian tugu ini dilakukan untuk mengenal diantara beberapa keturunan,
atau mengenal identias suatu keluarga tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Kenan Purba dan J.D. Poerba, Op.Cit
Jahutar Damanik, Jalannya Hukum Adat Simalungun, Simalungun:
TP, 1987
K. Sipayung,
”Simalungun”, Jubileum 75 tahun 2
September 1903-1978, P. Siantar: Pimpinan Pusat GKPS,
Sortaman
Saragih, Orang Simalungun, Jakarta:
Citama Vigora, 2008
Jan Jahaman, Salib dan Sirih, Disertasi, STT Jakarta,
2009
Jahutar
Damanik, “Evaluasi Kebudayaan Simalungun”, dalam, Harunggunon
Bolon Partuah Maujana Simalungun ke-3, Pematang Siantar, agustus 1987 (Pematang Siantar: Partuah Maujana Smalungun,1987
Presidium Partuah Maujana Simalungun “Falsafah Budaya
Simalungun”, Salmon Sinaga (ed), dalam Adat
Ni SImalungun, Pematang Siantar: TP, 2002, 1 Presidium Partuah Maujana Simalungun, Adat ni Simalungun, Salmon Sinaga (ed),
Pematang Siantar: TP, 2002, 1
No comments:
Post a Comment