Doktrin
Tentang Allah: Teologia Allah Yang Mati (F.W. Nietzche)
&
Hukum II Decalog
I.
Pendahuluan
Pada
pertemuan yang lalu kita telah mebahas Doktrin tentang Allah mengenai
mengungkap kesiapaan Allah menurut pengalaman spiritual tokoh-tokoh Alkitab dan
para penulis Alkitab yaitu tokoh Alkitab zaman bapa leluhur s/d zaman Yosua,
para penulis Pentateukh-Hexateukh (teori-teori sumber), dan Allah menurut Pasal
I Pengakuan Iman Rasuli (PIR). Pada pertemuan kita kali ini, kita akan membahas
Doktrin Tentang Allah: Teologi Allah yang Mati (F.W. Nietzche) dan Hukum II
Decalog. Dari sajian ini, kita akan mengetahui bahwa manusia sekarang menggap
bahwa Allah itu telah mati dan telah meninggalkan manusia, dan Hukum II Decalog
akan membahas tentang sepuluh perintah Tuhan yaitu perintah yang kedua yang
diberikan oleh Tuhan kepada bangsa Isreal melalui Musa di gunung Horeb. Semoga
pembahasan kita kali ini, dapat bermanfaat bagi kita.
II.
Pembahasan
2.1
Hakikat
Allah
Allah merupakan zat. Akan tetapi,
Allah bukanlah zat bendawi, melainkan zat rohani. Yesus mengatakan “Allah itu
Roh” (Yoh. 4:24), pernyataan ini menetapkan hakikat Allah sebagai Rohani,
antara lain:[1]
- Allah tidak berbadan dan tidak berwujud
Yesus mengatakan, “... Roh (hantu) tidak
ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat pada-Ku (Luk. 24:39). Jika
Allah adalah Roh, maka dengan sendirinya Ia tidak berbadan dan tidak berwujud.
Perintah kedua dari sepuluh perintah Allah yang melarang pembuatan segala jenis
patung atau gambaran (Kel. 20:4), dilandaskan pada keadaan Allah yang tidak
berbadan.
- Allah tidak dapat dilihat
Orang-orang Israel “tidak melihat sesuatu
rupa” ketika Allah menampakkan diri kepada mereka di Gunung Horeb, karena itu
mereka dilarang membuat patung Alah (Ul. 4:15-19). Yohanes mengatakan “tidak
seorangpun yang pernah melihat Allah” (Yoh. 1:18). Paulus menyebut Tuhan
sebagai “Allah yang tidak kelihatan” (Kol. 1:15, Band. Rm. 1:20; I Tim. 1:17)
serta menyatakan bahwa tidak ada orang yang telah melihat atau dapat melihat
Allah (I Tim. 6:16).
- Allah itu hidup
Pengertian tentang Roh meniadakan bukan
saja kesan adanya zat bendawi, tetapi juga meniadakan pengertian mengenai
adanya zat yang tidak hidup. Hal ini berarti Allah hidup. Dengan demikian Allah
disebut sebagai “Allah yang hidup” (Yos. 3:10; I Sam. 17:26; Mzm. 84:3; Mat.
16:16; I Tim. 3:15; Why. 7:2). Allah merupakan sumber dan pemelihara segenap kehidupan
yang ada: tanaman, hewan, manusia, rohani, dan kekal (Mzm. 36:10; Yoh. 5:26).
2.2
Pengertian
Teologi Allah yang Mati
Teologi
mengenai tentang teologi Allah mati berasal dari pandangan materialistik yang
artinya suatu paham yang menyangkal hal yang rohani “Allah dan jiwa manusia”
yang hanya menerima keberadaan hal atau realiti yang dapat langsung di amati.[2]
Tuhan mati berarti bahwa manusia dapat hidup sendiri, menentukan sendiri apa
yang baik dan apa yang jahat. Tuhan mati berarti manusia hidup tanpa harus
memakai Tuhan Sebagai kapital bagi hidupnya, segala sesuatu berada ditangan
manusia sendiri. Dunia akan diperbaiki oleh manusia itu sendiri.[3]
2.3
Latar
Belakang Teologi Allah yang Mati
Gerakan
ketiga di abad ke-20 ini yang menekankan imanensi Allah adalah teologi Kematian
Allah. Sekalipun terdapat banyak nuansa
makna dalam ungkapan “kematian Allah,” pada umumnya yang dimaksudkan dengan
istilah ini ialah bahwa dahulu Allah ada secara transenden. Kematian Allah
merupakan semacam tindakan bunuh diri Allah yang ada sejak dahulu kala itu,
yaitu dengan sukarela melepaskan status-Nya yang paling mendasar.[4]
Gagasan tentang kematian Tuhan telah dimunculkan oleh beberapa teolog yang
sebelumnya, seperti Gogartem, Bonhoeffer, Tillich, dll. Namun, proklamasi
pertama yang mengenai kematian Tuhan itu dikumandangkan oleh F.W. Nietzche
dalam suatu bagian dari bukunya Die
Frohliche Wissenschaft (Ilmu Pengetahuan yang Menggirangkan) yang ditulis
pada tahun 1882.[5]
Nietzsche
juga menulis: “Allah sudah mati. Allah tetap mati. Dan kita telah membunuh-Nya”. Suatu gerhana Allah (kegelapan
Allah) turun atas bumi kita. Lentera-lentera pada siang harus dinyalakan untuk
dapat mengapai Allah. Nietzsche menceritakan tentang “seorang gila” yang datang dengan lentera ke
pasar dan bertanya kepada orang-orang di sana: “Kemana Allah pergi?” Dan dia
sendiri memberikan jawabnya: “ Saya akan mengatakannya kepadamu! Kita telah
membunuh-Nya; kamu dan saya! Tetapi bagaimana kita melakukannya?” Dan Nietzsche
memberi jawaban: Allah sudah mati, karena dunia metafisik sudah mati. Ketika di
Barat dunia yang tidak tampak kehilangan daya geraknya, bersama dengan itu
Allah meninggal. Allah terus-menerus ditolak dan Ia kehilangan tempat.[6]
2.4
Doktrin
Teologi Allah yang Mati
Doktrin Teologi Allah Mati (The Death Of God Theology) memandang
Allah sudah mati dalam semua dimensi kehidupan manusia. Allah tidak terlibat
disana. Maka yang sebaliknya berperan adalah manusia. Manusia dapat mengatur
dunia ini. Hidup manusia tergantung dari keputusan pribadinya. Dimensi dimensi
kehidupan itu antara lain :
1.
Di dalam filsafat
Penyelidikan tentang Allah tidak berguna. Penyelidikan tentang
Allah adalah bagian dari filsafat metafisika (sesuatu diluar jangkauan
manusia).. Jadi setiap konsep pemikiran tentang Allah yang berdasarkan
metafisika tidak ada artinya. Mereka mencela metafisika.
2.
Di dalam
kepercayaan (agama) Allah sudah mati
Mujizat adalah sesuatu yang tidak bisa diterima dengan rasio.
Mereka menolak mujizat. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah
bersifat alamiah dan merupakan akibat dari keputusan-keputusan manusia. Doa,
ibadah sia-sia. Agama tidak diperlukan.
3.
Di dalam Eksistensinya
Allah telah mati
Dalam eksistensinya, Allah dirasakan sebagai Yang Menekan dan Yang
Melukai, yang dari-Nya kita ingin dibebaskan. Bagi kebanyakan orang Kristen
percaya di tengah-tengah zaman kematian Tuhan ini berarti bahwa mereka
merasakan Tuhan hadir di tempat yang mereka tidak inginkan dengan cara yang
tidak mereka inginkan juga, tetapi sebaliknya, Tuhan dirasakan tidak hadir jika
mereka menginginkan Dia.[7]
4.
Di dalam persoalan
kemasyarakatan Allah telah mati
Mereka beranggapan bahwa Allah tidak dapat menyelesaikan masalah
yang ada dalam masyarakat. Misalnya : peperangan, kelaparan, diskriminasi
rasial dan lain-lain.
5.
Di dalam Teologia
Allah telah mati
Di dalam Teologi oleh pemikiran Barat D. Bonhoeffer bahwa semua
manusia telah belajar dalam segala hal untuk menyelesaikan masalah-masalahnya
sendiri tanpa meminta bantuan daripada hipotesa kerja Allah. Semuanya berjalan
tanpa Dia.[8]
2.5
Doktrin
Teologi Allah yang Mati Menurut Para Tokoh
1.
F.W.
Nietzsche
Sebetulnya
Allah sudah tidak berarti, sudah mati.[9]
Nietzsche ingin menghentikan gagasan kristiani tentang Tuhan bangsa Israel yang
menginginkan kalau tuhan-tuhan yang lain itu harus pergi, supaya umat manusia
dibebaskan dari kesewenang-wenangan Tuhan dan dikembalikan menjadi orang-orang
yang kreatif di bidang kebudayaan. Tuhan yang mengira telah menciptakan manusia
serta telah menciptakannya kembali menjadi gambarNya, Tuhan ini harus mati.
Sebab Ia terlalu banyak mencampuri urusan manusia. Manusia harus dikembalikan
menjadi “superman” (Ubermensch) yang
mempunyai kehendak untuk menguasai dunia secara sempurna. Manusia yang telah
diperbudak oleh Tuhan itu harus membalas dendamnya dan membunuhNya. Tuhan harus
mati supaya manusia dapat mencapai kebudayaan yang tanpa batas.[10]
2.
William
Hamilton
Menurut
William Hamilton, kini kita hidup disuatu zaman “Tuhan Mati”, yaitu suatu zaman
yang orang-orangnya menganggap bahwa Tuhan telah mengundurkan diri dari dunia
ini, bahwa Tuhan tidak hadir lagi di dalam dunia ini, sehingga bagaimana pun
harus dikatakan, bahwa Tuhan Mati. Anggapan yang demikian itu, menurut
Hamilton, makin hari makin tumbuh, baik diantara orang-orang non-Kristen,
maupun diantara orang-orang Kristen. Kini orang-orang Kristen seolah-olah
menyerupai nabi-nabi palsu paa zaman Nabi Elia, yang di kaki Gunung Karmel
mulai pagi hingga sampai tengah hari berseru-seru kepada Baal: “Ya Baal,
jawablah kami!”, tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab (1 Raj.
18:26). Banyak orang Kristen yang kini telah berseru-seru kepada Tuhan supaya
ditolong, tetapi tidak ada pertolongan. Oleh karena kejadian yang demikian itu
berkali-kali terjadi maka mereka bertanya-tanya apakah kiranya Tuhan tidak
telah mengundurkan dari dunia ini dan dari diri para orang milikNya.[11]
3.
Gabriel
Vahanian
Gabriel
Vahanian melihat persoalan tentang kematian Tuhan ini dari segi kebudayaan yang
post-kristiani. Untuk itu pada tahun 1961, ia menulis bukunya, The Death of God (Kematian Tuhan),
dengan subjudul: The Culture of our
Post-Christian Era (Kebudayaan Zaman Post-Kristani Kita). Tuhan mati,
artinya Tuhan tidak berguna lagi, segera Ia dijadikan barang tambahan bagi
cita-cita umat manusia.kebudayaan Barat saat ini telah menjadi imanen, yang
dimana manusia yang menjadi pokoknya.[12]
2.6
Hukum
II Decalog
2.6.1
Pengertian
Decalog
Dekalog
adalah kata “Yunani Untuk” Dasa Titah atau Sepuluh Perintah Allah (Kel. 34:28).
Dekalog, yang diberikan dalam dua bentuk itu (Kel. 20 dan Ul. 5), merupakan
hukum Ibrani yang paling awal dan tradisi menganggap berasal dari Musa. Ada dua
cara pembagian Dekalog: Kel. 20:3, dalam urutan umat Kristen adalah hukum
pertama, namun dalam tradisi Yahudi disatukan dengan hukum berikutnya-larangan
untuk menyembah patung-dan kemudian, hukum yang terakhir mengenai keirihatian,
dibagi menjadi dua, sehingga semuanya tetap sepuluh.[13]
Dekalog juga menyadarkan manusia akan dosanya. Dari Dekalog manusia belajar
bahwa ia adalah orang berdosa yang patut dihukum oleh Allah. Dekalog untuk mengatur mereka yang tidak menaati
perintah-perintah Allah dengan sukarela. Demi ketentraman masyarakat mereka
harus dipaksa dengan ancaman hukuman ilahi untuk menghindari
perbuatan-perbuatan jahat.[14]
2.6.2
Sejarah
Decalog/ Dasa Titah
Di
Gunung Sinai juga disebut Horeb adalah tempat Allah telah mengikat
perjanjianNya dengan Bangsa Israel, menyatakan hukum-hukumNya, serta
menahbiskan kebaktian Israel sebagai jalan penghapusan dosa. Bagi Israel,
pemberian Taurat itu barulah mendapat artinya di dalam keseluruhan peristiwa di
Gunung Sinai, yang terjadi sebenarnya adalah pertemuan antara Allah dengan
Bangsa Israel. Allah turun serta menyatakan kehadiranNya di dalam awam, Israel
disuruh menguduskan dirinya, lalu dipanggil berkumpul, Allah berfirman dengan
perantaraan Musa. Pemberian Dasa Titah itu pun memainkan peranan di dalam
pertemuan tadi.[15]
2.6.3
Pengertian
Hukum II Decalog
Hukum
II Decalog adalah Hukum Taurat yang ke-2 yang berisi, “Jangan Membuat bagimu
patung yang menyerupai apa pun yang ada dilangit diatas atau yang ada di bumi
di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi”. Jangan sujud menyembah
kepadanya atau beribadah kepadanya. Maksud dari perintah ini ialah, Dia tidak
mau ibadah yang sah terhadapNya dinodai dengan upacara-upacara ketakhayulan.
Hal ini berarti Dialah satu-satunya tempat kita berpegang. Dan supaya mendorong
kita untuk berpegang padaNya, dimaklumkanNya kekuasaanNya yang tidak menerima
bila dihina atau direndahkan.[16]
Di
dalam titah yang kedua, Tuhan melarang manusia menyembah Dia “menurut cara
sendiri”. Manusia tidak boleh mencari sesuatu yang menggambarkan Yahweh, baik
di langit maupun di bumi, ataupun di dalam air, sebab barangsiapa mencari atau
membuat patung untuk maksud itu, maka ia sebenarnya mencoba menguasai
ke-Allahan Tuhan. Padahal kita adalah milik Tuhan. Bukanlah kita yang memiliki
Tuhan.[17]
Yang
dilarang adalah membuat gambar Allah berupa patung, bukan karena Allah adalah
Roh yang tidak kelihatan, bukan pula karena Allah adalah Pencipta dan patung
adalah ciptaan manusia.[18]
2.6.4
Hubungan
Teologi Allah yang Mati dan Hukum II Decalog
Nietzche
mengatakan, karena munculnya Yahweh, Tuhan bangsa Israel, maka semua Tuhan yang
lain harus pergi. Tuhan bangsa Israel inilah Tuhan yang pencemburu, yang tidak
menghendaki adanya tuhan-tuhan yang lain di sampingNya. Itulah sebabnya Ia
memerintahkan: “ Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu (Kel. 20:3)[19],
dan Jangan Membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada dilangit
diatas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi
(Kel. 20:4), melalui hukum inilah Allah mengatakan bahwa, tidak boleh ada
tuhan-tuhan lain yang kamu sembah selain Aku, tuhan-tuhan yang lain itu harus
mati. Orang-orang pada zaman sekarang ini, menggap bahwa Allah itu telah mati,
dan manusia menuhankan pikiran mereka saja segingga mereka tirdak percaya lagi
akan Tuhan dan kuasa Tuhan itu. Hal yang sama telah terjadi pada masa bangsa
Israel keluar dari Mesir dan berada di padang gurun. Mereka membangun dan
menyembah tuhan-tuhan lain karena mereka beranggapan bahwa Tuhan telah
meninggalkan mereka. Ketika itulah Tuhan memberikan Hukum II Decalog kepada
bangsa Isreal di Gunung Horeb melalui perantaraan Musa, agar bangsa Isreael
tidak lagi menhembah allah-allah lain.
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas, kita telah mengetahui tentang Teolgi Allah yang Mati dan
Hukum II Decalog. Tuhan mati berarti bahwa manusia dapat hidup sendiri,
menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat. Tuhan mati berarti manusia
hidup tanpa harus memakai Tuhan Sebagai kapital bagi hidupnya, segala sesuatu
berada ditangan manusia sendiri. Dunia akan diperbaiki oleh manusia itu sendiri.
Gagasan tentang kematian Tuhan telah dimunculkan oleh beberapa teolog yang
sebelumnya, seperti Gogartem, Bonhoeffer, Tillich, dll. Namun, proklamasi
pertama yang mengenai kematian Tuhan itu dikumandangkan oleh F.W. Nietzche
dalam suatu bagian dari bukunya Die
Frohliche Wissenschaft (Ilmu Pengetahuan yang Menggirangkan) yang ditulis
pada tahun 1882. Di dalam titah yang kedua, Tuhan melarang manusia menyembah
Dia “menurut cara sendiri”. Manusia tidak boleh mencari sesuatu yang
menggambarkan Yahweh, baik di langit maupun di bumi, ataupun di dalam air,
sebab barangsiapa mencari atau membuat patung untuk maksud itu, maka ia sebenarnya
mencoba menguasai ke-Allahan Tuhan. Padahal kita adalah milik Tuhan. Bukanlah
kita yang memiliki Tuhan.
IV.
Daftar
Pustaka
Barth Christoph dan Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 1, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2012
Becker. Theol. Dieter, Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2012
Browning. W.R.F., Kamus Alkitab, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2014
Calvin. Yohanes, Instituio
Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013
Collins Gerald O’ dan Edward G. Faruggla, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius,
1995
Erickson Millard J., Teologi Kristen Volume Satu, Malang: Gandum Mas, 2004
Hadiwijono Harun, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2011
Jonge Christian de, Apa itu Calvinisme?, Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 1999
SJ. Tom Jacobs, Paham
Allah, dalam Filsafat, Agama-agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002
Thiessen Henry C., Teologi Sistematika, Malang: Gandum Mas, 1993
Verkuyl
J., Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2012
[1]
Henry C. Thiessen, Teologi
Sistematika, (Malang: Gandum Mas, 1993), 114-116
[2] Gerald O’ Collins dan Edward G.
Faruggla, Kamus Teologi, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), 193
[3] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, (Jakarta:BPK-Gunung
Mulia, 2011 ), 189
[4] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume Satu, (Malang:
Gandum Mas, 2004), 498
[5] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 188
[6] Theol. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2012), 63-64
[8] Theol. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, 64
[9] Tom Jacobs, SJ, Paham Allah, dalam Filsafat, Agama-agama,
dan Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 28
[10]
Harun Hadiwijono, Teologi
Reformatoris Abad ke-20, 188-189
[11]
Ibid, 190
[12] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad Ke 20, 195
[13] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2014), 77-78
[14] Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme?, (Jakarta:BPK-Gunung
Mulia, 1999), 58
[15]Christoph
Barth dan Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi
Perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2012) , 269-278
[16] Yohanes Calvin, Instituio Pengajaran Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2013), 96-97
[17] J.
Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2012), 102
[18] Christoph
Barth dan Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi
Perjanjian Lama 1, 324
got is tott, god is death, atau slogan yang semacanya..... memang banyak faktor kenapa bisa muncul statement seperti itu, secara umum faktor penyebabnya adalah ketidak mampuan manusia mengatasi alam. Ada sebagian kecil karena kegenitan berfikir serta frustasi. Akan tetapi jika dilihat dari sisi agama tauhid terutama islam konsep tentang kematian tuhan bukanlah hal yang heran, sebab konsep yang utama ditawarkan islam-pun adalah kematian tuhan; mari kita lihat pembuktian linguistiknya:"tiada tuhan selain Allah" (laa ilaaha illa Allah لااله الا الله .لاberarti "tiada" (nafi) yang berkonnotasi penghilangan, dengan begitu secara otomatis pembunuhan tuhan secara keseluruhan akan tetapi ada pengecualian ( الله =ال معرفة اله) .
ReplyDeleteTeologi Allah Mati bukan berarti God Is Death seperti yang atheis atau orang pahami bahwa pada hakekatnnya Allah telah Mati. Tetapi Pemikiran manusia yang membatasi Allah Itu sendiri yang perlu dimatikan. Allah Tidak Pernah mati dia Hidup bersama orang percaya.
ReplyDelete