Ajaran Buddha Tentang Manusia
I.
Pendahuluan
Pada
sajian sebelumnya kita telah mempelajari tentang asal usul agama Buddha lahir
dan kini kami penyaji akan memaparkan bagaimana ajaran-ajaran Buddha tentang
manusia ketika agama Buddha telah ada. Semoga melalui pemaparan sajian ini,
dapat menambah wawasan kita untuk memahami bagaimana ajaran yang ada dalam
agama Buddha mengenai manusia.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian
Manusia
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia adalah mahluk yang berakal budi (mampu
menguasai mahluk lain).[1]
Tidak dapat disangkal bahwa menurut hakikatnya manusia adalah pribadi, mahluk
individual. Tetapi juga tidak dapat disangkal bahwa ia berhubungan dengan
mahluk lainnya, termasuk manusia lainnya.[2]
Manusia
dalam pandangan Buddha disebut Manussa (Bahasa
Pali) yang secara harfiah berarti mereka yang mempunyai suatu pikiran yang maju
atau berkembang (Manno ussanam etasam).
Manussa
dalam
bahasa Sansekerta adalah manushya, yang
berarti anak-anak manu (pikiran).
Disebut demikian karena mereka menjadi beradab setelah pikirannya (manu). Dengan pengertian inilah maka
manusia menurut ajaran Buddha adalah mahluk yang berusaha melepaskan dirinya
dari Avijja (kebodohan) serta Moha (kegelapan bathin) sehingga
mencapai kebijaksanaan (Panna).
Manussa
terdiri
dari jasmani (kaya) dan batin (nama) serta tinggal dielompok alam Kamasugati (alam kenikmatan nafsu
indriawi)
Terdapat
4 jenis Manussa menurut agama Buddha,
yaitu:
1. Manussa Neraka:
Manusia yang suka membunuh mahluk. Contohya: pemburu, penjagal, algojo.
Perbuatannya selalu berdasarkan kebencian (dosa)
2. Manussa Peta:
Manusia yang tidak senang berbuat kebajikan, senang meladeni nafsu indriya.
Perbuatannya selalu berdasarkan ketamakan (lobha)
3. Manussa Tiracchana:
Manusia yang tidak kenal kebajikan dan kejahatan, keras hati, sombong, senang
berbicara kasar dan kotor, tidak berbakti pada orang tua, tidak akur dengan
saudara. Perbuatannya selalu berdasarkan kebodohan (moha)
4. Manussa Ulanussa:
Manusia yang mengetahui yang baik daan yang buruk, yang pantas atau tidak
pantas dilakukan, merasa malu (hiri) berbuat jahat dan takut (ottappa) akan
akibat dari perbuatan jahat, selalu berjalan diatas kebenaran (Tri Bhumi).[3]
2.2.Ajaran
Buddha Tentang Manusia
Umat
Buddha memandang kemanusiaan sebagai bagian integral dari keseluruhan kosmos,
dan karena itu konteks pemahaman mengenai kemanusiaan adalah saling
ketergantungan dari seluruh semesta. Ada hubungan sebab akibat secara
timbal-balik antara kita dan setiap keberadaan yang lain, namun tidak ada
landasan tertinggi atau Allah pencipta. Umat Buddha sering kali menekankan
bahwa nirwana, realitas tertinggi, adalah Samsara,
berlalunya dunia penderitaan dan perubahan. Bagi agama Buddha, visi kosmis
mengenai keterhubungan timbal-balik membentuk konteks kehidupan manusia.
Manusia memiliki tempat istimewa didalam kosmos, karena kita sendiri dapat
melarikan diri dari lingkaran kelahiran kembali dan penderitaan. Meskipun
manusia memiliki kesempatan dan tanggung jawab istimewa, secara intrinsik ia
tidak memiliki nilai yang lebih tinggi ketimbang keberadaan yang lain didalam
kosmos.[4]
Menurut ajaran Buddha, manusia adalah kumpulan dari
kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang
disebut Pancakhanda atau lima
kelompok kegemaran yaitu:[5]
1. Rupakhanda
(Kegemaran atau wujud atau bentuk), adalah semua yang terdapat dalam mahluk
yang masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan dibayangkan oleh
indera. Rupakhanda adalah hal-hal yang berhubungan dengan lima indera dengan
obyek, seperti obyek yang terlihat, terdengar, terasa, tercium, ataupun
tersentuh.
2. Vedanakhandha
(Kegemaran akan perasaan), adalah semua perasaan yang timbul karena adanya
hubungan lima indera manusia dengan dunia luar, baik perasaan senang, susah
ataupun netral.
3. Sannakhandha,
adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut identitas indera dalam
menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam bentuk suara,
bau-bauan, cita rasa, sentuhan jasmani dan pikiran.
4. Sankharakhandha
adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran.
5. Vinnanakhandha
(Kegemaran akan kesadaran), adalah kegemaran terhadap reaksi atau jawaban yang
berdasarkan pada salah satu dari keenam indera dengan obyek dari indera yang
bersangkutan.
2.3.Ajaran
Agama Buddha
2.3.1.
Ajaran
Tentang Buddha
Sudah
dikemukakan, bahwa bagi kepercayaan Buddhis hidup sang Buddha sebagai
perorangan, sebagai manusia Siddharta atau Gautama atau Sakyamuni tidaklah
penting. Buddha adalah sebuah “gelar”,
suatu “jabatan” atau seorang “tokoh” yang sudah pernah menjelma pada
seseorang.[6]
Siddharta hidup dalam lingkungan masyarakat Hindu, pandangan-pandangannya yang
palIng mendasar bersumber pada ajaran-ajaran filsafat Hindu. Ajaran-ajaran
tentang roda kelahiran kembali dan hukum karma baginya merupakan pernyataan
tentang masalah pokok dari keberadaan manusia. Walaupun ia dilingkari oleh roda
kelahiran kembali, namun Buddha mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mengatasi
masalah penderitaan tersebut tanpa membebaskan dirinya dan siklus kelahiran
kembali dan ini tidak dapat terlaksana kembali kecuali dengan melenyapkan
nafsunya.[7]
Sejak wafatnya Siddharta banyaklah ilmu-ilmu filsafat dan pengajaran hikmat
berkembang. Ajaran Buddha boleh dikatakan seluruhnya terdesak dari India,
tetapi diluar India ajaran itu tidak hanya bertahan, bahkan didalam zaman kita
ini agaknya ada kemungkinan besar lagi akan berkembang dan masuk ke India juga.
Sekarangpun Buddha masih turut berbicara juga, lama sesudah ia wafat.[8]
2.3.2.
Ajaran
Tentang Dharma atau Dhamma
Yang
disebut Dharma ialah doktrin atau
pokok ajaran. Inti ajaran agama Buddha dirumuskan didalam empat kebenaran yang
mulia atau empat aryasatyani, yaitu
ajaran yang diajarkan Buddha Gautama di Benares, sesudah ia mendapat
pencerahan.[9]
Dharma menurt
ajaran Buddha merupakan ajaran yang tegas dan jelas yang benar-benar
menunjukkan jalan kepada keselamatan terakhir, tetapi ini menelantarkan orang
awam tanpa pertolongan Tuhan untuk menghadapi peradilannya didunia ini. Dharma ditujukan kepada pemecahan
terakhir mengenai masalah keberadaan manusia sehari-hari, sedangkan roh-roh dan
dewa-dewa itu berbicara tentang persoalan-persoalan manusia sehari-hari.[10]
Aryastyani
atau kebenaran yang mulia itu terdiri dari empat kata, yaitu: Dukha, Samudaya, Nirodha, dan Marga.
Yang
disebut Dukha ialah penderitaan.
Hidup adalah menderita. Kelahiran adalah penderitaan, umur tua adalah
penderitaan, mati adalah penderitaan, disatukan dengan yang tidak dikasihi
adalah penderitaan, tidak mencapai yang diiginkan adalah penderitaan: dengan
singkat, kelima pendekatan pada dunia ini adalah penderitaan.
Yang
dimaksud dengan Samudaya adalah
sebab. Penderitaan ada sebabnya. Yang menyebabkan orang dilahirkan kembali
adalah keinginan pada hidup, dengan disertai nafsu yang mencari kepuasan
disana-sini, yaitu kehausan pada kesenangan, kehausan pada yang ada, kehausan
pada kekuasaan.
Yang
dimaksud dengan Nirodha ialah
pemadaman. Pemadaman kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan secara
sempurna, pembuangan keinginan itu, penyangkalan terhadapnya, pemisahannya dari
dirinya, dan tidak memberi tempat kepadanya.
Yang
dimaksud dengan Marga ialah jalan
kelepasan. Jalan menuju pemadaman penderitaan ada delapan, yaitu: percaya yang
benar, maksud yang benar, perbuatan yang benar, kata-kata yang benar, hidup
yang benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, dan semadi yang benar.
Demikianlah
yang dimaksud dengan empat Aryasatyani atau empat kebenaran yang mulia. Pokok
ajaran Buddha Gautama ialah, bahwa hidup adalah
menderita. Segala macam kerugian jasmani maupun rohani adalah
penderitaan. Penderitaan ini disebabkan karena kehausan.
Untuk
menerangkan hal ini diajarkan ada yang
disebut Pratitya Samutpada, artinya,
pokok permulaan yang bergantungan. Pokok permulaan sesuatu bergantung pada
pokok permulaan yang mendahuluinya, dan pokok ini bergantung lagi pada pokok
permulaan yang mendahuluinya lagi, demikian seterusnya. Seluruhnya diajarkan
adanya 12 pokok permulaan. Pratitya
Samutpada dirumuskan demikian:
Menjadi
tua dan mati (jaramaranam) bergantung
pada kelahiran (jati), kelahiran bergantung pada hidup atau eksistensi yang lampau
bergantung pada pengikatan pada makan dan minum dan sebagainya (upadana), pengikatan bergantung pada
kehausan (tanha), kehausan bergantung
pada emosi atau rencana (wedana),
emosi bergantung pada sentuhan atau kontak (Sparsa),
sentuhan bergantung pada indera dengan sasarannya (sadayatana),
indera dan sasarannya bergantung pada roh dan benda atau keadaan batin dan
lahir (namarupa), roh dan benda
bergantung pada kesadaran (wijuana),
kesadaran bergantung pada penafsiran atau penggambaran yang salah (sanskara), penafsiran yang salah
bergantung pada ketidaktahuan (awidya).
Ketidaktahuan
ini adalah semacam ketidaktahuan yang kosmis, ketidaktahuan yang menjadikan
orang dikaburkan pandangannya. Ketidaktahuan ini mengenai tabiat asasi alam
semesta, yang memiliki tiga ciri yang mencolok, yaitu:
1. Bahwa
alam semesta penuh dengan penderitaan (Dukkha)
2. Bahwa
alam semesta adalah fana (anitya atau
anicca)
3. Bahwa
tiada jiwa didalam dunia ini (anatman
atau anatta)
Doktrin agama Buddha mengajarkan bahwa
didalam dunia ini tiada sesuatu yang kekal (anitya).
Semuanya adalah fana. Hidup adalah suatu rentetan yang terdiri dari hal-hal
yang terjadi untuk sesaat dan yang sesudah terjadi segera tiada lagi. Hidup ini
adalah suatu arus yang mengalir tanpa awal, tanpa sebab pertama, tanpa sebab
akhir.
Dalam agama Buddha juga diajarkan
tentang tiada jiwa (anatman). Ajaran
ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran tentang anitya, yang mengajarkan bahwa tiada sesuatu yang tidak berubah.
Jika tiada sesuatu yang tidak berubah maka juga tiada jiwa yang kekal. Seluruh keadaan
manusia dapat diungkapkan dengan nama-rupa,
sebutan, dan bentuk. Yang dimaksud nama
adalah tabiat manusia, sedang yang dimaksud dengan rupa adalah jasmaniahnya. Manusia adalah suatu kesatuan yang
terdiri dari tabiat batin dan lahir, segi batin, dan segi lahir.
Demikianlah manusia dipandang, sehingga
dapat dikatakan bahwa hidup adalah penderitaan, bahwa segala sesuatu didalam
dunia adalah fana atau tidak tetap, dan bahwa tiada jiwa yang ada dibelakang
segala sesuatu. Dalam agama Buddha dalam hidup juga diajarkan tentang karma yang menyebabkan kelahiran
kembali. Tetapi yang dilahirkan kembali bukanlah jiwa, tetapi yang dilahirkan
kembali ialah watak atau sifat-sifat manusia. Jadi kelahiran kembali ialah
perpindahan tenaga terus menerus melalui bentuk-bentuk yang tiada batasnya,
maka yang dilahirkan kembali bukan pribadi manusia, melainkan sifat atau
wataknya.
Karena adanya karma maka dalam agama
Buddha juga mengajarkan tentang jalan kelepasan, yang terdiri dari pemadaman
keinginan (nirodha). Agar orang dapat
lepas dari penderitaan, ia harus melalui jalan yang terdiri dari 8 tingkatan
atau 8 tahap, yaitu percaya yang benar, maksud yang benar, kata-kata yang
benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, dan semadi yang benar. Delapan
tingkatan ini dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Sraddha atau iman, yang terdiri dari tingkat pertama, Sila yang terdiri dari tingkat kedua
hingga tingkat ketujuh, Semadi yang
terdiri dari tingkat kedelapan.
Sraddha
atau
iman, terdiri dari “percaya yang benar”. Kepercayaan yang salah menjadi sumber
perbuatan-perbuatan yang salah. Oleh karena itu, agar kepercayaan yang salah
dapat ditiadakan, diperlukan pengetahuan yang benar. Sila, semua orang harus berusaha mencapai moral yang tinggi, dimana
melalui ajaran pada tingkat kedua hingga tingkat ketujuh menekankan tentang
moral. Sesudah itu orang dapat masuk kejalan terakhir, yatu Semadi. Didalam persiapannya orang harus
berusaha supaya perhatianya jangan sampai terpecah belah. Untuk itu harus
menggunakan alat-alat seperti berikut: renungan manusia harus banyak
bersedekah, merenungkan bahwa makan-minum membawa banyak kesusahan, merenungkan
kebajikan dan kebesaran Buddha, Dharma, dan Sangha, merenungkan bahwa jenazah
adalah bukti kefanaan dan jika itu telah direnungkan semuanya, ia harus
mengmbil tempat duduk ditempat yang sunyi, mengatur nafasnya, serta merenungkan
4 Bhawana, yaitu:
1. Metta :
persahabatan yang universal
2. Karuna :
belas kasih yang universal
3. Mudita :
kesenangan dalam keuntungan dan kesenangan akan segala sesuatu
4. Upakkha
: tidak tergerak oleh apa saja yang menguntungkan diri sendiri, teman, musuh,
dan sebagainya
Sesudah persiapan itu masuklah orang kedalam semadi
yang sebenarnya, yang terdiri dari 4 tingkatan. Pertama orang harus
memusatkan pikirannya pada suatu sasaran, sesudah itu harus melepaskan rohnya dari segala uraian
dan pertimbangan akan sasaran itu, kemudian sekalipun ia masih melihat sasaran
itu, namun ia tidak lagi digirangkan atau disusahkan, setelah itu, ia akan
masuk pada tahap terakhir yaitu bahwa Sukha
dan Dukha lenyap semuanya.
Delapan macam jalan yang diajarkan didalam bagian aryasatyani yang keempat ini sering disebut menjadi 4 tingkatan,
atau 4 pangkat, yaitu:
1. Srotapana atau
pertobatan, yaitu tingkatan orang yang sudah ditempatkan pada arus yang benar,
yang disebabkan karena pergaulannya baik, karena mendengarkan hukum, karena
berbuat baik, dan sebagainya
2. Sardagamin, yaitu
tingkatan orang yang masih harus dilahirkan kembali sekali lagi. Sesudah itu ia
akan mencapai kelepasan yang sempurna.
3. Anagamini, yaitu
tingkatan orang yang sudah tidak akan dilahirkan kembali dan yang sudah
mendapat kelepasan didalam hidup sekarang ini.
4. Arhat,
yaitu tingkatan orang yang sudah bebas dari ssegala keinginan untuk dilahirkan
kembali, baik didalam dunia yang berbentuk, maupun didalam dunia yang tidak
berbentuk.
Kelepasan didalam agama Buddha
diungkapkan dengan berbagai macam ungkapan, umpamanya Wimoksha atau Wimukti,
yang berarti keselamatan atau kelepasan. Ungkapan yang paling terkenal ialah Nirwana. Secara harfiah kata nirwana berarti pemadaman atau
pendinginan. Yang dipadamkan ialah keinginan, api nafsu, kebencian dan
sebagainya. Sekalipun demikian sukar sekali untuk merumuskan nirwana. Dikatakan
bahwa nirwana adalah suatu kebahagiaan yang tanpa pengamatan, tanpa perasaan
dengan sadar. Disitu ketidaktenangan hidup telah berakhir, sehingga ada
kebahagiaan yang pasti. Berdasarkan hal itu biasanya nirwana dibedakan dalam 2 macam, yaitu Uphadisesa (status orang yang sudah mendapat kelepasan, tetapi yang
hidup lahirnya masih terus berjalan) dan
Anuphadisesa (status orang yang
mendapat kelepasan yang hidup lahirnya sudah tak ada lagi). Jadi Anuphadisesa dicapai sesudah mati.[11]
2.3.3.
Ajaran
Tentang Sangha[12]
Pengikut
agama Buddha dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: para biksu atau para rahib dan kaum
awam. Inti masyarakat Buddhis dalam arti yang sebenarnya, sebetulnya hanya
terdiri dari para rahib. Sebab hanya hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan
suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi. Seluruh
persekutuan para rahib disebut Sangha atau
jemaat.
Hidup kerahiban diatur didalam kitab Winaya Pitaka. Dari kitab ini kita dapat mengetahui bahwa hidup
para rahib ditandai oleh 3 hal, yaitu:
1. Kemiskinan
Ia
tidak diperkenankan memiliki sesuatu, kecuali jubahnya, yang harus dibuat dari
kain lampin, yang didapatkan dari sana-sini, selanjutnya tempurung sebagai alat
mengemis, dan sebuah jarum untuk menjarumi jubahnya, sebuah tasbih, sebuah
pisau cukur untuk mencukur rambutnya, dan sebuah penyaring air untuk menyaring
air minumnya, agar dibersihkan dari binatang-binatang kecil
2. Hidup
membujang
Ia
tidak diperkenankan berhubungan dengan wanita. Sebab hubungan seks dipandang sebagai
sumber dosa. Dosa yang terbesar, yang menjadikan seorang rahib dikeluarkan dari
sangha ialah hidup mesum. Oleh karena
itu ada banyak sekali peringatan, supaya seorang rahib menjauhi wanita
3. Ahimsa (tanpa
perkosaan)
Dalam praktiknya
hal ini berarti bahwa ia tidak diperkenankan membunuh atau melukai mahluk lain.
Empat dosa besar yang harus dijauhi rahib, ialah: hidup mesum, mencuri,
membunuh mahluk yang hidup, dan meninggikan diri karena kecakapannya membuat
mujizat. Kesusilaan rahib dicantumkan didalam dasasila, yang dalam praktiknya
mewujudkan sepuluh larangan, yaitu larangan untuk membunuh, mencuri, hidup
mesum, berdusta, minum-minuman keras, makan pada waktu terlarang, mengunjungi
tempat keramaian duniawi, bersolek, tidur pada tempat tidur yang enak, dan
menerima hadiah
Pengikut Buddha yang kedua ialah para
kaum awam. Mereka adalah orang-orang
yang mengakui Buddha sebagai pemimpin keagamaannya, yang menerima ajarannya,
namun tetap hidup didalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakikatnya para
kaum awam tak dapat mencapai nirwana didalam hidupnya. Sekalipun demikian
kedudukan mereka adalah penting sekali. Mereka sudah ada pada awal jalan yang
menuju pada kelepasan. Sebab mereka sudah percaya kepada Buddha dan ajarannya.
Sekalipun belum sempurna, hal itu sudah berarti juga melepaskan diri dari dunia
serta memalingkan pandangannya dari dunia yang tampak kepada dunia yang tak
tampak, sekalipun belum juga mencapainya. Bagaimanapun mereka akan mendapat
pahalanya sekalipun belum pahala yang tertinggi. Pahala itu bisa didapatkannya
dengan bersedekah, baik kepada sesamanya, maupun kepada rahib. Mereka dapat
menetapi pancasila atau lima larangan yang pertama dari dasasila yang
diharuskan bagi para rahib. Pancasila itu ialah: tidak membunuh, tidak mencuri,
tidak hidup mesum (dalam arti tidak berzinah), tidak berdusta, tidak minum-minuman
keras. Mereka dapat belajar sabar dan
bersahabat dengan sesamanya.
Sekalipun semuanya itu belum dapat
membawa orang kepada nirwana, namun dapat menjadikan mereka dilahirkan kembali
di dalam dunia yang lebih baik daripada yang sekarang mereka alami. Demikianlah
keadaan para pengikut Buddha.
III.
Kesimpulan
Dalam
agama Buddha manusia adalah mahluk yang berusaha melepaskan dirinya dari Avijja (kebodohan) serta Moha (kegelapan bathin) sehingga
mencapai kebijaksanaan (Panna).
Menurut ajaran Buddha mereka tidak mengakui adanya jiwa, sebab segala sesuatu
adalah anatta atau anatman, bukan pribadi. Yang dianggap
pribadi pada manusia sebenarnya adalah kelompok nama dan rupa, artinya
suatu kelompok unsur-unsur batiniah dan lahiriah, yang dapat dibedakan dalam
lima skandha. Maksud ajaran Buddha
ini ialah menunjukkan bahwa pada manusia tiada sesuatupun yang permanen atau
tetap. Yang ada pada manusia ialah gerak yang terus menerus, tiada hentinya.
Dalam
agama Buddha tidak ada dijelaskan mengenai asal usul manusia, melainkan
bagaimana mereka dapat hidup mencapai nirwana sebagai penuntun untuk masuk
kesitu. Dalam agama ini tidak ada dijelaskan mengenai pencipta sehingga manusia
tidak memiliki tugas kepada sang ilahi. Buddha tidak harus menerangkan ala
mini, tetapi bagaimana mereka lepas dari penderitaan yang membelenggunya.
Manusia
adalah suatu sosok dalam proses menjadi. Kehidupan manusia bukanlah suatu
apapun melainkan suatu manifestasi tentang menjadi, punah dan berakhir.
Sehingga dipahami manusia baru akan lahir kembali dan itu tidak akan sama
dengan yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Jadi dapat dikatakan agama Buddha
tidak dapat dilepaskan dengan penggeraknya dalam mencapai nirwana. Jadi manusia
bukanlah hasil ciptaan melainkan suatu sebab akibat yang terus menerus sehingga
terbentuklah manusia. Adanya manusia adalah proses cahaya yang nantinya akan
lahir dalam suatu keadaan perubahan sehingga terbentuklah manusia. Manusia dipengaruhi
sifat keTuhanan dan sifat jahat.
IV.
Refleksi
Teologis
Kejadian 2:7 “ketika itulah Tuhan Allah
membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup kedalam
hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup”.
Ayat
ini menunjukkan, bahwa manusia bukanlah berada dengan sendirinya, melainkan
bahwa ada yang menciptakannya, yaitu Tuhan Allah sendiri. Tuhan Allahlah yang
menciptakan manusia, yang semula belum ada, sehingga menjadi ada. Jadi adanya
manusia karena kehendak Allah (Bnd. Kej.
1:26 yang menyebutkan hal putusan Allah untuk menciptakan manusia). Manusia
bukanlah keturunan Tuhan Allah, ia juga bukan mengalir keluar daripada Allah,
tetapi ia diciptakan oleh Allah. Manusia diciptakan Allah dari debu tanah, yang
kedalamnya dihembuskan nafas hidup. Dalam hal ini arti debu tanah ialah tubuh
manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa tubuh atau badan menampakkan pribadi
manusia dalam keseluruhannya dari segi yang lahir. Manusia tidak mungkin berada
tanpa tubuh. Jiwa atau nyawa adalah ungkapan yang digunakan untuk menyebutkan manusia sebagai mahluk yang
bernafsu, berkehendak, berfikir dan sebagainya. Sehingga jiwa menampakkan bahwa
manusia dalam keseluruhannya, dari segi yang batin. Badan bukanlah suatu
substansi atau zat yang berdiri sendiri, sebaliknya jiwa atau nyawa atau hati
atau roh juga bukanlah substansi yang bediri sendiri. Badan mengungkapkan
manusia seutuhnya, jiwa atau nyawa mengungkapkan manusia seutuhnya. Jadi,
Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa manusia bersifat fana, dapat mati,
terbatas umurnya.[13]
Jadi
yang dipesankan disini ialah karena kita ini merupakan ciptaan Allah, maka
hendaklah kita menjauhi segala kejahatan, mengejar keadilan, kesetian, kasih,
kesabaran, dan kelembutan (1 Timotius 6:11)
V.
Daftar
Pustaka
Hadiwijono
Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK-
Gunung Mulia, 2014
Honig,
A. G., Ilmu Agama, Jakarta: BPK-
Gunung Mulia, 2012
Hadiwijono
Harun, Agama Hindu dan Buddha,
Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2010
……,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta:
YKBK, 1999
Sutrisno
Mudji, Manusia dalam Pijar-Pijar Kekayaan
Dimensinya, Yogyakarta:kanisius, 1993
Kumala
Albert, “Manusia” dalam Ensiklopedia Praktis Kerukunan Umat Beragama (ed) Ahmad
Rivai Harahap, dkk Medan: Perdana Publhising, 2012
D.
Lefebure Leo, Penyataan Allah, Agama, dan
Kekerasan, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2006
Rekaman
catatan akademik Novaria Situmeang, I-C Teologi
Eugene
Donal, Agama dan Modernisasi Politik,
Jakarta: CV. Rajawali, 1985
[1]
……, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta:
YKBK, 1999), 629
[2]
Mudji Sutrisno, Manusia dalam Pijar-Pijar
Kekayaan Dimensinya, (Yogyakarta:kanisius, 1993), 33
[3]
Albert Kumala, “Manusia” dalam Ensiklopedia Praktis Kerukunan Umat Beragama
(ed) Ahmad Rivai Harahap, dkk (Medan: Perdana Publhising, 2012), 389-390
[4]
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama,
dan Kekerasan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2006), 241-242
[5]
Rekaman Catatan Akademik Novaria Situmeang, I-C Teologi
[6]
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha,
(Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010), 69
[7]
Donal Eugene, Agama dan Modernisasi
Politik, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 57
[8]
A. G. Honig, Ilmu Agama, (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2012), 188
[9]
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha,
(Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2010), 70-71
[10]
Donal Eugene, Agama dan Modernisasi
Politik, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 59-60
[11]
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha,
(Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2010), 71-82
[12]
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha,
83-85
[13]
Harun Hadiwijono, Iman Kristen,
(Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2014), 173-181
No comments:
Post a Comment