MASYARAKAT DAN AGAMA BATAK
SEBELUM KEKRISTENAN
Selayang Pandang
Pendahuluan
1.
Secara umum, selama bertahun-tahun
(sebelum abad 19) masyarakat suku Batak khususnya yang mendiami Provinsi
Sumatera Utara (ada enam etnis suku
mendiami wilayah ini yakni: Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Toba,
Angkola dan Mandailing) hidup terpencil dari hubungannya dengan dunia luar
karena letak geografisnya yang bergunung-gunung. Kendati pun demikian, namun
dapat dikatakan bahwa orang Batak telah mengembangkan sistem-sistem kompleks
kehidupannya sehari-hari di bidang social, hukum dan agama. Pokok inilah yang
menjadi perhatian utama dalam pembahasan selanjutnya terhadap penelusuran
metode kerja para misionaris menerapkan Injil ke dalam kehidupan orang Batak
dalam sejarah misi. Artinya, para misionaris perlu menyesuaikan konsep-konsep
kekristenan kepada perbendaharaan kata
dan struktur social dari masyarakat
Batak yang tradisionil. Dalam hubungan ini, nyata bahwa kebudayaan Batak telah
membuktikan kekuatannya dengan menempatkan pengaruh-pengaruh asing masuk ke
dalam kebudayaan Batak yang tradisionil masa selanjutnya. Ada indikasi bahwa ada pengaruh kebudayaan
Hindu dan Buddha (thn 2000 seb. Masehi – 1500 AD) masuk kepada sistem-sistem
kehidupan orang Batak, namun sejauh pengaruh ini tidak menguasai keseluruhan
masyarakat Batak. Demikian dengan keislaman yang sudah sangat dinamis di daerah
Utara-Aceh dan Selatan-Minangkabau (Islam masuk ke Indonesia, abad 13-14), unsur ini
gagal menggantikan keperayaan Batak tradisionil. Secara umum para peneliti abad
19 tentang masyarakat Batak memberi kesimpulan bahwa streotip (ciri karakter)
utama sebagai pengenalan kepada masyarakat Batak sebelum kekristenan disebut
sebagai orang yang “keras sifatnya dan harus dihindari oleh semua orang”. Menurut Pedersen (Darah Batak…, hl. 16)
William Marsden-lah yang secara positif pertama sekali menyimpulkan
bahwa orang Batak: menurut penelitiaannya mengatakan sebagai : “masyarakat
yang sudah memiliki peradaban yang telah berkembang tinggi dengan pengalaman
duniawi di bidang social, hukum dan agama”. Penting ditekankan bahwa
menurut sejarahnya, masyarakat Batak tidak pernah secara langsung berada di
bawah pemerintahan asing sebagai jajahan yang tak bebas.
2.
Kepercayaan Terhadap Agama
Tradisionil. Sebelum uraian ini dilanjutkan dapat dikatakan bahwa: ketika
misionaris-misionaris Kristen tiba di tengah kehidupan orang Batak, mereka
telah menemukan hilmat bahwa orang-orang Batak adalah satu suku bangsa yang
sangat bergairah dan memiliki kesadaran yang hidup dan kekuatan agamaniah di
dunia sekitar mereka (kesadaran tentang adanya kekuatan supra alamiah dunia
sekitar). Pemujaan terhadap kekuatan supra alamiah inilah yang kemudian
sangat dikutuk oleh para misionaris namun sifat kesalehan Batak terhadap
kegiatan dinamis dari kuasa agamaniah
ini tetap dipelihara dalam konteks Kristen. Kemudian para misionaris menganggap
hal ini menyenangkan, malah esensil untuk menerangkan pemberitaan mereka dalam
istilah tradisonil.
Tentang kepercayaan Batak terhadap agama
tradisionil ini dapat dikatakan sebagai berikut:
a. Kosmologi Batak tradisionil
membagi eksistensi kehidupan ke dalam tiga tingkat dunia (dunia) yakni: Dunia
atas, sebagai kerajaan Dewata tertinggi yaitu: “Mula jadi Na Bolon dan roh
nenek moyang yang sudah meninggal”. Dunia tengah, sebagai gelanggang
keseluruhan kegiatan manusia, dan Dunia Bawah sebagai tempat tinggal
para hantu dan setan yang diperintah oleh Naga Padoha sang ular Naga.
Orang Batak Toba mengalami seluruh ruang kosmis sebagai suatu totalitas dunia bawah, dunia atas dan dunia tengah, di
mana ssetiap tingkat mempunyai suatu fungsi khusus dalam keselarasan kehidupan
(eksistensi). Sebuah pohon kehidupan yang tingginya dari dunia bawah hingga ke
dunia atas merupakan symbol Dewata Tertinggi dalam menyatukan segala
kehidupan dan mewakili seluruh tata
tertib kosmis. Nasib setiap orang tercatat pada pohon kehidupan ini, yang dari
padanya seluruh kehidupan berasal.
b. Seluruh daya upaya orang
Batak selama hidupnya harus tertuju pada pengembangan dan penyempurnaan “sahala”
(kewibawaan, kemewahan, kemuliaan dan kekuasaan). Sahala ini mencakup
kewibawaan, harta benda, keturunan (bibit), keberanian, kegagahan, kecerdasan,
kecerdikan, kemahiran bicara, keluruhuran budi, rasa keadilan, kesaktian, ilmu
gaib, pengetahuan yang luas, dan lain sebagainya. Sebelum kekristenan,
orang yang sanggup membangun sebuah kampung baru, menang main judi, berperang,
berperkara, dan lain sebagainya soal-soal yang sebenarnya tidak wajar dia
menangkan (pintar bersoal jawab) adalah orang yang diakui telah memilik “sahala”
lebih dari sesamanya. Oleh karena itu, hingga masa modern abad 21 ini, pengaruh
paham ini sangat berpengaruh kepada orang orang Batak melalui usaha berbagai
cara agar mendapatkan “sahala” termasuk himbauan orang tua kepada anaknya agar
rajin sekolah.
3. Bentuk Kepemimpinan Tradisionil.
Identitas bentuk kepemimpinan tradisionil masyarakat Batak, ini sangat menonjol
pada peran Datu yang sekaligus
berfungsi sebagai imam, raja dan sebagai kepala desa. Menurut penelitian para
ahli (lih. Andar Lumbantobing, hl.36) peranan dan fungsi datu ini lebih
sebagai pengaruh dari jaman Hindhu-Buddha di mana peranan ini merujuk pada suatu
jabatan keimaman, kebangsawanan yang lebih tinggi, atau kepada suatu gelar yang
mungkin dapat dipergunakan. Sebelum kekristenan fungsi datu (hadatuon)
ini bagi orang Batak adalah sebagai penghubung unsur-unsur magis dengan
tugas-tugas yang bersifat medis-agamaniah secara asasi dan bersifat pengajaran.
Sebelum kekristenan, untuk banyak urusan kehidupan sehari-hari seluruh
masyarakat Batak sangat tergantung pada pengetahuan dan kemampuan datu, sebab
datu diakui sebagai orang yang memiliki talenta khusus untuk menambah
kekuatannya sendiri melawan kuasa kuasa kosmos. Kemampuan seorang datu menurut
orang Batak adalah orang yang dapat mengalahkan kuasa roh jahat, mendamaikan
roh yang tidak ramah, menyembuhkan segala macam penyakit, mengendalikan cuaca,
dapat mempengaruhi hasil panen, dan menetukan masa depan. Datu juga berfungsi
sebagai seorang dokter, dapat menyatakan perang, hari menikah, membangun rumah
dan dapat membaca isi perut seekor anak ayam dan dapat menafsirkan satu
peristiwa masa lalu demikian dengan
peristiwa yang akan datang.
4.
Organisasi Social. Kesempurnaan hidup orang Batak sejak awal hingga masa
modern ini, sangat dipengaruhi oleh keikutsertaannya dalam urusan-urusan adat.
Orang Batak meyakini bahwa pemeliharaan terhadap adat sangat berhubungan dengan
pencegahan terhadap bencana, pemulihan, keselarasan, kesuburan, kesehatan, dan
kesejahteraan golongan. Berhubungan dengan keyakinan ini, kecelakaan, bencana
dan gejala-gejala alam yang aneh yang mengancam kesejahteraan segolongan
masyarakat Batak ini sangat dihubung-hubungkan dengan pemeliharaan dan
pelanggaran terhadap adat. Melalui adat, orang Batak sangat menjunjung tinggi
kecerdasan nenek moyang yang merumuskan peraturan-peraturan adat, sehingga masa
setelah kekristenan sangat sulit merubah
aspek-aspek yang fundamental dari adat. Dalam makna yang lebih luas, adat
adalah sumber identitas bagi orang Batak sehingga melalui realitas ini
sejak awalnya gereja sudah mengadopsi beberapa aspek adat masuk ke dalam
struktur gereja.
5.
Organisasi-Organisasi Agama Tradisional. Orang Batak (sebelum)
kekristenan menganut agama-agama tradisonil, di mana agama-agama tardisionil
orang Batak ini dapat diidentifikasi ke dalam beberapa kelompok (lih. Lance
Castle, hl. 57-69 juga: P.B. Pedersen, hl. 41-44), sebagai berikut:
a. Kaum Parmalim. Kelompok agama
tradisionil ini mulai muncul di kalangan orang Batak baru akhir tahun 1870-an .
Latarbelakang munculnya kelompok ini,
bersumber dari beberapa orang Batak yang berusaha melindungi unsur-unsur
tradisionil Batak dari pengaruh-pengaruh yang dianggap merusak dari mulai
masuknya agama Kristen, Islam, dan kolonialisme. Sekte ini, pertama sekali
didirikan oleh Guru Somalaing Pardede (dari Balige) bersama dengan Raja
Sisingamangaraja yang merekrut pengikut-pengikutnya dari daerah Toba (Uluan)
dan Simalungun. Nama Parmalim diadopsi dari istilah bahasa Batak: “Malim”
yang berarti: “untuk menjadi merdeka”. Gagasan tentang agama tradisionil
baru ini diperoleh Guru Somalaing dalam suatu perjalanannya bersama dengan
seorang ahli botani (ahli ilmu tumbuh-tumbuhan) Italia bernama: Elio
Modigliani yang berkunjung ke tanah Batak melakukan penelitiannya ketika
itu. Dalam perjalan mereka Somalaing
mendapat informasi dari Elio tentang ajaran agama Katolik (Trinitatis) sebagai:
Yehowa, Maria dan Yesus. Somalaing mengasosiakan pemahamannya kepada
Sisingamangaraja yang setara dengan Raja
Romawi, Raja Turki (Paus dan Sultan Turki secara berturut-turut) Raja
Hatorusan, Raja Uti (tokoh mitologi Batak) Sideak Parujar dan Naga Padoha (dewa
Batak). Pengikut kelompok ini menyebut diri sebagai Parsiakbagi
b. Kelompok Parhudamdam. Kelompok ini mulai
popular tahun 1907 dan tahun 1920, munculnya kelompok agama tradisionil ini
juga merupakan gerakan perlawanan terhadap pengaruh-pengaruh asing bagi unsur-unsur
tradisionil Batak. Gerakan kelompok ini sangat diilhami oleh tewasnya Raja
Singamangaraja XII yang kemudian diikuti oleh awal mulai berpengaruhnya
kolonialisme Belanda di Tapanuli.
Keadaan ini, bertindaklanjut pada beban masyarakat Batak oleh sistem
pajak yang sangat berat oleh pemerintah kolonial kepada orang Batak. Pembebanan
sistem pajak ini, kemudian diikuti dengan penyusunan kembali pola-pola tanah milik dan penyebaran pengaruh kekuasan
Belanda ke seluruh wilayah Tapanuli. Intinya, munculnya “agama tradisionil
baru” ini adalah melingkungi kenangan terhadap Sisingamangaraja dengan suatu
mytologi yang mesianis dan Dewata tertinggi dengan suatu tema kebinasaan bagi
orang-orang yang tidak mempercayainya. Awalnya gerakan kelompok ini
direalisasikan dengan perjalanan
keliling guru-guru Parhudamdam ke berbagai kampung orang Batak dengan
tujuan menarik seluruh warga kampung masuk menjadi anggotanya. Namun tidak
lama, gerakan ini hilang lenyap sebab
mereka tidak sanggup mempersatukan golongan-gologan social, politik, dan
orang-orang Batak yang bermacam kepentingannnya. Lenyapnya golongan ini sangat
didukung oleh gencarnya perlawanan dilakukan oleh militer kolonial Belanda
terhadap mereka, juga oleh anggapan kebanyak orang Batak menilai golongan ini
ketinggalan zaman dari proses modernisasi yang dinamis.
c. Golongan Sirajabatak. Populernya kelompok ini berawal dari
peristiwa tanggal 17 Juni 1942 dimana gerakan sirajabatak dari seluruh
Indonesia diorganisir untuk memanggil orang-orang Batak kembali pada agama
nenek moyangnya. Pada pertemuan ini, pemujaan terhadap Dewata tertinggi
diproklamirkan, ritus pesta-pesta kurban di lakukan, demikian penghormatan
terhadap nenek moyang suku bangsa dan pemujaan terhadap adat juga
peraturan-peraturan memelihara tradisi kuno ditekankan. Awalnya, metode kerja
kelompok ini dilakukan dengan merekrut orang-orang Kristen yang kena hukuman
disiplin gereja, tetapi tidak pernah menarik jumlah pengikut yang besar. Dari
indikasi ini, sirajabatak memasukkan banyak unsur kepercayaan kekristenan ke
dalam agama tradisionil ini dan menekankan nasionalisme dalam ajarannya.
6.
Komunikasi Antar Etnis Batak Sebelum Tahun 1861. Penting sebagai
gambaran bahwa hingga tahun 1825 seluruh suku-suku Batak di wilayah Sumatera
Utara tidaklah beragama Hindhu, Islam atau Kristen dan tidak tunduk kepada
suatu penguasa jajahan. Bahkan boleh dikatakan bahwa sampai tahun 1861, oleh
pengaruh keadaan alam, tidak memungkinkan adanya komunikasi yang lancar antar
etnis Batak berlangsung, sehingga melaluinya hubungan satu sama lain sangat
terisolasi dari pengaruh luar. Namun melalui keadaan ini, gejala baru yang
mengarah kepada perpisahan antar etnis Batak nampak semakin besar jurang
pemisahnya. Sebab mulai dekade ini, umumnya daerah-daerah pesisir sudah menjadi
daerah sultan yang mempunyai daya ekonomi dan tata pemerintahan yang lebih maju
(Hutauruk, Kemandirian, hl. 10-12). Gencarnya gerakan islamisasi daerah
pesisir Batak terjadi sekitar tahun 1825, di mana suku-suku daerah sekitar
Batak yang beragama Islam (Aceh, Minangkabau dan Melayu Di Sumatera Timur)
melalui perdagangan turut mempertebal jurang pemisah komunikasi ini. Demikian
dengan kehadiran para pedagang asing yang menganut Agama Islam telah
dimamfaatkan para pengusaha pribumi meningkatkan kehidupan jasmani maupun
rohani mereka. Jarak pemisah ini kemudian semakin diperbesar oleh ekspedisi
seorang ahli pertanian berkebangsaan Belanda di tanah Deli yaitu: Neuwenhijs
yang tahun 1861 mulai merobah hutan-hutan Sumatera Utara menjadi daerah-daerah
perkebunan milik bangsa Asing seperti kebun kelapa sawit, karet, teh, tembakau
dan lain-lain (lih. J.R. Hutauruk,
125 tahun HKBP, 15-16). Demikian dengan penemuan dan pembukaan sumber
minyak di Pangkalan Brandan tahun 1885 juga ikut mempertebal jauhnya jarak
komunikasi antara tanah Batak Pesisir dan orang Batak di bagian wilayah
pedalaman Sumatera. Dengan indikasi ini,
dapat dikatakan bahwa perkembangan di daerah Tenggara Sumatera Utara telah
mempertebal jurang pemisah tanah Batak di pesisir dan di pedalaman. Pedalaman
(Tapanuli) tetap dalam eksistensinya yang lama tanpa pengaruh para sultan dan
para penguasa asing serta pemerintah Belanda. Perkembangan di daerah tetangga,
sampai tahun 1861 telah memberikan indikasi bahwa agaknya pada saat yang tidak
lama dan tanpa membutuhkan banyak tenaga, Belanda akan segera berhasil
menduduki daerah tanah Batak (pedalaman) itu. Namun nyatanya ketika itu,
Belanda tidak merasa penting baik secara eknomi maupun politik segera menduduki
tanah Batak, sebab masih ada daerah yang lebih bersifat strategis untuk
diduduki yakni tanah Eceh yang sangat luas.
7.
Selayang Pandang Tentang Masuknya Keristenan di Indonesia. Dibawah ini
dapat diuraikan tentang mulai masuk, bertumbuh dan berkembangnya kekristenan di
Indonesia:
a. Bersamaan dengan penaklukan
Albuquerque tahun 1551 kepada Malaka, Franciscus Xaverius rasul
untuk Indiea itu tiba di Maluku dan mulai mengabarkan Injil di sana.
b. Tahun 1596, masuknya
pertama sekali kapal-kapal dagang Belanda di Pulau Jawa, dan inilah permulaan
zaman perdagangan besar antara Belanda dengan penduduk pulau Jawa.
c. Tahun 1602, kongsi
perdagangan Belanda yang terkenal dengan VOC: Vereenigde Oost Indische
Compagnie didirkan di Belanda, oleh pemerintah Belanda diakui sebagai
satu-satunya kongsi dagang Belanda yang mengadakan hubungan dagang dengan Indonesia. Lama
kelamaan kongsi dagang ini ternyata tidak hanya mengurusi soal perdagangan,
tetapi malah terfokus ke urusan militer yang menguasai seluruh Indonesia
d. Hingga tahun 1820, pertama
sekali gereja Baptis Inggris mengutus tiga orang misionarisnya ke Bengkulu
untuk menjumpai jenderal Militer Belanda bernama Rafless, ketiga orang inilah
yang berhasil mencapai tanah Batak yang masih kafir.
8.
Periodesasi Sejarah Gereja Batak. Untuk melanjutkan uraian kuliah ini
secara lebih detail, maka penting ditekankan bahwa periode sejarah gereja Batak
dapat dibuat sebagai berikut:
a.
Periode
I (Periode
awal: 1820-1911): Periode ini ditandai dengan masuknya para misionaris
pertama ke tanah Batak yang sekaligus melalui metode dan hasil kerja mereka
pertumbuhan gereja dimulai di tanah Batak. Walau ‘umumnya’ gereja-gereja
Batak adalah hasil misi badan Zending RMG: Rheinische
Missionsgesellschaft, namun badan misi yang pertama sekali masuk ke tanah
Batak (1824) adalah BMS: Baptist Missionary Society dari
Inggris.
b.
Periode
II (Periode Pengembangan dan Pendewasaan: 1912-1961):
Periode ini ditandai dengan berlangsungnya perubahan-perubahan umum di wilayah
Sumatera Utara di mana keadaan ini mempercepat lahirnya suatu dunia baru.
“Dunia baru” inilah yang mempengaruhi keadaan perkembangan gereja-gereja pada
umumnya di Sumatera Utara dan di tanah Batak khususnya.
c.
Periode
III (Periode
persiapan memasuki Era Modern: 1962-sekarang): Periode yang penuh harapan
dan tantangan menyongsong era modern dan globalisasi.
PARADIGMA
KEPEMIMPINAN
BATAK
TOBA TRADISIONAL
(Suatu
Pendekatan dari Sudut Sejarah
dan
Antropologi Budaya Batak)
Pendahuluan
1. Melalui tema ini, hendak dijelaskan suatu hal
mengenai: “Paradigma Kepemimpinan Menurut
Pandangan Batak Toba Tradisionil” (suatu pendekatan dari sudut sejarah dan
antropologi budaya Batak). Pada posisi ini, penting bagi mahasiswa memahami
secara mendalam inti tekanan tema ini sebab mahasiswa dapat diharapkan mampu
mengaktualisasikan diri di tengah pelayanan. Mengingat gereja dan orang Kristen
sekarang sedang berada pada titik balik sejarah dunia (sejarah gereja) di mana
banyak terjadi perubahan yang memang nyata sulit dibayangkan beberapa decade
yang lalu. Gereja sedang menghadapi realitas dunia dengan fenomena baru yang
bergerak cepat dan sering disebut sebagai “Globalisasi”.
Pada decade terakhir ini, kecepatan globalisasi nyata sungguh luar biasa,
kecepatan ini didukung oleh liberalisasi ekonomi dan teknologi informasi yang
demikian canggih dan nyata sudah meruntuhkan banyak birokrasi dan batas-batas
Negara dan wilayah. Nilai-nilai positif dan negatif, ancaman dan peluang datang
silihberganti dan secara bersamaan dengan femomena dimaksud. Sekarang
tergantung kepada gereja (umat Kristen) umumnya, khususnya kepada mereka yang
dipercayakan pemimpin diharapkan dapat mempergunakan keadaan ini untuk
mendatangkan berkat dan kebaikan, atau justru membiarkan perubahan berjalan
begitu saja dengan konsekwensi akan tergilas jaman.
2. Sejauh
penelitian (dosen pengampu kuliah ini) dilakukan tentang teori-teori
kepemimpinan (pemerintahan), dan menurut para ahli sangat banyak teori serta
defenisi tentang pemimpin dan kepemimpinan. Hikmatnya, kalau
ditanyakan kepada mereka yang ahli dalam bidang ini, semuanya mungkin menjawab melalui
defenisi yang berbeda-beda. Contohnya Robert K. Greenleaf,[1]
ia mengumpulkan pendapat para ahli dan mencoba mendefenisikan kepemimpinan mengatakan
bahwa: “kepemimpinan adalah kapasitas dan kemauan mengarahkan orang untuk
tujuan bersama dan karakter yang mengilhami keyakinan”. Ada yang mengatakan bahwa seorang pemimpin
adalah “dia yang memahami dengan jelas apa yang dibutuhkan dan apa yang benar
dan mengetahui bagaimana menggerakkan orang yang dipimpin dan sumber daya yang
ada untuk mencapai tujuan berama”. Selanjutnya dalam buku yang sama, Greenleaft
mengutip pendapat Howard Gardner[2]
berkata: “seorang pemimpin adalah sebagai orang yang banyak mempengaruhi
pemikiran, sikap dan perasaan orang lain tentang sesuatu”. Dikatakan juga bahwa
kepemimpinan adalah “suatu kemampuan untuk menggerakkan orang bekerjasama
dengan entusiasme untuk mencapai tujuan bersama”. Dari banyaknya defenisi
tentang kepemimpinan dapat dipahami bahwa seorang pemimpin harus memiliki
kualitas-kualitas tersendiri atau kemampuan untuk mempergunakan sumber daya
manusia dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah
ditentukan dalam sebuah organisasi khususnya dan lembaga masyarakat umumnya.
Istilah entusiasme di sini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki
kualitas khusus untuk mendorong atau memberi motifasi sehingga orang-orang yang
dipimpin dapat dengan semangat melakukan yang terbaik demi tercapainya visi dan
misi kepemimpinan. Pada akhirnya, dalam bukunya Greenleaft[3]
menyarankan suatu model dan konsep dalam kepemimpinan yang disebutnya sebagai:
“Servant Leadership” (kepemimpinan
hamba) mengatakan bahwa “pemimpin hamba pertama-tama ia harus bertindak sebagai
hamba, itu dimulai dengan perasaan alamiah bahwa dia benar-benar ingin untuk
melayani kemudian dengan pilihan secara sadar akan menuntun dia untuk ingin
memimpin”.
3. Berhubung dengan uraian di atas, “bagaimana masyarakat Batak Tradisionil dulu
(sebelum jaman Belanda dan kekristenan) menerapkan bentuk dan gaya kepemimpinan dan pemerintahan dalam
masyarakatnya?” Inilah yang menjadi pertanyaan dasar dan kokoh melalui
studi tema ini, tentu adalah tidak mudah menjawab dan menjelaskan ini.
Mempertimbangkan pernyataan para ahli[4]
di mana hampir semua menyimpulkan bahwa berhubungan dengan system politik dan
pemerintahan masyarakat Batak, bahwa: “orang Batak dahulu (pada jaman
tradisionilnya yakni sebelum masuknya kekristenan dan sebelum berkuasanya
kolonialisme Belanda) tidaklah mempunyai susunan pemerintahan yang teratur dan
tegas bidang-bidang kerajaan di Jawa seperti Kediri, Singosari, Mataram, Mojopahit, dan
lain sebagainya”. Hingga masa penelitiannya, B. A. Simanjuntak,[5]
tidak yakin bahwa ada satu kerajaan yang betul-betul seperti kerajaan-kerajaan
di negeri Eropa pada abad pertengahan, terdapat di tanah Batak. Kalau pun ada
kerajaan yang dipimpin oleh Sisingamangaraja, sifat dan bentuknya tidak seperti
kerajaan-kerajaan di Eropa maupun di Jawa. Pemerintahan di tanah Batak sebelum
pengaruh kekristenan dan Belanda, itu bercampurbaur antara organisasi formal
dengan adat istiadat yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, bahkan “adat
merupakan landasan pemerintahan”. Artinya bahwa bagi orang Batak tradisionil
pemerintahan masyarakatnya, itu dijalankan sebagai manifestasi (sangat
berhubungan integral) dari adat.[6]
Tekanan pokok yang hendak disampaikan melalui penjelasan ini adalah bahwa:
“sampai saat kedatangan Belanda (juga sampai sebelum kedatangan kekristenan) ke
Tanah Batak, kecuali untuk pembayaran
upeti kepada colonial, tidaklah terdapat keterikatan orang Batak terhadap
bangsa-bangsa tetangganya secara hierarkis”.[7]
Artinya, ke enam suku Batak, masing-masing tidaklah dipimpin oleh satu system
pemerintahan dan kekuasaan yang menganyomi seluruh wilayahnya maupun social
kemasyarakatannya. Kekuasaan politik seorang pemimpin bagi secara umum suku
Batak, hanya berlaku dan terbatas pada marga dalam masing-masing (tidak kepada
semua anggota kelompok satu suku) suku, termasuk: “raja-imam Batak
Sisingamangaraja”. Pernyataan ini semakin jelas melalui pernyataan Lance Castle
mengungkapkan bahwa: “sebelum masa colonial Belanda, masyarakat Batak (Toba)
hampir tidak mengenal Negara”.[8]
Penjelasan inilah yang mengilhami sangat kuat motivasi penulis melakukan studi
ini sekaligus merumuskan judul seperti diuraikan di atas. Penulis sadar betul
bahwa penelitian dan penjelasan tema ini masih belum representative menguraikan
dan menjelaskan konsep kepemimpinan Batak Toba secara detail seperti dijelaskan
di atas. Tulisan ini hanya sebagai usaha dari seorang Pelayan (Pendeta) yang
sedang studi dan berusaha belajar, bertanya dan menggumuli dan lain sebagainya
tentang: “Paradigma Kepemimpinan
Tradisionil Batak Toba”. Penulis
berharap, akhirnya tulisan ini dapat menjadi representative sebagai bahan
bacaan bila pembaca memberikan kritik (dukungan) dan kontribusi (sumbangan)
pikiran yang tentu membangun wacana penulis tentang makna filosofi budaya Batak
Toba tentang kepemimpinan. Sengaja sub judul tema ini dirumuskan dengan: “Sebuah pendekatan dari sudut sejarah dan
antropologi budaya (Batak Toba)” di mana melalui pendekatan ini, penulis
berharap dapat dengan mudah mensystematisasi sekaligus mengelompokkan identitas
(pokok-pokok pikiran secara tematis) dan menekankan maksud uraian tema ini
menurut tujuan yang hendak dicapai oleh penulis sendiri.
Selayang Pandang Tentang Batak Toba
Tradisionil
4. Secara ginealogis-antropologis, ada enam
(cabang) suku yang mendiami wilayah daratan bagian Utara dan Barat Laut Pulau
Sumatera di mana ke enam suku itu disebut sebagai suku “Batak”. Ke enam suku itu yakni: “Karo, Pakfak/Dairi, Simalungun,
Toba, Angkola dan Mandailing” yang masing-masing (cabang) suku ini memiliki
dialek (bahasa) tersendiri. Hingga pertengahan abad 19 (sebelum tahun 1850-an),
semuanya masih sangat sulit menerima pengaruh-pengaruh budaya dari luar baik
secara antropologis maupun cultural[9].
Artinya, masing-masing suku masih sangat tertutup satu sama lainnya namun sifat
tertutup ini mulai terbuka setelah berlangsungnya penyerbuan dan pendudukan
Islam di bagian Selatan daerah Batak (pada tahun 1830-an) yang kemudian disusul
dengan masuknya Reinse Zending
(Rheinische Missionsgesellschaft: RMG) sebuah badan penginjilan dari
Jerman. Jauh sebelumnya, Hindu telah berpengaruh kepada system struktur social
dan hukum Batak. Untuk membuktikan pengaruh Hindu terhadap sturktur social dan
hukum Batak, J. Tiedeman dan Harry
Parkin masing-masing telah menulis buku berjudul “Pengaruh Hindu di Bagian
Utara Tanah Batak/Hindoe Invloed in
Noordelijk Batakland”, buku ini telah diterbitkan tahun 1936 di Amsterdam
Belanda. Buku kedua ditulis Harry Parkin berjudul “Pengaruh Hindu Kepada
Kehidupan Batak/Batak Fruit of Hindu
Thought”. Menurut Bisuk Siahaan[10],
agaknya buku Harry Parkinlah yang lebih mendalam dari sudut penguraiannya sebab
Parkin menjelaskan persamaan dan perbedaan antara kebudayaan dan kepercayaan
Batak Toba dengan orang Tamil yang berasal dari India Selatan. Menurut Parkin,[11]
ada lima belas kemungkinan diperkirakan dapat mempengaruhi Budaya, cara hidup
dan kepercayaan Batak, yakni: pengaruh pemukiman orang Tamil di Lobu Tua Barus; bahasa Sanskerta dalam
perbedandaharaan kata Batak Toba; Pustaha dan tulisan Batak; kalender dan
astrologi; biara dan candi Budha-Hindu di Padang Lawas; kerajaan Hindu di tanah
Jawa Simalungun; budaya megalit dan sarkofagus; agama dan kepercayaan;
konsep Debata Mula Jadi Na Bolon; Debata Na Tolu; Roh alam; Desa Na Ualu; Bindu Matoga; Hariara Jambu
Barus”.
J.R. Hutauruk mengatakan[12]:
“berkenaan dengan masa hingga sebelum tahun 1825 tidak dapat disebutkan bahwa
ada suku-suku Batak yang tunggal di mana keanekaragaman dialek Batak sangat
mengisayaratkan keterasingan mereka satu dengan yang lain dan tidak terdapat
sama sekali pengaruh Islam dan Barat di dalamnya”. Bila mulai abad ke-13,
melalui perdagangan dan agama Islam telah “meraih” suku bangsa Aceh,
Minangkabau dan Melayu, maka disebabkan oleh kepentingan ekonomis dan politis
berhadapan dengan suku-suku tetangganya, kaum Batak, maka terjadilah hubungan
yang mengakibatkan orientasi keagamaan dan politis yang baru bagi kaum suku Batak. Untuk suku Karo
misalnya, bagi yang bermukim di Dusun lama: kelamaan terpengaruh oleh
kesultanan Islam-Melayu di Langkat, Deli dan Serdang, sedangkan yang bermukim
di pegunungan tetap bebas dari pengaruh Islam. Hal serupa terjadi bagi suku
Simalungun di daerah Simalungun Hilir, khususnya di Pematangsiantar dan Bandar
terdapat beberapa orang Melayu Islam. Hingga 1902, beberapa pembesar suku sudah
memeluk Islam sebelum permulaan penjajahan Belanda di Simalungun, misalnya raja
Pematangsiantar. Untuk kalangan Batak Toba, yang menandai perubahan terjadi
ialah penyesuaiannya dengan kebudayaan Melayu di Sumatera Timur (Asahan)
sebagai akibat hubungan perniagaan dengan para saudagar dan dengan
Sultan-sultan Melayu. Selanjutnya, pengaruh Islam dari Sumatera Barat tidak
sebesar yang masuk dari daerah pantai Timur, hanya dapat dikatakan bahwa hingga
tahun 1825 pelabuhan Sibolga sudah didominasi oleh orang Batak Toba. Namun
tahun 1852, orang Batak Toba mulai mundur ke daratan tinggi walau Sibolga tetap
merupakan pusat penting untuk perdagangan orang Batak Toba dengan Melayu Islam.
Ke Selatan dari daerah pemukiman Batak Toba, terdapat pemukiman suku Batak
Angkola dan Mandailing. Oleh kaum ilmuwan tidak diragukan bahwa mereka adalah
keturunan suku Batak Toba. Karena hidup bertetangga dengan kaum Islam
Minangkabau, sebelum tahun 1820 mereka juga terkena pengaruh agama Islam.
Sistem Kepemimpinan dan Pemerintahan Batak
Toba Tradisionil
5. Sebagaimana
sudah dijelaskan di atas (pada poin dua 2), DJ. Gultom Rajamarpodang[13]
menekankan bahwa: “system pemerintahan Harajaon Batak Toba pada masa yang lalu,
ini tidak boleh dibandingkan dengan system pemerintahan dengan bentuk sekarang
di mana suatu Negara dipimpin oleh seorang Kepala Negara”. Namun untuk
menjelaskan system pemerintahan Batak Toba Tradisionil, penting diingat bahwa
menurut keyakinan Batak tradisionil: “Dalihan
Na Tolu (Tungku Nan Tiga)”[14]
adalah merupakan penerapan kuasa Mulajadi
Na Bolon di bumi ini. Wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon ini nyata pada paham yang dianut sebagai:
pertama, Debata Na Tolu pada fungsi
kebijakan. Kedua, Batara Guru pada
fungsi kebenaran dan kesucian. Ketiga, Debatasori
Sohaliapan/ Debatabalabulan pada fungsi
kekuatan. Orang Batak yakin bahwa setiap pemimpin Batak Toba sejak dari Siraja Batak sampai dengan
Sisingamangaraja XII semuanya merupakan titisan Mulajadi Na Bolon. Keyakinan inilah yang membuat maka setiap
pemimpin Harajaon Batak menjadi
kepala pemerintahan, pemimpin ugamo
sekaligus Raja Adat. Hal ini jelas
kelihatan ketika Raja Sisingamangaraja XII memimpin Harajaon Batak.[15] Inilah
yang mempengaruhi raja-raja Batak sejak dahulu tidak mendirikan istananya
karena istananya sendiri adalah rakyatnya sendiri.[16]
Sejak munculnya Siraja Batak (sebagai
asal/nenek moyang semua orang Batak), ia terlebih dahulu mengkonsolidasikan
pemerintahannya untuk melanjutkan kuasa kerajaan Batak dengan terlebih dahulu
menanamkan kesadaran berbangsa dan bernegara dengan penanaman pandangan ideal Dalihan Na Tolu sesuai dengan pandangan
kepercayaan Batak terhadap Mula Jadi
Nabolon. Siraja Batak adalah
kepala Negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan, pemimpin keagamaan dan Raja Adat. Karena pemerintahan belum
dapat dijalankan sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala Negara maka jalan
satu-satunya yang ditempuh adalah dengan menyatukan masyarakatnya dengan
keagamaan dengan adat istiadat. Keagamaan dan adat istiadat sudah dapat
dijalankan dengan baik, tetapi dalam hal pemerintahan belum terlaksana dengan
sempurna dalam pengertian yang sebenarnya menurut hukum ketatanegaraan.
Sementara itu nyata bahwa sudah datang pula paham-paham baru yang mempengaruhi
pandangan masyarakat Batak. Pada pemerintahan Raja Sisingamangaraja,
paham-paham baru itu dihadapi dengan landasan keyakinan yang sudah menjadi hayat
masyarakatnya. Dalam hal ini pemimpin-pemimpin Batak sudah berhasil, tetapi
bagi perwujudan pemerintahan sesuai dengan ketatanegaraan masih jauh dari pada
tujuan. Pada tahap ini juga masih ada yang mengatakan bahwa Sisingamangaraja
bukanlah Raja Batak, tetapi adalah seorang pemimpin Batak yang dapat
memimpin masyarakat Batak. Oleh sebab itu, ciri pemerintahan yang dominan
nampak pada pemerintahan Batak tradisionil adalah sebagai: “perpaduan antara pimpinan pemerintahan dengan
pimpinan keagamaan dan pimpinan adat[17]”.
Menegaskan hikmat pernyataan ini, Bisuk Siahaan[18]
mengatakan: “hampir di semua tempat di Toba dapat ditemukan mata rantai yang
menghubungkan antara marga dan huta, antara kelompok suku dan daerah
asalnya. Hubungan tersebut tidak selalu jelas terlihat dan tidak mempunyai
tanda-tanda yang mudah dikenal. Terdapat tiga factor utama yang mengikat
penduduk sehingga bersedia tinggal di suatu tempat yaitu, kesilsilahan, kesamaan agama kepercayaan dan wilayah tempat tinggal yang sama”. Ikatan yang paling menonjol
adalah kesamaan silsilah dan kedua agama. Daya pengikat yang dianggap lebih
longgar dan tidak sekuat factor kekerabatan dan agama. Dalam tiga unsur
identitas yang sangat berpadu inilah pokok penelitian ini diarahkan guna
menjelaskan system pemerintahan (kepemimpinan) pada masyarakat tradisionil
Batak Toba, di mana itu nampak pada apa yang di dalam system struktur
masyarakat Batak Toba disebut sebagai Bius,
Horja dan Huta.
Bius
6. Bius adalah
struktur wilayah dari system pemerintahan Harajaon
Batak dengan wilayah tertentu dan mempunyai rakyat serta pemerintahan. Bius adalah tingkatan pemerintahan yang
lebih tinggi dalam masyarakat Batak Toba dan pemerintahan Bius sangat bersatu dengan ugamo
dan adat. Wilayah Bius terdiri dari
beberapa Horja. Kepala dan pimpinan Bius disebut sebagai Raja Doli. Bius merupakan kesatuan
pemujaan sombaon maksudnya banyaknya
masalah yang tidak dapat ditangani oleh horja
karena berada di luar kemampuannya (seperti musim kering yang sangat panjang,
penyakit kolera yang mewabah, masa panceklik dan panen yang gagal dan lain
sebagainya). Untuk memohon belas kasihan serta perlindungan maka penduduk
membentuk kelompok yang beranggotakan semua marga yang tinggal diwilayah yang
tertimpa bencana. Persekutuan inilah yang
disebut sebagai Bius. Jelasnya, Bius merupakan gabungan beberapa horja yang terdapat dalam satu kesatuan
territorial yang memiliki identitas social tertentu. Marga-marga yang menjadi
anggota suatu Bius memiliki wilayah
yang berbeda. Karena itu mereka merasa bahwa sombaon yang terdapat di wilayah mereka harus dipuja secara
bersama-sama, supaya dewata dapat memberi beri berkat dan ketenteraman di
antara mereka.[19] Pusat
kegiatan Bius disebut dengan Parbiusan (tempat persidangan raja-raja Bius). Raja-raja Bius adalah Partuho Mangajana
yaitu rumpun keluarga sesuai dengan hikmat kebijaksanaan yang dimiliki
berdasarkan kelahiran (partubu).
Dalam mekanisme pengambilan keputusan rapat, apa yang menjadi keputusan
raja-raja Bius adalah sah dan mutlak
menjadi keputusan rumpun keluarga yang diwakilinya dan apa yang disetujui
mereka adalah menjadi persetujuan dari rumpun keluarga. Untuk merencanakan dan
menata pembangunan demi kesejahteraan rakyat Bius, Raja-raja Bius memilih Raja Na Opat Bius[20] sesuai
dengan keahliannya berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang
kepercayaan rakyat Bius. Menurut
fungsinya, Raja-raja Bius (dari sudut
keberadaannya) berasal dari Raja
Jolo-Raja Jolo marga dan dapat diwakili anak sibulang-bulangan marga. Raja
Bius adalah wakil-wakil dari Horja.
Raja-raja Bius inilah sering disebut Partuho Mangajana yaitu pemilik hikmat
kebijaksanaan masyarakat umum sesuai dengan masing-masing marga. Masing-masing Raja Bius memilih Uluan melalui masyarakat Horja.
Uluan adalah pemimpin pelaksana dari
satu-satu Horja dari kesatuan marga
pada Lumban (beberapa Huta). System
kemasyarakatan Lumban (Huta) adalah Dalihan Natolu. Fungsi kekerabatan Dalihan Na Tolu sangat berperan bagi setiap pelaksanaan kegiatan.
Raja-raja Bius berfungsi sebagai
wakil rakyat dan menjadi penyelenggara pemerintahan yang dipercayakan kepada Raja Na Opat Bius. Uluan sebagai pelaksana pada Horja
menugasi para Parhobas sesuai
dengan kemampuannya. Raja-raja Na Opat
Bius membuat rencana rutin tahunan program kegiatan untuk dilaksanakan Uluan Horja tiap tahunnya. Kedudukan Ihutan adalah untuk mengayomi program. Raja-raja Bius di dalam kesepakatan pada
Mangajana (sidang umum) menetapkan
semua hal yang berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat Bius, misalnya untuk perburuan demikian dalam hal perikanan termasuk
semua bentuk gotongroyong. Semua perintah dari Harajaon Batak disampaikan kepada Ihutan melalui Raja Maropat
dan diteruskan ke Bius. Semua
perintah itu dilaksanakan dengan konsekwen dan dirasakan oleh masyarakat
apabila perintah (tona) tidak
dilaksanakan akan mendatangkan bala. Rencana dan program dari Ihutan, terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari Raja-raja Bius, baru
dapat dijalankan oleh Raja Na Opat Bius
atas nama Raja-raja Bius. Perihal rencana dan Program rutin
yang disepekati raja-raja Bius, Ihutan
dalam hal ini adalah untuk mengayomi. Yang menyangkut hukum, baik yang
menyangkut perdata maupun pidana (termasuk adat) ada di tangan Raja-raja Bius setelah mendengar Panimbangi dan Ihutan. Kuasa menyetujui dan untuk melaksanakan suatu ketetapan
berada di tangan Raja-raja Bius. Ihutan juga mempunyai peranan karena ia
dipandang pemilik hikmat kebijaksanaan karena kedudukannya. Bagi masyarakat
Batak Toba ikatan yang paling mendasar bagi pengembanan aspek hukum, ini
dilihat dari segi kerohanian dan dianggap ritual. Sulit bagi masyarakat Toba
mengingkari perintah dari Ihutan
termasuk perintah dari Raja-raja Bius, setiap
perjanjian baik berbentuk tulisan maupun lisan, ini sangat kuat dan sulit
dibedakan nilainya. Ungakapan Batak Toba mengatakan “Hori ihot ni doton, hata siingoton” artinya bahwa: “kata-kata sangat mahal harganya”. Kuasa Bius, ini didelegasikan kepada Raja Na Opat Bius yang meneruskan ke Uluan Horja dan seterusnya kepada Raja Jolo Lumban sampai Tunggane Huta dari Huta. Dalam hal rapat
ketua sidang Bius adalah seorang dari
Raja Doli[21],
tetapi harus dari marga siahaan (marga
yang tertua) dan yang terpilih menjadi ketua dan dinamakan sebagai raja bolon (raja besar, raja mulia).
Salah satu bukti bahwa Bius tergolong
organisasi wilayah yang menyangkut soal-soal pemerintahan yaitu bahwa setiap
keputusan Bius tidak bisa dibantah
maupun dibandingkan sebab tidak ada lagi organisasi yang lebih tinggi dari Bius. Kalau seseorang tidak menerima
keputusan rapat Bius, maka
satu-satunya jalan adalah melakukan perang yang dinamakan manguji (mencoba) antara orang yang diadili di pengadilan Bius.
Horja
7. Pengertian Horja
dalam masyarakat Batak Toba bermacam-macam. Ada yang memahami sebagai pesta yang dilakukan oleh salah satu
cabang marga yang telah beratus tahun mendiami satu wilayah tertentu (pesta sahorja). Kalau dihubungkan dengan
upacara yang berbau keagamaan kuno, maka sahorja
horbo, berarti satu pesta memotong kerbau. Pengertian lain dari Horja adalah satu kelompok cabang marga
yang didasarkan kesatuan memakan daging dari perkawinan boru (sahorja mangan tuhor ni boru-sepesta makan tuhor boru). Di
daerah Humbang, Horja diartikan sebagai wilayah tertentu yang dihuni oleh satu
marga saja. Di Tapanuli Selatan Horja diartikan
sebagai Luat (wilayah, tempat). B.A. Simanjutak[22]
memberikan defenisi Horja sebagai
yang menguasai hukum pertanahan adat yang dalam hal ini Horja sebagai wilayah marga atau territorial marga. Horja adalah struktur dan organisasi
wilayah yang terdiri dari beberapa wilayah Huta,
di mana kepala/pimpinan Horja dinamakan
sebagai Raja Parjolo (raja terdepan)
yang didampingi oleh beberapa Raja
Partahi (raja perencana). Dalam masyarakat Batak, pesta horja hanya dilaksanakan oleh mereka
yang semarga. Bisuk Siahaan[23] mendefesnisikan horja sebagai sebuah federasi atau persekutuan bersama yang
dibentuk oleh bebrapa kampung (huta) dan sifat persekutuan itu adalah otonom.
Fererasi huta yang disebut sebagai horja hampir selalu memiliki kampung
induk. Horja merupakan unit yang
masing-masing terikat satu dengan yang lain secara kesilsilahan, meskipun di
antaranya terselip maraga-marga lain yang sudah dianggap sebagai anggota
keluarga. Horja berhak mengikat janji
dengan horja lain, misalnya untuk
kepentingan bersama antara lain pertahanan. Awalnya, federasi horja adalah masyarakat kurban, tetapi
lama-kelamaan berubah menjadi masyarakat hukum, yang secara langsung mengurus
kepentingan duniawi warganya. Lebih jelas uraian Bisuk Siahaan[24]
mengenai Horja mengatakan bahwa
menurut tugasnya, Raja Parjolo
sebagai pimpinan Horja, ia berhak
menyatakan perang dan mengatur pekerjaan pekerjaan besar yang ada kaitannya
dengan kepentingan anggota. Dan juga mengatur persiapan horja rea[25] (pesta
persembahan besar) dan membawakan doa-doa ritual (martonggo) walau pemimpin upacara martonggo tetap ada pada parbaringin.[26]
Tugas dan wewenang parbaringin dalam ritual keagamaan adalah mempersembahkan
kurban kepada “Debata Mula Jadi Na Bolon,
sombaon dan roh leluhur”. Selama menjalankan tugasnya parbaringin harus
menyisipkan ranting beringin di serbannya, inilah sebagai simbol mengapa ia
disebut parbaringin (parsanggul beringin).
Huta
8. Wilayah
huta bagi orang Batak secara umum berarti kampung. J.C. Vergouwen[27],
mendefenisikan makna Huta (kampung)
bagi orang Batak Toba sebagai: “ sebuah
dunia kecil yang tertutup, satu kesatuan yang hidup dan terdiri dari sekelompok
kecil orang yang terikat satu sama lain secara alami, dan sudah lama hidup di
tempat ini, tempat anak-anak mereka lahir, tempat yang diharapkan menjadi
kuburan mereka sendiri”. Ciri yang menonjol dari umumnya huta (kampung) orang Batak, umumnya dikelilingi oleh parik (tembok yang terbuat dari tanah atau batu) yang tingginya
sampai dua meter dan lebar satu meter. Keliling huta (tembok) biasanya selalu ditanami oleh pohon bambu duri yang
gunanya sebagai benteng untuk melindungi huta
dari serangan musuh.[28]
Huta merupakan tempat tinggal dari orang Batak yang berasal dari satu nenek
moyang (satu ompu) dengan atau tanpa boru. Marga pendiri huta disebut marga raja (marga tano). Marga-marga lain yang
tinggal di huta dinamakan marga boru, mereka ini tidak mempunyai
hak atas tanah. Huta didirikan oleh
satu marga raja dan di dalam setiap huta Batak terdapat raja huta yaitu seorang dari pendiri huta. Raja huta
didampingi oleh pandua (orang kedua,
wakil) serta seorang dari boru yang
ikut bersama dengan marga raja. Bila
satu Huta sudah dianggap padat, orang mengatasinya dengan mendirikan huta baru yang kemudian disebut sosor/pagaran. Alasan lain mendirikan huta karena ada pertentangan atau
perkelahian di antara penghuni sebelumnya. Demikian dengan keinginan untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik atau karena ingin mandiri (manjae) dan memiliki kerajaan sendiri
bebas dari kekuasan huta induk.[29]
Menurut Tampubolon[30]
selanjutnya bahwa sejak penjajahan Belanda menguasai tanah Batak dan membawa
struktur pemerintahan baru serta menerapkannya di kalangan masyarakat Batak,
maka pembukaan huta-huta baru semakin
besar sebab keinginan untuk memperoleh jabatan kepala kampung yang disebut Hampung (dibaca: happung). Soal kepemimpian huta
sesuai penelitian ini dapat ditegaskan bahwa kepemimpinan huta diwariskan dari nenek moyang kepada
anak cucu, artinya kepemimpinan huta harus
tetap di tangan marga raja (pendiri
kampung). Raja huta mengurus segala
keperluan di huta secara musyawarah
dengan saudara-saudaranya serta boru
termasuk mengatur pendirian rumah di dalam huta
juga menghukum orang yang membuat keonaran. Raja
huta berhak penuh dan mutlak mengatur hutanya
dan biasanya pola pemerintahan huta bagi
orang Batak ini sangat otonom.[31]
9. Dalam system pemerintahan Harajaon Batak, system kepemimpinan sebenarnya dimulai
dari huta yang dipimpin oleh Raja[32]
Huta/Tunggane Huta (Tetua kampung) yang didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat Keluarga berdasarkan kekerabatan Dalihan Na Tolu. Kemudian, ke tingkatan
yang lebih atas adalah Lumban yang
dipimpin oleh Raja Jolo Marga Lumban
dan didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat
Marga Lumban berdasarkan kekerabatan keluarga Dalihan Na Tolu. Vergouwen[33]
mengatakan: “hak memerintah di huta (harajaon) adalah hak bersama (hatopan) setiap keturunan patrilinear
langsung sipendiri”. Walau menurut peraturan hukum hak itu dipangku oleh satu
orang dan mungkin hanya terbatas pada cabangnya, keturunan lain pendiri
mendapat manfaat juga dari padanya. Mereka tidak boleh diusir dari kampung (pabilhon) dan mempunyai hak yang tidak
boleh diganggu gugat untuk masuk dan bertempat tinggal di dalamnya jika mereka
menghendaki demikian. Jadi harajaon
adalah semata-mata hak istimewa galur keturunan raja, bukan hak dari galur yang
lebih besar atau dari marga yang menjadi batang tubuhnya. Di masing-masing huta di wilayah harajaon Batak, sebutan
untuk raja huta nampak berbeda. Di
Samosir raja huta disebut sebagai tunggane huta (tetua kampung). Di tempat
lain kadang-kadang dipanggil sebagai siboan
bunti (pembawa persembahan). Sebagai siboan
bunti dialah yang bertugas atas pengelolaan kampung dan penegakan hukum
serta ketertiban dan displin. Dia merupakan keturunan patrilinear pendiri
kampung yang menjadi raja huta pertama.
Jabatan ini, jika mungkin diturunkan dari bapak ke anak atau kepada uaris (ahli waris). Jaman tradisionil
Batak, dari kepala kampung dituntut
satu kwalitas yang lebih banyak sebab pekerjaan kepala kampung sama aneka
ragamnya dengan banyaknya aspek kehidupan kampung.
Tugas-tugas ini dapat
diuraikan sebagai berikut[34]:
a). Bertanggungjawab atas pemeliharaan pelataran kampung dan temboknya,
ia mengatur agar baris rumah-rumah lurus sambil menjalankan pengawasan atas
tanah kampung.
b). Memutuskan apakah
sebuah kebun kecil mesti ditiadakan untuk memberi tempat kepada rumah baru,
ataukah tetap saja begitu, ia membimbing perilaku hukum warga dan membantunya
jika ada tuntutan terhadap siapapun juga atau dalam hal sipeminjam uang membuat
terlalu banyak kesulitan kepadanya.
c). Membimbing perundingan
pertunangan jika putera-puteri mereka akan kawin.
d). Dia mewakili kepentingan kampung dan kerabatan seketurunan jika
terlibat urusan dengan dunia luar. Walau pun dalam tahun-tahun belakangan ini,
agak terdesak ke belakang ia masih tetap sebagai pembesar kampung yang
menjalankan perintah dari pembesar yang lebih atasan.
e). Bertanggungjawab atas
penyelenggaraan peradilan. Penduduk kampung harus menerima kepemimpinannya dan
dibimbing olehnya dan sebagai buktik harus menghormatinya dalam transaksi
seperti perkawinan, penjualan ternak, pelepasan tanah dan lain sebagainya dan
menyerahkan sesuatu sebagai penghormatan, upa raja. Dia pada pihaknya biasanya
memeinta pendapat bawahannya yang tua-tua (natua-tua atau pangituai).
f). Dari yang paling terkemuka di antara mereka ini (Na Mora Boru), orang terpenting dari
kalangan marga penumpang, ia menerima dukungan secara teratur terutama jika
soalnya menyangkut perbedaan pendapat antara ia dan anggota galur seketurunan,
namun kata terakhir ada padanya.
g). Jika terpaksa ia dapat
menggunakan kekuasaannya sebagai kepala, agar perintah yang dikeluarkannya
dipatuhi. Ia adalah pemerintah dan polisi sekaligus dan di masa dulu dia
kadang-kadang menenpatkan pasungan di dekat rumahnya sehingga ia dapat
mengendalikan penduduk yang tidak mau tunduk dengan cara yang terhormat kepada
perintahnya.
Sudah barang tentu hanya
orang berwibawa yang lebih unggul dari penduduk kampung dan yang kata-katanya
tidak dianggap enteng yang bisa menjadi kepala kampung yang sukses (yang
ototritansya dirasakan). Intinya, bagi persekutuan tradisionil Batak kedudukan
kepala kampung sangatlah penting. Dalam praktek kadang-kadang ia tidak
mempunyai kesempatan yang banyak untuk memperlihatkannya.
Struktur Sosial Batak Tradisionil
10. Dalam
masyarakat Batak Toba unsur yang dapat menjelaskan struktur social
masyarakatnya adalah “struktur
kekerabatan” dan “system perkawinan”
serta “dalihan na tolu”. Unsur-unsur
ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Struktur kekerabatan.
Unsur pertama dalam
struktur kekerabatan Batak adalah Marga.
Orang Batak mengenal marga dengan arti: “satu asal keturunan, satu nenek
moyang, sabutuha, artinya satu perut
asal”. Karena orang Batak menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal), maka dengan sendirinya
marga juga berdasarkan garis keturunan bapak. Sejarah lahirnya marga ini
didasarkan pada nenek moyang laki-laki. Menurut Simanjuntak[35],
Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan adalah merupakan bapak
pertama dari marga-marga di kalangan orang Batak. Karena sebelumnya mereka
belum punya induk marga, hanya satu moyang yaitu si Raja Batak. Dalam masyarakat Batak, marga adalah merupakan satu
kesatuan kelompok yang mempunyai garis keturunan yang sama berdasarkan nenek
moyang yang sama. Satus social orang
Batak sangat ditentukan oleh marga. Di dalam hubungan social orang Batak, marga
merupakan dasar untuk menentukan partuturan,
hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang
dari marga yang lain. Fungsi lain dari marga adalah untuk menentukan kedudukan
seseorang di dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar
pergaulan yang di namakan dalihan na tolu
(tungku nan tiga). Dasarnya, dengan mengingat marga ibu, nenek, isteri (isteri
saudara), saudara perempuan dan lain sebagainya yang masih memiliki hubungan
kekerabatan sangat dekat. Dalam konteks ini marga yang menentukan status dan
kedudukan social setiap orang Batak dalam hubungan social adat maupun kehidupan
sehari-hari.
- Perkawinan
Prinsip dasar perkawinan
dalam masyarakat Batak adalah perkawinan dengan orang di luar marganya sendiri.
Artinya system eksogami yakni patrilokal. Perkawinan semarga sangat terlarang,
kalau terjadi sumbang (incest) di
dalam satu marga, kalau perlakuan itu dilakukan oleh mereka yang masih sangat
dekat hubungan kekerabatannya maka keduanya dihukum dan diusir dari huta (dibuang dari rumpun marganya).
Maksud dari larangan ini adalah agar hubungan kekerabatan tidak menjadi kacau
dan tidak menjadi terbalik-balik juga agar hubungan social di dalam struktur
masyarakat tidak menjadi kacau atau rusak. Demikian dengan kedudukan sebagai hula-hula tidak menjadi jatuh. Karena
kalau terjadi demikian, maka boru
menjadi hula-hula dan hula-hula yang pertama menjadi boru. Ini sama sekali tidak dikehendaki
di dalam satu keluarga dekat.
- Dalihan Na Tolu
Banyak ahli mengatakan
bahwa system “Dalihan Na Tolu” bagi
struktur kebudayaan Batak tidaklah mencerminkan system kepemimpinan dan pemerintahan
Batak. Dalihan Na Tolu hanya terbatas
pada lingkup persaudaraan sehari-hari saja. Namun pandangan berbeda dikemukakan
oleh Togar Nainggolan[36] menyimpulkan bahwa: “secara bersama sama di
dalam komunitas system Dalihan Natolu
ada terbentuk system pemerintahan Batak yang disebut sebagai “Panungganei (kaum tua-tua)”. Panungganei adalah badan legislative dan
iudikatif, ia yang membuat aturan dan memutuskan kebijaksanaan dalam hidup
bermasyarakat di huta. Kemudian badan eksekutif ialah marga raja, yang dipimpin
oleh raja huta (kepala dalam huta).
Raja huta melaksanakan aturan bersama, yaitu mengatur ketertiban huta. Raja huta dibantu oleh raja adat, yaitu orang yang pandai dalam
adat. Raja adat ini perlu memberi nasehat kepada marga raja sebab raja adatlah
yang lebih tahu tentang penyesuaian adat dengan perkembangan jaman. Raja adat
boleh dari marga raja atau dari marga lain. Orang pendatang yang tidak termasuk
anggota Dalihan Na Tolu yang disebut paisolat (penumpang) boleh memberi suara
pada rapat paripurna (rapot) godang.
Tekanan Kolonialisme Belanda Terhadap
Sistem
Kepemimpinan dan Pemerintahan Batak
Tradisionil
9. Tahun 1833, saat ini adalah merupakan awal
masuknya pengaruh pemerintahan formal dan modern di tanah Batak yakni melalui
pemerintahan kolonialisme Belanda. Sebelumnya, disebabkan oleh situasi dan
kondisi yang kurang tepat (oleh pertimbangan pemerintah colonial Belanda), baru
pada tahun 1886 tanah Batak diputuskan untuk secara resmi diatur oleh colonial
melalui keputusan Gubernur Sumatera bagian pantai Barat ketika itu yakni
tanggal 16 Oktober 1886. Intensifnya penguasaan ini menuru Lance Castle[37]
kemudian berlangsung tahun 1905 melalui ditandainya permulaan kebijakan baru di
propinsi-propinsi luar” Hindia Timur Belanda (1904-1905). Tahun 1905, H. Colijn
(perdana meneteri Belanda) berkunjung ke Tapanuli dengan tugas utama untuk
mengusulkan suatu reorganisasi untuk menolong daerah terbeklakang seperti
Tapanuli agar dapat meningkatkan kemampuan keuangannya. Akibatnya, tanah Batak
yang masih merdeka ketika itu, seperti: Samosir, Uluan, Dairi, takluk di bawah
kekuasan Belanda. Penaklukan inilah yang sangat merangsang kuat colonial
melakukan pengejaran terus menerus kepada Sisingamangaraja XII yang akhirnya ia
tertembak bersama dengan dua orang puteranya tanggal 7 Juni 1907. Tiga ciri
utama penaklukan Belanda menguasai Tapanuli adalah: pertama, memberlakukan
pajak ditambah dengan pemaksaan kepada penduduk agar menanam tanaman (misalnya
kopi) yang menguntungkan perdagangan Belanda. Kedua: program pekerjaan rodi
terutama untuk pembangunan jalan-jalan membuka ketertutupan Tapanuli dari
daerah lain. Ketiga: pembentukan
pemerintahan daerah yang terdiri dari pejabat-pejabat (orang-orang pribumi)
yang digaji dan dapat dipindah-pindahkan. Analisa Lance Castle, kebijakan
pemberlakukan pajak dan rodi oleh Belanda tidak mendapat perlawanan (protes)
berarti dari penduduk setempat ketika itu. Hanya saja penduduk setempat sangat
membencinya karena pemerintah Belanda tidak mewajibkannya bagi penduduk
non-pribumi (misalnya warga Eropa dan Cina). Akhirnya rodi menjadi pembangkit
kebencian yang efektif terhadap colonial terutama di daerah Tapanuli yang baru
saja dikuasai.[38] Sesuai
dengan pernyataan L. Castle ini, berhubungan dengan pembentukan pemerintahan
daerah yang baru oleh pemerintah Belanda di Tapanuli: Hasellgreen[39]
mengatakan bahwa dengan segala pertimbangan dan saran-saran dari bestuur ambtenar (pejabat-pejabat yang
digaji langsung oleh Belanda dan dapat dipindah-pindahkan) ketika itu, maka
oleh penguasa colonial susunan pemerintahan diatur secara bertingkat dari yang
terendah hingga ke yang tertinggi. Susunannya sebagai berikut: a).Huta
atau Kampung (bagian sulit
ditentukan oleh Belanda statusnya dalam struktur pemerintahan Belanda sendiri)
dikembangkan hingga terdiri dari banyak huta
dan masing-masing huta dipimpin oleh seorang kepala kampung. b). Hundulan dipimpin oleh seorang jaihutan dan raja pandua yang terdiri dari beberapa kampung. Di atasnya adalah negeri
yang dipimpin oleh seorang kepala negeri, daerahnya terdiri dari beberapa
hundulan. c). Sub distrik dipimpin
oleh seorang asisten demang yang
wilayahnya terdiri dari 10-15 negeri. d).
Distrik dipimpin oleh seorang kepala distrik dengan wilayah 2-3 sub
distrik. Jabatan kepala distrik dinamakan demang.
Demang dan asisten demang
langsung menjadi bawahan controleur.
Dalam system Harajaon Batak sebelumnya, otorisasi
wilayah daerah pemerintahan nampak pada Bius
maka dalam penguasaan pemerintahan Belanda, Bius tidak lagi disebut tetapi
sudah menjadi negeri dan dipimpin oleh seorang kepala negeri yang disebut Raja Ihutan. Pengertian raja (sebagai
gelar raja Ihutan) dalam hal ini,
nampak kuasa Raja Ihutan sudah sesuai
dengan pengertian raja yang sebenarnya yakni memerintah. Hak-hak Raja Ihutan sudah semakin banyak dan
mutlak, sedangkan pengertian Bius kemudian berubah kepada wilayah daerah
kebudayaan. Semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan selama ini dalam hal
persetujuan dan penyelenggaraan pemerintahan atas nama Bius, semua beralih menjadi persetujuan dan penyelenggaraan Raja Ihutan. Fungsi-fungsi Raja-raja Bius yang sebelumnya dipimpin
oleh Ulu Bius (Raja Doli), masa
penguasaan Belanda: itu kemudian hanya berkaitan pada adat istiadat baik
mengenai spiritual maupun menyangkut dengan harta (juga yang berkaitan dengan
kebudayaan). Pengertian “Horja, dan Huta”[40]
pun menjadi berubah yaitu menjadi wilayah daerah kebudayaan terutama pengertian
Huta dari system pemerintahan ala Harajaon Batak berubah menjadi hanya
tempat tinggal yang terikat dengan adatnya sama dengan pengertian kampung
sekarang ini. Raja Ihutan berdasarkan
system pemerintahan colonial dalam hal hukum beralih dari kuasa Bius menjadi kuasa-kuasa kepala negeri
(wewenang Raja Ihutan). Jika dahulu
kuasa hukum dan adat di tangan Raja-raja Bius maka dalam system
penguasa hukum dan adat berada di tangan Raja
Ihutan. Hanya dalam hal pertimbangan hukum dan adat yang diminta dari
raja-raja Bius sedang keputusan
berada di tangan kepala negeri.
Sebelum sesuatu pelanggaran hukum dan adat disampaikan kepada pengadilan yang
dikuasakan kepada asisten demang, demang dan controleur ini masih dapat diselesaikan oleh Raja Ihutan dengan Raja-raja
Bius. Kalau pelanggaran tadi tidak dapat diselesaikan, maka baru
disampaikan kepada pengadilan kepolisian colonial Belanda. Melalui cara ini
setahap demi setahap dan pasti kekuasaan pemerintah colonial semakin diutamakan
di tanah Batak dan akhirnya membuat dan menetapkan belasting (pajak) rakyat dan upah raja ditetapkan besarnya dari
setiap kegiatan termasuk dari hasil jual beli (termasuk jual beli ternak babi).
11. Dalam bukunya Lance Castle mengatakan bahwa
Belanda sangat memanfaatkan unsur karakter Batak dalam menunjang program
politiknya terhadap soal pemerintahannya di tanah Batak. Unsur itu adalah
konsep tentang “sahala dan hasangapon”.[41]
Didefenisikan oleh Castle
bahwa “sahala” merupakan kwalitas
tertentu dari tondi seseorang Batak.
Seorang pemimpin yang kuat harus memiliki “sahala”
demikian orang tua terhadap anaknya, datu
terhadap muridnya, hula-hula terhadap
boru-nya. Para
dewa dan leluhur yang mempunyai banyak keturunan mempunyai sahala. Pada kaitannya, sahala
adalah perwujudan kekuatan supranatural juga sebagai perwujudan dari konsep
ketuhanan yang tertinggi bagi orang Batak. Seorang pemilik sahala dengan
sendirinya memperoleh hasangapon (kehormatan).
Bagi orang Batak umumnya sahala harajaon
adalah suatu kwalitas kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah. Oleh sebab
itu, sebuah sahala harajaon hanya
dapat dilihat dari buahnya. Bagi orang Batak tradisionil, seorang laki-laki
dengan banyak anak cucu dan menjadi kaya raya karena bertani, berdagang atau
berjudi, yang lewat perkawinan mempunyai kerabat yang berpengaruh, pandai
berpidato serta gagah perkasa dalam perang, jelas sebagai seorang yang sempurna
dari sudut sahala dan hasangapon. Mendapatkan “hasangapon dan sahala”, inilah merupakan motif
politik utama yang dilihat dan dimanfaatkan oleh Belanda jaman penguasaan
mereka di tanah Batak. Oleh karena itu, dalam hal pembagian wilayah
pemerintah colonial Belanda sangat berusaha memadukannya menurut system
bentukan mereka dengan system Harajaon
Batak. Melaluinya, Belanda membuat system pemerintahan Harajaon Batak berubah
menjadi system kebudayaan. Bila masa sebelum penjajahan Belanda, kegiatan
menyeluruh masyarakat Batak Toba langsung dilaksanakan sendiri tanpa campur
tangan penguasa colonial, maka masa sejak awal penguasaan colonial, dengan
berkedok budaya Batak Toba, mereka kemudian memperalat orang-orang Batak untuk
menjalankan prinsip penjajahannya di tanah Batak sendiri[42].
Intinya, sebagai akibat penjajahan maka wilayah pemerintahan Harajaon Batak, ini berubah menjadi wilayah
kebudayaan. Caranya yakni dengan dengan memadukan kuasa pemerintahan Belanda
dengan kuasa Bius yang sudah
dikebiri. Oleh Belanda Ihutan
(sebagai Ulu Bius) dipilih oleh Raja-raja Bius melalui musyawarah Mangajana. Raja Ihutan kemudian menjadi kepala negeri yang dipilih langsung
oleh rakyat negeri dari marga-marga tanah (marga-marga yang mula pertama
mendirikan huta di satu-satu
wilayah/daerah, merekalah yang disebut Sisuan
Bulu/Sisuan Baringin). Masing-masing marga tanah menentukan calonnya
menjadi Raja Ihutan. Semua rakyat
yang sudah berumahtangga berhak untuk memilih sedang para pemuda (naposo) belum diperkenankan untuk
memilih. Siapa yang memperoleh suara terbanyak dialah yang diajukan kepada controleur dan beslitnya (surat
keputusannya) diterbitkan asisten residen
atau residen. Penyelenggara pemilihan
adalah Raja-raja Bius dibantu oleh Ulu Balang di negeri itu. Apa bila Raja Ihutan sudah mendapat beslit (surat keputusan) maka ia dilantik dengan
jalan memberikan pakaian kelengkapan untuk seorang raja dalam arti sebenarnya.
Melalui Raja Ihutan, apa maksud dan
tujuan pemerintah colonial dapat diwujudkan. Melalui ini, fungsi raja-raja Bius semakin berkurang karena
keputusan sudah berada di tangan Raja
Ihutan. Jika Ulu Bius (Ihutan) mempunyai hak untuk mengayomi
dan merestui keputusan Raja-raja Bius
maka fungsi Raja Ihutan sudah berubah
menjadi mutlak.[43]
Tanggapan
Dari Orang Batak
Terhadap
Tekanan Belanda
12. Awal perkembangan baru terjadi di Tapanuli
akibat tekanan Belanda mulai nampak tahun 1890, dengan munculnya berbagai sekte
agama tradisionil baru yang mengandung unsur-unsur sinkritisme (mereka inilah
yang disebut Parmalim). Kelompok ini
awalnya didirikan oleh Guru Somalaing Pardede dari Balige yang sebelumnya ia
adalah seorang datu yang menguasai
ilmu mistik Batak tradisionil seperti ilmu gaib, penyembuhan dan aksara Batak.
Guru Somalaing adalah salah seorang contoh orang Batak tradisionil yang
kehilangan reputasi (sahala/wibawa) akibat
perkembangan kekristenan di tanah Batak. Dalam menyebarluaskan pengaruhnya Guru
Somalaing menaburkan propaganda kebencian kepada Belanda juga kepada para
misionaris di Tapanuli. Pada akhirnya unsur kebencian inilah yang sangat
menentukan bagi Belanda membuangnya dari Sumatera tahun 1896 walau sebelum ia
ditangkap ia telah berhasil menyebarluaskan ajarannya ke berbagai daerah Toba
(Habinsaran) hingga ke daerah Asahan. Sepeninggal Guru Somalaing, para
pengikutnya kemudian mengembangkan aliran ini dengan berbagai cara. Salah satu
di antaranya yakni melalui munculnya aliran tradisional baru dengan apa yang
dinamakan sebagai: Parsiakbagi
(artinya: yang bernasib malang).
Aliran ini dimunculkan oleh Jaga Siborutorop (nama samaran). Gerakannya agak
hati-hati dan ajarannya agak bercampur dengan ajaran Parmalim menurut Guru
Somalaing dengan ajaran kekristenan sebab dalam ajaran Parsiakbagi ditekankan:
“hanya Yesus sebagai sang guru”. Aliran ketiga adalah kaum Parsitekka: kelompok ini merupakan perkembangan lanjutan dari
Parmalim dan Parsiakbagi. Parsitekka dalam mengembangkan ajarannya agak berbeda
dengan dua aliran disebutkan yang mendahuluinya. Sebab bagi Parsitekka,
tokoh-tokoh mitos Batak (Naga Padoha, Raja Uti, dan lain sebagainya) ini tegas
ditolak. Aliran keempat adalah Parhudamdam
dengan tekanan akan munculnya Harajaon Batak yang baru di bawah kepemimpinan
Raja Sisingamangaraja yang melepaskan orang Batak dari system kerja paksa
(rodi) dan pajak yang diberlakukan oleh Belanda. Menurut Lance Castle[44]
bahwa yang terpenting diperhatikan bagi munculnya berbagai gerakan paganisme
Batak tradisionil baru seperti disebutkan di atas adalah semangat mereka yang
ditimbulkan oleh kebencian terhadap orang kulit putih (Belanda dan para
misionaris) juga dengan harapan bahwa orang-orang itu suatu waktu akan dapat
diusir pada hari perhitungan kelak.
Refleksi Teologis
Tema ini
Terhadap Kepemimpinan
Jemaat
13. Penting diperhatikan pernyataan William
Skidmore[45] tentang
beberapa hal dalam rangka mempertahankan sebuah system kemasyarakatan, yakni:
a. Setiap
system harus memiliki suatu alat untuk memobilisasi sumber-sumbernya agar dapat
mencapai tujuan-tujuannya (goal
attainment).
b. Setiap system harus mempertahankan
koordinasi internal dari dalam bagian-bagiannya dan membangun cara-cara yang
bertautan dengan deviasinya. Dengan kata lain, dia harus mempertahankan
kesatuannya (integration).
c. Setiap
system harus mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam keadaan seimbang.
Melalui
hikmat pernyataan W. Skidmore ini, beberapa hal dapat dikatakan bahwa:
a. Kepemimpinan
yang kolektif, koordinatif dan organistik
Menarik
pernyataan Frans Magnis Suseno[46]
mengenai legitimasi kekuasaan sosiologis secara tradisionil, mengatakan: “salah
satu legitimasi kekuasaan kepemimpinan tradionil secara sosiologis adalah
wibawa (sahala: kharisma). Dalam
pengalaman orang Batak tradisionil bahwa legitimasi kekuasaan melalui
charisma/wibawa (keabsahan kekuasaan berdasarkan charisma) inilah yang palig
menonjol di mana keberhasilan kepemimpinan sangat ditentukan oleh rasa hormat
dan kagum terhadap pribadi yang mengesankan, sehingga membuat orang lain yang
dipimpin menjadi taat/patuh. Dalam hal ini, legitimasi merupakan keyakinan yang
ada dan hidup di dalam sebuah konteks serta dilakoni masyarakat dengan penuh
kesadaran bahwa seorang pemimpin itu memang wajar dan patut dipatuhi dan
dihormati. Sejauh ini, bingkai kepemimpinan yang kolektif, organisitik dan
koordinatif sebagai ciri yang paling menonjol nampak pada system kemimpinan
tradisionil Batak Toba. Ketiga bingkai ini, menurut penulis sangat sesuai
dengan cita-cita hidup masyarakat Batak Toba yang tidak dapat dipisahkan dari
tujuan hidup sebagai manusia yang sempurna. Maksudnya terhadap kesempurnaan
hidup seseorang masyarakat Batak Toba, ini sangat ditentukan oleh kemampuannya
melakukan tiga fungsi di dalam perannya sehari-hari yakni: “kolektif,
koordinatif dan organistik” yang nampak dalam aktifitasnya hidupnya di: Huta, Marga, Dalihan Na Tolu, Bius dan Horja sebagaimana telah di jelaskan di atas.
b. Kepemimpinan
Kolektif
Ketika praktek
kepemimpinan Batak sebagai sebuah system, maka di dalamnya ada persyaratan
fungsi yang harus dipenuhi sebagai sebuah system yakni: “adaptasi, tujuan yang
memelihara, dan mempertahankan kesatuannya”. Di dalam aplikasinya, hal itu
diperlihatkan melalui system kolektif “Dalihan
Na Tolu, Bius, Horja dan Huta” yang sekaligus beberapa hal ini
menjadi landasan normativ yang memperlihatkan konsep keseimbangan di dalam
kebudayaan Batak Toba. Di atas keseimbangan system kolektif: Bius, Horja, Huta dan Dalihan Natolu, inilah sekaligus sebagai
sudut pandang (world view) masyarakat
Batak Toba dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan ini, maka berefleksi
dari Timoteus dan Titus terhadap kepemimpinan keduanya pada jemaat mula-mula:
kepada mereka diberikan sebuah tugas menjaga kemurnian ajaran dengan terlebih
dahulu mengiontensifkan sumber daya yang ada di dalam jemaat (I Tim. 4:1-11).
Upaya ini direalisasikan dengan terlebih dahulu mengangkat presbyteros (penatua) dan episkopos
(penilik/pengawas: uskup) sebagai pemimpin di setiap kota. Di dalam perkembangannya, para presbyter akhirnya berperan sebagai
penilik pastoral yang mengatasi penatua Yahudi. Akhirnya, perkembangan dan
praksis penilik pastoral ini melahirkan konsep tentang episkopos. Inilah indikasi yang memberi pemahaman bahwa episkopos dan presbyteros merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan. Sepintas,
melalui kesamaan episkopos dan presbyteros dalam kepemimpinan ini,
nampak kesejajaran bahwa model kepemimpinan di dalam gereja adalah kolektif.
Kolektif bukan berarti meniadakan seorang pemimpin yang mengkoordinasikan
potensi kekuatan dan kekuasaan yang ada. Di dalam Alkitab tidak dikenal jabatan
yang memunculkan asosiasi-asosiasi klerikal dan hierarkis tetapi Alkitab sangat
menekankan jabatan yang diakonal.
Kesimpulan
14. Beberapa
kesimpulan dapat dirangkum terhadap konsep dan system pemimpinan menurut
paradigma tradisionil Batak Toba, yakni:
a.
Dari banyaknya defenisi tentang
kepemimpinan dapat dipahami bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas
tersendiri atau kemampuan untuk mempergunakan sumber daya manusia dan sumber
daya lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan dalam sebuah
organisasi khususnya dan lembaga masyarakat umumnya. Pernyataan ini dapat
berarti bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas khusus untuk mendorong
atau memberi motifasi sehingga orang-orang yang dipimpin dapat dengan semangat
melakukan yang terbaik demi tercapainya visi dan misi kepemimpinan.
b.
System dan konsep kepemimpinan
(pemerintahan: harajaon) menurut
paradigma Batak Toba tradisionil, ini tidak boleh dibandingkan dengan system
pemerintahan dengan bentuk sekarang di mana suatu Negara, kelompok atau lembaga
masyarakat dan lain sebagainya dipimpin oleh seorang (kepala Negara/raja,
kaisar). Ciri yang dominan nampak pada kepemimpinan Batak tradisionil, ini
adalah sebagai perpaduan antara pemimpin pemerintahan dengan pimpinan keagamaan
dan pimpinan adat. Artinya di dalam hubungan masyarakat, ada hubungan yang
sangat kuat mengikat yakni antara kesilsilahan, kesamaan agama dan kepercayaan
serta wilayah dan tempat tinggal yang sama. Dalam konsep inilah realisasi
kepemimpinan Batak tradisionil nyata berlangsung seperti pada: Bius, Huta, Horja dan Dalihan Na Tolu.
c. Secara
historis unsur yang sangat mempengaruhi pandangan Batak tradisionil mengenal
kepemimpinan menurut paradigma modern, ini sangat dominan terjadi melalui
pengaruh kolonisasi Belanda di tanah Batak (pengaruh kekristenan akan dibahas
pada judul tersendiri). Artinya, dengan masuknya pengaruh kolonisasi Belanda di
tanah Batak demi percepatan tujuan mereka, Belanda secara langsung mengatur dan
membentuk serta mengembangkan system pemerintahan desa (huta) di seluruh tanah
Batak. Cara ini ditempuh Belanda demi menunjang program politik mereka agar
segera dapat menguasai tanah Batak. Untuk cita-cita ini, Belanda sangat
memanfaatkan karakter khusus Batak yakni: “sahala
dan hasangapon” yang bagi orang
Batak, “sahala” merupakan kwalitas tertentu dari tondi seseorang. Seorang pemimpin yang kuat harus memiliki “sahala” demikian orang tua terhadap
anaknya, datu terhadap muridnya, hula-hula terhadap boru-nya. Para dewa dan leluhur
yang mempunyai banyak keturunan mempunyai sahala.
Pada kaitannya, sahala adalah
perwujudan kekuatan supranatural juga sebagai perwujudan dari konsep ketuhanan
yang tertinggi bagi orang Batak. Mendapatkan “hasangapon dan sahala”,
inilah yang merupakan motif politik utama
yang dilihat dan dimanfaatkan oleh Belanda jaman penguasaan mereka di tanah
Batak. Oleh karena itu, dalam hal pembagian wilayah pemerintah colonial
Belanda sangat berusaha memadukannya menurut system bentukan mereka dengan
system Harajaon Batak. Melaluinya,
Belanda membuat system pemerintahan Harajaon
Batak berubah menjadi system
kebudayaan. Intinya, sebagai akibat penjajahan maka wilayah pemerintahan Harajaon Batak, ini berubah
menjadi wilayah kebudayaan.
e. Sangat menarik bahwa masyarakat Batak
tradisionil sama sekali sangat tidak mengenal konsep kepemimpinan tunggal
tetapi kepemimpinan kolektif, koordinatif dan organisitik (paling tidak sebagai
duo kepemimpinan atau dwi tunggal). Artinya bagi orang Batak Toba tradisionil,
tidak pernah ada peluang kepemimpinan terjadi melalui dominasi satu orang,
tetapi kepemimpinan itu harus diemban dan dilaksanakan bersama secara kolektif.
Hikmat inilah yang nampak pada: Raja-raja
Bius, Parbaringin, Partuho Mangajana, Raja Na Opat Bius, Ihutan, Panimbangi,
Raja Huta/Tunggane Huta dan lain-lain.
INFORMASI
AWAL TENTANG KEKRISTENAN DI TANAH BATAK
1.
Pendahuluan (1-2). Informasi yang
sudah terkenal pada ilmu sejarah gereja di Indonesia bahwa jauh sebelum
masuknya kekristenan di Indonesia (1511-1596) melalui usaha PI Barat atau
Eropa, pada abad ke-7 kekristenan telah
pernah datang ke Tapanuli, khususnya di daerah Barus Tapanuli Tengah sekarang.
Kekristenan ini dibawa oleh para pedagang Kristen Nestorian yang berasal dari
semenanjung Arab dan Turki ketika itu. Informasi ini dapat dilihat dalam
bukunya Th. Muller Krueger (Sejarah Gereja Indonesia, 1996, lih. juga,
Hutauruk, 125 tahun HKBP, hl. 17) mengatakan: dari sebuah dokumen
sejarah kuno yang ditulis oleh Shaykh Abu Salih al-Armini tentang
Provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya, telah ditemukan daftar biara-biara
dan gereja-gereja Kristen tersebar di mana di daerah Pancur (Sumatera). Menurut
penelitian, daerah Pancur yang disebutkan dalam dokumen ini adalah nama sebuah kota pelabuhan di Barus (Tapanuli Tengah) di mana kota pelabuhan ini sudah
ramai dikunjungi oleh kapal-kapal pedagang dari manca negara sejak permulaan
abad-abad pertama tarikh Masehi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya ketika
itu dihasilkan kapur Barus yang pada waktu itu sangat laris sebagai bahan
perdagangan di daerah India,
Persia,
Mesir hingga daerah Eropa. Kapur Barus ini sangat berguna sangat berguna bagi
bahan utama pengawetan (tradisi Mummi di Timur Tengah) manusia. Hanya
masa sekarang ini, informasi ini sudah merupakan kenangan saja bagi kekristenan
di Indonesia
umumnya dan di tanah Batak khususnya. Menurut informasi lainnya (lih. Walter
Lemp, Benih Yang Bertumbuh XII, LPS PGI) bahwa catatan perjalanan uskup Joa
de Merignolli OFM (duta besar Paus Clemens VI di Peking) melaporkan
bahwa ketika berkunjung ke Sumatera sekitar tahun 1346 menghadap ratu kerajaan
Sriwijaya (hingga tahun 1377 sampai akhir abad ini kerajaan Sriwijaya masih
dalam puncak kejayaannya), Joa de Merignolli mencatat bahwa ia sudah
bertemu dengan banyak orang Kristen di daerah pantai Timur kerajaan Sriwijaya
(Tapanuli) dan sempat melayani orang-orang Kristen itu. Informasi ini juga telah
hanya sebagai kenangan bagi ilmu sejarah gereja khususnya di tanah Batak
sekarang.
2.
Kesinambungan
sejarah gereja Batak
kemudian dapat diurut hingga masa awal abad 19, dengan semaraknya bada-badan
misi Eropa melakukan PI di Sumatera. Beberapa badan zending Barat/Eropa yang
pernah bekerja melakukan PI I tanah Batak (Lih. Andar Lumbatobing, hl. 64ff,
1996)adalah:
a. BMS: Baptist Missionary
Society dari Inggris.
Tahun 1820 badan misi ini
pertama sekali mengutus misionarinya ke tanah Batak (Sumatera) sebanyak tiga
orang (lih. P.B. Perdersen, hl. 45ff), yakni: Richard Burton seorang
yang ahli dalam bidang bahasa dan ilmu bangsa-bangsa, kemudian ia ditugaskan
menterjemahkan kitab suci ke bahasa Batak & bekerja di Sibolga; Nathaniel Ward seorang yang ahli dalam bidang
ilmu kesehatan ditugaskan untuk meneliti wabah penyakit kolera yang mewabah di
daerah Silindung dan Toba untuk sementara tinggal di Bengkulu; dan Evans
seorang yang ahli dalam bidang pendidikan (Guru) ditugaskan menjajaki
kemungkinan dan pendirian badan-badan pendidikan di Tapanuli untuk sementara
tinggal di Padang. Tahun 1924, ketiganya secara serempak memulai aksi misi
mereka di daerah Tapanuli-tanah Batak. Tanggal 4 Mei 1824 saat pertama sekali
mereka tiba di Silindung, mereka disambut baik, ramah dan hangat oleh penduduk
ketika itu. Namun tidak sampai sebulan mereka di daerah Silindung, mereka harus
kembali ke Sibolga karena wabah kolera yang tidak bisa mereka atasi di daerah
ini ketika itu. Hanya dapat ditambahkan bahwa menurut laporan P.B. Pedersen (Darah
Batak dan Jiwa Protestan, 1975) bahwa kesan Burton dan Ward ketika itu kepada orang Batak
menyatakan: “orang-orang Batak menyatakan langsung bahwa mereka tidak sanggup
meninggalkan tradisi-tradisi dan adat yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Orang
Batak menuntut bahwa tidak sebagian kecil-pun dari unsur adat boleh dirubah”.
Menurut Burton dan Ward, orang Batak menawarkan kepada mereka ketika itu: “…jika
anda membawa kami kepada kejayaan, kami siap mendengarkan dan menerima anda”.
Catatan sejarah gereja Batak hingga sekarang menggoreskan bahwa Ricahrd Burton, Nathanael War, dan
Evans adalah tiga orang misionaris pertama yang memasuki tanah Batak dari
badan misi BMS Inggris.
b. NZG: Nederlands
Zendingsgenootschaft dan Beberapa Pendeta Tentara dari Belanda
-
Tahun
1826, badan NZG mencoba mengirim seorang misionaris berkebangsaan Jerman
bernama Karl August Guetzlaff ke Sumatera khususnya daerah Tapanuli.
Namun karena perang Paderi-Bonjol (Sumartaera Barat) tengah berkecamuk melawan
kolonial Belanda maka misionaris ini tidak dapat memasuki Tapanuli ketika itu.
Akhirnya, ia hanya bekerja hanya untuk orang Batavia
dan orang Cina ketika itu di Batavia (Jakarta sekarang), yang
kemudian ia diutus untuk misi PI ke Cina (Hongkong).
-
Tahun
1830-an merupakan waktu pertama sekali pemerintah kolonial Belanda berkuasa di
daerah Tapanuli Selatan. Untuk kepentingan kerohanian para tentara Belanda di sana, kolonial mengutus
seorang pendeta bernama Elout sekaligus mengusahakan PI kepada orang
Batak di Tapanuli Selatan. Catatan sejarah gereja Batak tentang kelanjutan dan
hasil misi misionaris ini tidak banyak diperoleh, namun HKBP mencatat bahwa orang
Batak pertama yang dibaptis menjadi Kristen itu dilakukan oleh Van Asselt
seorang misionaris dari lembaga misi Ermelo Belanda. Peristiwa
pembaptisan orang Batak itu berlangsung tanggal 31 Maret 1861 yakni kepada
Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar.
c.
ABCFM: American Board of Commisioners for Foreign Missions
Bandan
zending ini berpusat di Boston Amerika dan tahun 1834 mengutus dua orang tenaga penginjil ke tanah Batak, yakni:
Henry Lyman dan Samuel Munson. Dua orang misionaris ini adalah lulusan: “Andover
Theological Seminary (1832)”, yang sebelum tiba di Tapanuli untuk beberapa
waktu mereka belajar bahasa Melayu di Jakarta dan bulan Juni 1834 mereka tiba
di Sibolga. Pada bulan ini juga (23 Juni) mereka meninggalkan Sibolga menuju
pedalaman Tapanuli (Silindung). Sebelum sampai di Silindung, di sebuah desa
bernama Lobupining (desa
yang terletak antara Sibolga dan Tarutung) mereka mati terbunuh yang diduga
dilakukan oleh masyarakat setempat. Beberapa dugaan mengapa mereka di bunuh
oleh masyarakat Lobupining, adalah: 1. Mereka di duga sebagai mata-mata Belanda
yang pada waktu itu telah terdengar berita ke masyarakat Batak bahwa kolonial
Belanda akan berkuasa hingga ke Tapanuli yang sebelumnya sudah berkuasa di
Tapanuli Selatan ; 2. Ada dugaan bahwa mereka juga dibunuh oleh para pembantu
mereka snediri dengan motif meramps barang-barang bawaan mereka ; 3. Dugaan
lain mengatakan bahwa mereka juga dibunuh oleh tentara Belanda dengan alasan
bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak menghendaki pekerjaan misionaris di
Tapanuli demi kepentingan politik mereka ; 4. Rasa anti pati masyarakat
setempat kepada orang kulit putih karena penyerbuan tentara Paderi ke tanah
Batak waktu itu disebabkan oleh kehadiran dua orang kulit putih (Burton dan
Wards) sepuluh tahun sebelumnya ke daerah Siindung. Peristiwa pembunuhan dua
orang misionaris ini, hingga sekarang meninggalkan kesan yang kurang baik bagi
masyarakat Batak secara umum walau dari penjelasan di atas tidak jelas
informasi benar tidaknya peristiwa itu dilakukan oleh Batak. Namun akhir abad
19 orang Kristen Batak membangun tugu sebagai monumen peringatan tentang
kemati-martyran Munson dan Lyman di Lobupining. Pada nisan mereka dituliskan
perkataan Tertulisanus, seorang Bapa Gereja mula-mula, berbunyi: “darah
para martir merupakan benih bagi pertumbuhan gereja”.
d.
Badan Zending Ermelo Belanda
Agaknya
walau bukan yang paling berhasil, sejak awalnya badan zending Belandalah yang
paling banyak melakukan UPI di daerah Tapanuli (tanah Batak). Melalui laporan Frans
Junghun (1847) seorang warga negara Jerman yang atas permintaan pemerintah
kolonial Belanda pernah memimpin suatu ekspedisi (perjalanan) ke tanah Batak
(1840-1841), maka lembaga Alkitab Belanda mengutus Neubronner van der Tuuk
(tahun 1849) dan tinggal di Barus mempelajari bahasa Batak dan berhasil menulis
dan menyusun beberapa buku tentang tata bahasa Batak, kamus bahasa Batak-Belanda
dan menterjemahkan beberapa buku Alkitab ke bahasa Batak. Melalui hasil
pekerjaan van der Tuuk ini, perkumpulan orang Kristen petani di Ermelo Belanda
mengutus seorang misionaris bernama Van Asselt ke tanah Batak dan ia
tiba di Tapanuli Selatan tahun 1856. Selanjutnya, karena badan zending Ermelo
tidak sanggup membiayai UPI Van Asselt, ia bekerja di sebuah perkebunan Belanda
di Tapanuli Selatan. Karena kuatnya pengaruh Islam di daerah Tapanuli Selatan,
Van Asselt tidak berhasil melakukan UPI-nya karena masyarakat di sana sudah banyak yang
menganut Islam. Hingga tahun 1857, beberapa misionaris lainnya di utus ke Tapanuli Selatan, yakni: Dammerboer yang
kemudian menetap di Hutaimbaru (Angkola), Van Daalen di Pargarutan, Betz
di Bunga Bondar (Sipirok). Dalam
pekerjaan UPI ketiga orang misionaris ini, mereka mendapat dukungan dari badan
PI yang berkedudukan di Jakarta.
Akhirnya, hingga tahun 1861, Van Asslet bersama Betz bergabung dengan para
misionaris utusan badan zending RMG di Tapanuli Selatan. Tanggal 31 Maret 1861,
Van Asselt berhasil membaptiskan dua orang putera Batak menjadi Kristen, yakni:
Yakobus Tampubolon (sebelum Kristen bernama: Main Tampuboon), Simon
Siregar (sebelum Kristen bernama: Pagger Siregar). Dammerboer dan Van der
Tuuk tidak mau bergabung dengan badan zending RMG, tetapi mereka mencari
pekerjaan sebagai guru pemerintah Belanda ketika itu.
e. RMG:
Rheinische Missiongesllschaft ( lalu menjadi VEM-zending Barmen)
Badan
zending ini yang paling berhasil melakukan UPI di tanah Batak, dan badan
zending inilah yang melahirkan gereja HKBP sekarang. Pekerjaan badan zending
ini, diawali dengan mengutus misionaris Heine dari Jerman ditambah
dengan Klammer (seorang bekas misionaris RMG yang melarikan diri dari Kalimantan karena
perang Hidayat melawan orang kulit putih di daerah itu tahun 1859). Dua orang
misionaris ini bergabung dengan Van Asselt dan Betz di Tapanuli Selatan, hingga
ke empat orang misionaris inilah atas prakarsa Van Asselt (P.B. Pedersen,
hl. 52-54) pertama sekali mengadakan rapat koordinasi kerja misi tanggal 7
Oktober 1861 di rumah seorang penduduk setempat bernama Bondannalotot
Nasution di Prau Sorat-Sipirok. Rapat koordinasi misi itu,
membicarakan tentang: “metode kerja misi di tanah Batak sekaligus membagi
wilayah kerja mereka”. Tanggal rapat koordinasi kerja mereka inilah yang
kemudian oleh badan zending RMG ditetapkan sebagai hari lahirnya gereja-gereja
Batak (HKBP). Secara kebetulan, orang Kristen Batak melihat bahwa huruf pertama
dari masing-masing nama ke empat misionaris ini (Heine, Klammer, Betz
dan V(P)an Asselt) dianggap sebagai ilham dan nubuatan kemudian untuk
nama gereja HKBP. Penting diingat bahwa ada dua moment sangat penting
berlangsung saat rapat koordinasi ini diadakan, yakni: oleh RMG melalui
pimpinannya Fabri di Jerman peristiwa itu merupakan penggabungan kerja
badan misi Belanda dengan RMG-Jerman dan sekaligus sebagai penyerahan badan
misi Belanda ke RMG di tanah Batak.
f.
Java
Comitee (Komite Jawa)
Badan zending ini berasal
dari negeri Belanda, awalnya bertujuan memajukan UPI di pulau Jawa. Badan ini
mulai bekerja di tanah Batak tahun 1864, khususnya di Hutaimbaru dan
Pargarutan Tapanuli Selartan. Badan zending ini sempat merekrut anggota
jemaatnya di Tapanuli Selatan hingga sebanyak 5000 orang. Namun tahun 1931
anggota jemaat ini bergabung dengan HKBP, karena dasar pertimbangan bahwa
jumlah ini masih kecil untuk mendirikan/membentuk satu gereja yang berdiri
sendiri.
g. Mennonit (Doopgezinde
Zendingsvereeniging)
Badan zending ini juga
berpusat di negeri Belanda, namun para misionarisnya berasal dari berbagai
negara di Eropa. Beberapa misionaris Mennonit dari Ukraine Rusia
sempat bekerja di Pakantan Tapanuli Selatan (1869-1918) dan sempat
mendirikan beberapa jemaat di sana.
Misionaris Mennonit terakhir yang bekerja di Pakantan adalah Iwan Tissanov
yang akhirnya tahun 1918 pindah ke daerah bandung
(Jawa). Namun karena pertimbangan seperti di atas, jemaat ini bergabung dengan
HKBP tahun 1931.
h. BNZ: Batak Nias Zending
Badan zending ini adalah
bentukan orang-orang (termasuk pemerintah kolonial) Belanda di Indonesia yang
tujuannya mengambil alih semua hasil pekerjaan RMG di tanah Batak dan Nias.
Pertimbangan ini ditempuh karena kalahnya Jerman masa puncak PD II di Eropa
(Mei 1940) di mana semua misionaris RMG (Jerman) ditangkap dan dipenjarakan
oleh tentara Belanda di Indonesia. Setelah penangkapan para misionaris RMG ini,
badan zending BNZ berusaha merebut kepemimpiunan gereja Batak (HKBP) dan gereja
Nias (BNKP), walau usaha itu tidak berhasil, karena para pendeta pribumi sangat
bertekad untuk mandiri dalam segala dalam gereja. Akhirnya, BNZ hanya dapat menguasai sebagian
besar asset RMG seperti sekolah-sekolah zending, RS dan usaha-usaha lainnya.
Setelah Jepang berkuasa di Indonesia
tahun 1942, BNZ hilang lenyap dan seluruh asset RMG yang sempat dikuasai BNZ
kemudian diambil alih oleh Jepang.
i. Samosir Zending.
Badan ini dibentuk di
negeri Belanda bekerja sama dengan RMG dan zending Batak. Tujuannya membantu
UPI di daerah Samosir sebagai salah satu daerah PI yang agak terbelakang
dibandingkan dengan daerah lainnya di tanah Batak. Misionaris yang sempat
dikirim dan pernah bekerja di Samosir melalui badan ini adalah Ds. M. Vink,
Ds. J. Bos dan Rychoek.
3. Sebuah Analisa Tentang Situasi Awal
Pengkristenanan Tapanuli. Merujuk
pada penekanan tema pembahasan ini (bnd. tema pert I) beberapa penilaian
dapat dikatakan sebagai berikut:
a. Sebenarnya agama Kristen
hadir di Tapanuli tepat pada situasi yang benar (cocok) di tengah kekacauan
social di seluruh tanah Batak berlangsung. Banyaknya misionaris dan lembaga
zending asing bekerja di Tapanuli Selatan dan Utara, sebenarnya hanya yang bekerja di Tapanuli Utara saja
yang di bawah pengaruh kekuasaan Belanda. Di satu sisi, pengawasan pekerjaan
misionaris yang ketat oleh Belanda di Tapanuli Utara sementara di Selatan
kurang dikontrol, sikap ini sangat berhubungan langsung dengan keamanan
realisasi politik kolonial ketika itu
sebab daerah Utara kurang menguntungkan bagi tujuan Belanda bila dibandingkan
dengan Selatan. Tujuan utama Belanda dalam hal ini adalah keuntungan oleh
system perdagangan, ini terbukti kemudian melalui didirikannya
perusahaan-perusahaan perkebunan di hampir semua wilayah tetangga Tapanuli
Utara walau secara tidak langsung pendirian perkebunan-perkebunan ini mematahkan
isolasi masyarakat dan tanah Batak dari daerah sekitarnya.
b. Hadirnya pekerjaan misi di
Tapanuli di mana pengaruh Belanda sudah mendahului di daerah tetangga, kesan
yang ditemukan melalui keadaan ini adalah bahwa misi pada akhirnya menjadi
suatu pertandingan antara agama Kristen dengan Islam bagi orang Batak.
c. Bila lembah Silindung pada
masanya kemudian menjadi satu pintu gerbang utama yang baru bagi masuk,
bertumbuh dan berkembangnya agama Kristen, ini kemudian merujuk pada sifat
antusiasme dan dedikasinya anggota-anggota Kristen Batak yang tidak kenal
takut, yang akhirnya menjadi suatu faktor yang sangat penting bagi penyebaran
agama Kristen di seluruh tanah Batak bahkan hingga ke seluruh wilayah tempat di
mana gereja Batak tersebar. Berhubung dengan pernyataan ini, orang Kristen
Batak modern menyaksikan: “dimana ditemukan orang Kristen Batak, di sana ada seorang yang berbicara mengenai imannya, di mana
dua orang, di sana ada pertemuan doa, di mana
ada tiga orang di sana
terdapat sebuah gereja, dengan empat orang, suatu koor atau paduan suara”. Pernyataan
ini sebenarnya menggambarkan sifat dinamis dan antusiasme misi orang Batak
untuk menyaksikan imannya sebagai orang Kristen yang sudah menerima Injil
sebagai terang bagi hidup mereka.
METODE
KERJA MISI BADAN ZENDING RMG
(LAHIR DAN
BERKEMBANGNYA GEREJA BATAK)
1.
Pendahuluan. Sebagaimana pada penjelasan pertemuan lalu (Ke-III) telah
dijelaskan bahwa perkembangan dakwah Islam dan misi PI Kisten di Indonesia
umumnya dan di Tapanuli (Sumut) khususnya, keduanya turut (paling tidak)
dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Keadaan ini jugalah
yang berlangsung pada sejarah misi Kristen dan dakwah Islam di Tapanuli masa
pertengahan abad 19 (sebelum dan sesudah tahun 1861). Penguasa tertinggi
pemerintah Belanda yang membawahi seluruh Sumatera ketika itu, yakni Jenderal
Thomas Stamford Rafles yang berkedudukan di Bengkulu, sangat kuat mendorong
usaha penginjilan dilakukan di tanah Batak agar maksud Rafles terwujud yakni: memisahkan
orang Aceh (daerah paling Utara Sumatera) yang sudah dominan Islam dengan orang
Minangkabau (Selatan Tapanuli) yang juga sudah dominan Islam. Kebijakan ini
juga merupakan bagian sistem politik
Rafles (umumnya Eropa: misal Belanda di wilayah kekuasaan Hinda Belanda yakni Indonesia;
dan Inggris umunya daerah ASEAN) yang bertujuan
memecahbelah dan mengalahkan penduduk (de vide et impera)
ketika itu (lih. P.B. Pedersen, hl. 45). Berhubung dengan ini, ketika
pertama sekali badan zending BMS mengutus tiga orang misionarisnya bekerja di
daerah tanah Batak (1820: Burton,
Ward dan Evans) dan menjadikan Sibolga sebagai titik berangkat mereka ke
Silindung, perang Paderi (Bonjol) yang dipimpin oleh Tuanku Rao sangat berusaha
menduduki Tapanuli dengan menjadikan Sibolga sebagai pangkalan utama Islam di
Tapanuli. Tujuan penyerangan-penyerangan ini, di samping mempersempit ruang
gerak pemerintah kolonial, juga untuk memperluas pengaruh Islam di tanah Batak.
Dapat dikatakan bahwa walau tidak lebih jauh pengaruh Islam di tanah Batak
(umumnya Silindung, Humbang dan Toba), tentara Paderi sudah menguasai tanah
Batak dari tahun 1818 hingga masa selanjutnya. Realitasnya juga, bahwa hingga
akhir abad 19, ketentaraman pemerintah kolonial Belanda sangat diancam/diganggu
oleh pemberontakan-pemberontakan pasukan Islam (Paderi) secara umum. Hikmat
yang dapat dipetik melalui keadaan ini secara menyeluruh bahwa agama Kristen
tiba dalam suatu suasana yang tepat dan cepat oleh kekacauan social di seluruh
Tanah Batak. Di tengah pengaruh dan kepentingan politik pemerintah kolonial
Belanda demi tujuan keuntungan perdagangan kolonial, misi dan dakwah menjadi
suatu pertandingan antara Islam dan Kristen bagi orang Batak di tanah Batak.
Demikian di tengah menguatnya pengaruh Belanda, pendirian perkebunan-perkebunan
di wilayah-wilayah yang mengelilingi tanah Batak menjadi kekuatan tersendiri
untuk mematahkan isolasi masyarakat Batak dari daerah sekelilingnya (lih.
P.B. Pedersen, hl. 64-65).
2. Sebagaimana ditekankan di atas, nampaknya
terlepas dari sudut kepentingan dan tujuan politik kolonial, demikian
tekanan-tekanan dari pihak Islam, misi zending kekristenan nampak harus terus
diperjuangkan di Tapanuli. Dan badan zending yang paling berhasil mendirikan
gereja di tanah Batak adalah Rheinische Missiongesllschaft – RMG (kemudian
badan zending ini berobah nama menjadi VEM: Vereinte Evangelische
Mission ; kemudian menjadi menjadi UEM: United Evangelical
Mission) yang tahun 1859 direkturnya Dr. R. Fabri datang ke Amsterdam
menemui pemerintah Belanda guna membicarakan masalah misi selanjutnya di
Kalimantan akibat bergejolaknya perang Hidayat tahun 1859 di sana, dimana
akibat perang itu juga para misionaris RMG turut terbunuh sebab ketika itu
Kalimantan juga merupakan wilayah kerja
misi RMG yang dirintis sejak tahun 1835. Masa kunjungan inilah awalnya Fabri
menemukan kesan yang sangat mendalam baginya terhadap awal pengenalannya
kepada orang Batak melalui sebuah tulisan Batak berjudul : Surat ni si Johanes:
.
Atas kesan yang mendalam inilah, melalui kebijakan Fabri (sebagai direktur)
kemudian RMG secepatnya memindahkan wilayah kerja misi yang bergejolak dari Kalimantan ke tanah Batak. Para misionaris RMG yang
sebelumya bekerja di Kalimantan segera di
pindahkan ke tanah Batak misalnya: Heine, Klammer dan Denniger
(sebab alasan kesehatan isterinya, misionaris ini tidak ikut ke tanah Batak
namun oleh RMG ia kemudian diutus ke daerah Nias). Sebelumnya misionaris badan
zending Ermelo Belanda sudah mendahului pekerjaan misi di tanah Batak melalui Betz
dan Van Asselt. Awal pertemuan ke empat orang misionaris inilah, peristiwa
sejarah gereja Batak tanggal 7 Oktober 1861 penting diingat, yakni rapat
koordinasi misi tentang penetapan metode kerja badan misi RMG dan badan misi
Ermelo di tanah Batak. Realitasnya, wilayah bagian Selatan Tapanuli
Islam sudah sangat dominan bagi masyarakat setempat, sementara di bagian Utara
agama tradisionil Batak juga masih sangat dominan (masih belum disentuh oleh
pengaruh apapun) bagi masyarakatnya. Demi pengembangan misi selanjutnya, rapat
koordinasi ke empat orang misionaris ini tetap memutuskan bahwa Van Asselt
bersama Heine keduanya bekerja untuk wilayah Utara khususnya daerah Pahae
sedangkan Klammer dan Betz bekerja untuk wilayah Selatan khususnya
daerah Bungabondar (Sipirok). Melalui pembagian wilayah ini, setelah kedatangan
Dr. Ingwer Ludwig Nomensen, mereka kemudian sepakat untuk
mengutusnya (Nomensen) ke daeran Utara yakni daerah lembah Silindung untuk misi
dan nyata selanjutnya pekerjaan Nomensen inilah yang jauh paling berhasil
sekaligus mencirikan identitas perkembangan gereja Batak selanjutnya.
3.
Metode Kerja Misi di tanah Batak (3-4). Sebelum pokok tema ini
dibicarakan lebih jauh, ada baiknya diperkenalkan profil tokoh misionaris yang
paling berjasa menanam dan mengembangkan Injil di tanah Batak, beliau adalah Dr.
I.L Nomensen (lebih jauh informasi tentang tokoh ini lih. P.B.
Pedersen,hl. 54-64 dan buku rujukan
lainnya). Ia lahir di pulau Nordstand (daerah
Schleswig-Holstein sebuah daerah antara Denmark dan Jerman) tanggal 6
Pebruari 1834 (pada tahun terbunuhnya Munson dan Lyman di
Lobupining) dan bulan Oktober 1861 (setelah menjalani pendidikan teologi
di bawah bimbingan RMG) ia ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Tiba di Padang
tanggal 14 Mei 1862 (masa 142 hari pelayaran dari Jerman hingga ke Padang). Awalnya, oleh
kepentingan politik Belanda dan setibanya Nomensen di Padang, Belanda tidak
memperbolehkannya memasuki daerah pedalaman Tapanuli. Ia hanya diperbolehkan
bekerja untuk misi di daerah Barus (tiba tahun 1862, di daerah inilah
Nomensen belajar bahasa dan adat Batak), yang walau pemberian ijin ini
tidak sesuai dengan cita-cita misi Nomensen sejak awal, namun ia menganggap
situasi ini sebagai langkah awal memasuki pedalaman Tapanuli ketika itu. Perjalanan
misi pertama di mulainya dari Barus ke Sipirok tanggal 25 Oktober 1862, dan
setibanya di Sipirok, pekerjaannya sangat mendapat simpatik dari banyak orang
ketika itu. Modal yang sangat tajam bagi Nomensen sejak awal dalam
mengembangkan misi adalah sikap dan kepribadiannya yang dinampakkannya
melalui dedikasinya melayani. Inidikasi ini nampak ketika ia mendirikan
lembaga pendidikan zending di Prau Sorat, walau akhirnya lsekolah ini tidak
berkembang karena beratnya tantangan dialami dari pihak Islam. Perjalanan
misi kedua dilakukannya tahun 1863 menuju daerah pedalaman yakni Silindung,
perjalanan ini dimulainya setelah Nomensen mendapat dukungan semangat dari Van
Asselt dan Klammer di mana tahun sebelumnya (1862) dua orang misionaris ini
sudah mengunjungi Silindung. Setibanya di Silindung, Nomensen awalnya disambut
baik oleh masyarakat Silindung, namun ketika pertama sekali ia berkunjung ke
Sipoholon, ia mengalami perlawanan yang sesungguhnya dari penduduk setempat
sebab Nomensen dianggap sebagai mata-mata Belanda untuk daerah Silindung. Namun
oleh sikapnya yang sangat menarik simpatik banyak orang Batak ketika
itu, ia dibiarkan tinggal di Silindung dan mulai Mei 1864 ia tinggal
menetap di desa Saitnihuta dan di desa inilah untuk pertama sekali ia
mendapatkan sebidang tanah rawa yang kemudian dirubahnya menjadi model
perkampungan Kristen (Huta Dame) yang patut menjadi teladan dalam
berbagai hal untuk sekitarnya. Di huta Dame inilah ia memulai misi yang lebih
mendalam di lembah Silindung melalui: pendidikan (membaca, menulis,
berhitung dan ilmu bumi, dll), kesehatan,
kerohanian dan bidang ekonomi-sosial, akhirnya usaha misi inilah
yang kemudian dikenal sebagai “metode
misi empat dimensi”. Sikapnya yang ramah dan keahlianya mengobati berbagai
penyakit, menjembatani jurang komunikasi dirinya menjadi sangat akrab dengan
penduduk setempat ketika itu. Akhirnya, tanggal 27 Agustus 1865, ia
membaptiskan orang berwibawa pertama (bersama empat orang lainnya) dari
orang Batak menjadi Kristen yaitu: Raja Pontas Lumbantobing. Beliau
inilah (dan empat orang yang dibaptis) yang di kemudian hari sangat banyak
mendukung Nomensen bekerja demi misi di lembah Silindung. Dapat dikatakan bahwa
keberhasilan misi Nomensen di tanah Batak sangatlah berhasil, akhirnya tanggal 23
Mei 1918 Nomensen meninggal dalam usia 85 tahun. Tahun saat Nomensen
meninggal, gereja telah bertumbuh dan mencakup anggota jemaat sebanyak 180.000
orang anggota di baptis, sekolah-sekolah sebanyak 510 buah dengan 32.700 murid,
sejumlah gereja dengan 34 orang orang pendeta Batak ditahbiskan, 788 guru Injil
dan 2.200 orang penatua (lih. Pedersen, hl. 64). Tahun 1881, saat
Nomensen kembali untuk cuti ke Eropa oleh RMG sebagai lembaga misi yang
mengutusnya ke tanah Batak menganugerahinya gelar: “Ephorus” (overseer:
pengawas) di mana kemudian nama ini dipertahankan HKBP sebagai gelar
jabatan tertinggi di dalam gereja dan tahun 1904, ia diberi gelar kehormatan
Dr. Teologia oleh Universitas Bonn.
4. Selanjutnya, setelah melihat perkembangan
misi yang sangat pesat di tanah Batak RMG mengutus para misionaris lainnya
(mis. P.H.Johansen, Meerwalt, J. Warneck dll) untuk membantu
pekerjaan misi di tanah Batak (lih. 125 tahun HKBP, hl 147 ff). Dari
metode dan dedikasi kerja misi yang tajam berikut diuraikan tahap demi tahap
hasil yang diperoleh dalam usaha pembentukan dan perkembangannya gereja
Batak kemudian yakni:
a.
Bidang
Kerohanian.
Usaha-usaha dalam bidang ini sangat berhubungan dengan pembinaan kehidupan
kerohanian orang-orang Kristen Batak melalui: “ibadah, khotbah,
persekutuan-persekutuan Kristen dan evanggelisasi, penerjemahan Alkitab ke
dalam bahasa Batak, serta pengadaan buku-buku bacaan yang berisikan pengajaran
Kristen dan lain-lain”. Lengkapnya pekerjaan ini dapat dikatakan sebagai
berikut:
1876: Nomensen
menterjamahkan Akitab PB ke bahasa Batak Toba yang ditulis ke aksara Batak dan
diterbitkan tahun 1876. Dengan tambahan terjemahan kitab Mazmur oleh P.H.
Johansen, terjemahan kitab PB ini disalin dalam aksara Latin tahun 1885.
1894: Alkitab PL terjemahan bahasa
Batak Toba pertama sekali diterbitkan tahun
1894, setelah PH Johansen mengerjakannya selama 13 tahun.
1874: I.L. Nomensen
menterjemahkan Katekhismus M. Luther ke bahasa Batak Toba.
1881: Buku ende huria
dalam bahasa Batak Toba dikumpulkan dan diterbitkan sebanyak 121 nyanyian, juga
lampiran konsep dosa pagi dan sore. Nyanyian-nyanian itu disadur dari bahasa
Jerman ke bahasa Batak Toba. Cetakan kedua buku nyanyian ini dilakukan tahun
1886 dengan 162 nyanyian. Hingga tahun 1889, santapan rohani (bohal partondion)
karangan H.V. Bogatzky diterjemahkan oleh P.H. Johansen, di mana
buku ini dipergunakan sebagai buku renungan dan ibadah keluarga Kristen.
1886: Nyanyian rohani dan
Kathehismus dalam bahasa Batak Angkola- Mandailing diterjemahkan oleh Chr.
Schuetz.
1889: Untuk pertama sekali
majalah gereja “Imanuel” diterbitkan, isinya berita-berita pelayanan
gereja, khotbah gerejani bulanan. Tujuan terbitnya majalah ini adalah untuk
mempersatukan jemaat-jemaat Kristen Batak yang semakin pesat perkembangannya.
1898: Pertama sekali Almanak
tahunan gerejani diterbitkan sebagai buku penuntun teks khotbah setiap hari
minggu serta nats-nats bacaan bagi setiap anggota keluarga Kristen.
1899: Buku kumpulan cerita
Alkitab PB yang diterjemahkan oleh I.L. Nomensen diterbitkan dalam aksara
Batak dan latin. Buku ini sebagai bahan pengajaran pertama bagi pelajaran sidi.
Demikian dengan tahun 1902 buku kumpulan certa Alkitab PL diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh P.H. Johansen.
Penterjemahan ke bahasa Batak Angkola–Mandailing dilakukan oleh Ph.Schuetz,
buku ini diterjemahkan dari buku karya Zahn dan Kuertz.
b. Bidang pendidikan umum dan
teologi. Para misionaris awalnya sangat memahami bahwa tidak
mungkin gereja berdiri di tengah masyarakat yang buta huruf (aksara) sebab
membina kerohanian saja tidaklah mungkin membentuk manusia seutuhnya. Melalui
pendidikan mereka sadar bahwa ini adalah sarana utama bagi penunjang
berhasilnya PI yang sesungguhnya, melalui pendidikan inilah para pribumi
kemudian sangat mendukung berhasilnya PI. Berikut dicantukan sejarah
pembangunan pendidikan umum dan pendidikan teologi oleh gereja di tanah Batak:
- Bidang Pendidikan Umum
1861: Oleh Nomensen di Prau Sorat SD
untuk membaca dan berhitung dibuka yang tahun 1893. Selanjutnya,
sekolah-sekolah sending di Tapanuli mendapat bantuan dari pemerintah Belanda
sebab sekolah sending sangat berperan meningkatkan pengetahuan (kwalitas SDM)
masyarakat.
1900: “Sekolah anak ni raja”
diririkan di Narumaonda dan sekolah ini memakai bahasa Belanda. Di Narumonda
juga didirikan sekolah Tukang yang dididik menjadi terampil/ahli bidang pandai
besi dan kayu. Lama belajar adalah 2 tahun yang kemudian sekolah ini mendapat
bantuan dari pemerintah.
1911: Sekolah yang jenjangnya
lebih tinggi dari SD yakni HIS (Hollands
Inlands School)
di Sigompulon Tarutung didirikan, sekolah ini jugaberbahasa Belanda
1927: Sekolah MULO (setingkat
dengan SMP) Kristen didirikan di Tarutung. Hingga pertengahan abad 19 produk
sekolah ini sangat bermutu hingga siap diandalkan di seluruh Indonesia.
1930: Sekolah Vervolg (Vervlog School)
didirikan sebagai lanjutan dari kelas III
SD.
1932-1950: Persekolahan di kalangan
Kristen Batak di berbagai daerah (dari Siborongborong, Balige, Tarutung, bahkan
ke P. Siantar dll) tumbuh seperti jamur. Sekolah ini kemudian dinamakan Schakelschool
yang bersama dengan HIS dan HIS Bregensstroth, sekolah-sekolah ini
berbahasa Belanda.
1945-1950: Persekolahan (mulai dari
SD-SMA) HKBP bertumbuh sangat pesat, dan untuk pertama sekali SMA dan SGA HKBP
berdiri di Tarutung. Hingga tahun 1962 melalui Depertemen Pendidikan HKBP telah
memayungi 100 buah lembaga pendidikan umum yangtersebar di berbagai daerah.
1954: (7 Oktober) melalui SA-nya,
HKBP mendirikan sebuah Universitas milik HKBP yang diberi nama Universitas
HKBP Nomensen, awalnya hanya tiga Fakultas yakni: Theologia, Ekonomi dan
Hukum.
1957-1961: Badan persekolahan gereja
ini sangat mengalami hambatan dalam pengelolaannya sebab keadaan politik
negara, yang akhirnya mengurangi gaji para guru yang sangat dibawah standart
dan sulitnya para guru ini memperoleh kenaikan pangkat/golongan yang
berhubungan dengan kesejahteraannya.
1961: Perguruan teknik HKBP
didirikan di P. Siantar (Jln. A. Yani/Medan sekarang samping percetakan HKBP).
- Bidang pendidikan
teologia
1868: Lembaga pendidikan
guru pertama yaitu Seminari Prau Sorat sebagai sekolah
Kateket) di dirikan di Prau Sorat – Sipirok (Tapanuli Selatan). Siswa
sekolah ini direkrut dari tamatan SD sending terbaik ketika itu dengan
kurikulum: “pengetahuan tafsiran Alkitab dan Sejarah Alkitab, Katekhismus,
Ilmu Bumi, Sejarah (Kuno, Modern, dan Sejarah Gereja), Berhitung, Bernyanyi,
Pengetahuan Alam dan bahasa Jerman dan Melayu”. Sekolah ini ditutup tahun
1872 (hanya menghasilkan 27orang guru dari tiga angkatan) karena hasil misi PI
umumnya di TAPSEL sangatlah lambat di banding TAPUT dan akhirnya sekolah ini
dipindahkan ke TAPUT.
1873-1877: Sikola
Mardalan-Dalan didirikan (sekolah yang belajarnya tidak
menetap/mardalan-dalan). Disebut namanya demikian, sebab para misionaris
sebagai guru mereka, oleh pekerjaan misi yang sangat banyak para siswa datang
menemui guru untuk diajari.Tiga orang misionaris yang bekerja di Silindung
ketika itu sekaligus sebagai guru adalah: I.L. Nomensen di Pearaja, P.H.
Johansen di Pansur Napitu, A. Mohri di Sipoholon. Kurikulum yang diterapkan
merupakan pengembangan dari kurikulum sekolah guru Prau Sorat.
1877: Seminari Pansur Napitu.
Seminari ini merupakan lanjutan dari Sekolah Mardalan-dalan sebelumnya.
Dibukanya seminari ini oleh para misionaris, sebab pertimbangan kurang
efektifnya sekolah mardalan-dalan yang melalui ini dipikirkan cara yang lebih
bai yaitu membuka sekolah menetap di Pansur
Napitu (kemudian disebut Seminari Pansur Napitu). Seminari ini
dipercayakan atas pengelolaan P.H. Johansen yang juga ia melayani jemaat
setempat. Untuk lebih meingkatkan kwalitas lulusannya, para misionaris
memutuskan lama pendidikannya selama empat tahun. Kebijakan ini diambil sebab,
pendidikan yang serupa telah dibuka di Depok (Jawa Barat) tahun 1878 yang oleh
karena itu para misionaris mengharapkan lulusannya dengan kwalitas yang serupa
dengan lembaga pendidikan yang didiririkan
di Depok. Selanjutnya, lembaga pendidikan Pansur Napitu ini mendidik
putra pribumi yang diharapkan menjadi tenaga bidang pendidikan guru jemaat dan
sekolah pendeta.
1900: Seminari Sipoholon didirikan. Tahun ini
merupakan perpindahan seminari Pansur Napitu ke Sipoholon. Perpindahan ini
disebabkan pertimbangan para misionaris atas hasrat putra pribumi mendapatkan
pendidikan teologia dan pendidikan umum yang lebih baik. Atas inisiatif para
misionaris, J. Warneck dipercayakan menjadi pemimpin seminari ini. Dari tenaga pengajar dan kurikulum serta lama
pendidikan, seminari ini merupakan
pengembangan dua lembaga pendidikan (sekolah mardalan-dalan dan
seminari Pansur Napitu) sebelumnya.
1934: Sekolah penginjil
khusus wanita (Bibelvrouw) di Laguboti. Sekolah ini pertama sekali di bawah
pimpinan Schwester Elfriede Harder. Mula-mula sekolah ini didirikan di
Narumonda-Porsea (1934-1936) tetapi tahun 1837 dipindahkan ke Laguboti. Sejak
awal, produk sekolah ini diharapkan mampu menjadi pelayan gereja khusus bagi
pekerjaan wanita seperti: pembinaan wanita dalam gereja, mengajar anak-anak dan
muda/i, pelayanan pastoral lainnya para wanita ke rumah-rumah. Masa pendudukan
Jepang (1940-1945) sekolah ini ditutup, namun oleh Pdt. K. Sirait mantan
Ephorus HKBP pertama, sekolah ini dibuka kembali.]
Catatan:
- Masa pendudukan Jepang di
tanah Batak, umumnya lembaga pendidikan umum dan sekolah-sekolah teologi sedang
mengalami kegentingan yang amat sangat yaitu ditutupnya oleh pemerintah Jepang
semua badan sekolah itu.
-
Setelah
kemerdekaan, lembaga sekolah ini di buka kembali dengan paradigma yang berbeda
sesuai apa yang direncanakan oleh para misionaris. Artinya bila sekolah-sekolah
sending didirikan untuk kepentingan misi secara menyeluruh (sebagai
tenaga-tenaga guru bidang pendidikan umum) oleh HKBP, pengefektipan kembali sekolah-sekolah teologi
tahun 1950 (melalui pendirian sekolah guru huria misalnya) diharapkan
dapat menjadi tenaga pelayan yang terbatas hanya mengelola pelayanan jemaat
lepas dari fungsi sebagai guru di sekolah-sekolah umum.
-
Hikmat
ini penting, guna memahami dibukanya kembali pendidikan guru huria khusus
sebagai tenaga pelayan bagi jemaat-jemaat yang mengalami perkembangannya masa
pertengahan abad 19 di tanah Batak dan di berbagai daerah lainnya.
c.
Bidang kesehatan. Sejak awal bahwa keberhasilan misi di tanah
Batak sangat didukung oleh pelayanan para misionaris di bidang kesehatan
(penyembuhan dan kebersihan lingkungan, penyuluhan giji yang baik). Pelayanan
ini mempengaruhi masyarakat Batak akhirnya meninggalkan ketergantungan mereka
kepada peran datu dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan selanjutnya
pelayanan ini, memotivasi para misionaris mendirikan lembaga pelayanan
kesehatan seperti pendirian beberpa rumah sakit yang lebih besar, yakni:
1900: RS RMG pertama didirikan
di Tarutung, yang dipimpin oleh Dr. med. J. Schreiber
1901: Dr. (med) Winkler dan Suster
Charlotte Spethmann diutus untuk melayani RS Tarutung.
1905: Sekolah pendidikan
perawat dan Bidan untuk para wanita Batak dibuka.
1917: RS penolong di buka di
Balige, dan tahun 1928 di tingkatkan menjadi sebuah RS yang sama kelasnya
dengan yang di Tarutung.
1940: Hingga tahun ini, pelayanan kesehatan HKBP
melalui berdirinya 14 RS penolong di: Ambarita; Butar; Dolok Sanggul;
Nainggolan; Pakantan; Pakkat; Pangaribuan; Pangururan; Pargarutan; Parsoburan;
Sayurmatinggi; Sihorbo; Sipirok; Sitorang.
RS penolong ini kemudian
didukung oleh berdirinya 12 Poliklinik, yakni di: Janjimatogu;
Laguboti; Lintongnihuta; Lumban Julu; Onanhasang; Parsoburan; Porsea; Salak;
Sarulla; Simarangkir; Sigumpar; Sipahutar.
1940: (10 Mei), semua lembaga
pelayanan kesehatan ini dikuasai oleh pemerintah Belanda dan Maret 1942
kembali dikuasai oleh pemerintah Jepang, dan 1945 setelah
kemerdekaan diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Tanggal 15
Desember 1945, melalui SK MENKES RI Dr. Lie Kiat Teng No. 8/9632/Kab.
Pemerintah menyerahkan semua fasilitas pelayanan kesehatan yang diwarisi dari
RMG kepada HKBP. Namun oleh ketidakmampuan HKBP waktu itu, hanya RS Balige
kembali ditanggung jawabi oleh HKBP. Maka hak dan beban tanggungjawab RS itu
secara resmi ditangani oleh HKBP sejak 1 Januari 1955.
d.
Bidang Sosial Ekonomi (lih.
Pedersen, hl. 61). Adalah merupakan fakta sebelum kekristenan di tanah
Batak, bahwa masyarakat Batak hidup dalam penggolongan (pengkastaan) derajat
hidup akibat: kemiskinan, kebodohan, kemalasan, kebiasan berjudi, system
perbudakan (parhatobanon) dan system pinjam-meminjam (rentenir)
yang gawat masih dominan. Dalam usaha
memperbaiki sistem social masyarakat ini, para misionaris menerapkan metode
kerja misi sebagai berikut:
-
Memberantas sistem “parhatobanon” (system budak) melalui menebus utang
“hatoban” kepada para pemiutang (tuan-tuan/raja).
- Membasmi
system utang-piutang (pinjam meminjam) dengan bunga yang sangat tinggi
dengan menggiatkan system perkoperasian yang pengelolaannya dipercayakan kepada
para guru sendirng yang sekaligus berfungsi sebagai guru jemaat setempat. Untuk
usaha ini, Nomensen memberi modal kepada jemaat untuk dipinjamkan dengan bunga
sangat rendah.
-
Mengurangi beban kerja para wanita menumbuk padi dengan mengajari mereka
membuat kincir air (losung aek) yang berfungsi sebagai gilingan padi.
-
Mengajari para petani Batak dengan system pertanian modern. Sistem ini
ditambah dengan pengefektipan lahan pekarangan rumah guna meningkatkan
pendapatan dan giji keluarga seperti tanaman sayuran dan buah-buahan. Pola ini
diterapkan pertama sekali dengan mengembangkan penataan “pargodungan”
(kompleks gereja sekaligus kompleks perumahan pelayan: Pdt dan guru
sending/jemaat).
- Untuk
membina system perekonomian masyarakat Batak yang lebih luas, I.L. Nomensen
mengusulkan kepada pemerintah mengatur hari pekan (Onan) di tiap daerah di
Tapanuli Utara. Tujuannya supaya hasil panen penduduk dapat dipasarkan dengan
baik melalui lancarnya roda perputaran uang di tanah Batak (misalnya: Onan
Senin-Laguboti ; Selasa-Narumonda ; Rabu – Porsea ; Kamis – Silaen ; Jumat –
Balige ; Sabtu – Sigumpar ; Rabu – Siborongborong dan daerah daera lainnya di
Silindung). Sistem pengaturan seperti ini juga berlangsung di daerah
Silindung dan Humbang.
5. Penutup
untuk bab ini. Suatu hal dapat dikatakan bahwa keberhasilan misi di tanah
Batak sangat ditentukan oleh cara pendekatan para misionaris yang sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat Batak pada masanya. Pernyataan inilah yang
dilakukan secara khusus oleh Nomensen, dan nampak dalam hal:
-
Ketika pertama sekali orang Batak memberi
gelar “Ompui” kepadanya, pemberian gelar ini tidak semata-mata
karena keberhasilannya membentuk dan membina sebuah perkampungan Huta Dame di
lembah Silindung yang sekaligus ia memberi pengajaran Alkitab dan pengetahuan
agama Kristen kepada mereka. Lebih dari itu, nasehatnya dalam memutuskan
persoalan adat, tata laksana kehidupan antar kampung, demikian perselisihan
antara keluarga, keadilan pertimbangannya memperdamaikan perselisihan antar
penganut agama suku semuanya menjadi corak kepemimpinan dan kepribadiannya
yang sangat tanguh memberhasilkan misi di tanah Batak.
-
Wibawa (sahala) dirinya yang ditunjukkannya
ketika pertemuan para raja di setiap berlangsungnya Onan nampak
kecerdasan, ketangkasan dan ketajamannya berpikir terhadap soal-soal hikmat
ke-Batak-an dan melampaui raja-raja Batak sendiri.
Sikap seperti inilah
inilah dapat dijadikan sebagai teladan yang sangat kuat bagi pelayan dan
pelayanan masa kini guna dimamfaatkan bagi perkembangan gereja sebagaimana
diharapkan ke depan.
STRATEGI
KEPEMIMPINAN MISI RMG
DI TANAH
BATAK (1861 – 1930)
Pendahuluan
1. Berbicara mengenai strategi kepemimpinan misi RMG
di tanah Batak, nampaknya ini harus dilihat dari sudut pekerjaan Nomensen dan
rekan-rekannya. Nomensen dan rekan-rekan yang dimaksudkan di sini adalah para
misionaris RMG yang bekerja di tanah Batak dari tahun 1861-1930. Sebenarnya
Nomensen adalah misionaris RMG ke lima
yang bekerja di tanah Batak. Gustav van Asselt telah mendahuluinya tahun 1857,
Betz tahun 1859, Klammer dan Heine tahun 1862 yang hingga tahun 1930 mereka
bertambah-tambah sehingga pernah mencapai sebanyak 50 orang. Sekedar menjadi
pegangan bahwa arti strategi pekabaran Injil, hal ini menyangkut cara yang
terbaik dijalankan dalam pemberitaan itu di tanah Batak. Dalam mencapai satu
tujuan tertentu, seorang misionaris telah memikirkan dan mencari lebih dahulu
cara terbaik yang akan dia pakai. Dalam hal ini, cara dan tujuan sangat rapat
hubungannya bahkan tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Dalam menentukan satu
tujuan pun, penentuan itu termasuk pada metode atau cara tadi. Dalam hubungan
pernyataan di atas dengan tema ini, penulis mengalami kesulitan khusus, sebab
yang paling pertama adalah di samping bahan-bahan literatur pendukung sangat
sedikit ditemukan, tema ini tidak mungkin dikerjakan pada ruang yang singkat
ini. Namun, walau demikian penulis tetap mencoba menelusurinya dari sudut karya Nomensen.
Akhirnya, penulis menekankan penelitian tema ini bagi gereja-gereja Batak
umumnya dan HKBP khususnya. Artinya, ada hasil dapat dipetik dan ditawarkan
dari strategi kepemimpinan para misioanris RMG di tanah Batak.
2. Kata yang sangat terkenal sebagai ulasan penulis
Surat Ibrani tentang pemimpin dan kepemimpinan adalah: ”ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman
Allah kepadamu” (13:7). Makna yang paling
esensial dari kata “mengingat” dalam hal ini adalah “menelusuri pola
hidup dan kepasrahan seraya menyimak hikmat-hikmat yang bernilai guna
dipedomani”. Dari inspirasi inilah menguraikan tema ini di mana kepemimpinan Nomensen dalam misi di tanah
Batak, ini merupakan kepemimpinan yang memahami dengan jelas apa yang dibutuhkan dan
mengetahui bagaimana menggerakkan orang Batak yang dilayaninya. Sebagai seorang
misionaris, Nomensen adalah seorang yang banyak mempengaruhi pemikiran, sikap
dan kehidupan orang Batak. Kepemimpinannya merupakan kepemimpinan hamba (Servant Leadership) di mana ia bertindak
sebagai hamba demi kemuliaan Allah di tanah Batak.
Berdirinya Serikat Misi RMG
Dan
Perkembangan Teologi
Pietismenya
3. Untuk
melihat corak, bentuk dan type pelayanan misi RMG di tanah Batak, penting dipahami munculnya RMG sebagai
lembaga misi. Secara umum, munculnya gerakan rohani baru di dalam gereja adalah
lebih sebagai reaksi terhadap sikap gereja baik secara positif maupun secara
negatif yakni berupa sikap melepaskan diri dari gereja. Terhadap kasusnya di
Jerman, pertentangan antara pihak Kontra Reformasi (RK) dengan pengikut
Reformasi mengakibatkan terjadinya penderitaan rakyat Jerman sendiri secara
tidak terperikan.[47] Dampaknya, kepemimpinan
gereja akhirnya di pegang oleh pemerintahan sipil Negara. Akibat dari kondisi
umum ini, bangkitlah orang-orang otonom yang tidak mau diperintah oleh kekuatan
lain atas dirinya yang secara umum mereka tidak mengindahkan gereja (agama).
Kekakuan gereja terhadap keadaan ini menghasilkan suatu kecenderungan baru
yakni Injil diterima secara moralis sehingga akhirnya muncul suatu gerakan
rohani baru yang sangat menekankan pertobatan dan penyucian. Di kalangan pengikut-pengfikut Lutheran di
Jerman, Philip Jakob Spener(1635-1705), August Herman Francke (1663-1727) dan
Nikolaus Ludwig von Zinzendorf (1700-1760) merupakan perintis semangat ini.
Dapat dikatakan selanjutnya bahwa refleksi konsep dogma dan teologi sebagaimana
uraian Luther semakin hidup oleh implementasi praksis beberapa tokoh ini dalam
kehidupan gereja secara praksis. Artinya konsep mereka tentang pietisme sebagai
kesalehan, kekudusan, dan ketaatan yang terlatih melalui komitmen hidup semakin
disadari sangat mendukung dalam mewujudkan cita-cita reformasi Luther abad 16.
Johan Hasselgren menegaskan pernyataan ini mengemukakan bahwa berdirinya (tahun
1829 di Barmen: Jerman) lembaga misi RMG (Rheinische
Missiongesellschaft), awalnya lembaga ini merupakan hasil penggabungan
(merger) dari beberapa serikat misi
Kristen Protestan di Jerman pada masanya. Sebagai serikat misi, awalnya RMG
sangat kuat terkait dengan Jerman Pietisme (anak Pietisme Jerman) di mana umumnya
aliran Pietisme sangat menekankan kebutuhan bagi iman emosional, personal dan
individual yang merupakan interpretasi harafiah Injil dan kebutuhan bagi semua
jemaat yang sungguh berdedikasi untuk bersama-sama berkarya. Pada posisi ini,
para penganut Pietisme mengembangkan teologi misi mereka dalam hubungannya
dengan para pendukung: “confessional
Lutheranisme”. Para pendukung “confessional Lutheranisme” inilah yang
kemudian mengembangkan/merepresentasikan teologi-teologi misi RMG di dalam
pengaruh tradisi Pietisme termasuk di tanah Batak[i]. Beberapa tokoh itu di
antaranya, yakni:[48]
a. J.C
Wallmann (1811-1865)[49]
adalah seorang inspektur RMG tahun 1848-1857. Ia sangat mempengaruhi banyak orang pada generasi
selanjutnya bersemangat menjadi para misionaris RMG. Wallmann adalah seorang
Pietis yang baginya gagasan kebutuhan mendesak bagi pentobatan individual
merupakan sesuatu yang sangat sentral. Keyakinan ini dikombinasikan dengan
kelekatan yang kuat dengan pentobatan Lutheran. Teologi misi Wallmann sangat
menekankan kebutuhan akan “para durjana
yang tinggal di kegelapan” yang harus diselamatkan (sebuah tema khas dari
jamannya). Meskipun Wallmann adalah seorang nasionalis Jerman yang konservatif,
ia membuat pembedaan jelas antara prinsip ajaran Kristen dengan peradaban
Barat, artinya bagi wallmann: “tujuan misi dalam cara apa pun tidak melibatkan
gagasan tentang Eropanisasi”. Bangsa non-Eropa dalam konteks misi harus diberi
kesempatan untuk menjadi jemaat Kristen dalam kerangka kerja tentang kebudayaan
mereka sendiri. Para misionaris seharusnya
mendekati jemaat non-Kristen dengan cinta bukan merendahkan kebudayaan dan
agama mereka. Pemikiran tentang misionaris seharusnya bebas dari maksud-maksud
memegahkan diri untuk meng-Eropa-kan. Sebagai bukti dari minatnya dalam
kebudayaan-kebudayaan non Barat, Wallmann menghasilkan banyak karya dalam
antropologi missioner. Jelaslah bahwa pembedaan mendasar Wallmann antara Injil
dan kebudayaan Barat berimplikasi pada ketertarikan antropologis dan evaluasi
positif tentang kerangka kerja kebudayaan RMG di wilayah pelayanan misi di mana
orang-orang dipertobatkan agar memeluk ajaran Kristiani.
b. Friederick Fabri (1824-1891)[50], adalah
inspektur RMG selama periode 1857-1884. Setelah menyajikan desertasi doktornya
tahun 1847, posisinya di RMG adalah hasil dari upaya serikat ini untuk merekrut
orang-orang yang terpelajar mengabdi di Seminari. Fabri merupakan salah seorang
pemimpin misi yang berpengaruh dan disegani di Jerman. Dia menyediakan banyak
waktu untuk masalah-masalah politik dan sosial tetapi juga untuk memperkuat dukungan
bagi RMG. Elemen sentral dalam teologi Fabri[ii] adalah kerajaan Tuhan. Menurut dia, dunia ini
adalah bagian bawah kerajaan Tuhan, sebuah entitas spiritual yang aktif dalam
sejarah manusia, tetapi tidak menjadi bagian darinya. Realisasi utuh tentang
kerajaannya adalah kenyataan eskatologis yang hanya bisa digenggam melalui iman
pribadi. Terbiasa dengan ontology yang mendasar ini, Fabri mengembangkan
teologi misinya. Baginya, gagasan bahwa semua orang harus dipertobatkan menjadi
Kristen adalah salah konsep. Alih-alih Tuhan memanggil semua orang menjadi
jemaat Kristen untuk mengumpulkan mereka orang-orang yang terpilih. Ketika
Injil telah diwartakan kepada semua bangsa, akhir dunia akan datang. Sebagai
hasil dari kepemimpinan Fabri, jumlah misionaris RMG yang semakin bertambah
dipengaruhi oleh teologinya tentang kerjaan Tuhan. Meski pandangannya bahwa
kerajaan Tuhan bukanlah dari dunia ini, Fabri berpikir bahwa jemaat-jemaat
Kristen di Barat, karena standar peradaban mereka yang tinggi memiliki tugas untuk
mewartakan ajaran Kristen dan peradaban ke seluruh dunia. Sehubungan dengan
organisasi-organisasi missioner, pemerintahan colonial memberikan dukungan
moral dan perlindungan bagi misionaris. Fabri sangat mengajukan permohonan
kepada pemerintah Jerman ketika itu yang baru bersatu dipimpin oleh Kanselir
Bismarck untuk berusaha mendirikan koloni-koloni, akibatnya Fabri dijuluki
Bapak Kolonialisme Jerman. Ketika dari tahun 1880-an, Jerman mulai mendirikan
koloni-koloninya sendiri, RMG melaksanakan tugasnya sebagai misi colonial
Jerman di Namibia dan New-Guniea. Jelaslah bahwa, Fabri mengembangkan
teologianya dalam sebuah arah yang berlawanan dengan pembedaan Wallmann yang
jelas antara Injil dan kebudayaan Barat. Munculnya era imperialisme yang
besar-besaran sebuah era yang tidak dialami Wallmann, memiliki poengaruh kuat
pada garis pemikiran Fabri. Pemikiran ini memiliki akibat bahwa minat positif
Wallmann bahwa kerangka kerja kebudayaan tentang pertobatan-pertobatan diganti
oleh sebuah penekanan pada: “misi yang beradab dari Barat”. Pada akhir abad
ke19, aliran pemikiran Baru mulai mempengaruhi RMG.
c. Gustav Warneck (1834-1910)[51]
adalah seorang teoris misi yang paling berpengaruh selama akhir abad ke 19 di
Jerman. Pada tahun 1871, Warneck dipekerjakan oleh RMG sebagai guru di
Seminari. Dia bekerja pada organisasi tersebut sampai tahun 1874 ketika Warneck
menjadi pendeta jemaat kecil di Saxony. Tahun
1896-1909, Warneck menjadi Profesor misi di Halle. Pengaruhnya di Jerman muncul melalui
tulisan-tulisannya yang terinspirasi oleh hubungan-hubungan yang ekstensif
dengan lingkup missioner dengan misi-misi di luar negeri. Pemikirannya secara
sadar didasarkan pada terjalinnya pengalaman misioner, teori dan praktek.
Warneck memiliki hubungan yang dekat dengan misi RMG di Sumatera. Dalam teologi
misinya, Warneck menggabungkan semangat gagasan Pietisme tentang pentobatan
individual dengan tujuan membuat semua orang menjadi Kristen dan memasukkan
paham atau gagasan romantisisme. Sehubungan dengan pokok persoalan misi menurut
Warneck, seluruh gereja pada dasarnya bertanggungjawab untuk mewartakan iman.
Tetapi karena tanggungjawab tersebut tidak bisa diharapkan dari seluruh
anggota gereja, tugas tersebut diemban
oleh para jemaat yang setia yang merupakan inti dari gereja. Meski demikian
persoalan misi yang terutama adalah mengkristenkan seluruh umat manusia dan
untuk mendirikan gereja umat. Prosesnya bertahap dimulai dengan
individu-individu kemudian pesan mencakup keluarga-keluarga dan desa-desa
sampai akhirnya seluruh umat manusia menjadi Kristen. Para
jemaat yang setia merupakan penggerak dalam proses ini. Dengan cara ini,
pentobatan indibidu-individu merupakan basis bagi pentobatan sebuah bangsa dan
secara bersama-sama. Elemen penting dalam gagasan Warneck tentang gereja utama
adalah bahwa gereja seharusnya otonom. Bagi Warneck, pendidikan dan pentahbisan
penduduk pribumi seperti menjadi penginjil, guru dan pendeta merupakan
prioritas yang penting, usaha-usaha mereka membuka jalan bagi para jemaat
Kristen yang baru untuk membantu gereja mereka secara finansial. Dalam hal
gereja yang seharusnya mengelola diri sendiri, Warneck berpendapat bahwa gereja
itu independent dalam arti bahwa gereja sebaiknya tidak menjadi subjek terhadap
rumusan-rumusan konvensional yang kaku dari gereja-gereja Eropa, atau mengambil
alih bentuk-bentul liturgy dan aturan
gereja Eropa yang rapi dan teratur. Jauh lebih penting bagi jemaat Kristen
pribumi utnuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa mereka sendiri daripada
menghafal bentuk-bentuk pengakuan dan peribadatan Eropa.
d. August
Schreiber (1839-1903)[52]
adalah seorang misionaris RMG pertama yang lulus dari universitas jurusan
teologi dan ia berkarya di Sumatera dari tahun 1889-1893. Tahun 1874, ia
menggantikan Warneck sebagai guru di seminari dan tahun 1889, ia menjadi
misionaris pertama yang memimpin RMG. Ia bertugas sebagai inspektur sampai
wafat sampai tahun 1903. Schreiber termasuk sebagai seorang pemimpin RMG yang
paling berpengaruh. Dalam cara yang sama dengan Warneck, Schreiber menerima bahwa
kebudayaan-kebudayaan pribumi merupakan “sebuah persiapan bagi Injil” dan bahwa
tujuan misi adalah mendirikan gereja-gereja umat yang otonom. Schreiber
membagikan sebuah pandangan negative tentang kemampuan-kemampuan intlektual
tentang “si kafir” tetapi tidak menekankannya sebanyak Fabri dan Warneck.
Selama studinya di Iggris, pada tahun 1864 – 1865, ia dipengaruhi secara
langsung oleh rumus: “Tiga Mandiri”. Oleh karena itu, ia menerima sebuah versi
yang lebih murni tentang rumus tersebut daripada yang diterima Warneck.
Berlawanan dengan Warneck, Schreiber
dengan kuat menekankan pentingnya mengalihkan kekuasaan kepada orang pribumi
secepat mungkin dan tidak usah menunggu sampai orang-orang pribumi tersebut
cukup matang.
Kesimpulan
yang dapat dipetik melalui uraian di atas bahwa perkembangan teologis RMG masa
abad ke-19 hingga selanjutnya, ini memiliki akibat langsung bahwa tujuan
Pietisme tentang pentobatan individual sangat diintegrasikan dalam gagasan
bahwa tujuan misi adalah mendirikan gereja yang mengarahkan seluruh umat
manusia. Sifat utama gereja ialah bahwa gereja tersebut akan memenuhi rumus:
“Tiga Mandiri”. Asumsi Barat yang lebih khusus yakni superioritas Jerman atas
penduduk non Barat, sangat berimplikasi bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk
menunda implementasi beberapa aspek rumusan tersebut. Yang terutama ialah
permasalahan para baptisan baru yang sesungguhnya mengambil alih kepemimpinan
yang efektif atas gereja. Sehubungan dengan aturan kebudayaan para baptisan
baru, asumsi tentang superioritas Barat menyebabkan Fabri menekankan dengan
kuat: “memperadapkan misi Barat”. Meskipun mereka membagikan gagasan
superioritas Barat, Warneck dan Schreiber mengikuti pandangan positif Wallmann
tentang kebudayaan-kebudayaan non Barat dalam hubungannya dengan karya
missioner. Kebudayaan para baptisan baru meskipun dibersihkan dari:
“unsur-unsur kekafiran” merupakan batu penjuru dari gereja umat.
Pelayanan Misi RMG di Tanah
Batak
4. Awal
pekerjaan misi RMG di Indonesia secara umum, ini dimulai ketika lembaga misi
ini mulai mengutus para misionarisnya ke Kalimantan (Borneo)
tahun 1834.[53]
Dua tahun kemudian, para misionaris RMG (pusat misi di Kalimantan adalah Banjarmasin) mulai
meneruskan pelayanan misi di antara suku pedalaman Kalimantan
yakni suku Dayak.[54] Ketika pengaruh politik
kolonial Belanda berperilaku tidak adil kepada para penguasa lokal di
Kalimantan (termasuk kepada para Sultan di Banjarmasin)
maka keadaan ini memicu terjadinya perang Hidayat (1830-1864) di sana. Akhirnya, atas keadaan ini Belanda berhasil
dipaksa keluar dari Kalimantan dan RMG mulai
mencari wilayah misi lain dalam koloni Belanda. Bulan Oktober 1860, keputusan
penting bagi RMG dalam pelayanan misi di Sumatera yakni dengan menetapkan tanah
Batak sebagai lapangan misi yang baru. Selanjutnya, tahun 1861 dua orang
misionaris pertama RMG pertama tiba di Sipirok yakni: “Heine dan Klammer”. Saat
awal tibanya dua orang ini di Sipirok, mereka langsung mengadakan kontak dengan
dua orang misionaris lembaga misi Ermelo (Belanda) yang sudah mendahului di
Sipirok yakni: “van Asselt dan Betz”. Di Sipirok, tidak sedikit penduduk mereka
baptis menjadi Kristen namun akibat tantangan dari pihak Islam akhirnya mereka
murtad menjadi Islam. Ketika RMG mengembangkan misi ke Utara, menuju wilayah
Batak Toba (di mana agama Islam belum masuk) barulah sejumlah besar orang
bergabung dengan agama yang baru yakni Kristen[55]. Artinya ke empat orang misionaris
inilah (atas prakarsa Van Asselt) pertama sekali mengadakan rapat
koordinasi kerja misi tanggal 7 Oktober 1861 di Sipirok membicarakan tentang: “metode kerja misi
di tanah Batak sekaligus membagi wilayah kerja mereka”. Penting diingat
bahwa ada dua momen sangat penting berlangsung saat rapat koordinasi ini
diadakan, yakni: oleh RMG melalui pimpinannya Fabri di Jerman, peristiwa itu merupakan penggabungan kerja badan
misi Belanda dengan RMG-Jerman dan sekaligus sebagai penyerahan badan misi
Belanda ke RMG di tanah Batak. Melalui pembagian wilayah ini, dan setelah
kedatangan Dr. Ingwer Ludwig Nomensen, mereka kemudian sepakat untuk
mengutusnya (Nomensen) ke daeran Utara yakni daerah lembah Silindung untuk
misi. Nyata selanjutnya bahwa pekerjaan Nomensenlah yang jauh paling berhasil
sekaligus mencirikan identitas perkembangan gereja Batak selanjutnya.
Stategi Kepemimpinan Misi Para
Misionaris RMG di Tanah
Batak
5.
Pioner karya lembaga misi RMG paling
berhasil di tanah Batak adalah Dr. I.L
Nomensen.[56]
Awalnya, oleh kepentingan politik Belanda dan setibanya Nomensen di
Padang, Belanda tidak memperbolehkannya memasuki daerah pedalaman Tapanuli. Ia
hanya diperbolehkan bekerja untuk misi di daerah Barus (tiba tahun 1862, di
daerah inilah Nomensen belajar bahasa dan adat Batak), yang walau pemberian
ijin ini tidak sesuai dengan cita-cita misi Nomensen sejak awal, namun ia
menganggap situasi ini sebagai langkah awal memasuki pedalaman Tapanuli ketika
itu.
a. Perjalanan misi
pertama di mulainya dari Barus ke Sipirok tanggal 25 Oktober 1862, dan
setibanya di Sipirok, pekerjaannya sangat mendapat simpatik dari banyak orang
ketika itu. Modal yang sangat tajam bagi Nomensen sejak awal dalam
mengembangkan misi adalah sikap dan kepribadiannya yang dinampakkannya melalui dedikasinya
melayani. Inidikasi ini nampak ketika ia mendirikan lembaga pendidikan
zending di Prau Sorat, walau akhirnya sekolah ini tidak berkembang karena
beratnya tantangan dialami dari pihak Islam.
b. Perjalanan misi kedua dilakukannya tahun 1863 menuju daerah
pedalaman yakni Silindung, perjalanan ini dimulainya setelah Nomensen mendapat
dukungan semangat dari Van Asselt dan Klammer di mana tahun sebelumnya
(1862) dua orang misionaris ini sudah mengunjungi Silindung.
Setibanya di Silindung, Nomensen[57]
awalnya disambut baik oleh masyarakat Silindung namun ketika pertama sekali ia
berkunjung ke Sipoholon, ia mengalami perlawanan yang sesungguhnya dari
penduduk setempat sebab Nomensen dianggap sebagai mata-mata Belanda untuk
daerah Silindung. Namun oleh sikapnya
yang sangat menarik simpatik banyak orang Batak ketika itu,
ia dibiarkan tinggal di Silindung dan mulai Mei 1864 ia tinggal menetap di desa Saitnihuta dan di desa
inilah untuk pertama sekali ia mendapatkan sebidang tanah rawa yang kemudian
dirubahnya menjadi model perkampungan Kristen (Huta Dame) yang patut menjadi teladan dalam berbagai hal untuk
sekitarnya.[58] Di huta
Dame inilah ia memulai misi yang lebih mendalam di lembah Silindung melalui: pendidikan
(membaca, menulis, berhitung dan
ilmu bumi, dll), kesehatan, kerohanian dan bidang ekonomi-sosial, akhirnya
usaha misi inilah yang kemudian dikenal
sebagai “metode misi empat
dimensi”. Sikapnya yang ramah dan keahlianya mengobati berbagai
penyakit, menjembatani jurang komunikasi dirinya menjadi sangat akrab dengan
penduduk setempat ketika itu. Akhirnya, tanggal
27 Agustus 1865, ia membaptiskan orang berwibawa pertama (bersama
empat orang lainnya) dari orang Batak menjadi Kristen yaitu: Raja Pontas Lumbantobing. Beliau
inilah (dan empat orang yang dibaptis) yang di kemudian hari sangat banyak
mendukung Nomensen bekerja demi misi di lembah Silindung. Dapat dikatakan bahwa
keberhasilan misi Nomensen di tanah Batak sangatlah berhasil, akhirnya tanggal 23 Mei 1918 Nomensen meninggal dalam
usia 85 tahun. Tahun saat Nomensen meninggal, gereja telah bertumbuh dan
mencakup anggota jemaat sebanyak 180.000 orang anggota di baptis,
sekolah-sekolah sebanyak 510 buah dengan 32.700 murid, sejumlah gereja dengan
34 orang orang pendeta Batak ditahbiskan, 788 guru Injil dan 2.200 orang
penatua Tahun 1881, saat Nomensen kembali untuk cuti ke Eropa oleh RMG sebagai
lembaga misi yang mengutusnya ke tanah Batak menganugerahinya gelar: “Ephorus”
(overseer:
pengawas) di mana kemudian nama ini dipertahankan HKBP
sebagai gelar jabatan tertinggi di dalam gereja dan tahun 1904, ia diberi gelar
kehormatan Dr. Teologia oleh Universitas Bonn.
Setelah melihat perkembangan misi yang
sangat pesat, selanjutnya RMG mengutus para misionaris lainnya seperti: P.H.Johansen, Meerwalt, J. Warneck
dan lain-lain untuk membantu pekerjaan misi di tanah Batak. Dari metode dan
dedikasi kerja misi yang tajam berikut diuraikan tahap demi tahap hasil yang
diperoleh dalam usaha pembentukan dan perkembangannya gereja Batak
kemudian yakni[59]:
a. Bidang Kerohanian. Usaha-usaha dalam bidang
ini sangat berhubungan dengan pembinaan kehidupan kerohanian orang-orang Kristen
Batak melalui: “ibadah, khotbah,
persekutuan-persekutuan Kristen dan evanggelisasi, penerjemahan Alkitab ke
dalam bahasa Batak, serta pengadaan buku-buku bacaan yang berisikan pengajaran
Kristen dan lain-lain”.
b. Bidang pendidikan umum dan teologi. Para
misionaris awalnya sangat memahami bahwa tidak mungkin gereja berdiri di tengah
masyarakat yang buta huruf (aksara) sebab membina kerohanian saja tidaklah
mungkin membentuk manusia seutuhnya. Melalui pendidikan mereka sadar bahwa ini
adalah sarana utama bagi penunjang berhasilnya PI yang sesungguhnya, melalui
pendidikan inilah para pribumi kemudian sangat mendukung berhasilnya PI.
c. Bidang
kesehatan. Sejak awal bahwa keberhasilan misi di tanah Batak sangat
didukung oleh pelayanan para misionaris di bidang kesehatan (penyembuhan dan
kebersihan lingkungan, penyuluhan giji yang baik). Pelayanan ini mempengaruhi
masyarakat Batak akhirnya meninggalkan ketergantungan mereka kepada peran datu dalam kehidupan
sehari-hari. Perkembangan selanjutnya pelayanan ini, memotivasi para misionaris
mendirikan lembaga pelayanan kesehatan seperti pendirian beberapa rumah sakit
yang lebih besar.
d. Bidang
Sosial Ekonomi. Adalah merupakan fakta sebelum kekristenan di tanah
Batak, bahwa masyarakat Batak hidup dalam penggolongan (pengkastaan) derajat
hidup akibat: kemiskinan, kebodohan, kemalasan, kebiasan berjudi, system
perbudakan (parhatobanon) dan system pinjam-meminjam (rentenir)
yang gawat masih dominan. Maka untuk mengatasi keadaan ini para misionaris
sangat berjuang meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui bidang pelayanan
ekonomi.
6. Indikasi awal yang sangat menentukan bagi
warisan para misionaris terhadap bentuk kepemimpinan gereja Batak yang sudah
terbentuk adalah[60]:
a. Hal penting dapat dirujuk melalui rapat koordinasi para misionaris
tanggal 7 Oktober 1861 adalah bahwa melalui rapat itu para misionaris
“menyepakati bersama tempat atau daerah yang akan mereka layani”. Ini berarti
mereka tidak ingin bekerja secara terpisah bekerja untuk misi namun secara
terpadu menentukan arah pelayanan misi demi pembentukan gereja Batak. Untuk
selanjutnya mereka mengadakan rapat tahunan, di mana mereka membicarakan segala
sesuatu yang berkaitan dengan usaha PI
di tanah Batak. Hal inilah yang semakin dirasa perlu apabila tiba waktunya
bahwa setiap misionaris dibebani oleh serba macam tugas yang harus dikerjakan
oleh seorang misionaris waktu itu. Dengan adanya konferensi tahunan itu, para
pekabar Injil telah mempunyai satu tonggak yang demikian kuat untuk dijadikan tumpuan
berbagai jaringan atau tali yang dimunculkan selama masa pelayanan mereka di
tanah Batak. Peranan konferensi itu bukan saja mengatur komunikasi antara RMG
di Barmen dan PI di tanah Batak, tetapi yang terpenting adalah rapat itu
menjadi bagian yang sangat menentukan bagi arah perkembangan gereja Batak
selanjutnya.[61]
b. Jemaat yang telah berdiri di tanah Batak, oleh kesadaran para
misionaris RMG tentu ini sangat membutuhkan pelayan. Pelayan yang dibutuhkan
harus berasal dari jemaat asal dan warga masyarakat setempat. Untuk itu,
Nomensen memilih beberapa orang terbaik dari orang Batak (jemaatnya) yang
disegani sebab wibawanya dalam masyarakat, mereka ini kemudian disebut sebagai
“sintua“ (penatua). Di samping itu, dipilih juga orang yang ditugaskan untuk
mengunjungi dan merawat yang sakit, menghubungi orang-orang Kristen di
desa-desa dalam rangka memungut iuran (guguan)
dan membersihkan gereja serta sekolah setiap harinya. Kemudian beberapa orang
wanita untuk mengumpulkan anak-anak kecil yang belum dapat pergi ke sekolah dan
yang belum dapat mengikuti ibunya ke sawah dan ladang. Para
wanita itu menjaga dan bercerita serta mengajarkan nyanyian-nyanian gerejawi
kepada anak-anak itu. Sesuai dengan kemampuan para pekabar Injil RMG, untuk
mendidik pelayan-pelayan pribumi maka jabatan gerejawi seperti guru jemaat,
pendeta, bibelvrouw dimunculkan untuk mendampingi misionaris RMGAI[62].
c. Nomensen[63]
dan rekan-rekannya sejak semula cenderung memberi jawaban bahwa sebaiknya
jemaat-jemaat pribumi menghimpun diri dalam satu gereja pribumi. Ini telah
menjadi tujuan yang semakin dilihat penting di kalangan umat Kristen Batak yang
secara sosiologis dan sepanjang sejarah bangsa Batak belum pernah disatukan
dalam satu himpunan yang melewati batas desa dan marga (klan) terutama di
kalangan Batak Toba. Untuk inilah mereka telah menyusun suatu bata gereja yang
memadukan jemaat-jemaat pribumi secara synodal sehingga secara structural
gereja Batak telah mempunyai bentuk sendiri di samping lembaga pekabaran Injil
di Sumatera (Hindia Belanda). Pada mulanya, hubungan antara gereja Batak dengan
lembaga PI RMG sangat rapat sehingga secara praksis nampaknya satu organisasi
di dalam pimpinan, bimbingan dan pengarahan para misionaris RMG. Namun dalam
proses PI selanjutnya, nampak partisipasi gereja pribumi dari para misionaris
RMG.[64]
c.
Nomensen
dan para misionaris lainnya meninggalkan satu warisan pada saat ini tidak
kurang pentingnya bagi pemasyuran Injil di dalam dan di luar jemaat. Kesatuan
mereka yang terorganisir dan terpadu melalui rapat tahunan mereka, kesatuan
yang mampu mendelegasikan kharisma-kharisma setiap pekabar Injil, kesatuan yang
menampakkan kerja sama yang erat dan kokoh dan rencana yang matang dan terarah
dalam tahap demi tahap. Cara kerja yang demikian lebih nampak kegunaannya di
tengah-tengah masyarakat yang terpecah-pecah dalam satuan kecil dan berdiri sendiri yaitu desa. Secara sosiologis
setiap orang Batak melihat desanya adalah buminya sebagai tumpuan loyalitas
teratas. Dalam keadaan yang demikian, kesatuan itu dibawakan pula oleh Nomensen
dalam pribadinya yang berperan sebagai “Ompu” bagi setiap orang Batak. Di dalam
pribadinya, terdapat satu type kepemimpinan yang dapat memupuk kesatuan
jemaat-jemaat Kristen Batak[65].
d.
Walter
Lempp[66]
mengindentifikasikan bahwa latarbelakang Nomensen sangat kuat didukung oleh
falsapah aliran romantic, theologia Pietisme dan theologia Pekabaran Injil yang
bernafas pengkristenan bangsa-bangsa seluruhnya. [67]Dalam
hubungan hikmat ini dengan kepemimpinannya dalam misi di tanah Batak, ini
berarti bahwa bagi Nomensen tentu sekali melihat suatu harapan besar dalam
kemanusiaan orang Batak apabila dididik tantang pengetahuan menyeluruh dan ilmu
pengetahuan. Totalitas hidup dan pengabdiannya merupakan kekuatan perjuangan
yang mengadu dalam berbagai aspek mulai dari kepercayaan, kesadaran,
keterampilan yang pada akhirnya merobah motivasi, sikap pandang, sikap mental
dan hubungan social. Penembusan Nomensen pertama sekali memadukan kekuatan
Iniil, pengetahuan dan keberanian sehingga benteng kebodohan, keterbelakangan
dan kemiskinan ditaklukkan. Inilah cerminan
paling penting bagi corak kepemimpinan gereja Batak yang sangat relevan
pada masa kini.[68]
Kesimpulan
7. Beberapa kesimpulan dapat dipetik dari
uraian ini, yakni:
a. Berdirinya lembaga misi RMG (Rheinische Missiongesellschaft), awalnya
lembaga ini sangat kuat hubungannya bangkitnya gerakan Pietisme Eropa abad 19.
Ini dibuktikan dengan berdirinya RMG sebagai hasil penggabungan beberapa
serikat misi Kristen Protestan di Jerman
pada masanya.
b. Ciri yang paling menonjol dari corak
kepemimpijnan Nomensen di tanah Batak adalah cara kerja mereka yang tidak pernah
berjalan sendiri demi menetapkan arah dan tujuan misi. Para
misionaris tidak bekerja secara terpisah untuk misi, namun mereka secara terpadu
menentukan arah pelayanan misi demi pembentukan gereja Batak. Untuk tujuan
inilah para misionaris selanjutnya mengadakan rapat tahunan di mana mereka
membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha PI di tanah Batak.
- Sebagai pemimpin, Nomensen sejak semula cenderung memberi jawaban bahwa sebaiknya jemaat-jemaat pribumi menghimpun diri dalam satu gereja pribumi. Untuk inilah mereka telah menyusun suatu bata gereja yang memadukan jemaat-jemaat pribumi secara synodal sehingga secara structural gereja Batak telah mempunyai bentuk sendiri.
- Nomensen dan para misionaris lainnya meninggalkan satu warisan pada saat ini bagi kepemimpinan jemaat yakni kesatuan para misionaris menyangkut semua aspek perencanaan dan pelaksanaan misi. Para misionaris yang terorganisir dan terpadu yang melaluinya kesatuan misi menyeluruh misi tercipta sekaligus keadaan itu membentuk kharisma-kharisma setiap misionaris.
.
PERKEMBANGAN SELANJUTNYA GEREJA BATAK
MASA AWAL HINGGA PERTENGAHAN ABAD 19
1.
Pendahuluan (1-2). Anda semua sudah sangat memahami bahwa latarbelakang
pemberian gelar “Ompui” oleh orang Batak kepada I.L. Nomensen itu
merupakan suatu tanda penghormatan orang Batak yang setinggi-tingginya kepada
rasul orang Batak itu atas wibawa, kharisma serta segala teladan yang baik yang
ditunjukkannya bagi keberhasilan misi kekristenan di tanah Batak. Kalau pada
tahun 1881, badan misi RMG (ketika Nomensen kembali ke Eropa dalam rangka cuti
tugas di tanah Batak) memberi gelar penghormatan kepadanya melalui mengangkatnya
menjadi: “Overseer: pengawas”
(asal-usul sebutan Ephorus yang kemudian gelar ini menjadi
nama jabatan tertinggi dalam gereja Batak) pemberian gelar ini juga
menandakan penilaian lembaga misi RMG atas dedikasi pelayanan yang sangat baik
dari Nomensen di wilayah kerja (tanah Batak) badan zending RMG. Sudah
dijelaskan kepada anda bahwa metode kerja lembaga misi (RMG) dan para
misionarislah yang merupakan satu-satunya ujung tombak bagi keberhasilan
pengkristenan di tanah Batak. Metode kerja misi melalui pengkristenan
perorangan yang kemudian berubah menjadi pengkristenan massal
semuanya menjadi kekuatan bagi berdirinya jemaat-jemaat Kristen di tanah Batak
(lih. Andarlumbantobing, hl. 77). Secara khusus terhadap pengkristenan
massal, metode ini sering terjadi berkat pendekatan para misionaris kepada
penduduk secara berkelompok. Model pendekatan ini menghasilkan penerimaan orang
Batak kepada kekeristenan menurut kelompok kampung yang sekaligus didiami oleh
sekelompok marga (ciri khas utama komunitas social kemasyarakatan Batak).
Latarbelakang ini pulalah yang mendasari adanya jemaat-jemaat membawa nama
kampung atau nama marga-marga tertentu, seperti misalnya: jemaat Sipoholon I-V,
jemaat Lintongnihuta, jemaat Simarangkir, jemaat Hutabarat, jemaat Rurajulu
Sihombing, dan lain sebagainya. Tegasnya dapat dikatakan bahwa hingga tahun
1930: orang-orang Kristen dari suku Angkola, Mandailing, Simalungun, Toba,
Pakpak-Dairi telah dikumpulkan secara bersama dalam satu gereja Batak yang
secara sepakat mengambil nama HKBP (lih. Pedersen, hl. 70).
2.
Walau nampak ironis, namun sudah merupakan fakta yang tidak dapat
disangkal bahwa senjata yang sangat ampuh bagi perkembangan gereja Batak:
konflik turut mendukung perkembangan gereja di tanah Batak (lih. P.B.
Pedersen, hl. 72-73). Melalui uraian
poin 1 di atas, oleh para misionaris dan kebanyakan orang Kristen Batak,
awalnya di dalam nama HKBP terkandung suatu harapan bahwa organisasi ini akan
menjadi satu-satunya gereja yang mempersatukan semua suku, kebudayaan dan bahasa
Batak kecuali Karo (5 etnis saja: sebab kekristenan Batak Karo lahir dari
hasil misi NZG Belanda). Ternyata selanjutnya harapan ini tidaklah
terwujud, sebab keinginan setiap suku untuk berdiri sendiri di dalam organisasi
gereja masing-masing sangat mengacaukan setiap cita-cita akan suatu gereja
Batak. Sebenarnya, tahun 1911: jemaat Kristen Batak sudah membentang dari
Selatan (Angkola-Mandailing) hingga ke Timur (Simalungun-Pematangsiantar). Dan
jemaat-jemaat ini sudah dibagi ke dalam lima
distrik, yakni: Distrik Angkola (sekarang Distrik Tapanuli Selatan), Distrik
Silindung, Humbang, Toba-Hasundutan, Simalungun-Oostkust: pantai Timur Sumatera
Timur yang sekarang sebagai Distrik V Sum-Tim bergabung dengan Pakpak-Dairi.
Pembagian distrik ini sangat didasari pada pertimbangan etnografis adat
istiadat di wilayah distrik yang kepemimpinan dan tanggungjawab keseluruhan
pengembangan dan pengelolaan pelayanan di setiap distrik dipercayakan kepada
konferensi PI pada misionaris. Artinya, melalui konferensi ini para
misionarislah yang paling bertanggungjawab secara keseluruhan (ke dalam dan ke
luar) bagi pelayanan menyeluruh di wilayah jemaat pelayanannya. Rasa kesukuan
yang amat dalam di masing-masing etnis Batak, mempengaruhi sikap gereja Batak
kemudian mengembangkan wilayah distrik (dari 5 distrik) ini diperluas menjadi
tigabelas distrik sesudah tahun 1940. Selanjutnya nyata bahwa HKBP tidak pernah
dapat menyatukan semua gereja-gereja (etnis) Batak. Namun antusiasme
anggota-angota HKBP dan dedikasi yang tidak kenal takut menjadi factor
menentukan dalam perkembangan gereja Batak di seluruh tanah Batak bahkan hingga
ke berbagai wilayah Indonesia.
Ini dibuktikan dengan berdirinya gereja-gereja Batak di berbagai daerah (lih.
125 Tahun HKBP, hl. 30), misalnya di: Pematangsiantar 1907 ; Medan, 1912 ; Pangkalan Brandan, 1918 ; Batavia
(Jakarta), 1919 ; Padang, 1922 dan lain sebagainya.
3.
Sudah ditegaskan pada poin 2 di atas bahwa modal dasar bagi perkembangan
gereja dan kekristenan di tanah Batak masa tahun-tahun berikutnya adalah
tingginya semangat dan dedikasi orang Batak Kristen berperan dalam
memperkenalkan panggilan Tuhan kepada saudara-saudaranya yang belum masuk
menjadi Kristen. Semangat inilah yang pertama sekali nampak pada munculnya
lembaga PI Batak pertama yakni: PMB (Pardonganon Mission Batak: Badan Pekabar Injil Batak) tanggal 2 Nopember 1899. Berdirinya lembaga
ini diprakarsai oleh Pdt. Henok Lumbantobing (yang ketika itu ia
berkedudukan di Pearaja Tarutung) di
mana perkembangan kekristenan di tanah Batak sangat didukung oleh lembaga PMB
ini, terutama di daerah Samosir, Samosir, demikian di daerah Pakpak-Dairi.
Dapat dikatakan bahwa lembaga ini adalah merupakan organisasi kerohanian
pertama bagi orang Batak yang peranan dan partisipasinya sangat berjasa bagi
kegiatan gereja waktu itu. Hal yang serupa bagi munculnya semangat gerakan
nasionalisme (secara nasional dengan gerakan Budi Utomo, 1908) orang Batak, ini
ditandai dengan berdirinya satu organisasi masyarakat Kristen yang pertama
sekali di tanah Batak yakni: “Hatopan Kristen Batak-Persekutuan
Kristen Batak” tahun 1917 di mana berdirinya organisasi ini di prakarsasi
oleh Mangihut Hezekiel Manullang. Lembaga ini berdiri adalah sebagai
usaha orang Batak mempertahankan diri (khususnya mempertahankan status tanah
adat/tradisional Batak) dari tekanan pihak kolonial Belanda yang berencana
membuka Tapanuli buat perkebunan teh dan karet. Penduduk merasa dirugikan
secara material dan moral melalui pembukaan perkebunan itu, melalui dukungan
dan koordinasi HKB mereka berhasil menggagalkan perkebunan Belanda di Tapanuli,
usaha ini terutama berlangsung di daerah Pahae dan Silindung. Melalui uraian ini, hendak
ditekankan pengalaman awal orang Kristen Batak (gereja) bahwa inilah pengalaman
pertama orang Kristen Batak di bidang kerohanian dalam hubungannya dengan
bidang politik kemasyarakatan setelah kekristenan yang dapat dinilai secara
positif. Maksudnya, melalui HKB orang
Batak sudah mengungkapkan pandangan dan aksi mereka tanpa melibatkan jemaat dan
gereja, sekalipun mereka adalah anggota jemaat itu sendiri. HKB berpendirian
bahwa anggota jemaat atau gereja dari sudut misinya di dunia ini, itu tidak
mungkin melibatkan diri dalam aksi social politik yang mungkin mempunyai aliran
politik yang berbeda-beda. Di pihak lain, melalui PMB jemaat atau gereja
menganggap bahwa menjadi anggota jemaat itu tidak sama dengan organisasi
politik. Dalam kesadaran rohani dan politis yang seperti ini, agaknya orang
Kristen Batak awalnya sudah paham bahwa mereka adalah bagian integral (tidak
terpisahkan) dari dimensi social hidup bergereja pada waktu itu. Penting di ingat, HKB sebagai
organisasi orang Batak yang bersifat gerakan nasional sejak awal mereka sudah
memulai dan mengakhiri rapat-rapat (pertemuan) dengan menyanyikan nyanyian
rohani dan berdoa (lih. 125 tahun HKBP, hl. 31), dua organisasi ini
akan lebih panjang lebar dijelaskan pada Tema Bab di depan.
4.
Di tengah perubahan dan perkembangan yang sangat cepat dialami oleh gereja masa
kurun waktu 1911-1936, untuk pemantapan diri gereja juga melakukan pembenahan
diri pada bidang organisasi dan khususnya bidang jabatan dalam gereja. Di bawah
ini diuraikan beberapa usaha dilakukan oleh gereja membenahi diri pada bidang
kepemimpinan dalam tubuh jemaat (lih. Andar Lumbantobing, hl. 85, juga 125
tahun HKBP, hl. 31-32) yakni:
1920: Majelis jemaat dibentuk
di tiap jemaat yang anggotanya terdiri dari 3 golongan yakni: pertama, pendeta,
guru, evanggelis dan Helper. Kedua,
para penatua (sintua). Ketiga, para kerkbestur yakni beberapa anggota jemaat
yang khusus bertugas mengelola keuangan jemaat.
1922: Sinode pertama diadakan
buat seluruh jemaat yang terhimpun dalam gereja Batak. Sebelumnya, sejak tahun
1881 pertemuan ini hanya berbentuk musyawarah selesai konferensi tahunan para
misionaris RMG.
1925: Tahun ini sinode Agung
gereja Batak diadakan, dan pada saat ini gereja Batak diresmikan namanya
menjadi “Huria Kristen Batak” (Gereja Kristen Batak).
1929: Beberapa keputusan
penting dalam bidang organisasi gereja diputuskan, yakni: pertama, nama
“Huria Kristen Batak” disempurnakan menjadi “Huria Kristyen Batak Protestan”
(HKBP – seperti nama gereja sekarang). Nama ini sekaligus mengungkapkan
identitas ajaran gereja yang beraliran Protestan. Kedua, Tata gereja
Baru disyahkan. Melalui TG ini, jenjang kepemimpinan dan pelayanan ditetapkan
(sampai sekarang jenjang ini nampak tidak berubah). Ephorus adalah sebagai
pemimpin tertinggi dalam gereja. Untuk menjembatani komunikasi dari pusat ke
jemaat-jemaat setempat, maka jemaat dibagi atas beberapa resort (pusat-distrik:
resort-jemaat). TG ini berlaku thun 1930 dan akan diperbaharui tiap 10 tahun . Ketiga,
majelis pusat untuk pertama sekali dibentuk dan disyahkan untuk masa pelayanan
4 tahun. Ini kemudian diperpanjang menjadi 6 tahun.
1931: HKBP ditetapkan memiliki badan hukum sendiri
melalui SK pemerintah tertanggal 11 Juni 1931 No. 48 sebagaimana
ditetapkan dalam lembaran pemerintah 1932
No. 360. Pengakuan ulang pemerintah RI tanggal 2 April 1968 No.
Dd/P/DAK/d/135/68.
5. Corak teologi dan kesalehan orang Kristen
Batak. Satu identitas yang tidak dapat diabaikan dalam perkembangan gereja
Batak hinga masa pertengahan abad 19 adalah adanya identitas (corak) kesalehan
dan teologi orang Kristen Batak yang dipengaruhi oleh corak kesalehan para
misionaris itu sendiri yang berasal dari Eropa, di mana untuk ini mereka sangat
memamfaatkan struktur/tatanan masyarakat Batak yang bersifat komunal
(persekutuan yang erat diikat oleh marga). Identitas ini nampak melalui
beberapa peraturan dan tata jemaat yang ditetapkan oleh para misionaris dan
berlaku dalam gereja Batak. Di bawah ini, dicantumkan beberapa informasi yang
berhubungan dengan pernyataan ini (lebih luas informasi tentang pokok ini lih. J.R.
hutauruk, Menata Rumah Allah) yakni:
-
Peraturan
dan tata ibadah 1866:
Oleh Nomensen konsep ini belum dinamakan seagai Tata Gereja, tetapi hanya
sebagai peraturan ibadah jemaat. Dikatakan demikian sebab, Nomensen baru
membentuk persekutuan ibadah jemaat dari hasil misi PI-nya, yang melaluinya ia
merasa penting untuk mengatur persekutuan dan ibadah jemaat yang baru
didirikannya itu. Oleh karena itu, melalui perasturan jemaat dan tata ibadah
1866, Nomensen menetapkan dan mengangkat beberapa pelayan gereja yang dapat
membantu dirinya melangsungkan iabdah secara teratur dan rapi. Oleh karena itu
ia mengangkat seorang guru, empat orang penatua, tiga orang diakon, seorang
diakones dan seorang guru untuk anak-anak. Pembagian tugas dari masing-masing
yang membatunya ini pun ditekankannya, misalnya: penatua bertugas untuk
mengamati kehidupan setiap anggota jemaat kemudian menegor dan memperingatkan
mereka bila ada yang berbuat tidak sesuai dengan tuntutan kekeristenan
sebagaimana diajarkan Nomensen. Dalam keadaan darurat, awalnya penatua bertugas
memimpin ibadah jemaat, mengamati perlakuan anggota jemaat dalam ibadah. Bila
ada yang ribut, segera penatua memperingatinya dan jika peringatan ini
diabaikan maka penatua berhak menyampaikan tegoran. Dan jika kesalahan yang
sama berulang setelah beberapa kali ditegor, maka jemaat itu dilarang iokut
dalam perjamuan Kudus atau dikucilkan dari persekutuan jemaat. Lebih luas
peraturan jemaat tahun 1866 ini semuanya berisi tentang aturan-aturan yang
menyangkut hidup persekutuan dan ibadah
jemaat.
-
Hukum
Sipil Untuk Orang Kristen Batak tahun 1867. Hukum sipil ini dibuat untuk
mengatur hal-hal yang menyangkut perkara-perkara duniawi atau lebih khusus yang
menyangkut kehidupan masyarakat. Dasar pikiran teologis para misonaris
menekankan ini, mereka dipengaruhi oleh corak teologi Martin Luther yang membedakan perkara-perkara rohani sebagai tugas gereja
dan perkara-perkara duniawi sebagai tugas raja. Kemudian dalam tradisi gereja
Lutheran sebagai denominasi warisan dari teologi M. Luther, “teori dua
kerajaan” (kerajaan rohani dan kerajaan duniawi) nampak sulit diterapkan bagi
masyarakat Batak dalam misi oleh misonaris. Sebab dari dalam dirinya sejak
semula, orang Batak tidak dapat membedakan unsur keagamaan dari unsur
keduniawian. Bagi orang Batak, implikasi pemahaman ini nampak pada posisi
kepemimpinan ini Nomensen di perkampungan Huta Dame yang didirikannya di mana
ia berfungsi sebagai pemimpin bidang kerohanian sekaligus bertindak sebagai
“raja Huta”, walau nyata selanjutnya peran kepemimpinannya ditonjolkan Nomensen
dirinya sebagai pemimpin rohani yakni sebagai “guru” semata-mata.
-
Tata
Gereja tahun 1881.
Peraturan ini disusun oleh Nomensen bersama dengan para misionaris lainnya,
yang pada kesimpulannya mereka menamakannya sebagai: “peraturan jemaat,
gereja dan Sinode untuk gereja sending injili di tanah Batak-Sumatera, tahun
1881”. Isi inti dari peraturan ini mencakup aturan kehidupan pelayan
pribumi dalam: “Gereja Zending Injili di Tanah Batak”. Dalam peraturan
ini para misonaris masih menempatkan para pelayan pribumi dalam jenjang
terendah hierarki gereja dan semuanya ditempatkan pada jenjang pembantu para
pendeta utusan (misionaris). Para pekerja pribumi ini dibedakan atas dua bagian yakni:
yang bergaji dan tidak bergaji. Pekerja yang bergaji adalah: guru Injil, guru
sekolah dan parapendeta. Yang tidak bergaji adalah para sintua (penatua).
Melalui TG 1881, struktur kepemimpinan gereja disusun berdasarkan pola
piramida: dari beberapa jemaat filial (cabang) ke jamat induk (resort),
kemudian jemaat distrik, sampai akhirnya Sinode Tahunan. Semua tenaga yang memimpin mulai dari tingkat
resort, distrik hinggakepusat semuanya dipegang oleh misonaris Jerman. Ini
artinya, segala kendali kepemimpinan gereja masih terikat pada para misionaris
RMG dan pelayan pribumi hak kierarkinya masih dibatasi.
-
Peraturan
Jemaat tahun 1907-1912.
Melalui peraturan ini semakin nampak perkembangan gereja Batak dalam bidang
rumusan tata jemaatnya. Munculnya peraturan jemaat tahun 1907, peraturan ini
dinamakan sebagai: “Aturan ni Ruhut di Angka Huria di Tonga-tonga ni Halak
Batak”. Isi peraturan ini masih sebagai pengembangan dari peraturan jemaat
tahun 1906 yang mencerminkan corak kesalehan dan pola teologi para misonaris
Eropa. Tahun 1912, kemudian diterbitkan peraturan yang khusus mengatur soal
kepemimpian para pekerja Injil di gereja Batak. Uraian isi peraturan gereja
tahun 1907, yakni mengatur soal: tindakan ibadah, Pembaptisan, Perjamuan Kudus,
Sidi, Pernikahan dan Pemakaman. Isinya memberi petunjuk yang berkenaan dengan
tingkah laku, persiapan dan larangan. Petunjuk-petunjuk itu antara lain:
a. Sebelum ibadah, lonceng
gereja dibunyikan sebanyak dua kali ; setelah lonceng pertama para sintua
memperingatkan jemaat masuk ke dalam gereja
b. Pada waktu nyanyian pertama
(dinyanyikan 3 ayat) gereja masih dibuka; setelah votum/doa pintu ditutup dan
baru kemudian dibuka setelah nyanyian berikut
c. Setiap pintu masuk gereja
harus dijaga sintua agar binatang (asu: anjing) tidak memasuki gereja saat
kebaktian
d. Kotbah harus dipersiapkan
dengan baik yang melaluinya jalan keselamatan dapat diberitakan bagi kehidupan
jemaat
e. Perjamuan Kudus: roti dan
anggur disajikan. Roti dan anggur yang tersisa harus dibawa kembali ke rumah
pendeta. Jikalau ada orang yang sakit
memintanya, dengan alasan melaluinya mereka mengharapkan kesembuhan,
permintaan itu harus ditolak. Alasannya, untuk menghindarkan pemahaman yang
bersifat magis terhadap makanan roti itu. Yang harus dipakai dalam PK adalah
angggur tidak boleh tuak, karena tuak dianggap sangat bersifat duniawi dan tuak
juga merupakan minuman sehari-hari yang memabukkan orang Batak.
f. Pada setiap
pemakanan/kuburan dianjurkan menanam pohon pisang
g. Setiap subuh hari paskah,
diadakan ibadah dikuburan. Hal ini dianggap perlu untuk mengukuhkan harapan
orang-orang yang hidup akan kebangkitan orang mati.
h. Perkawinan dibedakan dalam
tiga kategori yakni, pertama: perkawinan bagi orang yang mempunyai “nama
baik” yang tetap menjaga kesuciannya. Dalam perkawinan jenis ini, mempelai
diperkenankan memakai perhiasan sebagai tanda mereka tidak bercela. Kedua,
Upacara perkawinan secara hikmat di muka umum. Ini dilangsungkan oleh seorang
pendeta utusan atau pendeta Batak di dalam gereja. Kedua mempelai harus melalui
upacara Sidi dan tidak terkena disiplin gereja. Ketiga, upacara
perkawinan yang dilakukan di kampung halaman sintua atau mempelai. Upacara
peneguhan pernikahan cukup dilakukan dengan hanya mendoakan perkawianan itu
saja. Perkawinan jenis ini terjadi bila salah satu mempelai masih sipelebegu
(kafir) atau baru mulai belajar agama Krisaten. Juga bila mempelai telah
melakukan tindakan salah dalam perkawinan (sedang manjalani hukuman disiplin
gereja).
Dari corak kesalehan dan teologi yang
dipengaruhi oleh corak kesalehan para misonaris ini, hal yang dapat dikatakan
bahwa: Tata Gereja disusun para
misonaris RMG, itu sangat tidak dapat dipisahkan dari paham paramisonaris itu
sendiri tentang keselamatan yang mereka pandang sebagai keselamatan untuk
perorangan. Jadi makna yang paling esensil dari TG 1907 adalah penaklukan
sempurna orang Kristen Batak kepada kekuasaan zending.
6.
Kemandirian Gereja Batak. Dalam bukunya: “Indigenous Church”
(Pempribumian Gereja), Henry Venn (1860) telah mengungkapkan
prinsip dasar yang sangat penting dicapai oleh sebuah gereja menuju
kemandiriannya. Prinsip ini dikemukakan Henry Venn melalui pengalaman misi
gereja Anglikan Inggris di Afrika (Nigeria)
dalam memandirikan gereja sebagai hasil misi anglikan di sana. Prinsip kemandirian gereja ini, oleh
Henry Venn menyebutnya sebagai: kemampuan membiayai/mendanai diri sendiri
(self Supporting) ; kemampuan memimpin/ mengatur diri sendiri (self
Government) ; kemampuan melakukan PI sendiri (self Propagating).
Tiga bentuk kemampuan inilah yang dipakai sebagai barometer (ukuran) mengukur
sebuah gereja bertanggungjawab (dewasa) atas diri sendiri lepas dari asuhan
satu lembaga misi tertentu. Dalam gereja Batak ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
a.
Mandiri
dalam dana
(self Supporting). Sejak semula, para misonaris (kuhus Nomensen) telah
berusaha membina kesadaran jemaat Kristen Batak ikut memikul biaya yang
dibutuhkan bagi pengelolaan jemaat. Usaha ini ditempuh melalui cara:
mewajibkanjemaat memberi persembahan/iuran kepada gereja. Dana ini kemudian
dipakai untuk membiayai bidang pelayanan umum (pendidikan, kesehatan, dll
dengan membangun prasarana berikut gaji guru) jemaat di samping sumbagan dana
dari lembaga misi RMG
b.
Mandiri
dalam bidang kepemimpinan
(self Government). Secara bertahap para orang Kristen Batak dipersiapkan
untuk ikut melayani dan mengurus jemaat, mulai dari tingkat penatua, guru
Injil, guru jemaat setempat, dan hingga ke
pendeta. Mereka diharapkan kelak dapat memimpin gereja Batak.
c.
Mandiri
dalam misi (self
Propagating). Orang Batak dibimbing dapat melakukan PI ke luar,
kepada orang-orang yang masih menganut kepercayaan suku atau agama lain. Inilah
yang nampak melalui berdiri dan seluruh kegiatan PMB.
HKB
SEBAGAI WUJUD BANGKITNYA
SEMANGAT
KEBANGSAAN DI TANAH BATAK
1.
Asal usul Berdirinya HKB. HKB (Hatopan Kristen Batak)
adalah sebuah wujud gerakan organisasi yang bersifat social politik orang Batak
yang berdiri bersamaan dengan munculnya gerakan kebangkitan nasional Indonesia,
dan merupakan salah satu bentuk perjuangan orang Batak melawan pemerintah
Belanda. Melalui gerakan yang dilakukan oleh HKB nampak bahwa salah satu fungsi
dan peranan golongan cendekiawan adalah menerima atau menolak sahnya sebuah
pemerintahan. Gerakan kelompok ini, berbeda dengan gerakan kelompok Jong Bataks Bond (perhimpunan pemuda
Batak, berdiri 9 Desember 1917) yang bertujuan membina persatuan, tali
persaudaraan dan mencintai kebudayaan sendiri tanpa mengurusi politik serta
mempererat ikatan antar pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin dan pendidik
bangsa, menghargai adat, kebudayaan dan sejarah. Munculnya organisasi HKB berasal dari sebuah kelompok paduan suara
gereja yaitu “Zangvereeniging Hadomuan” di Balige yang anggotanya
terdiri dari guru-guru di sekolah zending dan sekolah-sekolah pemerintah serta
para pegawai-pegawai swasta. Di sela-sela latihan koor, mereka berdiskusi dan
saling bertukar pendapat terhadap perkembangan yang terjadi di tanah Batak baik
dalam bidang kegerejaan, kemasyarakatan dan politik. Jadi, dapat dikatakan
bahwa organisasi ini terbentuk secara tidak sengaja melalui diskusi yang sering
dilakukan oleh kelompok paduan suara gereja itu. Dalam diskusinya, orang Batak
Kristen yang tergabung dalam paduan suara gerejawi itu melihat bahwa pengaruh
Barat (kolonial) yang datang bersama dengan agama Kristen adalah unsur-unsur
“hamajuon” (kemajuan) yang dapat mendorong terwujudnya kemajuan dalam hidup
kemasyarakatan dan gereja Batak. Ajarana kekristenan yang dibawa oleh zending
RMG di tanah Batak telah membangkitkan semangat orang Batak yang sebelumnya
mereka sendiri berusaha menghindari “Batak”. Melalui agama Kristen, orang Batak
menemukan rasa solidaritas sebagai satu suku bangsa sehingga ajaran kekristenan
mampu membangkitkan permulaan baru yang membangkitkan semangat orang Batak berani melangkah untuk maju.
2.
Berbagai Kepentingan di Balik Munculnya HKB. Berdirinya HKB tanggal 28
September 1917 di Balige, awalnya organisasi ini sangat mendapat dukungan dan
respon positif dari pihak pemerintah Belanda, juga dari pihak zending dan para
misionaris RMG. Akan tetapi, walau sama-sama mendukung, latarbelakang serta
alasan dan harapan mereka terhadap berdirinya HKB berbeda-beda pula. Pemerintah
Belanda, menilai bahwa melalui berdirinya HKB mereka mengharapkan masyarakat
Kristen Batak dapat menjadi suatu kekuatan yang mendukung system pemerintahan
kolonial Belanda. Dengan kata lain, pemerintah kolonial menganggap bahwa orang
Batak Kristen menjadi benteng kekuatan Belanda. Di pihak lain, zending
RMG mengharapkan, melalui HKB kekristenan dan masyarakat Batak dapat
berkembang dengan cepat dan lebih maju serta pada akhirnya dapat memperlambat
bahkan mengimbangi serikat Islam yang sudah lebih dahulu masuk dan berkembang
di Tapanuli umumnya sejak tahun 1916. Harapan ini didukung oleh system
kepengurusan HKB yang dominan dipegang oleh pendeta Kristen Batak, guru dan
sintua (penatua gereja), maka terjalinlah ikatan antara organisasi HKBP yang
didirikan oleh orang-orang Batak sebagai penduduk pribumi dengan RMG sebagai
pemimpin gereja Batak. Dari pihak orang Batak sendiri, mereka memiliki
sudut pandang sendiri bahwa melalui berdirinya HKB yang dipelopori oleh golongan
inteletual Kristen Batak organisasi ini bertujuan memajukan kehidupan
masyarakat Kristen Batak. Harapan ini didukung oleh anggaran dasar HKB awalnya,
yaitu: “untuk memperkuat persatuan umat Kristen Batak, memperkuat
kasihpersaudaraan tolongmenolong sesama anggota sarekat sesuai dengan kesadaran
kristiani dan berusaha untuk memajukan kehidupan social masyarakat Batak (J
R. Hutauruk, hl. 86). Sebagai sebuah perkumpulan orang-orang Kristen Batak,
awalnya HKB bergerak di bidang gerejani yaitu mempercepat penyebaran
kekristenan sesuai dengan cita-cita awal organisasi HKB yang pada dasarnya
menginginkan kemerdekaan ekonomi dan sosial sesuai dengan cita-cita Kristen.
3. HKB dan system Erfpacht Belanda. Tidak
lama setelah berdirinya HKB, pemerintah kolonial Belanda menjalankan system
penyewaan tanah di Tapanuli yang dalam istilah bahasa Belanda system penyewaan
tanah ini disebut sebagai “erfpacht”. Sistem ini didasarkan pada
peraturan agraria 1870 yang menyatakan bahwa: “tanah yang tidak digarap oleh
penduduk secara langsung menjadi hak milik pemerintah dan penduduk dapat
menggarapnya kembali dengan cara mengajukan permohonan erfpacht dan
menanam lahan tersebut dengan tanaman jangka panjang”. Namun, untuk
mendapatkan ijin sewa tanah, persyaratan yang diajukan oleh pemerintah Belanda
berbelit-belit sehingga mempersulit penduduk mendapatkan tanah olahan. System
penyewaan tanah yang demikian sangat ditentang oleh pihak lembaga zending dan
orang Batak sendiri, walau motif dan kepentingan masing-masing menolak system ini
berbeda-beda.
a. Di satu pihak, para misionaris
menolak system sewa tanah ini dengan alasan bahwa system erfpacht dapat mendorong terbentuknya lahan-lahan
perkebunan di tanah Batak, dan tujuan ini tidak selaras dengan tujuan misonaris
terhadap masyarakat Batak karena system ini dapat mengalihkan perhatian orang
Batak dari tujuan utama misi yaitu menyelamatkan orang Batak sesuai dengan iman
Kristen yang mereka ajarkan.
b.
Di pihak lain, system ini dapat merusak usaha penyingkiran Islam karena
perkebunan akan mendatangkan orang-orang Jawa dan pekerja asing sebagai buruh
ke tanah Batak. Melalui itu, mengakibatkan munculnya berbagai penyakit kelamin
yang dibawa oleh para pekerja perkebunan yang dari luar tanah Batak.
c.
Bagi
pihak orang Batak sendiri, menolak system erfpacht lebih disebabkan oleh
factor kaum muda Batak yang lebih menginginkan “hamajuon” melalui
berbagai produk material dan intelektual orang Barat, mereka tidak menginginkan
Tapanuli mengalami nasib yang serupa dengan daerah-daerah perkebunan di Pantai
Timur Sumatera serta adanya kesadaran bahwa sesuai dengan adat Batak akan arti
dan fungsi tanah maka ada anggapan bahwa bangsa Batak akan lebih membutuhkan
tanah daripada pemerintah pada masa yang akan datang.
d.
Bagi
pihak Belanda, system erfpacht sangat mendorong pemerintah semakin
membuka lahan-lahan perkebunan dan perusahaan-perusahaan dagang yang sejajar
dengan itu pembukaan dan pembangunan jalan-jalan raya sepanjang Timur ke Barat
dan menembus ke jantung tanah Batak. Lancarnya transportasi jalan raya dari Medan ke Sibolga
mempengaruhi daerah pedalaman tanah Batak sangat cepat dimasuki berbagai jenis
hiburan seperti misalnya: bioskop, byliard, rumah dansa, permainan judi,
berbagai minuman keras sebagai pengaruh kebudayaan jelek Eropa.
Selain dampak negatif ini, lancarnya
komunikasi di tanah Batak juga sangat mempengaruhi kaum muda Batak pergi ke
berbagai daerah di luar Tapanuli untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik
dan pendidikan yang lebih maju. Tanggal 2 Januari 1919, di daerah Tarutung
(sebagai secretariat cabang) HKB mengajukan keberatan atas pelaksanaan erfpacht
walau keberatan ini tidak digubris oleh Belanda. Tidak diabaikannya keberatan
ini, mendorong H.M. Manullang sebagai ketua HKB pergi ke Batavia menyampaikan keberatan masyarakat
Batak atas system erfpacht di Tapanuli kepada Direktur Pemerintah Dalam
Negeri yaitu: Capentier Alting. Hasilnya, keberatan Manullang diterima
pemerintah dan erfpacht di Tapanuli umumnya digagalkan, dan pemerintah
menghentikan pembuatan batas-batas tanah yang akan disewakan sampai berbagai
keberatan itu diteliti dsan penduduk menjadi tenang kembali. Sejalan dengan
perkembangan yang demikian berlangsung di Tapanuli, misi menjalankan organisasi
jemaat dengan system kepemimpinan yang episkopal artinya: bahwa
kekuasaan di dalam gereja semuanya terpusat di tangan para misonaris, ini
berarti bahwa pimpinan tertinggi di dalam gereja tetap di tangan misinaris.
Keadaanini juga ditentang oleh HKB, yang akibatnya sampai tahun 1927 banyak
jemaat dari gereja Batak yang kecewa dan keluar dari keanggotaan jemaat seraya
mendirikan gereja Batak yang baru yakni
HChB (1927) di Pantoan, demikian dengan Gereja Mission Batak, 17 Juli 1927
(GMB) dan Punguan Kristen Batak, 16 Juli 1927 (PKB) di Jakarta dan lain-lain.
Akibat dari gejolak ini, HKBP tahun 1930 resmi memiliki badan hukum sendiri dan
baru tahun 1939, HKBP mandiri secara kepemimpinan melalui terpilihnya Pdt. K.
Sirait sebagai pimpinan jemaat dari antara pendeta pribumi.
4.
HKB Dan Hubungannya Dengan HKBP. HKB sebagai oraganisasi adalah
merupakan gerakan keagamaan yang
menentang segala kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang dianggap
merugikan orang-orang Batak di Tapanuli. Organisasi HKB dibentuk oleh
tokoh-tokoh Kristen yang merupakan jemaat HKBP, ini berarti bahwa HKBP
merupakan pusat pengembangan organisasi HKB. Bagiorang Batak sejak kekristenan
adalah organisasi yang sangat penting, berdirinya HKBP disebabkan oleh masuknya
kekristenan ke tanah Batak, dan keadaan ini oleh orang Batak menganggapnya
sebagai “sahala”. Artinya, orang Batak setelah kekristenan sadar bahwa
para misonaris yang membawa kekristenan ke tanah Batak memiliki “sahala”
yang lebih tinggi dari sahala yang dimiliki oleh para datu-imam maupun sibaso hasandaran yang diyakini sebagai perantara antara orang yang hidup
dengan roh-roh orang mati. HKB sebagai lembaga formal, melakukan gerakannya di
bawah pengawasan gereja yang memberi kelengkapan mengenai perjuangan politik
yang dpaat dilakukan oleh semua orang. Berdirinya HKB masa bangkitnya semangat
kebangsaan nasional Indonesia,
menunjukkan bahwa pemuda dan orang Kristen Batak telah ikut berpartisipasi
menentang kolonial Belanda yang menjajah di Tapanuli dan gerakannya sangat
didasarkan pada semangat kekristenan.
Perlawanan orang Kristen Batak melawan kolonial di Tapanuli, perjuangan
ini sangat didasarkan dan berkaitan pada system kerja Rodi, pajak, dang system
Demang. Tiga system kebijakan kolonial
ini, ternyata sangat menimbulkan perasaan sakirt hati dan kebencian bagi orang
Batak terhadap kolonial Belanda, waau sudah ada peraturan yang mengatur
pelaksanaan Rodi, Pajak dan system Demang ini. Di antaranya peraturan itu
adalah bahwa: “orang yang lanjut usia, yang sakit, dibebaskan dari Rodi: hari
minggu, hari-hari raya harus dihormati di mana penduduk tidak wajib melakukan
Rodi, termasuk kerja Rodi dapat digantikan dengan uang. Namun dalam prakteknya
oleh pemerintah kolonial, peraturan ini tidak dijalankan ditambah dengan
diskriminasi terhadap orang Cina dan penduduk non-pribumi lainnya tidak diwajibkan
melakukan Rodi. Ditambah dengan tingginya kekuasaan Demang oleh pemerintah
Belanda, di mana setiap orang yang berani menentang Demang akan dihukum dan
dipukul cambuk bahkan dipenjarakan.
5. Pola Ajaran Organisasi HKB. Ada beberapa prinsip yang
mengikat (sada kongsi parsangean) dijadikan sebagai dasar
berdrinya HKB. Beberapa prinsip itu adalah:
a.
HKB harus tetap mencerminkan kehidupan yang sesuai dengan cita-cita
kristiani yaitu adanya kesatuan dalam kehidupan masyarakat Batak dengan saling
tolong menolong, bersama-sama menanggung beban dan kegembiraan untuk dapat
mengejar kemajuan di bidang pendidikan, kesejahteraan social, ekonomi bahkan
politik. Hasadaon, yaitu persatuan yang menghasilkan kekuatan ekonomis dan
politis.
b. Syarat mutlak yang harus dimiliki
oleh HKB adalah hal keagamaan dan moral. Artinya, bahwa tujuan gerakan HKB
bukan untuk mendirikan hatopan (sarekat) Batak, melainkan “Hatopan Kristen
Batak” yang berarti bahwa anggota-anggotanya hanya terdiri dari orang-orang
Kristen Batak dengan tujuan untuk memperkokoh agama Kristen sesuai dengan hukum
Kristus. Jika tujuan ini tercapai, maka masyarakat Kristen Batak akan mencapai
“hamajuon na tingkos” (kemajuan yang benar) sebab dasar kemajuannya
adalah bersumber dari firman Tuhan.
c. Dalam setiap gerakannya,
HKB selalu menekankan pentingnya “hasadaon ni roha” (persatuan di dalam
hati) pada diri anggota-anggotanya. Orang-orang Kristen Batak adalah satu
kelompok (sahorong), suku yang terpilih (marga na tarpillit),
bangsa yang ditebus (houm na hinophop), yangtelah bersatu melalui
darah Yesus Kristus. Jadi, kerygma (ajaran, pewartaan: ist. Yunani) harus
angat menonjol dalam organisasi HKB
Sejak awal terbentuknya,
pernyataan-pernyataan Nomensen (sebagai rasul orang Batak) terasapengaruhnya dalam
setiap gerakan-gerakan yang dilakukan HKB. Nomensen menyatakan agar gereja
Batak bentul-betul dapat berdiri sendiri secara mandiri, maka ada tiga hal yang
harus dilakukan yakni: self-supporting (swasembada: dana),
self-government (swaparaja: Kepemimpinan), self-extention
(swakarya: penyebaran misi). Melalui prinsip ini, Nomensen
sangat menekankan pada diri orang Batak keyakinan pada kemampuan diri sendiri
untuk dapat berkembang maju mandiri.
6. Kesimpulan.
-
Pada
jaman zending, tanah Batak meliputi dua afdeling yang terdapat pada kersidenan
Tapanuli sebagai wilayah adsministraif yang dibentuk oleh pemerintah Belanda
yaitu: afdeeling Bataklanden (ibukota Tarutung)
dan afdeeling Padang Sidempuan (ibukota: Sidempuan). Artinya, tanah
Batak zaman zending meliputi Taput dan Tapsel. Sementara tanah Batak sekarang lebih
identk/dikenal dengan Kabupaten TAPUT (sampai tahun 1990).
-
Suku
Batak Toba sangat menghormati adat dan tradisi kebudayaan nenek-moyang. Jadi,
setiap pengaruh luar yang memasuki tanah Batak akan selalu disesuaikan dengan
adat dan kebudayaan Batak Toba.
-
HKB
merupakan organisasi kemasyarakatan orang Batak yang sangat potensial. Dalam
bidang social politik, organisasi ini berhasil menggagalkan system sewa tanah (erfpacht)
di Tapanuli, sedang dalam bidang keagamaan, organisasi ini berhasil mendirikan
gereja Batak yang mandiri. Nasionalisme di tanah Batak sudah ada sebelum
gerakan ini muncul di Indonesia.
Pandangan orang-orang Barat mengenai streotip orang Batak yang jorok, bodoh,
keras kepala ternyata tidak sepenuhnya benar, sebab jauh sebelum jaman
pergerakan nasional, orang Batak justru sudah memiliki pemikiran dan semangat
yang maju.
A.
SKISMA TAHUN 1927 GEREJA
BATAK
1. Setelah perkembangan gereja dan kekristenan
di tanah Batak, suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam perkembangan itu
adalah berlangsungnya skisma di dalam tubuh gereja Batak itu sendiri. Bila
dicermati lebih teliti terhadap peristiwa skisma awal di dalam gereja Batak,
sebenarnya latarbelakang (penyebab) terjadinya pemisahan itu lebih disebabkan
oleh dua hal, yakni: pertama, munculnya gerakan kemandirian di dalam
gereja dan kedua: munculnya semangat gerakan nasionalisme secara bersama
di seluruh wilayah negara Indonesia
pada masanya. Dua fenomena ini sangat ditandai dengan indikasi lahirnya sebuah
gerakan kemandirian di dalam gereja yang pada akhirnya gerakan-gerakan
kemandirian ini membentuk (mengkristal) denominasi baru yang
masing-masing disebut sebagai: “Huria Christen Batak” (HChB,
tahun 1946 denominasi ini berubah nama menjadi: “Huria Kristen Indonesia”-HKI),
“Pardonganon Mision Batak” (PMB, lebih dikenal dengan “Mission
Batak” akhirnya berubah menjadi “Gereja Mision Batak”-GMB)
serta “Punguan Kristen Batak” (berubah menjadi “Gereja Punguan
Kristen Batak”-GPKB). Perhatian yang cermat dilakukan bahwa semua
skisma ini terjadi tahun 1927, dan basis gerakannya terjadi di kota-kotatemnpat
di mana gereja Batak sebelumnya telah menyebar. Misalnya, gerakan HChB basis
gerakannya terjadi di Pematangsiantar, gerakan Mission Batak terjadi di Kota Medan,
Punguan Kristen Batak di Jakarta. Nampaknya ada alasan mengapa beberapa
peristiwa ini terjadi di kota-kota besar tempat di mana gereja Batak telah
menyebar, yakni: “seiring dengan perpindahan orang Batak ke kota-kota besar
bersamaan, dengan itu mereka membawa agamanya-Kristen ke tempat baru. Melalui gaya hidup kota,
kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh sikap hidup yang lebih modern
meninggalkan apola hidup tradisionil”. Kenyataan inilah yang sangat
mempengaruhi berlangsungnya perpecahan di dalam gereja Batak.
Argumen ini dapat didukung dengan
beberapa informasi, yakni:
a. Heterogenitas warga kota dibandingkan dengan homogenitas (satu marga
dalam jemaat yang sama) asal orang Batak di desa, sifat ini masih belum lepas
dari diri setiap orang Batak yang baru menempati sebuah kota tempatnya berdiam. Persoalannya adalah,
pola margasentris (terbawa-bawa) yang sebelumnya dominan di jemaat desa
asal: di jemaat kota
yang baru ini menjadi pemicu persoalan yang sangat tajam yang pada akhirnya
menimbulkan perpecahan.
b. Keadaan jemaat di kota yang tidak
lagi dipimpin oleh para misionaris, mempengaruhi orang Kristen Batak sebagai
jemaat kota
sangat bersikap bebas di dalam gereja.
c.
Warga jemaat kota yang umumnya sudah berpendidikan, mempengaruhi sikap
mereka menjadi lebih kritis di dalam jemaat
.
2.
Huria Christen Batak (HChB). Pada rencana awal pembentukan HChB,
dalam anggaran dasarnya (1 September 1929) kelompok ini diberi nama: “Vereeniging
Hoeria Christen Batak” dan pertama sekali muncul tanggal 1 Mei 1927 dengan
dipimpin oleh Frederick Panggabean (bergelar Sutan Malu) seorang
warga jemaat awam (biasa) di Pantoan-Pematangsiantar (lih. Hutauruk131-135).
Beberapa alas an mengapa HChB berdiri
dapat diuraikan seperti di bawah ini:
a. Sampai tahun 1927 anggota
jemaat HKBP Pematangsiantar sudah berjumlah 300 KK, yang berhubungan dengan itu
atas pertimbangan kapasitas daya tampung gedung gereja yang tidak memadai bagi
seluruh jemaat untuk melakukan ibadah ditambah dengan jarak yang jauh (4 KM) dari
Pantoan, ini dirasakan sebagai suatu kesulitan tersendiri bagi jemaat mengikuti
ibadah. Atas keadaan ini, permohonan untuk mendirikan sebuah jemaat baru di
Pantoan telah ditolak sehingga jemaat terpaksa harus tetap bergabung pada
jemaat di Kampung Kristen.
b. Pernyataan Sutan Malu
kepada pemerintah kolonial Belanda yang membawahi daerah Simalungun ketika itu (1 April 1927) bahwa sejak 1 Mei
1927, mereka (bersama tema-teman seperjuangan) tidak mempunyai hubungan lagi
dengan Rhijnse Cending Jerman dan mereka berdiri sendiri (zelfstanding) dalam
urusan kegerejaan. Sikap ini, menurut Sutan Malu sangat ia dasari dari hikmat
pesan teks Yak. 1:22.
c. Perasaan tidak puas di
kalangan perantau orang Batak di Pematangsiantar atas sturktur sentralistis
struktur jemaat. Jadi untuk jemaatnya Sutan Malu mempropagandakan sifat
kemargaan untuk merekrut sebanyak-banyaknya pengikut dan ternyata usaha ini
menarik perhatian banyak orang ketika itu.
d. Tidak senangnya sebagian
orang ketika itu atas ketatnya hukum displin gereja diberlakukan kepada warga
jemaat dan rohaniawan. Melalu gerakan HChB, orang Batak yang sebelumnya sudah
berpologami beristeri dua atau lebih) dengan senang hati bergabung ke dalam
jemaat itu.
Sampai sekarang jemaat ini masih eksis
di berbagai daerah Tapanuli dengan nama HKI yang pada tahun 1946 nama HChB ini dirubah menjadi HKI (Huria Kristen
Indonesia) alasan utamanya supaya lebih bersifat nasionalis.
3. Mission
Batak (MB). Jemaat ini memisahkan diri dari gereja Batak asuhan RMG itu
berlangsung tanggal 17 Juli 1927 di Medan.
Alasan utama pemisahan ini disebabkan oleh perbedaan pendapat warga jemaat di Medan mengenai lokasi
pembangunan gedung gereja yang baru yaitu lokasi yang disediakan oleh
pemerintah di daerah Polonia atau di Balistraat (sekitar jln. Bali
sekarang). Atas perbedaan pendapat itu,
pemerintah membatalkan sumbangannya, namun jemaat tetap mendirikan gedung
gereja yang baru yakni di daerah Polonia yaitu gedung gereja HKBP jln. Uskup
Agung sekarang. Oleh sebagian kelompok yang tidak setuju atas sikap pemerintah
ini, tetap meneruskan keinginannya membangun gedung gereja yang baru, dan
mereka menamakan jemaat mereka yang baru itu sebagai “Mission Batak”, tujuannya
untuk membedakan jemaat asuhan RMG dengan mereka, dan sampai sekarang jemaat ini
masih berdiri dengan nama: “Gereja Mission Batak” dan berkantor pusat di
Medan.
4. Punguan Kristen Batak (PKB). Dari
penjelasan terdahulu telah diterangkan bahwa saat pertama sekali orang Kristen
Batak merantau ke Jakarta
terjadi tahun 1919. Disebabkan oleh kerinduan untuk mengikuti ibadah yang
berbahasa Batak di daerah Jakarta, maka
orang-orang Kristen Batak membentuk suatu persekutuan ibadah di sana. Untuk memelihara
persekutuan itu, atas permintaan mereka maka misionaris mengutus seorang
pendeta Batak bernama Pdt. Mulia Nainggolan untuk melayani mereka. Dalam
pelayanan selanjutnya, persekutuan ini tahun 1926 mengalami konflik intern yang
berhubungan dengan pergantian pengurus jemaat. Pemimpin
jemaat yang sebelumnya dipegang oleh orang Kristen Batak dari Tapanuli Selatan,
dalam pemilihan yang terpilih adalah orang Kristen Batak yang berasal dari
Tapanuli Utara. Akibat konflik yang
berkepanjangan berlangsung, maka J.
Warneck supaya jemaat di Jakarta memakai system “keerkeraad” yang
telah diberlakukan dalam gereja Batak sejak awal kepemimpinan Warneck tahun
1920. Sistem “keerkeraad” ini adalah system kepemimpinan jemaat
yang dipimpin oleh “majelis jemaat” dengan pendeta sebagai pimpinan, system
yang sebelumnya berlaku di Jakarta adalah bahwa jemaat memilih salah seorang
dari antara anggota jemaat sebagai pimpinan jemaat. Akibat perselisihan yang
terus berlangsung, maka J. Warneck kemudian mengutus lagi seorang pendeta
bernama Pdt. Tyranus Hasibuan, namun pendekatan pendeta ini tidak juga dapat
mendamaikan perselisihan. Akibatnya, kelompok jemaat yang tidak setuju dengan
kebijakan Warneck sebagai Ephorus, mereka mendirikan jemaat baru yang dinamakan
sebagai: “Punguan Kristen Batak” (PKB) yakni tanggal 10 Juli 1920. Jemaat ini
kemudian menjadi jemaat yang berdiri sendiri (lep0as) dari asuhan lembaga misi
RMG) dan sampai sekarang jemaat ini
masih berdiri di Jakarta
dengan nama: “Gereja Punguan Kristen Batak” (GPKB).
5. Ada
bebrapa hikmat dapat ditarik dari peristiwa terjadinya skisma jemaat dia atas,
tiga hikmat tersebut adalah:
a. Berlangsungnya skisma dalam
gereja Batak sejak awalnya bukan disebabkan oleh adanyanya perbedaan ajaran
secara mendasar, melainkan semuanya lebih disebabkan oleh perbedaan sikap dan
pendekatan masing-masing terhadap persoalan jabatan dan organisatoris di dalam
jemaat.
b. Faktor lain yang
mempengaruhi berlangsungnya skisma itu adalah terjadinya perubahan social di
tengah masyarakat Batak sebagai akibat dari kemajuan yang diperoleh dalam
berbagai bidang kehidupan (misalnya pendidikan, ekonomi, politik dan lain-lain)
baik melalui usaha zending maupun melalui usaha pemerintah kolonial Belanda.
Kemajuan itu telah membangkitkan semangat kebangsaan mereka, sehingga mereka
terdorong untuk berdiri sendiri dan ingin membebaskan diri dari kekuasaan
asing, termasuk dari kepemimpinan zending.
c. Adanya fanatisme kemargaan
dan ke daerahan yang timbul di kalangan masyarakat Kristen Batak di daerah
diaspora (perantauan).
d. Pemahaman dan kesadaran
terhadap hidup berjemaat yang masih dangkal, yang nampaknya orang Kristen Batak
cenderung mempersamakan gereja dengan organisasi yang bersifat social
kemasyarakatan atau mempersamakannya dengan organisasi kepartaian. Ini nampak
dari sebutan awal kepada jemaat yang memisah itu pertama sekali sebagai: “Vereeniging”
(Perserikatan). Bukan menamakannya sebagai “Gereja” atau “huria”,
sebab melalui nama “Punguan” (Perkumpulan) yang terkandung di
dalam nama itu dianggap sama artinya dengan pengertian gereja atau huria.
B.
KONFESSI
GEREJA BATAK (HKBP)
6.
Sepintas Mengenai Konfessi (6-7). Dalam pengalaman gereja-gereja
umumnya, salah satu fungsi yang sangat penting bagi dirumuskannya konfessi
adalah sebagai: “jawaban terhadap firman Allah dan terhadap manusia dengan
segala kompleksitas permasalahan jamannya”. Berhubung dengan ini, dalam
perjalanan sejarahnya (gereja Batak) HKBP telah memiliki dua konfessinya
sendiri, yakni konfessi tahun 1951 dan konfessi tahun 1996. Terhadap pernyataan
di atas, pergumulan jaman yang mempengaruhi HKBP merumuskan konfessinya adalah
bahwa “HKBP sangat menghadapi tantangan pelayanannya dari berbagai pihak
(sekte), secara khusus dari pihak gereja RK mengembangkan misinya di daerah
Tapanuli secara umum”. Tantangan ini didukung oleh pergumulan HKBP mencari
persekutuan oikumenisnya baik secara nasional maupun secara internasional.
Secara etimologi, kata: “konfessi”
berasal dari kata Latin, yakni: “confessio”
yang berarti: ”pengakuan dosa juga sebagai pengakuan iman”.
Dalam bentuk kata, istilah ini
kemudian berubah maknanya menurut konteks beberapa bahasa sesuai dengan
pemakaiannya (lih. Henkten Napel, Kamus Teologi, hl. 86), misalnya:
a. Menurut istilah bahasa Latin, ada dua makna yang muncul, pertama sebagai “symbol
yang dipakai oleh gereja-gereja kuno yang artinya sebagai pengenal” dan makna
kedua sebagai “credo yang berarti aku percaya” di mana makna ini sering
dipakai dalam ibadah
b.
Menurut bahasa Inodonesia kata ini berubah makna sebagai “pengakuan”
c.
Menurut bahasa Ibrani (PL) dipakai kata “schema” artinya: “dengarkanlah”
d.
Menurut istilah PB dipakai kata: “homologein”. Kata ini
menurunkan dua defenisi sebagai: “memuji Allah dan menghaku dosa”.
Kemudian menurunkan makna sifat kata sebagai “homologia” artinya:
pengakuan
e. Menurut bahasa Inggris,
dipakai kata “confessio” artinya: “pernyataan iman suatu agama
atau prinsip iman”.
f. Menurut bahasa Jerman
dipakai kata: “das bekenntnis” artinya: “pengakuan, identitas
denominasi tertentu”.
Dari berbagai istilah di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kata: “konfessi” menunjuk kepada pengakuan suatu
gereja untuk menunjukkan dan menampakkan indentitasnya diperhadapkan dengan
sekitarnya. Berhubung dengan pernyataan ini maka: “konfessi sekaligus
merupakan jawaban terhadap dua soal sekaligus yakni jawaban terhadap firman
Allah di mana jawaban ini merupakan dialog dan jawaban terhadap manusia di mana
gereja menghadapi berbagai ajaran sesat. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
konfessi-konfessi adalah respon terhadap Allah. Melalui pengertian ini,
konfessi timbul oleh karena tantangan dan kepercayaan. Untuk mengawasi ajaran
sesat, dan memberi jawaban kesaksian kepada seluruh dunia yang mempersatuklan
orang-orang yang mengaku menurut konfessi-konfessi tersebut. Konfessi-konfessi
itu harus hidup terus dan bertahan terhadap ujian waktu” (lih. G.D. Dahlenburg,
Konfessi Konfessi…, hl. 3-5). Melalui uraian ini, dapat diartikan bahwa
konfessi harus senantiasa mampu menjawab berbagai tantangan, kini dan di sini
bahkan masa depan, termasuk halnya dengan konfessi-konfessi tua
(konfessi-konfessi oikumenis).
7. Relevansi Konfessi-konfessi Tua.
Sebagaimana diharapkan bahwa setiap konfessi harus bersifat actual dan relevan,
artinya kendati dirumuskan pada masa lalu, konfessi itu harus tetap diupayakan
mampu menjawab dan berhubungan dengan masalah/ tantangan yang dihadapi oleh
gereja di kemudian hari walau perumusannya sudah dipisahkan oleh waktu yang
sangat panjang.
Melalui pernyataan ini maka konfessi
harus senantiasa mampu menjawab berbagai tantangan, kini dan di sini bahkan di
masa depan sekali pun. Termasuk halnya dengan konfessi-konfessi tua, seperti
misalnya:
a.
Pengakuan iman apostolocum. Pengakuan ini ditulis antara tahun
200-325 M dengan mengambil ajaran-ajaran para rasul yang penting dari Alkitab.
b.
Pengakuan iman Niceanum di mana konfessi ini di tulis antara
tahun 325 saat konsili Nicea yang menentang bidat Arianisme.
Pengakuan iman Athanasianum, pengakuan iman ini
dirumuskan antara tahun 313 M untuk menegaskan kebenaran Allah Tritunggal.
Jadi, tiga pengakuan iman ini ditambah lagi dengan Katekhismus kecil dan
Kathehismus besar Martin Luther, Konfessi Augsburg (Apologi Konfessi Augsburg)
dan Rumus Konkord di
mana konfessi ini telah dipegang dan dianut oleh gereja selama lebih dari 500
tahun. Dapat diperhatikan bahwa, adalah “berbahaya sekali jika jemaat
memisahkan diri dari pengalaman gereja mula-mula yang sudah berjalan masa
sekitar 2000 tahun. Kalau anda sebagai mahasiswa teologi (calon pelayan, orang
Kristen, atau pelayan jemaat) mengabaikan sejarah gereja, maka gereja akan
hidup seperti layang-layang tanpa ekor, atau layang-layang tanpa benang. Orang
Kristen (gereja) tidak akan pernah tahu
dari mana ia berasal dan ke mana pula ia pergi”. Pernyatan inilah
yang mempertegas sikap kita sekarang sebagai akademisi kampus teologi yang
harus tetap memahami bahwa konfessi-konfessi tua harus selalu tetap relevan dan
actual. Di samping itu, “sebuah rumusan konfessi sebagai pengakuan iman ini
harus merupakan hal yang sangat mendasar
bagi setiap gereja, sebab di dalamnya gereja mengemukakan apa dan siapa yang ia
yakini, dan apa sikap serta jawabannya terhadap berbagai tantangan dan masalah
yang dihadapinya secara kongkrit, ketika ia merumuskan pengakuan iman itu
sekaligus merupakan respons terhadap firman Allah di dalam Alkitab. Dengan
demikian, setiap pengakuan iman mestinya harus berciri ganda, yakni tekstual
dan sekaligus kontekstual”.
Melalui hikmat ini, hendaknya sebuah
gereja dalam merumuskan konfessinya harus mempertimbangkan beberapa unsur
yakni:
a. Apakah suatu konfessi benar-benar
berakar pada kitab Suci (pernyataan ini melebihi pegangan atas Alkitabs ecara
formal saja) ?
e. Dapatkah suatu konfessi
tertentu dianggap sebagai panggilan untuk pertobatan, dan dihakekatnya oleh
pelayanan gerejanya untuk pembaharuan ?
f. Apakah relevan suatu
konfessi tertentu berhubungan dengan pengalaman gereja masa kini ?
g. Apakah konfessi itu meminta
persetujuan ?
Sebenarnya suatu konfessi harus
mencantumkan panggilan untuk turut serta dalam mengakuinya. Jadi, melalui konfessi
1956 dan konfessi 1996, HKBP telah berusaha secara kontekstual menetapkan
konfessinya. Ini didukung oleh argumen (lih. Lothar
Schrainer, Arti dan Fungsi Konfessi…, hl. 6-8): “adalah penting untuk diuraikan
kedudukan mana salah satu konfessi tertentu diberikan ke dalam gerejanya dan
teologianya, misalnya konfessi HKBP di HKBP”. Maksud pernyataan ini akan
lebih jelas melalui argumen bahwa gereja-gereja di Indonesia tidak ada yang
murni beraliran Lutheran. Namun “pada umumnya (terutama di kalangan gereja
Batak) gereja-gereja Protestan mengakui bahwa Martin Luther adalah sebagai
salah seorang bapa rohani bagi gerejanya, bahkan teladan iman bagi mereka”.
Pada kenyatannya HKBP adalah non konfessional dan non denominasional, artinya:
HKBP tidak menganut satu konfessi tertentu dari konfessi yang sudah ada dan
juga tidak larut dengan satu konfessi tertentu. HKBP dengan konfessinya,
berusaha berteologi secara dogmatis (berisi ajaran tertentu), misiologis
(berisi unsur-unsur misi kesaksian) dan apologetis (pembelaan dengan memaparkan
prinsip teologia dan dogmatisnya sebagai pendirian HKBP). Pernyataan ini,
nampak dalam isi dua konfessi HKBP terutama bila disimak bentuknya: pertama
mengenai: “manghaporseai” (mempercayai), kedua mengenai: “manghatindangkon”
(menyaksikan), ketiga mengenai: “mangondolhon” (menekankan), keempat
mengenai: “mangaradoti” (memelihara/ menjalankan) dan kelima mengenai: “manulak”
(melawan/menolak).
8.
Latarbelakang Kedua Konfessi (8-9). Salah satu eksistensi tuntutan dari pentingnya
dirumuskannya konfessi adalah untuk “menjawab firman Allah”
maksudnya, jawaban yang memiliki unsur dialogis artinya “Allah berfirman dan
manusia (gereja) menjawab”. Argumen
inilah yang melatarbelakangi lahirnya dua konfessi HKBP tahun 1951 dan tahun
1996. Terhadap konfessi 1951, sejak 90 tahun lahirnya gereja (HKBP)
sebagai “tubuh Kristus” di tanah Batak (7 Oktober 1861) HKBP belum memiliki
jawaban yang baku
terhadap firman Allah yang diterimanya.
Artinya belum memiliki jawaban yang tertuang dalam bentuk konfessi. Kenyataan
inilah yang disadari oleh HKBP melalui SG tahun 1951, sehingga
diputuskan/ditetapkanlah: “dipahot synode Godang ma Panindangion haporseaon
i, alai molo tung adong dope sihurangan manang sitambaan tusi na so domu tu
Bibel, boi do padengganon i tu pudian ni ari”. Dari keputusan ini, dapat dilihat bahwa HKBP
tidak mau terkondisi hingga hal yang esensial dan terlupakan. Konfessi yang
dibentuk harus merupakan jawaban yang sempurna akan firman Allah yang harus
diterima. Itulah sebabnya, tujuan utama HKBP membentuk konfessi 1951, yaitu: “memperkenalkan
dirinya sebagaimana dia telah ditempa oleh penghayatannya akan firman Allah
sejak firman itu diberitakan dan diterima oleh umat Kristen Batak”.
Eksistensi kedua pentingnya konfessi 1951
dirumuskan adalah sebagai “jawaban kepada manusia” artinya konfessi
harus mampu menjawab berbagai tantangan dan pergumulan yang dihgadapi gereja
pada waktunya. Demikian pergumulan mendasar penetapan konfessi ini untuk
menjawab dan menghadapi tantangan dari berbagai sekte secara khusus dari gereja
Katolik Roma ketika itu. Dalam pendahulun konfessi 1951 sangat jelas
dicantumkan, bahwa ajaran-ajaran yang telah masuk dari luar dan juga yang
tumbuh dari dalam, yakni: “Roma Katholik, Adventis, Pinkster, Agama Kemasukan
roh, Sirajabatak, Kumpulan Bibelkering, Kekristenan Nasionalisme, Sinkritisme,
Ajaran-ajaran yang berasal dari Theosopie Komunis dan Kapitalis,
Kumpulan-kumpulan orang-orang yang memisahkan diri dari HKBP, Animisme dan
Islam, juga pengakuan terhadap adat dan kebudayaan dari bangsa kita”. Begitu
mendesak dan pentingnya penbetapan konfessi 1951 ini dilakukan, terhadap
pergumulan yang dihadapi oleh HKBP, sehingga Ephorus HKBP J. Sihombing
memasukkannya dalam barita jujur taon (laporan pertanggungjawaban HKBP
1949/1950), beliau mengatakan: “…marsak do roha marnida, na sai lohot dope
hasipelebeguon di roha ni deba dongan Kristen …”. Tantangan ini harus
dijawab dengan jelas dan tegas/benar serta konsisten dalam dan melalui
konfessi.
Dalam upaya pengembangan hubungan
oikumenis gereja HKBP dengan lembaga oikumenis sedunia, HKBP melalui sinode
Godang 1949 memutuskan: “satorang-torang na jala sabagas-bagas na do
patedehon tu utusan ni rapot India
i, dogma kultus (ruhut parduru) dohot organisasi ni HKBP tu LWF. Molo boi do
masuk HKBP tu LWF di na songon i dogma, kultus dohot organisasi na”. Pernyataan ini menekankan keinginan HKBP
masuk menjadi anggota LWF (Lutheran World Federation) namun
keberadaan HKBP dengan segala cirri khasnya tidak boleh diganggu gugat. Hal ini
ditekankan sehubungan dengan persyaratan konfessional yang dituntut LWF. Untuk
tujuan ini, yakni memenuhi tuntutan persyaratan LWF, HKBP pada sinode Godang
1950 membentuk tim konfessi yakni: Pdt. Dr. J. Sihombing, Pdt. K. sirait,
Ds. K. Sitompul, Ds. T.S. Sihombing, Ds. G.H.M Siahaan, Pdt. C. Simanjuntak, Demang
Renatus Hutabarat, Prof. Mr. Dr. Sutan
Gunung Mulia. Pada synode Godang HKBP 1951, konfessi yang mereka
susun kemudian disyahkan. Isi gambaran umum konfessi 1951 adalah bahwa konfessi
ini terdiri dari 18 fasal yang diawali dari semacam pengantar (pengantar)
dan patujolo (pamungkaan).
Gambaran umum isi konfessi ini dapat
dibagi pada lima bagian besar, yakni: a. Fsl 1-4 : Pemahamantentang Allah
dan firman Allah ; b. Fsl 5-7
: Pemahaman tentang dosa ; c. Fsl 8-11 : pemahaman tentang gereja dan Sakramen
: d. Fsl 12-15 : Pemahaman tentangkedudukan orang Kristen di dalam dunia : e. Fsl 16-18 : Pemahaman tentang orang mati,
Malaikat dan hukuman pada hari kiamat.
9. Terhadap konfessi 1996, konfessi ini juga
dirumuskan tuntutan eksistensinya adalah untuk menjawab firman Allah. “Pembentukan suatu konfessi
sangat diperlukan untuk menguatkan iman kita dan merupakan pegangan untuk
melawan bidat-bidat. Oleh karena itu, gereja tidak boleh berhenti dan terikat
kepada konfessi-konfessi yang lama, tetapi konfessi harus dipertimbangkan dan
diperbaharui setiap jaman. Demikian pengakuan iman harus dikaji ulang dan
diperbaharui dari masa ke masa (lih, J.A. Scherer, dalam J.R.
Hutauruk(ed): Konferensi Teologia…hl. 14). Dari ungkapan ini dapat
diartikan bahwa gereja perlu menginterpretasi ulang jawabanya akan firman Allah
dan dalam menuangkan hasil interpretasi ulang inilah lahir konfessi 1996.
Melalu katapengantar (hata huhuasi) konsep konfessi ini Ephorus HKBP
memaparkan: “na mangalangka do hurianta mamongoti jaman na hatop muba-uba,
na digoari era globalisasi. Hombar tu perkembangan ni partingkian dohot
hamajuon na binoan ni IPTEK, maruba do
nang angka tantangan dohot mara na boi tohap tu huria i, porlu ma adong
Panindangion Haporseaon na mura antusanta dohot antusan ni na humaliang hita”(lih.
Konfessi HKBP tahun 1996). Pernyataan ini sangat menjelaskan
latarbelakang proses dirumuskannya konfessi 1996 yakni: kemajuan jaman yang
disebuts ebagai era globalisasi dan Iptek Senada dengan pemaparan uraian di
atas, Ketua Rapat Pendeta HKBP juga mengatakan: “nungnga dapot muse sada
tingki di ngolu ni HKBP laho padasiphon
rumang ni konfessina i asa talup pangkeon maml;ous partingkian na mubaubai,
tingki na tatanda nuaeng songon era Globalisasi, sada tingki naung manesa angka
batas-batas parbangsoon na adongi, laos songon I nang batas-batas ni angka
kebudayaan i. Apala di tingki na songon ima dipatuduhon HKBP sada rumang na
imbartu di konfessi HKBP” (lih. Konfessi HKBP 1996, hl. 5-6). Jadi
latarbelakang yang sangat jelas mempengaruhi dirumuskannya konfessi HKBP 1967 adalah “era globalisasi dan perubahan
yang serba cepat”. Untuk merealisasikan tujuan inilah HKBP menjalani proses
pembentukan konfessi ini, yakni Sinode Godang HKBP ke-49 tahun 1988, menetapkan
pembentukan komisi konfessi HKBP. Komisi Inilah yang bekerja, setelah mengalami
proses panjang hingga terbentuknya konfessi yang disyahkan pada sinode Godang
HKBP tahun 1996.
Dari sudut gambaran umum, konfessi 1996
dikelompokkan sesuai dengan isinya pada tujuh bagian, yakni:
a. Fsl 1-2 : Teologi
b. Fsl 3-5 : Manusia dengan lingkungan
c. Fsl 6-10 : Tentang keselamatan
d. Fsl 11-15 : Tentang Etika
g. Fsl 16 : tentang eskatologi
h. Fsl 17 : tentang Malaikat.
10. Perbandingan Keduanya. Dalam kata pengantar konfessi 1996 (lih.
hl. 9), dipaparkan: ”konfessi HKBP 1996 ini bukanlah merevisi konfessi
HKBP 1951. Suatu konfessi tidaklah bisa direvisi, karena konfessi merupakan
dokumen sejarah dan juga dokumen orang-orang beriman. Itulah sebabnya judul
konfessi ini bernama: Panindangion Haporseaon HKBP 1996. Konfessi ini
bukanlah juga namanya sebagai Konfessi Jilid II, artinya konfessi ini berlaku
bagi HKBP hanya dewasa ini”. Merupjuk pada pemaparan di atas, kalau bukan
merevisi berarti kedua konfessi itu
“secara substansi” adalah sama. Berarti kehadiran konfessi 1996, bukanlah
membatalkan konfessi 1951, tetapi keduanya saling melengkapi. Sejajar dengan
ini, kata pengantar konfessi 1996 menyebutkan: “marojahan tupangantusion na
sisongon ima dipabangkit hurianta do team laho manusun panindangion haporseaon
na imbaru “songon udut” ni Panindangion Haporseaon naung adong hian”. Yang
menjadi penekanan adalah: “songon udut ni”, istilah ini dapat berarti: kesinambungan.
Konfessi 1951 disempurnakan sesuai dengan perkembangan atau perubahan jaman. Juga
dengan kata: “laho padasiphon rumang ni konfessi na”. Padasiphon
berarti: “menyesuaikan” artinya disesuaikan dengan perkembangan jaman. Dari
sudut perbedaan, secara substansial konfessi 1951 dan konfessi 1996 adalah
sama, namun yang pasti pada konfessi
1996 muncul hal yang baru. Yang sekaligus sebagai identifikasi bahwa di dalam
keduanya ada perbedaan.
Perbedaan
keduanya dapat dikategorikan dalam dua hal, yakni:
a. Penambahan dan
penyempurnaan rumusan. Sepintas perbedaan dalam kategori ini hanya masalah
redaksi, tetapi sebenarnya lebih jauh dari itu, yakni masalah isi, kata-katanya
diredaksi kembali agar isinya sesuai dengan tuntutan jaman.
b. Penyesuaian.
Perbedaan dalam kategori ini adlaah dengan jalan membuang fasal yang tidak
relevan lagi agar secara keseluruhan konfessi sesuai dengan tuntutan jaman.
c. Perumusan baru. Perbedaan dalam
kategori ini adalah menambah isi dalam fasal baru yang sesuai dengan tuntutan
jaman.
Dalam
usaha memberi masukan terhadap konfessi HBP, F.H. Sianipar mengusulkan (lih.
F.H. Sianipar, Suati Problema … hl. 22-23) : “seharusnya ada suatu bab
tersendiri tentangmanusia, sebagaimana ada bab khusus tentang Allah. Dalam
perkembangan kemajuan manusia dewasaini,
pandangan tentang apa da siapa manusia semakin memiliki corak dan ragamnya”.
Demikian dalam bimbingan loka karya konfessi yang dilakukan STT-HKBP, Nababan
mengusulkan: “pentingnya perumusan baru, umpamanya sikap terhadap adat dan
budaya, sikap terhadap pembangunan dan tentang pernikahan dan keluarga”. Bila
dibandingkan pendahuluan kedua konfessi ini maka akan nampak bahwa pergumulan
mendasar munculnya konfessi 1951 yaitu: tantangan dari pengaruh sekte-sekte
tidak ada lagi pada pendahuluan konfessi 1996. Ini dapat dipahami bahwapada maa
tahun-tahun ini (dasawarsa 1990 ke depan) antisipasi gereja bukan lagi terfokus
kepada masalah pengaruh sekte-sekte, tetapi yangpaling mendasar adalah “dialog
antar umat beragama”. Tidak masanya lagi saling menyerang dan saling bermusuhan
bagi ahama-agama, demikian halnya dengan gereja dlaam persekutuan oikumenis.
Melainkan membuka jalan yang selebar-lebarnya bagi dialog dan kerjasama demi
kesejahteraan dan kerukunan bersama. Pernyataan ini sejalan dengan ungkapan
Hans Kung, “pada masa kini, tidak ada lagi usaha dari suatu agama untuk menyingkirkan
agama-agama lain dengan strategi ang agressif dan tidak ada lagi arogansi dan
kemenangan yang menguasai dari suatu agama atas agama lain. Yang ada ialah,
terwujudnya kehidupan yang saling berdampingan dan beriringan penuh rasa saling
menghormati dalam dialog dan kerjasama” (lih. Pusat Literatur
Euanggelion, Tantangan Gereja di Indonesia, hl. 127-128).
11. Sebuah analisis terhadap keduanya.
Samapi tahun 1996, HKBP telah melampaui tiga jaman peradaban manusia, yaitu
jaman/era tradisionil, era industrianliasasi dan era informasi/komunikasi. Dua
aera yang sangat menantang pelayanan HKBP adalah era industrialisasi dan era
informasi yang disebut sebagai era globalisasi. Jaman ini adalah jaman ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih.
Berhubung
dengan ini, setidaknya ada enam tantangan yang harus di hadapi oleh gereja
dalam pelayanannya rterhadap jaman ini. Ke enam tantangan itu adalah:
a. Masalah hak azasi manusia yang merupakan
masalah yang rawan di dunia ini.
b. Masalah
perlombaan senjarta khususnya nuklir.
c. Masalah
jurang antara si kaya dan si miskin.
d. Masalah
energi dan lingkungan hidup.
e. Masalah teknologi baru/tinggi yang menimbulkan
dampak-dampak yang luar biasa.
f. Masalah
kekuasaan dan demokrasi.
Secara
negatif dampak dari semua tantangan ini yang timbul dari jaman moderniasasi dan
globalisasi adalah:
a. Hadirnya robot yang menggantikan peranan
manusia (bidang social).
b. Penyalahgunaan nuklir
c. Inovasi budaya
asing yang negatif, yang dapat merusak kebudayaan pribumi (bidang kebudayaan).
d. Mesin dapat
mengganti tenaga manusia dan ini menciptakan pengangguran (unemployment-bidang
ekonomi).
Terhadap
berbagai tantangan di atas, merujuk pada isi konfessi HKBP 1996, yakni fsl 3:
tentang manusia, fsl 4: tentang masyarakat dan fsl 5: tentang kebudayaan dan
lingkungan hidup, masing-masing fsl ini dapat anda baca dan hafalkan sebagai
jawaban kongkrit gereja terhadap ragam tantang seperti disebutkan di atas. Terhadap
konfessi HKBP dalam menghadapi tantangan berbagai sekte, dapat dikatakan
bahwa: jaman sekarang ini dikenal sebagai jaman berlangsungnya tantangan
pelayanan gereja yang berasal dari gerakan pentakoste baru (kharismatik). Ciri
gerakan ini memasuki suatu gereja yang mapan melalui menanamkan ajarannya.
Mereka menanamkan glosolalia yaitu gerakan pelayanan dengan bahasa roh dan
kebangunan rohani. Akan tetapi pada awalnya system pelayanan mereka menghindari
bentuk organisasi formal tetapi akhirnya system organisas formal sangat mengikat mereka dan sangat
dipentingklan. Dengan demikian, gerakan ini menantang dan mengganggu bagi
gaerakan pelayanan gereja mapan. Tantangan inisangat dirasakan oleh HKBP dalam
penayannya, dengan banyaknya anggota jemaatnya sekranfg “jajan” dari pelaytanan
gerakan ini. Artinya, keanggotaan jemaat tetap[ ada di HKBP tetapi
masihmengikuti kebanktian kebangunan rohani yang dilayani oleh sekte ini dan
banyak sekte yangs ejenisnya.
Melalui
keadaan ini, jalan keluar yang bisa
ditemukan dari isi uraian konfessi adalah:
a. Konfessi 1951 cukup relevan menjawab tantangan
dalam “penetuan sikap” dimana padapendahuluannya sangat jelas hal ini
dipaparkan.
b. Jawaban teologis yang diberikan oleh konfessi
HKBP 1996, di mana perumusan ulang fsl 1 tentang Allah Bapa dengan menjelaskan
sejelas mungkin tentang Trinitas memberikan jawaban dogmatis. Dalam hal ini,
Kritologis dan Pneumatologis ditekankan.
12. Kesimpulan sub bab ini. Dapat
dikatakan bahwa:
a. Konfessi adalah jawaban gereja dalam dua hal
yakni: jawaban terhadap firman Allah dan jawaban terhadap manusia dan jamannya.
Jawaban ini harus diberikan sebab telah merupakan tuntutan eksistensial. Oleh
karnea itu, gereja harus memiliki konfessi, entah itu konfessi tua yang
ditambah dengan konfessi sendiri yang kontekstual dan tekstual.
b. HKBP dalam perjalanan sejarahnya telah
memiliki dua konfessi. Dengan dua konfessi ini HKBP dapat berteologi secara
kontekstual dogmatis dan misiologis serta apologetis.
c. Konfessi
HKBP 1951, lahir dengan latarbelakang yakni: untuk menjawab firman Allah dan
untuk menjawab tantangan dunia sekitarnya, serta sebagai persyaratan HKBP
memasuki anggota lembaga oikumenis LWF.
d. Melalui
konfessinya, HKBP mampu menjawab berbagai tantangan, baik tantangan
perkembangan jaman maupun tantangan sekte-sekte.
KEPEMIMPINAN
PENDETA
BATAK
DALAM GEREJA
1.
Pendahuluan (1-2). Tema ini adalah suatu studi analisis historis praksis
terhadap corak (model/gaya) kepemimpinan para Pendeta Batak dalam gereja HKBP
selama periode 1940-2004 khususnya dalam mensikapi kekuasaan di dalam dan di
luar dirinya. Artinya, tema ini adalah satu usaha yang mencoba untuk memahami
secara historis beberapa peristiwa pernah terjadi di HKBP pada umumnya dan pada
kepemimpinan para pendeta serta orang Kristen Batak khususnya di dalam gereja.
Melalui tema ini akan ditekankan beberapa keadaan yang menyangkut kehidupan
gereja HKBP sebagai sebuah lembaga historis, yang bersama dengan
lembaga-lembaga historis lainnya (desa/adat, kota, suku bangsa, negara) hidup secara
berdampingan. Dalam hidupnya sepanjang sejarah, sebagai sebuah lembaga HKBP harus
mempertanggungjawabkan tugas dan panggilannya kepada Tuhan Allah Raja gereja,
karena Dialah melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus telah memanggil dan mengutus
orang-orang percaya kepadaNya untuk memberitakan Injil kerajaanNya sampai ke
Tapanuli di mana tugas ini masih dan sedang menuju kepada kesempurnaannya
sampai kedatangan Tuhan Yesus Kristus keduakalinya. Orang Kristen Batak
sebagai hasil pemberitaan Injil dari orang-orang yang telah dipilih, dipanggil
dan diutus oleh Tuhan Allah melalui Yesus Kristus, mereka telah menghuni
wilayah-wilayah yang lebih luas tidak hanya di wilayah negara Indonesia bahkan
telah menghuni hingga belahan yang lebih luas dari bumi ini. Sudah merupakan
hal yang pasti bahwa HKBP sebagai sebuah lembaga gereja, ia hidup bersama
dengan lembaga-lembaga historis lainnya seperti lembaga desa, kota, negara dan lain-lain, bukan terisolasi
atau terasing. Dengan demikian mau tidak mau, HKBP harus hidup berdampingan,
berinteraksi, berselisih, bertengkar bahkan saling bermusuhan dalam
merealisasikan kekuasaan yang masing-masing mereka menganggap, itu adalah milik
dan wewenangnya.
2.
Fokus perhatian tema ini saya mengarahkannya pada bentuk-bentuk hubungan gereja
HKBP sebagai lembaga ketika ia berhadapan dengan lembaga negara dan lembaga
masyarakat lainnya. Dalam hal ini, HKBP harus mempertanggungjawabkan
kehadirannya, khususnya kepemimpinannya kepada Tuhan yang adalah kepala gereja
itu: saat ia bertemu, saling berangkulan, kemudian saling bermusuhan dengan lembaga
negara, adat, dan lembaga masyarakat lainnya yang berkuasa di dunia ini. Dalam
hal ini, ilmu sejarah gereja hendak menolong orang Kristen Batak umumnya dan
warga HKBP khususnya untuk mempertanggungjawabkan masa lampau gereja melalui
penelitian terhadap akar-akar imannya serta tradisi-tradisi yang terdapat di
dalamnya. Oleh karena itu tema ini difokuskan pada perhatian: bagaimana
gereja HKBP yang melalui kepemimpinan para pendeta dan orang Kristen Batak
dapat menjalankan kepemimpinannya sepanjang sejarahnya saat ia bertemu dengan
lembaga negara dan lembaga masyarakat lainnya di Tapanuli-Sumatera Utara
khususnya serta di Indonesia
umumnya. Mungkin focus diskusi kita akan
dapat meliput: “kisah tentang pergumulan antara Injil dengan bentuk yang
dipakai untuk mengungkapkan Injil itu” (Th. Van den End, 1986, hl.7).
Artinya, kita akan akan memfokuskan diri terhadap bagaimana Gereja HKBP mampu
menempatkan dirinya di tengah kehadiran dan tuntutan lembaga negara Indonesia
sehingga HKBP dapat melakukan tugas pemberitaan firman Allah tanpa menolak
kehadiran Tuhan Allah sebagai Raja, sebagai pemimpin dunia ini sebagaimana
disaksikan oleh orang-orang percaya kepadaNya (misalnya kesaksian Paulus di
Efesus Ef. 1:19-13).
3.
Pengalaman Awal HKBP (3-4).
Melalui uraian dua poin di atas, diskusi ini akan mengawali tugasnya dari
periode tahun 1940. Penentuan sikap ini
sangat didasarkan pada alasan bahwa sejak disyahkannya gereja Batak tahun 1930
memiliki badan hukum sendiri (lih. Paul B.Pedersen, 1975, hl. 78),
keadaan ini sebenarnya telah mengindikasikan status Gereja Batak (HKBP) sebagai
sebuah Gereja yang “mandiri”. Jika sampai tahun 940 gereja Batak masih dipimpin
oleh J. Warneck, ada kesan nampaknya para misionaris Eropa (RMG) masih
memperlambat realisasi kemandirian pendeta Batak (bumiputera) untuk memimpin
Gereja hingga tahun 1940 (Andar Lumban Tobing, 1996, hl. 146-147). Berhubung dengan hikmat ini, dapat dikatakan
bahwa masa periode tahun 1930-1940 merupakan periode yang sangat menentukan
bagi para pendeta Batak untuk menegaskan sikapnya terhadap kepemimpinannya
dalam Gereja. Akhirnya, ketika ketegangan politik dunia mengalami puncak
krisisnya pada tanggal 10 Mei 1940,
segera Gereja Batak sepenuhnya sudah diasuh (dipimpin) oleh para pendeta
(pelayan-pelayan) Batak sendiri. Ada
dua ketegangan politik dunia berlangsung dan sangat mewarnai/mempengaruhi
kepemimpinan pendeta Batak dalam Gereja ketika itu. Dua keadaan itu adalah (J.R.
Hutauruk, 1993, hl. 185): pertama, berlangsungnya pendudukan Jerman
terhadap Belanda (Nederland) bulan Mei 1940 di mana pendudukan ini mempengaruhi
berakhirnya pekerjaan RMG (Rheinischen Missions Gesellschaft- Jerman) di
Sumatera Utara sebab hingga tahun ini Belanda masih berkuasa di Indonesia.
Kedua, berkuasanya Jepang (Maret 1942) di Indonesia menggantikan pendudukan
Belanda. Pendudukan Jepang ini menandai berakhirnya kegiatan lembaga BNZ (Batak
Nias Zending) yang sebelumnya dibentuk Belanda di Tapanuli menggantikan
pekerjaan misi RMG. Di tengah keadaan ini, perselisihan sengit antara orang Kristen
Batak dengan pemerintah kolonial Belanda berlangsung. Perselisihan ini secara langsung mempengaruhi orang
Kristen Batak mendapatkan kesadaran teologis dan politisnya di dalam Gereja dan
Negara. Bila di satu pihak pemerintah kolonial Belanda menangkap, mengusir
serta mengungsikan semua orang Jerman dari Tapanuli (Indonesia) terutama para zendeling
utusan RMG. Di pihak lain pengusiran ini
memaksa sikap para pendeta dan orang Kristen Batak lainnya memikirkan masalah
kesinambungan dan kepemimpinan HKBP. Artinya, pendeta Batak (orang Kristen
lainnya) harus menduduki jabatan-jabatan tertinggi di dalam gereja dan di semua
unit/bidang pelayanan lainnya (misalnya pendidikan dan kesehatan) dan pendeta
Batak bersedia untuk menerima tanggungjawab itu. Untuk mengatasi masa transisi ini, awalnya
pemerintah kolonial Belanda tidak bermaksud hendak memimpin dan mengurus
kepemimpinan HKBP secara langsung, namun mereka hendak mengurus lembaga-lembaga
yang didirikan atas nama RMG. Pertimbangan inilah yang mendorong pemerintah
kolonial Belanda mendirikan BNZ bulan Mei 1940 sekaligus yang mempengaruhi
berlangsungnya Sinode Godang HKBP (istimewa) tanggal 10-11 Juli 1940. Inti
pokok persoalan yang sangat penting dijelaskan oleh pihak pemerintah kolonial
Belanda kepada para utusan pendeta dan orang Kristen Batak lainnya melalui
Sinode Godang itu: “bagaimana hakekat menyeluruh hubungan BNZ dengan HKBP
dengan segala untung ruginya bagi HKBP”. Melalui dasar tuntutan ini, sebenarnya
nampak sikap kritis para pendeta Batak terhadap pemerintah kolonial Belanda,
secara khusus terhadap masalah kepemimpinan dalam Gereja. Para
pendeta Batak terus memperjuangkan tuntutan: “untuk seterusnya kepemimpinan dan
soal pengurusan HKBP di berbagai unit pelayanannya harus dipegang oleh
orang-orang Batak”. Bagi para pendeta Batak, tuntutan inilah yang menjadi
tujuan utama pelaksanaan pemilihan ketua HKBP dalam Sinode itu. Bila hingga
berlangsungnya Sinode ini, kepemimpinan tertinggi di HKBP masih dipegang oleh
H.F. de Kleine (seorang zendeling RMG berkebangsaan Belanda-dua orang lainnya
dengan latarbelakang yang sama masih tinggal di HKBP yakni J. Karelse dan D.
Rijkhoek), de Kleine setelah meletakkan jabatannya saat Sinode itu berlangsung,
melalui proses rapat yang sangat alot akhirnya Pdt. K. Sirait kemudian terpilih
menjadi Ephorus pertama dari pendeta Batak memimpin HKBP. Seperti dikatakan
oleh J.R. Hutauruk (Kemandirian Gereja, hl. 194), tahun 1940 merupakan
saat menentukan bagi Gereja Batak merampungkan langkah pertama yang menuju
kemandiriannya yang sepenuhnya. Sama halnya dengan pernyataan para utusan RMG
ketika Sinode itu belangsung mengatakan: “biarlah HKBP puas, karena di Tanah
Batak pekerjaan misi boleh dikatakan sudah seluruhnya berada di tangan
putra-putra suku Batak”.
4. Setelah Pdt. K. Sirait terpilih menjadi
Ephorus, hingga tahun 1942 agaknya para utusan zendeling Belanda (misalnya S.C.
Van Randwicjk) masih berusaha menduduki jabatan tertinggi ini. Bersama
pemerintah kolonial Belanda, utusan Zendeling ini masih mencari akal agar menjatuhkan
“kepemimpinan yang salah” oleh Pdt. K. Sirait dengan jalan merusak wibawa
kepemimpinannya di lingkungan orang Kristen Batak. Boleh dikatakan bahwa usaha
ini hampir berhasil, sebab tahun 1942 perpecahan hampir terjadi di tubuh HKBP.
Pada masanya, utusan zendeling Belanda sangat memahami bahwa pola gerakan
kemerdekaan gerejawi di kalangan orang Batak sangat kuat berlangsung melalui
garis kesukuan dan bahasa. Hal ini sudah dibuktikan oleh Sinode Godang istimewa 1940, di mana
oleh pengaruh/desakan para zendeling Belanda, Sinode sepakat akan membentuk
distrik Simalungun dan menempatkan utusan zendeling Belanda bernama Muylwijk
menjadi praeses di sana. Demikian kasusnya dengan orang Batak Angkola di
Tapanuli Selatan, para utusan zending Belanda berhasil menghasut mereka agar
menunut otonomi distrik gereja Angkola. Terlepas dari perkembangan gereja
selanjutnya, melalui usaha-usaha ini para zendeling Belanda sebenarnya
mengharapkan dapat menjalankan gagasan mereka sendiri mengenai struktur gereja
melalui memegang jabatan tertinggi di HKBP. Untuk tujuan ini, para zendeling
Belanda terus berupaya merebut puncak kekuasaan HKBP bahkan untuk tujuan ini
mereka meminta bantuan pemerintahan kolonial. Terhadap hubungannya dengan
masalah kepemimpinan ini di gereja HKBP dalam sejarah (J.R. Hutauruk, 1993.
hl. 207) dapat disimpulkan bahwa ternyata: “baik adat Toba, Simalungun,
juga Angkola ini tidak boleh menjadi kaidah mutlak terhadap masalah praksisnya
kemimpinan gereja HKBP”. Pernyataan ini dipertegas lagi oleh Andar Lumban
Tobing melalui penelitiannya (Andar Tobing, 1996) mengatakan bahwa
unsur: “Dalihan Na Tolu” sangat tidak mengorientasikan makna
kepemimpinan bagi gereja Batak. Unsur ini mengorientasikan kehidupan
bersosialisasi, posisi dan fungsi, kewajiban serta hak orang Batak sebagai: “hula-hula,
dongan tubu dan boru”. Ternyata
karakter ini mewaris hingga ke masa akhir pimpinan HKBP periode 1968-1974.
Dikatakan demikian sebab melalui SG 1974, keadaan HKBP digambarkan sedang
menghadapi angin puting beliung. Persoalan utama terletak pada laporan DKU (Dewan
Keuangan Umum) HKBP terhadap penyaluran dana CORIA (Committee on
Reconstruction Interchurch Aid of HKBP). Badan ini adalah badan kerjasama
VEM (Verenigte Evangelische Mission) dengan LWF (Lutheran World
Federation) yang menyalurkan dana bantuan untuk pembangunan HKBP baik fisik
dan non fisik. Ephorus HKBP yang dianggap sebagai paling bertanggungjawab
terhadap penyaluran bantuan ini, mosi tidak percaya akhirnya melahirkan
berbagai kelompok yang dilatarbelakangi oleh emosi cultural (perpecahan di
kalangan orang Batak berdasarkan enografi atau daerah marga-marga tertentu – luatisme)
Batak.
5.
Masa Pendudukan Jepang dan Gerakan Kemerdekaan Indonesia (5-6). Setelah gereja
sepenuhnya dipimpin para pendeta Batak, bulan Maret 1942 tahun ini
merupakan babak baru terhadap warna
sekaligus tantangan kepemimpinan pendeta Batak di HKBP. Sebab tahun ini
merupakan saat datangnya orang Jepang yang sekaligus mengakhiri zaman zending
Eropa di Indonesia. Untuk kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang khusus di
Tapanuli yang segera mengambil alih kekuasaan pemerintahan Belanda, secepatnya
gereja diingatkan untuk tidak mencampuri urusan politik Jepang yang dianggap
mengurangi kekuasaan mereka di Tapanuli. Untuk maksud ini Jepang menciptakan kerenggangan
hubungan gereja dengan sekolah, rumah sakit, pemuda Kristen Batak, pendeta, dan
penghasilan masyarakat dirampas. Paul.
B. Pedersen (P.B. Pedersen, 1975, hl. 96) mengatakan bahwa, “sejak
masuknya agama Kristen di Tapanuli orang-orang Kristen Batak telah mewarisi
banyak tanggungjawab dalam soal kepemimpinan di tanah Batak”. Sesuai
dengan pengamatannya, Pedersen menemukan hikmat bahwa sesuai dengan pengalaman
para misionaris Eropa di gereja Batak, bagi mereka adalah seringkali
merasakan lebih mudah melayani orang Batak daripada berbagi dengan mereka
kekuasaannya membuat keputusan. Adalah masa sulitnya bagi masyarakat dan
gereja saat pendudukan Jepang berlangsung di Tapanuli. Namun di tengah keadaan
itu, kepemimpinan Dr. J. Sihombing
merupakan contoh kepemimpinan yang berani dan modern. Dr. J. Sihombing
terpilih sebagai Voorzitter (Ephorus) di HKBP yang kepemimpinannya di HKBP
selama 20 tahun (1942-1962) ia telah menunjukkan kepemimpinan yang khusus dalam
menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara golongan-golongan yang
berlainan. Selama masa-masa sulit dilalui (masa perang dan revolusi) semua
kebijaksanaan yang dibawakannya seakan merupakan dongeng bagi orang Kristen
Batak sekarang. Pernyataan ini didukung oleh J.R. Hutauruk (Lih. Jubileum 125 Tahun HKBP, hl. 88)
mengatakan: “dalam masa 50 tahun pelayanan Ephorus Dr. J. Sihombing sebagai
Guru, Pendeta, Praeses, anggota Majelis Pusat dan Ephorus pelayanannya telah
memberi corak kepemimpinan tertentu dalam sejarah HKBP”. Seterusnya menurut
Hutauruk, dalam kepemimpinannya sebagai Ephorus, Pdt. Dr. J. Sihombing sadar
akan pergantian jaman yang baginya sulit untuk memamfaatkannya buat pembangunan
HKBP”. Implikasi dua penilaian ini (Pedersen dan Hutauruk) bagi corak
kepemimpinan HKBP ke depan, tentunya gereja harus terus menerus mendapat
kemajuan yang sangat menonjol lepas dari campur tangan kepemimpinan orang dan
pihak asing (misionaris) dalam gereja.
6.
Bila semakin dicermati lebih dalam sampai tahun 1950, nampaknya corak praksis
kepemimpinan HKBP sangat dipengaruhi oleh berlangsungnya perubahan-perubahan
(silih-bergantinya) keadaan politik dunia. Dari penguasaan Belanda ke Jepang,
kemudian berlangsungnya revolusi sosial di Tapanuli hingga ke Simalungun
selanjutnya oleh penguasaan militer Belanda (Agressi I-II, 1947-1949), semuanya
memunculkan kesadaran khususnya bagi diri pimpinan HKBP untuk menyelamatkan
warga/jemaatnya dari kehancuran pelayanannya di berbagai bidang (pendidikan
dan kesehatan) termasuk pelayanan bidang kerohanian (Hutauruk,
Jubileum 125 tahun HKBP, hl. 47). Untuk keadaan ini, Hutauruk (Kemandirian
Gereja, hl. 221) memberi penilaian bahwa bila kemerdekaan Indonesia di
bidang politis sebagai syarat kemandirian ekonomis terhadap kuasa-kuasa
kolonial, maka dapat dikatakan bahwa kemandirian HKBP secara organisatoris
dapat dinilai sebagai syarat sekaligus sebagai tantangan bagi pimpinan HKBP
untuk pembebasan orang Kristen Batak dan gerejanya, dari pada agama Kristen
yang ditentukan oleh sikap Eropa sentris. Walau orang Kristen Batak tidak memahami
makna sesungguhnya dari kesadaran ini, namun (nyatanya)
pergantian-pergantian kekuasaan yang mempengaruhi HKBP, pergantian-pergantian
itu tidak disertai dengan perubahan dalam hal paham orang Kristen Batak tentang
diri mereka sendiri.
7.
Masalah Kepemimpinan HKBP Terhadap Hubungannya Dengan Kesadaran Politik Dan
Hubungan Oikumenis (7-8). Sebenarnya dapat dikatakan bahwa kemerdekaan
gereja Batak adalah sebagai hasil dari gerakan pengembangan kesadaran politik
yang menghendaki kebebasan nasional dari pengaruh dan kuasa orang lain. Ketika Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya (1945), partai-partai politik banyak bermunculan
di mana-mana. Situasi ini merupakan fenomena yang berhubungan langsung dengan
perkembangan dan kepemimpinan gereja. Hubungannya fenomena ini nampak jelas
pada menguatnya perjuangan jemaat terhadap dua hal di dalam gereja, yakni (Andar
Lumbantobing, hl. 101): menguatnya perjuangan terhadap kepentingan lokal
jemaat daripada memikirkan kepentingan gereja HKBP pada umumnya. Kedua, menguatnya
pandangan sebagian besar orang Kristen Batak mempersamakan demokrasi di
negara dengan asas presbyterial-synodal di gereja. Pada akhirnya, mungkin
Tata Gereja 1950 dirumuskan karena pengaruh paham demokrasi ini menurut asas presbyterial
synodal walau keputusan tertinggi di tingkat “pimpinan pusat” didasarkan
pada watak episkopal. Melalui TG 1950 inilah pertama sekali HKBP
menggandengkan jabatan “Sekretaris Jenderal” bersama dengan Ephorus
menjadi ketua dan wakil ketua pada Synode Godang-nya sekaligus sebagai ketua
dan wakil ketua pada majelis pimpinan pusat gereja. Bila tugas utama keduanya
menurut TG 1950: “merekalah yang menetapkan cara kerja untuk semua pejabat HKBP
dan memutuskan segala persoalan yang diajukan kepada pimpinan gereja setelah mendengar
pendapat para praeses dan anggota-anggota majelis pusat”. Uraian tugas ini
jelas memberi pengertian bahwa kepada Ephorus dan Sekretaris dipercayakan hak
dan kekuasaan yang sangat besar soal-soal kepemimpinan. Bila pola ini dicermati
dalam hubungannya terhadap TG 2002 yang menghasilkan bentuk kepemimpinan gereja
hasil Sinode 2004, maka munculnya tiga jabatan lain yang setara kekuasaannya
dengan Sekretaris Jenderal: maka hikmat yang dapat dipetik melalui TG 1950, TG
ini jelas sebagai satu jalan keluar yang sangat baik terhadap peristiwa jaman
yang mempengaruhi gereja. Alasannya adalah bahwa bahaya “demokratisme” perlu
dihambat/cegah agar tidak terlalu jauh berpengaruh memasuki peraturan gereja.
Sama halnya terhadap konstitusi negara Indonesia
(kelima sila Pancasila) khususnya sila pertama dari lima sila Pancasila itu. Uraian sila pertama
ini telah membimbing kesadaran politik HKBP hinga ke masa selanjutnya. Artinya,
bila Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa disebut dalam konfessi HKBP 1951, sila ini
ditafsirkan HKBP dalam makna bahwa kebebasan beragama di Indonesia dijamin. Ketika itu
pimpinan HKBP sadar akan keadaan bahaya: “jika nasionalisme menjadi suatu
agama, bagaimana pun juga gereja harus melakukan tugas kenabiannya”. Sampai
tahun 1956 di bawah kepemimpinan Pdt. J. Sihombing, HKBP mengutuk komunisme dan
kapitalisme sebagai: “anak-anak setan materialisme”. Dengan menolak
bahaya komunisme, gereja menegaskan sikapnya bahwa tidak ada keselamatan
kecuali hanya melalui Kristus.
8.
Terhadap hubungannya dengan persekutuan Oikumenis Gereja sedunia dan nasional Indonesia,
nampaknya kepemimpinan para pendeta Batak sangat menetapkan identitas
teologisnya secara tegas. Sikap ini nampak pada dua peristiwa, yakni: pertama,
munculnya ide awal akan pembentukan Dewan Gereja di Indonesia (DGI)
tahun 1950. Kedua, persiapan masuknya HKBP menjadi anggota Lutheran World
Federation (LWF) tahun 1952. Paul B. Pedersen (Darah Batak Dan Jiwa
Protestan, hl. 159) mengatakan bahwa terhadap kasus pertama, pengaruh HKBP
nampak lebih besar sebagai anggota DGI daripada jika HKBP menjadi anggota dari
suatu gereja yang disatukan. Artinya tanpa dukungan HKBP, rencana-rencana DGI
untuk peleburan agaknya tidak berhasil. Terhadap kasus kedua, HKBP melalui
Sinode Godang 1949 memutuskan: “satorang-torangna jala sabagas-bagas na do
patedehon utusan ni rapot India
i, dogma kultus (ruhut parduru) dohot organisasi ni HKBP tu LWF. Molo boi do
masuk HKBP tu LWF di na songon i dogma, kultus dohot organisasi ni HKBP”.
Artinya, HKBP ingin masuk menjadi anggota LWF namun keberadaan HKBP dengan
segala ciri khasnya tidak boleh diganggu. Hal ini ditekankan sehubungan
dengan persyaratan konfesional yang dituntut LWF. Dan untuk tujuan ini
(memenuhi syarat LWF) HKBP melalui Sinode Godang 1950 membentuk team konfessi,
dan dalam Sinode Godang 1951 hasil team ini disyahkan. Yang hendak ditekankan
melalui pernyataan ini terhadap masalah kepemimpinan gereja bahwa terlepas dari
keinginan HKBP menjadi anggota LWF juga usaha HKBP menjawab tantangan
sekitar/jamannya, namun melalui Konfessi 1951, HKBP ingin: “memperkenalkan
dirinya sebagaimana ia telah ditempa oleh penghayatannya akan firman Allah sejak firman itu diberitakan dan
diterima oleh orang Kristen Batak” (Lih. Notulen SG, 1950-1951, hl. 39 +
6-7).
9.
Penyakit perselisihan (9-11). Dr. Justin Sihombing (kotbah pengkuhkan
Ephorus baru Ds. T.S. Sihombing tanggal 7 Oktober 1962 di Gereja HKBP Pearaja)
telah membayangkan warna pasti kepemimpinan HKBP berlangsung masa awal (penulis:
bahkan hingga pertengahan) abad ke-2 sejarah HKBP. Untuk itu, Dr. Justin
Sihombing mengharapkan: “setiap pelayanan dan kepemimpinan Ephorus hendaknya
menerima dari Tuhan roh keberanian, roh kasih dan roh pengendalian diri”.
Sejak dari awal Ds. T.S. Sihombing memegang kepemimpinan HKBP (J.R.
Hutauruk, Jubileum 125 Tahun) telah ada kesadaran bahwa tidaklah mudah bagi
setiap Ephorus HKBP yang baru untuk melanjutkan pola kepemimpinan yang
terdahulu dan memang tidak mungkin, sebab perkembangan HKBP sangat membutuhkan
pola-pola kepemimpinan yang baru pula. Pola-pola kepemimpinan ini sangat
berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang terpendam dalam gaya hidup orang Kristen Batak (warga HKBP).
Dalam konteks inilah peristiwa HKBP tahun 1962 digambarkan sebagai situasi,
ibarat laksana bumi yang ditutup oleh awan tebal menghitam yang segera akan
ditimpa oleh hujan deras dan badai. Bila tahun 1940 merupakan saat yang
menentukan bagi gereja Batak (HKBP) merampungkan langkah pertamanya menuju
kemandirian (kepemimpinannya) yang sepenuhnya (lih. Poin 3 di atas),
hingga masa akhir kepemimpinan Dr. J. Sihombing (1962) gereja HKBP masih belum
mewarnai sejarahnya dengan konflik intern terhadap soal pergantian jabatan
Ephorus dan Sekretaris Jenderal. Dan bila tahun 1942, para utusan zendeling
Belanda masih berusaha menduduki/merebut jabatan tertinggi di dalam gereja,
melaluinya mereka masih mengharapkan dapat menjalankan gagasan mereka sendiri
mengenai struktur dalam gereja (lih. Poin 4 di atas). Dari hikmat ini
dapat disimpulkan bahwa seteru konflik pendeta Batak terhadap kekuasaan adalah
para pendeta di luar orang Batak sendiri. Ada
indikasi nampaknya perseteruan dan konflik awal di kalangan para pendeta
serta orang Kristen Batak tentang kekuasaan gereja, ini sangat dipengaruhi oleh
rumusan TG 1962-1972 (konseptor utamanya ialah Sekretaris Jenderal HKBP Ds.
T.S. Sihombing) yang faktanya TG ini adalah “hasil konsep dan rumusan
pertama pendeta Batak itu sendiri”.
Sampai tahun 1962, HKBP masih memakai TG 1920-1932 yang diperpanjang
masa berlakunya walau kemudian menyebutnya
sebagai TG 1940-1950 dan seterusnya berlaku sampai tahun 1962. TG 1920-1932 ini
adalah warisan dan rumusan dari Ephorus HKBP Dr. Johannes Warneck (1920-1932)
yang di dalamnya ia melibatkan partisipasi maksimal warga jemaat untuk ikut
mengurus urusan jemaat lokal dan gereja HKBP pada umumnya. Jika awalnya peran
warga jemaat ini berlangsung baik, hingga tahun 1950 nampak pergeseran
pemahaman mereka terhadap partisipasi ini menjadi: “mengutamakan fungsinya
sebagai pelayanan menyeluruh” (penulis: termasuk mengatur bahkan kuasa yang
paling menentukan terhadap mutasi
pendeta). Dikatakan berlangsung baik sebab Johannes Warneck menetapkan
persyaratannya: mereka adalah tokoh masyarakat yang wibawa, pengaruh, kejujuran
serta kesalehan mereka menentukan di tengah masyarakat. Nama resmi bagi peran
warga jemaat ini terhadap soal pengelolaan gereja oleh Warneck menyebutnya
sebagai: “Kerkbestur” yang kemudian diartikan sebagai “Majelis Pusat HKBP”.
Tugas khusus mereka dalam gereja menurut TG 1930 adalah: “mengatur soal-soal
keuangan dan harta jemaat dan mengatur soal-soal kerukunan anggota jemaat dalam
bidang kerohanian”. Sebagai acuan penyelenggaraan SG HKBP 1962, TG
1962-1972 (TG ini ditetapkan pada bulan Juni 1962) merubah dan mengurangi di
sana-sini peran kasbestur dan penatua dalam jemaat. Sebagai konseptor utama TG
1962 (entah kebetulan atau tidak) Ds. T.S. Sihombing terpilih menjadi Ephorus
HKBP dan Ds. G.H.M.Siahan terpilih menjadi Sekretaris Jenderal memimpin HKBP
periode 1962 – 1968. Ketegangan HKBP melalui SG 1962 ternyata tidak berakhir
hanya pada saat itu. Sementara ketegangan dalam gereja terus berlanjut, SK
mutasi beberapa orang pendeta nyata mempertajam konflik intern dalam gereja.
Ketika sebagian besar pedeta yang dimutasikan memilih tidak mentaati SK Ephorus
sebagai pimpinan, pemecatan para pendeta (17 Maret 1963) menjadi babak dan
warna baru bagi corak kepemimpinan itu. Akibat dari keadaan ini, konflik
berkepanjangan terus berlangsung di dalam tubuh HKBP (Darwin Tobing, Biografi Ds. G.H.M.
Siahaan).
10.Dapat
dikatakan bahwa tahun 1962 juga merupakan corak baru bagi realisasi
kepemimpinan pendeta Batak di dalam gereja. Dikatakan demikian, sebab pada
tahun ini nampak keterlibatan pihak pemerintah mengurusi soal pengelolaan HKBP
sebagai institusi gereja. Konflik internal HKBP tahun 1962 ternyata berdampak
langsung ke lembaga pendidikan HKBP. Mengingat lembaga pendidikan HKBP
menganyomi kepentingan masyarakat umum, maka pemerintah Sumatera Utara
mengambil alih tanggungjawab pelaksanaan pendidikan di Universitas HKBP
Nomensen yang didirikanoleh gereja tahun 1954. Sebenarnya pengambil-alihan
tanggungjawab pengelolaan ini tidaklah berlangsung lama, sebab ketika konflik intern HKBP mulai mereda (para
pendeta yang menolak SK mutasi 1962,
akhirnya mereka sepakat memisah dari HKBP dengan mendirikan gereja yang baru:
GKPI dan GKLI) pemerintah mengembalikan pengelolaan dan kepemilikan ini kepada
gereja. Hanya, masalah lain yang muncul adalah diperhadapkannya pimpinan HKBP
kepada alternatif lain bagi pemecahan soal di dalam gereja dengan apa yang
disebut sebagai “jalur hukum”. Artinya ketika para pendeta yang
tidak mematuhi SK mutasi sepakat mendirikan gereja baru: soal pemakaian,
kepemilikan gedung dan harta benda gereja HKBP di jemaat yang bergejolak, hukum
legalistic negara menjadi jalan keluar terhadap pemecahan banyak
masalah di gereja-gereja lokal. Terhadap hubungannya dengan penelitian ini,
tentu menarik bila diperhatikan jika diperhadapkan ke arah bagaimana soal-soal
system dan mekanisme pelayanan serta proses pengambilan keputusan masalah di
HKBP dilakukan. Oleh karena itu, sangat tepat ungkapan Ds. G.H.M. Siahaan
mengatakan: “adalah tugas utama pucuk pimpinan HKBP untuk menjaga dan
memelihara proses pelaksanaan system pelayanan dan mekanisme pengambilan keputusan
HKBP secara konsekwen dan konsisten. Bila pimpinan melakukan pelayanan dan
pengambilan keputusan di luar system dan mekanisme yang berlaku, sikap ini
tentu akan merongrong wibawa pemimpin itu sendiri” (Darwin Tobing, Tegar Dalam Badai,
hl. 106). Sesuai dengan ungkapan Ds. G.H.M. Siahaan ini, tentunya merupakan
perhatian yang sangat menarik bila diurai secara kronologis dan historis sikap
para pendeta dan orang Kristen Batak (lebih khusus sikap Ephorus) menjaga dan
memelihara pelaksanaan system pengambilan keputusan di HKBP. Sesuai dengan
pengalaman ini, persoalan-persoalan intern HKBP jelas tidak mungkin
diselesaikan dengan demonstrasi sebab penyelesaian terhadap masalah
intern HKBP hendaknya tidak sebagai pengingkaran terhadap AP HKBP. Artinya
setiap tindakan yang tidak sesuai dengan kehidupan bergereja, dengan sendirinya
akan menyeret persoalan ke luar dari jalur kehidupan gerejawi yang melaluinya
penyelesaian masalah pun akan semakin sulit karena sudah berada di luar
kehidupan bergereja.
11.
Setelah Ds. G.H.M Siahan terpilih menjadi Ephorus melalui SG HKBP 1974, tahun
1976 ia menginformasikan kepada sidang SG keadaan kepemimpinan HKBP di aras
pusat. Melalui laporan tahunannya (Barita Jujur Taon Ephorus 1976),
Ds. G.H.M.Siahaan mengatakan: “ndang hulehon be diringku manguluhon rapot Parhalado Pusat, ia
so adong hamubaon huida – saya tidak akan bersedia lagi memimpin Rapat Majelis
Pusat, bila tidak ada perubahan saya lihat”. Pernyataan ini semakin diperjelas oleh
pernyataan Siahaan lainnya mengatakan: “…na so sada tondi na manggomgomi ahu
dohot Parhalado Pusat-roh yang mendiami saya tidak satu dengan Majelis Pusat” (Darwin Tobing, hl. 127).
Melalui ungkapan ini, penyakit perselisihan semakin mewaris/terungkap di HKBP.
Bila tidak bersedianya Ds. G.H.M. memimpin rapat Majelis Pusat dan sikap ini
didorong oleh dua alasan: pertama, secara organisasi Majelis Pusat merupakan
supir ke dua dalam kepemimpinan HKBP, ini berarti banyak rapat dan keputusan
Majelis Pusat yang tidak diketahui Ds. G.H.M Siahaan sebagai Ephorus yang
menurut para angota Majelis Pusat ketika itu, Ephorus jangan mengacaukan
keputusan-keputusan mereka. Kedua, penghayatan iman Ds. G.H.M Siahan memahami
tidak berada di dalam satu roh yang sama
(…ndang sa tondi) dengan Majelis Pusat. Pada akhirnya, pernyataan Ds. G.H.M
Siahaan ini merangsang munculnya percapakan, diskusi-diskusi serta
seminar-seminar di HKBP untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan: “hamaolon-kemelut
HKBP dan apa artinya Roh dan pelayanan dalam HKBP”. Jadi dapat
dikatakan bahwa uraian ini hendak memaparkan bentuk dan corak kepemimpinan HKBP
menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diembankan kepadanya dalam menciptakan
suasana yang kondusif bagi pelayanan, ibadah dan persekutuan dengan sesama juga
dengan Tuhan ke masa selanjutnya HKBP.
12. Keadaan HKBP Masa Dasawarsa Penutup Abad 20
(12-15). Agaknya tidaklah mudah untuk mewujudkan kuasa kepemimpinan yang
ideal dalam gereja HKBP jika cita-cita itu berhubungan dengan permasalahan dan
konflik seperti yang dicita-citakan para pemimpin HKBP memasuki dasawarsa
penutup abad 20. Masa periode akhir kepemimpinannya sebagai Ephorus, Ds. G.H.M.
Siahaan (Darwin
Tobing, Tegar Dalam Badai, hl 156) mengatakan bahwa: “…saya tidak akan
meninggalkan masalah di HKBP masa akhir periode ini..”. Ini berarti bahwa
cita-cita luhur Ds. G.H.M. Siahaan yang terus harus berlangsung dalam gereja
adalah bahwa konflik harus diakhiri dengan kerukunan, dan hendaknya konflik
tidak sebagai sesuatu yang secara terus menerus bergejolak di tengah-tengah
para pelayan, oleh karena itu kemelut harus diselesaikan dengan damai. Untuk
cita-cita ini, sebagai persiapan perayaan 125 tahun HKBP, semua tema yang
ditetapkan di setiap SG masa akhir periode kepemimpinannya itu difokuskan pada
konsolidasi, pembinaan dan rekonsiliasi HKBP khususnya di dalam diri semua
pelayan. Melaluinya makna tahun Jobel sebagai pemulihan dan pembebasan menjadi
penekanan menyeluruh pelayanan HKBP di periode akhir kepemimpinan ini. Namun
ketika fungsionaris HKBP periode 1986-1982 hasil SG tanggal 27-21 Januari 1987
terpilih dengan suka cita (Pdt. Dr. S.A.E. Nababan sebagai Ephorus dan Pdt.
O.P.T. Simorangkir, SmTh sebagai Sekretaris Jenderal) di tengah periode
kepemimpinan ini cita-cita terhadap tidak berlangsungnya konflik kepemimpinan
gereja nampaknya tidaklah terwujud. Untuk mengidentifikasi persoalan gereja
masa periode 1986-1992, ceramah tema dan sub tema Pejabat Ephorus HKBP 1992,
Pdt. Dr. S.M. Siahaan mengatakan: “…kita menyadari bahwa dalam perjalanan
gereja HKBP memasuki usia 132 tahun, banyak masalah dan kemelut yang cukup
rumit terutama terutama di 6 tahun terakhir kepemimpinan HKBP. Permasalahan
yang menonjol adalah kurang sehatnya hubungan di antara para pejabat
gereja mulai dari tingkat pimpinan sampai kepada warga jemaat. Penataran-penataran
para Pendeta, Guru Jemaat, Bibelvrouw dan Diakones yang telah berlangsung
beberapa angkatan, produknya menghasilkan semakin jauhnya rasa persaudaraan dan
kesatuan di antara kita. Inilah masalah dan pergumulan kita bersama, …walau
itu diakibatkan oleh kepemimpinan periode (1986-1982) masa yang lampau
…(Notulen SAI HKBP tanggal 11-13 Pebruari 1993, hl. 45). S.M. Siahaan
melanjutkan: “…sebenarnya wibawa kepemimpinan yang diharapkan oleh orang
Kristen Batak memasuki Era Baru yang dimaksudkan adalah seorang yang cakap
dalam bidang kerohanian seperti yang tercantum dalam AP HKBP. Pemimpin yang
ideal adalah ia harus mempunyai spesifik orang yang “di-tua-kan”
(mempunyai wibawa kharisma yang unggul) yang mampu memberi petunjuk, nasehat
dan berwawasan cukup luas sebagai mana sebutan “Ompui” (warisan sebutan
yang dikenakan orang Kristen Batak kepada I.L. Nomensen sebagai Ephorus pertama
gereja Batak) dikenakan kepadanya”. Dapat dikatakan bahwa akumulasi
perselisihan masa periode ini diawali dari tidak diterimanya oleh Ds. P.M.
Sihombing kekalahannya untuk memimpin HKBP (sebagai Ephorus) periode 1986-1992.
Nyatanya, sikap ini sangat memperngaruhi dirinya membentuk kelompok sendiri dan
menolak kepemimpinan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan. Gerakan dan aksi kelompok ini
semakin menguat ketika kelompok lain yang menamakan diri “parretreat” muncul (Darwin Tobing, hl. 170).
Menurut laporan pelayanan tahunan Ephorus HKBP pada SG 1988 Pdt. Dr. S.A.E. Nababan, kelompok ini lahir
saat sebagian pendeta HKBP mengadakan retreat di Parapat tanggal 16
Maret 1988 di mana retreat ini berlangsung tanpa sepengetahuan dan
persetujuan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan sebagai Ephorus HKBP(Notulen SG HKBP
1988, hl. 344). Bagi Ephorus Pdt. S.A.E. Nababan kegiatan dan aksi kelompok
ini (parretreat) telah mempermalukan wibawa dam kuasa kepemimpinan
gereja melalui disebarkannya brosur berisi surat
agong (surat
kaleng) ke berbagai mas media. Pada hal gereja sudah memiliki system dan
dinamika sendiri untuk mencari dan mengambil keputusan terhadap penyelesaian setiap
permasalahannya. Pada akhirnya jalan keluar yang ditempuh SG HKBP 1988 (lih.
Notulen SG 1988. hl. 20) untuk menyelesaikan masalah “parretreat”,
ini ditempuh dengan dua cara. Bagi mereka yang bersedia meminta maaf (5 orang
pdt, 1 orang sintua) diterima kembali sebagai pelayan di dalam gereja, namun
bagi mereka yang tidak bersedia meminta maaf (21 orang pdt, 9 orang sintua) “tohonan
hapindaton” (jabatan kependetaan) ditarik dan dikeluarkan (dipecat) dari
pelayanan gereja. Selanjutnya, ternyata keputusan pemecatan itu dinilai
masih berlangsung di luar system dinamika dan pengambilan keputusan HKBP.
Oleh karena itu, yang seogianya SG HKBP tanggal 1-7 Agustus 1990 diadakan, SG
ini ditangguhkan pelaksanaanNya sebab “Majelis
Pusat HKBP belum mendapat jawaban yang tegas mengapa Pemerintah tidak memberi
ijin penyelenggaraan diadakannya SG itu” (Notulen Panorangion,
LAKSDA PURN. F.M. PARAPAT Ph.D, Taringot tu Penangguhan SG HKBP 1990, hl. 5).
Pada akhirnya SG HKBP ke-51 tanggal 23-28 November 1992 diadakan, namun SG ini “gagal”
memilih fungsionaris HKBP untuk periode 1992-1998. Gagalnya SG ini sangat
berdampak pada semakin tajamnya konflik dan pro kontra di tengah jemaat dan
para pelayan khusus pada aras kepemimpinan (kekuasaan) dalam gereja.
13.Melalui
konfessi 1951, HKBP sudah menegaskan kesaksian imannya terhadap Pancasila
sebagai dasar pengakuan bersama untuk hidup bersama dengan warga lainnya di
wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia. Namun di tengah
perjuangan pemimpin HKBP agar konsisten berpijak pada system dan dynamikanya
sendiri mencari dan menemukan jawaban terhadap permasalahannya dalam sejarah,
nampak bahwa campur tangan kekuasaan negara semakin menguat berlangsung
terhadap kepemimpinan gereja masa akhir dasawarsa abad 20. Memang, partisipasi
kekuasaan negara ini oleh jemaat, para pelayan dan pimpinan sikap teologis
mereka sangat diperkuat dengan dasar pengertian bahwa pemerintah adalah alat
tersendiri di tangan Tuhan untuk merealisasikan kehendakNya di bumi juga bagi
gerejaNya (Kis. 5,29 ; Rom 12:11 ; 13,1). Adalah fakta sejarah HKBP bahwa Surat
Keterangan ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA MARKAS BESAR KEPOLISIAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. Pol: SKET/PMB-4/227/II/93/DIT IPP perihal: pengangkatan
Pdt. Dr. S.M. Siahaan menjadi “Pejabat Ephorus HKBP”, pengangkatan
ini sangat mempertajam konflik kekuasaan dan kepemimpinan dalam gereja hingga
tahun 1998. Di tengah perdebatan jemaat yang sangat tajam atas penyelenggaraan
SG HKBP 1993, HKBP tetap memilih fungsionarisnya periode 1992-1998 dengan Pdt.
Dr. P.W.T Simanjuntak menjadi Ephorus dan Pdt. Dr. S.M. Siahaan menjadi
Sekretaris Jenderal.
14.Peristiwa
konflik demi konflik yang dialami oleh HKBP khusus tentang kepemimpinan dan
kekuasaan, nyatanya peristiwa ini sangat memperlemah kedudukan HKBP sebagai
institusi gereja di dunia ini di tengah munculnya kekuatan baru yaitu munculnya
gerakan fundamentalisme agama dan arus reformasi negara yang menuntut
pembaharuan di berbagai bidang termasuk munculnya semangat kerohanian jemaat
dalam pengembangan gereja selanjutnya. Maka untuk mengatisipasi ini HKBP sadar
akan keadaan dirinya di tengah perseteruannya yang semakin tajam. Synode Agung
HKBP akhirnya diselenggarakan tanggal; 18-20 Desember 1998 di Kompleks
Universitas HKBP Nomensen dan STT-HKBP Pematangsiantar dengan tema: “Kristus
mendamaikan kita supaya menjadi satu” (2
Kor. 5:8 ; Joh. 17:21). SAG ini adalah upaya bersama seluruh komponen HKBP
untuk mengakhiri krisis yang dialami sejak tahun 1992 dan untuk memelihara
kesatuan dan keutuhan HKBP (Kata Pengantar, Ephorus HKBP Pdt. Dr. J.R.
Hutauruk, Notulen SAG, 1998, hl. 96-97). Pada saat yang sama S.A.E. Nababan
menghimbau agar semua utusan/peserta SAG 1998 dapat secara bersama bertekad
memperbaiki komitmen kita sebagai gereja di tengah kehidupan bangsa kita yang
juga berada dalam krisis.
15.
Penutup/Kesimpulan
Merupakan alasan yang sangat kuat bagi
penulis menegaskan periode akhir penelitian ini tahun 2004. Sebab, melalui
penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberi gambaran terhadap gereja agar
hendaknya dapat menekankan strategi dan kebijakannya mengacu pada sasaran masa
depan. Untuk ini ada dua pergumulan yang sangat penting ditekankan oleh HKBP ke
depan. Kedua pergumulan ini dibagai ke pada dua aspek, di mana aspek pertama
lebih berhubungan ke dalam diri HKBP sendiri menyangkut:
Pertama: Factor potensial apa yang mendorong
selalu timbulnya perpecahan/krisis di HKBP (1962-1980 ; 1986-1998) ? Sebagai
organisasi gereja, siapa yang seharusnya yang berkuasa (memegang kedaulatan) di
HKBP ? Jemaat atau “partohonan” ? Sejauh mana implikasi teologis Rom.
12:11 , 13:1 ; Kis. 5:29 (hubungan kekuasaan gereja dengan negara) dianut dan
dipedomani oleh jemaat serta pelayan HKBP dalam sejarahnya ? Di mana dan
bagaimana posisi jemaat dapat ditempatkan di dalam organisasi gereja HKBP ?
Bagaimana peranan kekuasaan (Ephorus sebagai pimpinan) ditempatkan dalam
konteks krisis HKBP ?
Kedua: Berhubungan dengan ke luar diri HKBP,
melihat munculnya kekuatan-kekuatan yang berlangsung di dalam masyarakat secara
luas (termasuk fundamentalisme agama dan budaya serta kekuasaan negara) apakah
jawaban dan sikap HKBP terhadap ancaman dan tantangan ini ? Mengingat
gereja-gereja di Indonesia pada umumnya masih selalu terancam oleh sikap
Negara/Pemerintah yang mengurangi kebebasan beragama dan mengintervensi
masalah-masalah kegerejaan, kekuatan apa yang dapat ditarik dari pengalaman
masa lampau gereja HKBP terhadap kondisi ini ?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas hendaknya sebagai pokok
perhatian untuk memahami sikap HKBP agar tetap mengabdi kepada yang adalah
Tuhan bagi gereja itu sendiri, dan bukan kepada dua tuan.
PLURALITAS
GEREJA-GEREJA BATAK
Sebagaimana bertambahnya minat dan rasa
antusiasnya orang Batak terhadap kekristenan, demikian dengan banyaknya badan
misonaris yang bekerja di tanah Batak: keadaan ini sangat mempengaruhi dan
menentukan pluralitas gereja-gereja Batak. Unsur pluralitas ini juga sangat
didukung oleh perbedaan-perbedan kulturil budaya antara suku-suku (etnis) Batak
itu sendiri. Di bawah ini diuraikan aspek pluralitas gereja-gereja Batak.
A
GEREJA KRISTEN PROTESTAN INDONESIA
(GKPI)
Latarbelakang lahirnya GKPI. Setidaknya ada dua versi
dapat menjelaskan tentang lahirnya GKPI sebagai salah satu denominasi dalam
gereja Batak. Versi pertama: versi menurut HKBP (sebagai gereja induk pemisahan
jemaat ini). Versi kedua, adalah versi menurut GKPI (setidaknya menurut pendiri
gereja ini lahir pada awalnya yang diwariskan hingga ke para elit tokoh gereja
ini masa sekarang) sendiri.
Lahirnya
GKPI Menurut Versi HKBP
1.
Denominasi ini lahir adalah sebagai hasil dari terjadinya konflik intern HKBP
tanggal 30 Agustus 1964. Konflik intern itu terutama dipicu oleh pergantian
pimpinan dan kepengurusan pusat HKBP tahun 1962, di mana Synode Agung (SA) HKBP
tanggal 16-23 tahun 1962 telah mensyahkan berlakunya TG HKBP untuk tahun
1962-1972, di mana TG ini disusun oleh Sekretaris Jenderal HKBP waktu itu yakni
Ds. T.S. Sihombing dan oleh T.S. Sihombing, susunan TG ini telah mengalami
banyak perubahan dari TG tahun sebelumnya (1950). Satu yang sangat mendasar dari perubahan itu
adalah menyangkut system pemilihan pimpinan dan seluruh fungsionaris HKBP.
Dalam TG yang lama, yang mencalonkan Ephorus dan Sekjend untuk ditetapkan oleh
SA adalah Rapat Pendeta HKBP. Yang memilih anggota Majelis Pusat adalah Synode
Distrik, keadaan ini didukung oleh system yang sudah sejak lama masing-masing
Distrik memiliki utusan menjadi anggota majelis pusat. Demikian halnya dengan
pemilihan terhadap Praeses dipilih oleh synode Distrik masing-masing. Namun
oleh TG tahun 1962 hasil konsep Ds. T.S. Sihombing, seluruh unsur pimpinan dan
fungsionaris, termasuk para Pareses ini dipilih langsung oleh SA HKBP dengan
masa jabatan selama enam tahun. Selanjutnya, SA HKBP 1962 berhasil memilih
fungsionarisnya yang baru periode 1962-1972 dengan formasi: Ephorus Ds. T.S.
Sihombing serta sekretaris Jenderal adalah Ds. G.H.M. Siahaan, yang pada
akhirnya hasil keputusan ini menjadi polemik yang sangat berkepanjangan di
dalam gereja waktu itu. Polemik (masalah
yang tidak terselesaikan) ini diperkuat oleh kebijakan mutasi pertama
fungsionaris HKBP ketika telah terpilih menjadi Ephorus dan Sekjend. Mutasi ini menyangkut kepada jumlah 50 orang
pendeta yang pada akhirnya sebagian besar mereka tidak mengindahkan SK mutasi
ini. Konsistensi keadaan ini sangat mempengaruhi banyaknya masalah intern
timbul di jemaat-jemaat di mana pokok yang dipersoalkan bahwa sebagian jemaat
mendukung pendeta lama untuk tetap bertahan di tempat pelayanan sebelumnya dan
sebagian mendukung SK mutasi pendeta yang baru ditempatkan. Konflik ini sangat
berpengaruh terhadap munculnya dua kali
kebaktian minggu di satu-satu jemaat yang berkaitan dengan SK mutasi
pendetanya. Untuk menyelesaikan masalah
local jemaat yang bermasalah ketika itu, pimpinan HKBP terpilih tahun 1962
menerapkan kebijakan memberhentikan pendeta yang tidak mau patuh kepada
realisasi SK mutasinya. Namun justru cara ini bukanlah merupakan jalan keluar
yang baik bahkan sangat memperuncing persoalan di dalam gereja. Sikap yang pro
dan kontra akhirnya menjadi sangat tajam berlangsung, jemaat yang mendukung
tidak patuh terhadap realisasi mutasi pendeta akhirnya memutuskan sikap putus
hubungan dengan pucuk pimpinan HKBP. Ketika itu masih dicoba berbagai usaha agar
mempertahankan supaya skisma tidak berlangsung di dalam gereja HKBP, namun dari
banyaknya usaha dilakukan semuanya tidak mengarah pada kesatuan gereja.
2.
Penetrasi (Perkembangan) Konflik selanjutnya. Persoalan gereja akibat
konflik di atas, pada akhirnya semakin meluas dan semakin didukung oleh
berlangsungnya konflik lain di lembaga Universitas HKBP Nomensen. Bulan
September 1963, Pdt. Dr. Andar Lumbantobing (menjabat sebagai Rektor) dan Drs.
H.M.T Ompusunggu (wakil Rektor) diberhentikan oleh St. T.D. Pardede yang ketika
itu menjabat sebagai Ketua Yayasan Universtas HKBP Nomensen, di mana
pemberhentian ini dilakukan sebab keduanya dinilai menentang kebijaksanaan
yayasan Universitas. Pada saat itu, Andar Tobing dan H.M.T. Oppusunggu notabene
adalah dua orang Majelis Pusat HKBP di mana sikap mereka terhadap yayasan
Universitas dianggap sebagai ketidak patuhan kepada pimpinan Pusat HKBP.
Melalui alasan ini, tanggal 15 Oktober 1963 dengan didahului oleh pernyataan
dua orang tokoh ini menyatakan putus hubungan dengan HKBP maka rapat Majelis
Pusat HKBP memutuskan untuk memberhentikan mereka dari jabatan rektorat dan
kedudukan mereka dicela oleh Majelis Pusat ketika itu. Bersamaan dengan masalah mutasi beberapa
orang pendeta ditambah dengan masalah Universitas HBP Nomensen, keadaan ini
mempengaruhi banyaknya muncul pihak-pihak oposisi kepada pucuk Pimpinan HKBP di
luar jemaat. Dua di antaranya adalah pertama, “Panitia Penghubung
Hasadaon HKBP” (PPH-HKBP), badan ini dipimpin oleh Abner Situmorang yang ketika itu ia menjabat
sebagai Bupati Simalungun. Kedua, “Panitia Panindangi Reformasi
(PPR-HKBP)” diketuai oleh mantan anggota Majelis Pusat yakni J.B. Simatupang
dan Pdt. M. Hutauruk. Awalnya, gagasan mereka sangat baik untuk membantu pucuk
Pimpinan HKBP menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam gereja. Namun,
hasilnya tidaklah memuaskan sebab menurut Pimpinan HKBP ketika itu, kedua badan
ini sangat memaksakan kehendak masing-masing kepada Pimpinan HKBP dengan
menyatakan diri sebagai badan yang setingkat dengan Pimpinan HKBP dalam hal
mengambil keputusan bersama untuk penyelesaian masalah yang terjadi. Atas sikap
seperti ini, Pimpinan HKBP tidak mengakui badan ini dan tanggal 19 Oktober 1963
setiap pendeta yang masuk ke badan ini dikeluarkan dari HKBP. Reaksi jemaat
kemudian sangat meluas melalui kebijakan pucuk Pimpinan ini. Guna memperkecil resiko atas persoalan demi
persoalan terjadi, maka tanggal 10 Nopember 1963 disyahkanlah lembaga baru di
dalam gereja sebagai mana dinamakan “Dewan Keutuhan HKBP”, di mana tujuan
lembaga ini merubah personalia Majelis Pusat termasuk Pimpinan HKBP. Dewan ini
mengusulkan agar segera diadakan SAI tanggal 13 Januari 1964. Oleh pimpinan
HKBP, mereka melihat gagasan ini sangat mengarah pada perpecahan gereja. Melaluinya tanggal 19 Nopember 1963, pucuk
pimpinan mengeluarkan surat
penggembalaan kepada setiap jemaat,
isinya: “menghimbau seluruh warga HKBP
agar segala pikiran dan usul untuk menggalang kesatuan HKBP sebaikanya
disampaikan melalui mejelis-majelis jemaat HKBP”. Usul dewan keutuhan HKBP
untuk mengadakan Sai ini tidak diterima oleh pimpinan HKBP.
3. Embrio GKPI. Sebagaimana dijelaskan di
atas, dengan tidak dicapainya jalan damai di dalam gereja dan dalam hubungannya
dengan konflik yang terjadi di HKBP, maka tanggal 19 April 1964 lembaga-lembaga
ini kemudian mempersatukan diri dalam wadah: “Dewan Koordinasi HKBP 1950”. Wadah ini ditokohi Pdt. Dr. Andar
Lumbantobing bersama Pdt. Dr. S.M. Hutagalung. Sikap dua pimpinan lembaga ini,
mereka berusaha sebagai pucuk Pimpinan tandingan di dalam gereja dan menyatakan
diri bahwa gereja kembali ke system TG 1950. Alasannya sebab, TG yang baru
(1962-1972) telah menimbulkan kegawatan besar di dalam tubuh HKBP. Melalui
terbentuknya “Dewan Koordinasi HKBP 1950” ini dengan dipimpin oleh Pdt, Dr.
S.M. Hutagalung, maka ini berarti bahwa
lembaga gereja lain yang setara dengan organisasi HKBP telah lahir di dalam
organisasi HKBP. Tanggal 2 Juli 1964, “Dewan Koordinasi HKBP 1950” ini bersama
dengan anggota-anggotanya, mereka mengadakan “musyawarah besar” dan
mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang isinya sebagai berikut:
a. Tidak
menerima Majelis Pusat HKBP yang sekarang (periode 1962-1972) sebagai langkah
ke arah kembalinya keutuhan seluruh HKBP, dan wadah ini menuntut mereka supaya
segera diganti.
b.
TG supaya jiwanya kembali ke TG
1950
c. Susunan
dan cara pembentukan Majelis Pusat HKBP yang baru, supaya disesuaikan dengan
jiwa TG HKBP 1950.
d. Sebelum
terbentuk Majelis Pusat HKBP yang dimaksud dalam poin c, maka “Dewan Koordinasi
Patotahon HKBP” melanjutkan pelayanan terhadap semua jemaat yang telah
tergabung dalam dan yang akan menggabungkan diri pada “Dewan Koordinasi
Patotahon HKBP” tersebut.
Segala tindakan oposisi “Dewan Koordinasi
HKBP 1950”, selanjutnya dibicarakan pada SA HKBP 19-25 Juli 1964 di Parapat. SA
ini dihadiri oleh utusan mereka yang diwakili oleh Pdt. H.P. Pakpahan.
Pandangan golongan opisisi ini dituangkan dalam sebuah keputusan Synode yang
kemudian mengangkat sebuah panitia yang bernama: “Panitia Khusus SA HKBP 1964
(PKC)”. Anggota PKC ini terdiri dari 8
orang dari HKBP, orang dari pihak Dawan Koordinasi HKBP 1950, mereka dilantik
oleh Ephorus HKBP tanggal 23 Juli 1964. Dengan
terbtnuknya PKC ini, maka seluruh golongan oposisi setelah SA tersebut
semakin tidak mungkin. Ini berarti mereka harus mengambil keputusan: apakah
tetap berada di dalam HKBP atau keluar dari HKBP ? Dampak dan pengaruh oposisi
sebelumnya di dalam gereja semakin dibatasi pengaruhnya setelah pengumuman
Gubernur SUMUT ketika itu (Kol. Ulung Sitepu) membatasi dan melarang segala
polemik HKBP baik umum, tulisan maupun lisan.
Pengumuman ini mempertegas sikap HKBP ketika itu untuk membicarakan
bahwa setiap masalah HKBP harus diselesaikan di dalam wadah PKC ini, mereka
yang tidak patuh akan ditindak berdasarkan peraturan pemerintah yang ada. Tanggal 19 Agustus 1964, golongan opsisi yang
menjadi anggota PKC ini ternyata mengundurkan diri. Bersamaan dengan
pengunduran diri ini, PKC mengumumkan agar setiap jemaat HKBP yang mengadakan
kebaktian terpisah mulai tanggal 23 Agustus 1964 melakukan kebaktian sesuai
aturan HKBP. Pengumuan ini dinilai menguatkan keputusan Gubernur SUMUT ketika itu, namun akhirnya keputusan ini juga
tidak terlalu ampuh bagi penyelesaian masalah. Tanggal 30 Agustus 1964, Dewan
Koordinasi Patotahon HKBP melangsungkan kebaktian minggu di pekarangan rumah Dr. Luhut Lumbantobing di
Pematangsiantar. Setelah kebaktian ini, diadakanlah rapat yangmemutuskan
membentuk gereja baru yang mereka namakan sebagai “Gereja Kristen Protestan
Indonesia (GKPI)”. Pimpinan gereja
yang baru ini ditetapkan: Pdt. Dr. Andar Lumbantobing sebagai Bishop yang
pertama dan Pdt. S.M. Hutagalung sebagai Sekretaris Jenderalnya.
Satu hal yang sangat penting diketahui
bahwa: seluruh golongan oposisi yang sebelumnya ada di dalam PKC (GKPI)
tidaklah terhimpun dalam satu kesepakatan. Sebab tanggal 25 Juli 1965, sebagian
dari mereka juga membentuk sebuah gereja yanglain yang mereka beri nama
sebagai: “HKBP Luther (HKBP-L)” dan basis jemaat mereka ada di
Lumbansiagian Tarutung. Kelompok ini diketuai oleh Pdt. J. Sinaga. Perkembangan
populasi gereja ini tidaklah begitu berarti hingga sekarang. Selanjutnya
“HKBP-L” ini, berubah menjadi “Gereja Kristen Lutheran Indonesia (GKLI)” yang sampai
sekarang masih diketuai oleh Pdt. J. Sinaga.
Lahirnya GKPI Menurut Versi
GKPI Sendiri
4.
Oleh para pelopor/pendiri gereja ini, GKPI
dideklarasikan berdiri sebagai salah satu denominasi gereja Batak di
SUMUT, ini terjadi tanggal 30 Agustus 1964.
Menurut mereka, lahirnya GKPI adalah sebagai akibat dari berbagai
masalah yang terjadi di seputar
organisasi gereja HKBP: dalam hal ini konflik demi konflik sangat berkaitan
dengan adanya perubahan AP HKBP 1962-1972. Pada satu pihak, ada keinginan akan
pembaharuan pada AP HKBP, pelayanan dan keinginan akan pembaharuan kepengurusan
dalam kepemimpinan HKBP. Namun, pada sisi lain adanya sebagian orang yang
berkeinginan untuk tetap mempertahankan dan menekankan supaya HKBP kembali
kepada AP-HKBP 1940-1950. Dengan demikian dapat dipahami bahwa lahirnya GKPI
adalah karena HKBP mengalami konflik internal yang telah merebak sejak tahun
1962 yang tidak terselesaikan melalui forum-forum perdamaian dan hal itu
berdampak luas pada aspek persekutuan, kepemimpinan dan pelayanan gereja.
5.
Menurut S.M. Hutagalung (lih. S.M.
Hutagalung, Kata Sambutan Sinode Am Islam GKPI, 1966): “adanya
badan-badan/Panitia, anggota dalam gereja yang telah kita tinggalkan yang
secara keyakinan dan berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah menghendaki suatu
pembaharuan aturan huria/gereja, pelayanan rohani yang berdasarkan kasih,
pengurus yang perteliti (cermat) dan diperbaharui. Dan keputusan SG HKBP (Juli
1964) di Parapat yang menentang adanya badan-badan panitia tersebut”. Selanjutnya dikatakan oleh S.M.
Hutagalung bahwa keputusan Pantja Tunggal I SUMUT tanggal 14 Agustus
1964 yang ditanda tangani oleh GUBSU/Kep. Daerah SUMUT (pada waktu itu: Ulung
Sitepu) yang melarang Organisasi atau lembaga-lembaga dalam lingkungan HKBP
yang bertentangan dengan peraturan HKBP yang berlaku”. Bila pernyataan ini
disimak selanjutnya, bahwa berdirinya GKPI adalah merupakan bagian dari masih
berlangsungnya semangat gerakan kemandirian dalam gereja Batak, dan peristiwa
tahun 1962 sebagai peristiwa yang cukup penting bagi lartarbelakang berdirinya
GKPI sebab sangat membawa perubahan bagi HKBP, perubahan-perubahan itu termasuk
bidang organisasi. Hal ini ditandai dengan disetujuinya AP HKBP yang baru oleh
SA HKBP 16 – 23 Juni 1962, bahwa berbagai hal dalam TG HKBP mengalami perubahan
dari TG HKBP yang lama (1940-1950) termasuk perubahan berbagai jabatan dan
kepemimpinan di HKBP.
Perubahan dalam AP HKBP antara lain ada
tiga hal yakni:
Pertama, menyangkut jabatan kerk
bestuur diganti menjadi jabatan penatua. Pada tahun 1920, Ephorus J. Warneck
pernah mengundang warga gereja, tokoh masyarakat tradisi dan pejabat pemerintah
yang mempunyai pengaruh, jujur dan saleh untuk turut dilibatkan dan ambil
bagian dalam berbagai kegiatan pelayanan gereja dan memberikan tugas dan
jabatan kerk bestuur dan sintua yang juga duduk sebagai anggota majelis
pusat.
Kedua, perubahan AP HKBP yang
berhubungan dengan synode distrik. Peranan synode distrik dalam AP yang baru
dilimpahkan atau dialihkan kepada rapat resort, khususnya mengenai pemilihan
utusan ke SG. Sebelumnya (sejak tahun 1911) wilayah pelayanan di HKBP dibagi
atas beberapa distrik dan juga adanya synode distrik. Peranan distrik sangat
penting dalam hubungannya dengan SA.
Ketiga, anggota Majelis Pusat dalam AP
HKBP dipilih oleh SA. Sejak tahun 1929, anggota Mejelis Pusat, merupakan
perwakilan dari tiap-tiap distrik yang dipilih leh synode distrik. Perubahan
itu dimaksudkan untuk menghindari dualisme
kepemimpinan antara Praeses dan anggota Majelis Pusat dalam satu-satu
Distrik.
Keempat, perubahan tentang SA dalam AP
HKBP, dari satu tahun menjadi sekali dalam dua tahun. Sejak tahun 1881, telah dikenal adanya pertemuan tahunan dari
seluruh wakil jemaat. Sejak tahun 1929 dengan terbentuknya majelis pusat, maka
synode tahunan ditingkatkan menjadi synode untuk pengambilan keputusan
gerejani. Perubahan itu dimaksudkan untuk memberikan lebih banyak kesempatan
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kerja masing-masing. Perubahan
sebagaimana dipaparkan di atas mendapat tantangan dari sebagian warga dan tokoh
HKBP sebab perubahan AP itu dianggap belum saatnya bagi HKBP. Konsep AP
tersebut sebelumnya telah pernah ditolak oleh sidang dewan pendeta di Parapat
dan SG HKBP tahun 1961, masyarakat dan tokoh tokoh gereja.
Berdasarkan paparan di atas,
memperlihatkan bahwa era kemandirian HKBP diwarnai oleh berbagai konflik
internal HKBP yang telah mengganggu dan
mempengaruhi kehidupan persekutuannya.
6. Konflik di tubuh HKBP diawali dengan
perubahan AP HKBP yang diputuskan pada SG HKBP 1962. Lahirnya GKPI disebabkan oleh
dua hal, yakni: kasus penolakan perubahan anggaran dasar dan anggaran RT, AP
HKBP yang diputuskan dalam SA bulan Juni 1962 dan perubahan fungsi, istilah dan
jabatan kerk bestuur ke jabatan sintua. Konflik dalam HKBP sebagaimana
disinggung di atas disebabkan perubahan dalam AP HKBP antara lain: jabatan kerk
bestuur menjadi sintua biasa. Perubahan itu dinilai belum saatnya, dan
dianggap merugikan kerk bestuur. Penghapusan synode distrik dan synode
resort. Perubahan penentuan utusan ke SA dari distrik dilimpahkan secara
langsung ke rapat resort. Perubahan ini dianggap telah mengurangi kekuasaan
pendeta distrik. Demikian juga disebabkan oleh masalah pemutasian pendeta yang
dianggap tidak berdasarkan pada peraturan yang sah dan pemutasian itu dilihat
sebagai tindakan sentimen dari Epohorus yang berkuasa. Sehingga terjhadi sikap
perlawanan dari 22 orang pendeta yang berakibat terjadinya tindakan pemecatan.
Alasan terhadap adanya tindakan pemecatan yang dilakukan oleh pimpinan pusat
HKBP adalah disebabkan atau sebagai akibat pembangkangan (indispliner) terhadap
keputusan pimpinan. Demikian juga dengan masalah yang berkaitan dengan
pemilihan petinggi HKBP dan pertentangan antara rektor UHN dengan pimpinan
Yayasan UHN, telah mengakibatkan pemecatan rektor dan wakilnya. Selain daripada
pemecatan tersebut, TD Pardede yang juga ketua pengurus Yayasan UHN diangkat
menjadi tugas rangkap sebagai Presiden UHN.
Masuknya tokoh awam yang menjadi unsur
pimpinan dalam gereja dalam struktur fungsional parhalado pusat kekuasaan
Ephorus yang semakin luas memberi makna pengumpulan dan penumpukan kekuasaan
atau kepemimpinan yang mengarah kepada absolutisme dan bersifat proteksionisme
adalah suatu kenyataan dari keadaan gereja yang primordial. Penumpukan dan
penggunaan kekuasaan menimbulkan adanya situasi krisis dan sikap ketidakpuasan
yang dimanipestasikan dalam bentuk
kelompok perlawanan seperti: Panitia Panindangi Reformasi (PPR), Panitia
Penghubung Hasadaon (PPH) HKBP, Deaan Keutuhan (DK), Dewan Koordinasi Patotahon
(DKP) HKBP. Dimensi kekuasaan menjadi sangat penting untuk melegalisasi
berbagai kebijakan yang dimungkinkan berdasarkan AP yang baru. Kep[emimpinan
gereja seperti penumpukan kekuyasaan Ephorus merupakan pengaruh Hierarki
Zending yang Patriarkhal di dalam jabatan gereja Batak. Konflik yang terjadi di
tubuh HKBP adalah karena adanya sikap ketidakpuasan yang terjelma dalam tiga
kelompok yakni kelompok pendeta, kelompok kaum awam yang menuntut reformasi
(pembaharuan) dalam tubuh HKBP dan kelompok mahaguru UHN. Ketiga kelompok ini
menyatu sebagai kelompok oposisi di HKBP yang dikenal sebagai sebutan Dewan
Kehormatan. Modernisasi manajemen berkaitan dengan sistem pemusatan kekuatan
Ephorus yang lebih luas, hubungan antara pendeta yang lebih luas, hubungan
antara pendeta dengan pemimpinnya yang mirip dengan pola pengelolaan
pemerintahan serta disebabkan faktor
tradisional genealogik kemargaan. Penyelesaian konflik mengalami kebuntuan dan
pada puncaknya, pemerintah berada pada pihak pemegang kekuasaan (power
holder) HKBP dengan membuat larangan kepada kelompok tersisih. Tidak
diperbolehkannya kelompok tersisih melakukan kegiatan dengan mengatasnamakan
HKBP, telah mendorong kelompok tersebut untuk membentuk organisasi gereja yang
baru, yang diberi nama GKPI. Lahirnya GKLPI adalah disebabkan oleh sikap
ketidakpuasan dari anggota setempat atas pelayanan gereja, khususnya dalam
bidang kerohanian. Tetapi juga dan terutama disebabkan oleh gagalnya panitia
kerja khusus bentukan SG Istimewa HKBP bulan Juli 1964 di Parapat untuk mengupayakan
perdamaian dan keutuhan. Pembentukan panitia kerja khusus oleh SG Istimewa HKBP
mengindikasikan adanya persoalan intern yang berkaitan dengan masalah
organisasi yang bertitik pangkal pada AP HKBP. Keluarnya SK Pantja Tunggal SUMUT No. 13911/II/8 tanggal
14 Agustus 1964 yang antara lain mengacu pada Keputusan SG HKBP tanggal 23 Juli
1964 di Parapat dan gagalnya Panitia Kerja Khusus menjalankan tugas yang
diembankan oleh Synode atasnya, menjadi dorongan lahirnya GKPI. Sebelumnya
kebaktian minggu atau pun kebaktian Evanggelisasi (Kebaktian Malam) dalam tubuh
HKBP telah terpisah di berbagai tempat. Pemisahan itu disebabkan konflik yang
berkepanjangan dan telah merebak dengan melibatkan warga jemaat. Tanggal 23
Agustus 1964, kelompok yang memisahkan diri dalam kebaktian ini mengadakan
kebaktian yang pertama bagi organisasi gereja yang baru, yaitu atas nama GKPI
di gedung kebaktian gereja Bala Keselamatan, Jln Merdeka Pematangsiantar.
Tanggal 30 Agustus 1964 adalah kebaktian kedua yang berlangsung di pekarangan
rumah Dr. Luhut Lumbantobing Jln. Simarito No. 6 Pematangsiantar. Pada saat
itulah GKPI resmi memilih kepengurusannya. Bulan Oktober 1964, berkaitan dengan
momentum hari Reformasi Martin Luther disusunlah konsep TG GKPI dan konsep itu
diterima sebagai TG GKPI yang pertama. Tahun 1966, diadakanlah Synode Am GKPI
yang pertama.
7.
Alasan Teologis Berdirinya GKPI. Tentang pokok ini menarik mengutip
pernyataan J.R. Hutauruk mengatakan:
“HKBP pecah bukan karena perbedaan bahasa, suku atau dialek, karena HKBP secara
etnis, identik dengan Batak Toba. Mungkinkan karena usaha mencari kebenaran
ajaran yang relevan buat kehidupan gerejani seperti terjadi dulu di
tengah-tengah umat Kristen di benua Eropa Kuno ? Tetapi harus ada penyebabnya.
Mencari dan menemukan penyebabnya perlu dilakukan bersama oleh seluruh umat
Kristen Batak demi pembaharuan identitas gereja-gereja Batak. Dengan berangkat
dari pertanyaan itu, dan gagasan untuk mencari jawaban sebagaimana di atas,
akan membawa kita untuk memahami kembali konsepsi tentang gereja yang kudus.
Salah satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam bagian ini adalah apa yang
dikemukakan oleh F.H. Sianipar: “satu-satunya faktor yang dapat mentransformir
pengertian kolektifisme dengan isi yang baru yang benar menyehatkan dan
menghidupan hanyalah pengertian persekutuan di dalam Tuhan yaitu yang hampir
tidak ada di dalam pietisme dan moralisme. Pada hal, pengertian inilah
merupakan salah satu faktor yang turut menentukan relevannya dari metode
(bahkan isi) dari teologi bagi masyarakat Batak”.
Sebelum berdirinya GKPI, Dr. A. Lumbantobing dan
Dr. S.M. Hutagalung memberikan pandangannya ketika dimintai pendapatnya
sehubungan dengan adanya gagasan dan banyaknya dorongan dari warga dan
tokoh-tokoh gereja untuk memisahkan diri
dari HKBP, untuk membentuk satu organisasi gereja yang baru. Pandangan kedua
tokoh tersebut dapat dikutip sebagai berikut:
Dr. A. Lumbantobing:
Tidak sependapat dengan pendirian
utusan-utusan itu. Menurut pendapat beliau, pemisahan diri dari satu gereja untuk
mendirikan suatu gereja yang baru, tidak sesuai dengan dogma dan hukum teologi:
badan Kristus adalah tunggal (satu). Dan tidak dapat dipecah-pecah. Dalam
penjelasan itu beliau menerangkan tentang perpecahan gereja di negeri Belanda
pada permulaan abad 19 yang dipimpinpin oleh dua orang ahli teologi Prof. Dr. Abraham Kuyper
dan Prof. Dr. Hoedemaker. Penjelasan beliau itu diakhiri dengan keterangan
bahwa bagi beliau belum ada alasan yang kuat untuk memisah diri dari HKBP.
Dr. S.M. Hutagalung:
Sebelum mengemukakan pendirian, terlebih
dahulu menekankan: bahwa jemaat Kristus adalah satu di dalam Kristus, akan
tetapi di dalam perkembangan organisasi-organisasi gereja menurut sejarah maka
semua organisasi gereja yang ada sekarang adalah perkembangan/perpecahan dari
gereja. Setertusnya beliau mengatakan kalau di suatu huria (gereja)
kepercayaanmu dan imanmu untuk mendekati Tuhan terhalang oleh
perbuatan-perbuatan peraturan-peraturan dan
ancaman-ancaman dari pengurus huria itu, kalau saudara tidak berhasil dalam
usaha tersebut dan kepercayaanmu terus menerus terhalang dan tidak beroleh
damai dan kegembiraan lagi di dalam jemaat tersebut, maka saudara harus
meninggalkan gereja sedemikian sesuai dengan keyakinan pada saat ini. Saya
sendiri belum melihat suatu alasan yang
dapat saya pakai untuk mempertanggungjawabkan pengunduran dri saya dari HKBP
secara mutlak.
B
GEREJA KRISTEN PROTESTAN
ANGKOLA – GKPA
1.
Gambaran Umum. Denominasi ini merupakan gereja yang resmi dimandirikan
oleh HKBP, oleh karena itu sejarah gereja GKPA tidaklah terpisahkan dengan
sejarah HKBP sejak awalnya. Untuk mendukung pernyataan ini, anda masih ingat di
awal pertemuan tentang diskusi tema: perintisan lembaga misi RMG di Prau Sorat
demikian dengan Rapat Koordinasi Misi para (empat orang) Misionaris tanggal 7
Oktober 1861 di Sipirok, juga dalam hubungan tibanya Nomensen pertama sekali di
Sipirok tahun 1962. Hanya, kesimpulan yang nyata dapat dikatakan bahwa
perkembangan misi kekristenan (gereja) di daerah Silindung (Tapanuli Utara
umumnya) jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan di daerah Angkola (Tapanuli
Selatan umumnya). Hingga pada akhirnya, jemaat-jemaat Kristen Batak yang
berdiam di daerah Angkola (Tapanuli Selatan) mereka dihimpun dalam satu Distrik
yang disebut sebagai Distrik Angkola yang berpusat di Sipirok yang kemudian
berkembangan menjadi distrik Tapanuli Selatan yang berpusat di Padang
Sidempuan.
2. Dipengaruhi oleh latarbelakang budaya dan
bahasa yang sedikit berbeda, dari masyarakat Kristen Batak Toba, maka tahun
1970-an jemaat-jemaat HKBP yang berbahasa Angkola bermohon kepada HKBP agar
mereka dihimpun dalam suatu gereja yang berdiri sendiri. Permohonan ini
dikabulkan oleh HKBP melalui SA tahun 1972, sehingga mereka dihimpun dalam satu
wadah gereja yang berdiri sendiri. Dalam pemberian kemandirian itu, seluruh
jemaat yang berada di daerah Angkola dan Tapanuli Selatan dengan latarbelakang
etnis Angkola diijinkan masuk menjadi bagian dari gereja ini. Tetapi tidak
semua jemaat HKBP yang berada di daerah Angkola masuk menjadi bagian dari
gereja yang baru ini, sebab jemaat-jemaat yang berlatarbelakang Toba tidak
bersedia bergabung dengan HKBP Angkola, tetapi tetap mempertahankan dirinya
sebagai HKBP. Awalnya HKBP berpusat di Sipirok, tetapi kemudian dipindahkan ke
ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan dan namanya pun diganti menjadi: “Gereja
Kristen Protestan Angkola” (GKPA).
Jemaat gereja ini tidak hanya berdiri di daerah Angkola Tapanuli
Selatan, tetapi juga ada yang berdiri di daerah-daerah lain kalau orang-orang
Kristen Batak yang berlatarbelakang Angkola dijumpai di daerah itu seperti di
Pematangsiantar, Medan dan Jakarta.
C
GEREJA KRISTEN PROTESTAN
SIMALUNGUN (GKPS)
1.
Pendahuluan. Jauh sebelum kekristenan mempengaruhi Simalungun, sebagian
besar wilayah ini sudah dipengaruhi oleh Islam (1850) terutama di daerah Simalungun
Bawah (daerah Simalungun yang berbatasan dengan Kabupaten Sergai sekarang
dengan kabupaten Asahan). Misalnya Raja Siantar telah menjadi Islam
sebelum kekristenan memasuki daerah ini, tetapi sebagian besar orang-orang
Simalungun itu masih menganut agama suku Simalungun yakni kepercayaan kepada
Dewata Tertinggi (Naibata Iatas), Dewata Dunia Tengah (Naibata Itongah) dan
Dewata Dunia Bawah (Naibata Itoruh), selain itu raja-raja Simalungun juga
dipercayai sebagai “Naibata Nataridah” (dewata yang kelihatan). Sejarah GKPS
sebenarnya tidak terlepas dari sejarah HKBP, karena seperti diterangkan di atas
GKPS adalah suatu gereja yang berasal dari HKBP dan pemisahannya bukanlah
karena suatu pertikaian atau jalan yang tidak
baik melainkan melalui persetujuan bersama. Pemisahan ini dibaratkan
sama seperti orang tua yang memandirikan (pajaehon) anaknya yang sudah
berkeluarga karena anaknya itu dianggap sudah cukup mampu untuk membina
keluarganya sendiri, demikianlah halnya HKBP “pajaehon” GKPS karena
dengan berdiri sendiri gereja itu sudah dianggap mampu membangun dan
mengembangkan gereja itu.
Apabila dikaji lebih dalam sejarah
GKPS, periodesasinya dapat dibuat sebagai berikut:
a. 1903 – 1928: Jaman permulaan dan pergumulan.
b. 1908 – 1940: Masa perkembangan gereja Simalungun
c.
1940 – 1952: Terbentuknya HKBP Distrik Simalungun
d.
1963
- … : Terbentuknya GKPS seagai salah
satu gereja yang berdiri sendiri.
2.
Jaman Permulaan dan Pergumulan (Periode I: 1903-1928). Pada tanggal 2 September 1903, tiga orang
penginjil pertama dari orang Jerman yang diutus oleh I.L. Nomensen dari
Tapanuli telah tiba di daerah Simalungun yakni: A. Theis, Guillaume dan
Simon. Oleh GKPS, tanggal inilah kemudian ditetapkan sebagai tanggal permulaan
dari gereja ini. Sejak awalnya, A. Theis ditempatlan di Pematang Raya, Guillaume
mula-mula ditempatkan di Haranggaol, tetapi kemudian dipindahkan ke
Saribu Dolok dan Simon di tempatkan di Pematang Bandar
(Simalungun Bawah). Simon terkenal sebagai ahli dalam bidang agama Islam dan
selain itu ia terkenal juga karena sejak semula Simonlah yang mengusulkan
supaya penginjilan di daerah Simalungun dilakukan dalam bahasa Simalungun itu
sendiri baik di jemaat maupun di sekolah-sekolah yang diasuh oleh sending.
Ketiga orang ini segera dibantu oleh tenaga-tenaga evanggelis dan guru-guru
orang Batak Toba.
Pada periode permulaan ini, para
penginjil dalam upaya PI–nya, mereka menghadapi banyak kesulitan, a.l:
a. Soal pemakaian bahasa. Di
kalangan para misionaris terdapat perbedaan pendapat mengenai bahasa yang akan
dipergunakan. Para penginjil yang dari
Batak Toba hanya memahami bahasa Batak Toba, mereka menginginkan supaya bahasa
Batak Tobalah yang dipakai sebagai bahasa pengantar, mereka enggan mempelajari
bahasa Simalungun sehingga bahasa Batak Toba itulah yang dipakai sebagai bahasa
pengantar. Soal pemakaian bahasa Batak Toba ini sebagai bahasa pengantar, ini
tidak dikehendaki oleh umumnya msayarakat Simalungun. 4Walaupun banyak
persamaan di antara bahasa Simalungun
dengan bahasa Toba namun banyak kata-kata dalam bahasa Batak Toba yang tidak
enak didengar bersifat kasar yang bagi terminology Simalungun ada beberapa kata
maknanya dirasakan tidak sopan bagi orang Simalungun.
b. Penduduk yang berjauhan dari satu
tempat ke tempat lain, sedangkan hubungan dari satu kampung ke kampung lainnya
sangatlah sulit karena daerah-daerah itu masih dipenuhi hutan-hutan yang sangat
lebat.
c. Pengaruh dari “datu” (dukun) yang
cukup besar. Para datu ini sangat ditakui oleh
masyarakat oleh karena mereka mempunyai daya magis yang dipercayai dapat
menyakiti atau menyusahkan mereka.
d. Pengaruh kuasa raja-raja yang
sangat besar. Demikian besarnya pengaruh raja-raja di Simalungun, para raja itu
dianggap sebagai dewa dengan berkuasa atas harta rakyatnya. Apa yang dikatakan
oleh raja harus diikuti dan tidak seorang pun bisa menentangnya dan kekuasaan
raja-raja itu berlangsung secara turun temurun.
Karena banyaknya tantangan dihadapi,
maka selama 25 tahun periode pertama ini jumlah orang Simalungun yang berhasil dibaptis
menjadi Kristen baru mencapai 900 orang dalam 31 jemaat.
3.
Masa perkembangan gereja Simalungun (1928-1940). Pada periode ini, mulai nampak perkembangan
kekristenan di daerah Simalungun. Terutama setelah adanya putera-putera daerah
ini yang sudah tamat dari sekolah guru Injil, antara lain: dari Seminari Depok
Jawa Barat, dari Seminari Sipoholon serta dari Narumonda. Mulai tahun 1929,
sudah ada putera daerah Simalungun yang menjadi pendeta yakni Pdt. J.W.
Saragih, ia adalah tamatan Semianri Sipoholon. Dengan adanya putera-putera
Simalungun yang menjadi penginjil dan pendeta, maka usaha ppenginjilan di
daerah Simalungun semakin bertumbuh dan berkembang cepat. Pdt. J.W. Saragih
dalam usaha penginjilannnya, juga memperhatikan metode PI empat dimensi yang
dikembangkan oleh Nomensen (metode PI melalui pendidikan, kesehatan,
perekonomian dan politik). Masalah pemakaian bahasa telah di atasi dengan
menetapkan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar. Perkembangan pada periode
ini juga tidak terlepas dari adanya “Komite Na Rah Marpoda” (Komite yang
ingin belajar) yang didirikan oleh orang-orang Kristen Simalungun tahun 1928.
Komite ini menekankan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar dengan
menerbitkan buku-buku bacaan Kristen dalam bahasa Simalungun dan juga
menerbitkan sebuah majalah yang cukup besar artinya dalam usaha penginjilan,
yakni majalah: “Sinalsal” (cahaya). Di dalam majalah itu banyak
dibicarakan mengenai masalah agama, pertanian, peternakan, pendidikan dan
lain-lain. Pada periode ini, terbentuk
juga satu kongsi penginjilan yang bernama “Laita” (artinya: beta ma
hita) yakni suatu perkumpulan yang giat mengajak orang-orang Simalungun menjadi
Kristen.
4. Terbentuknya HKBP Distrik Simalungun
(1940-1952). Sebelum tahun 1940 jemaat-jemaat Kristen Simalungun dimasukkan
kepada lingkungan HKBP Distrik Sumatera Timur. Tetapi sejak tahun 1940, mereka
meminta supaya jemaat-jemaat Simalungun dijadikan menjadi sebuah Distrik yang
tersendiri dalam tubuh HKBP, yakni HKBP Distrik Simalungun. Ini dimaksudkan
supaya pelayanan PI kepada masyarakat Simalungun makin diintensifkan. Praeses
Distrik ini juga telah dipegang oleh putera daerah Simalungun itu sendiri,
yakni: Pdt. Kerpanus Purba.
Sedangkan anggota Majelis Pusat
dari Distrik ini adalah Pdt. J.W. Saragih.
Beberapa hal yang mendapat perhatian
pada periode ini ialah:
a.
Pengaruh Jepang pada kehidupan para pemuda sangat membaahayakan, karena
banyak pemuda tertarik menjadi Heiho, yang dibawakan oleh pemerintah militer
Jepang mempertahankan kekuasaannya dan ekspansinya di banyak bangsa di Asia. Karena keadaan ini, dilihat dapat membahayakan
kehidupan gereja maka Pdt. J.W. Saragih
tahun 1942 mendirikan sebuah badan yang bernama: “parguru saksi ni Kristus”.
Badan ini dimaksudkan untuk menampung pemuda/i Simalungun dilatih menjadi
penginjil-penginjil sukarela. Pengaruh dari badan ini ternyata lebih besar dari
pengaruh kongsi Laita yang sudah
didirikan sebelumnya. Para pendeta dan guru
Injil yang bertugas di daerah Simalungun bersama-sama dengan parguru saksi ni
Kristus pergi ke kampung-kampung (pelosok) untuk memberitakan Injil. Majelis
sangat merasakan kagum melihat kerajinan
dan semangat mereka yang sangat besar yang setelah tamat, mereka disebut
sebagai saksi ni Kristus. Mereka mempunyai prinsip: “sedapat mungkin seorang
saksi ni Kristus” akan membawa seorang yang masih kafir menjadi Kristen.
b. Tahun 1945 didirikan kongsi Bibel.
Kongsi ini bertugas menterjemahkan Bibel (Alkitab) ke bahasa Simalungun. Dari
antara kitab itu, yang pertama diterjemahkan adalah kitab Injil Lukas.
c. Tahun 1946, terjadi revolusi sosial
terhadap raja-raja di Simalungun. Di mana pada waktu itu, banyak orang Kristen
yang menderita serta banyak rumah
pendeta, rumah guru jemaat, gedung gereja dan sekolah-sekolah dibakar. Karena
orang-orang Kristen dianggap sebagai pendukung
Belanda yang berusaha kembali menguasai Indonesia
setelah memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945, oleh situasi ini banyak
pendeta yang mengungsi ke hutan-hutan dan mereka mengadakan kebaktian di sana. Keadaan ini telah
dimamfaatkan oleh para pendeta dan misionaris untuk mengajarkan Injil kepada
masyarakat Simalungun yang tinggal di pedalaman. Sikap orang-orang Kristen yang
baik, rendah hati dan menaruh kasih yang besar, mereka telah menjadi pendorong
yang sangat besar bagi orang-orang yang masih parbegu untuk menjadi Kristen.
e. Tahun 1950, kursus pendeta didirikan di Pematang Raya yang
mendidik orang-orang Simalungun menjadi pendeta gereja Simalungun itu sendiri.
Kursus ini hanya menamatkan siswanya satu kalia yakni tahun 1952. Pendidikan
pendeta di kalangan HKBP pada waktu itu termasuk untuk orang-orang Simalungun
adalah di pusat Seminari Sipoholon.
5.
Terbentuknya HKBP Simalungun Yang Otonom (1952-1963). Satus HKBP Simalungun
yang otonom ini memang masih bernaung di bawah pimpinan Ephorus HKBP walau
kepada mereka telah diberikan kebebasan organisatoris dan pengelolaan keuangan
sendiri. Mereka juga sudah diberi hak untuk mengadakan synode sendiri yang
dipimpin oleh seorang wakil Ephorus, wakil Ephorus pertama yang memimpin
HKBPS ialah Pdt. J.W. Saragih. Pembentukan HKBPS tahun 1952 didasaari oleh
pergumulan teologis praktis oleh beberapa tokoh yang berlatarbelakang
Simalungun, yang melihat bahwa usaha PI di Simalungun akan lebih berhasil
apabila strategi dan metode diatur oleh orang-orang Simalungun itu sendiri
bukan campuran antara Simalungun dan Toba. SA HKBP 1953, telah menerima
pemberitahuan berdirinya HKBPS sejak 5 Oktober 1952. Dengan demikian organisasi
HKBPS adalah sebagai bagian dari HKBP di daerah-daerah yang berbahasa
Simalungun dapat diharapkan lebih cepat bergerak dan mendekatkan dirinya kepada
tata hidup social, rohani budaya dan
bahasa Simalungun. Pada SA 1953, HKBPS telah mencanangkan “Plan 10 tahun”
(rencana sepuluh tahun) yang bertekad bahwa pada tahun 1963 seluruh orang
Simalungun yang masih “parbegu” akan menjadi anggota GKPS. Tahun 1959, kongsi
Bibel telah menterjemahkan Alkitab
PL sampai kitab Ulangan, di mana tiap-tiap jemaat
mendirikan gereja masing-masing, dan menjelang tahun 1963, HKBPS sudah siap
menjadi gereja yang bedriri sendiri.
6. Berdirinya GKPS menjadi sebuah gereja yang
mandiri (1963- Sekarang). HKBPS ditetapkan menjadi sebuah gereja yang
berdiri sendiri dengan nama baru “Gereja Kristen Protestan Simalungun”
(GKPS) yang tanggal 2 September 1963, gereja ini telah berumur 60 tahun.
Pada waktu itu anggoita gereja berjumlah
61.147 orang, 177 jemaat, 22 pendeta, 16 resort, dan tiga Distrik. Setelah kemandirinya itu,
GKPS berkembang terus, hingga sekarang ini boleh dikatakan hampir semua orang
Simalungun yang dulunya “parbegu” sudah menjadi Kristen. Dan seperti HKBP,
gereja ini juga didirikan bukan hanya di daerah Simalungun tetapi juga di
daerah-daerah perantauan seperti di Medan dan Jakarta.
SEJARAH MASUK DAN
BERKEMBANGNYA
KEKRISTENAN DI NIAS
Pendahuluan
1.
Sejarah masuk dan berkembangnya kekristenan di Nias, hampir sama dengan sejarah masuk dan
berkembangnya kekristenan di tanah Batak. Demikian dengan badan zending yang
bekerja di Nias, juga di motori oleh badan zending RMG yang saat masuknya badan
zending ini mendahului masuk dan berpengaruhnya Belanda sebagai kekuasaan
kolonial di sana. Misionaris RMG pertama yang diutus dan
bekerja di Nias adalah Denninger setelah ia bersama dengan rekannya yang lain
di usir dari Kalimantan akibat dari perang Hidayat (1859) yang berkecamuk di sana. Denninger kemudian
datang ke Padang
bersama-sama dengan temannya yang berhasil selamat, yakni: Klammer. Rencana
semula, mereka akan diutus oleh RMG untuk mengabarkan Injil ke Tapanuli,
tetapi Denninger tidak bisa sampai ke
Tapanuli karena di Padang
isterinya jatuh sakit. Akhirnya di Padang, Denninger bertemu dengan sejumlah
orqang-orang Nias yang merantau ke sana,
dan tertarik untuk mengabarkan Injil kepada mereka. Penduduk setempat, yakni
orang-orang Minang itu sendiri sudah
sulit untuk dikristenkan, karena mereka sudah lebih dahulu menganut agama
Islam. Di Padang Denninger mempelajari bahasa Nias dan berencana mendirikan
satu gereja untuk orang-orang Nias perantau tersebut. Tetapi rencana itu tidak
jadi dilakukan karena ia berpikir bahwa pembangunan gereja tidak ada artinya, karena orang-orang Nias
tidak menetap tinggal di sana.
Lalu Denninger memutuskan untuk pergi langsung ke daerah Nias itu sendiri. Ia
tiba di pulau Nias tanggal 27 September 1865. Tanggal ini oleh BNKP ditetapkan
sebagai tanggal kelahiran gereja ini. Di
Nias, Denninger berusaha sekuat tenaga untuk memberitakan Injil, namun
ia menghadapi banyak kesulitan sehingga perkembangan usaha PI di sana agak lambat.
Ada beberapa hambatan dihadapi
Denninger dalam memberhasilkan UPI-nya DI Nias, yakni:
a.
Di
daerah Nias banyak bersarang penyakit malaria.
b.
Suku-suku
di daerah Nias terbagi ke dalam keluarga-keluarga yang hampir tidak berhubungan
satu sama lain. Mereka hidup sendiri-sendiri di kmapung mereka.
c.
Keadaan
geografis yang sangat menyulitkan, karena di sana belum ada jalan yang baik dan masih
banyak hutan dan pegunungan. Selain itu, perhubungan melalui laut juga sering
mengalami gangguan karena ombak yang besar.
d.
DI
daerah ini masih banyak dijumpai suku-suku pengayu (pemenggal kepala).
e.
Kehidupan
social budaya yang masih kolot sekali, terutama dalam hal yang menyangkut
perkawinan dengan besarnya “borvo” (mas kawin) yang harus dibayarkan
oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Kalau “borvo” tidak lunas dibayarkan, pihak perempuan juga
akan menuntut ini dari keturunan menantunya itu. Sampai sekarang, masalah
“borvo” ini belum bisa diatasi secara sepenuhnya, walau pelaksanaannya tidak
seketat jaman dahulu. Tetapi masalah “borvo” telah menimbulkan dampak social
yangkurang baik, karena banyak orang yang sampai lanjut usia tidak bisa kawin
karena orangtuanya miskin.
Pembaptisan pertama dilakukan kepada orang-orang Nias terjadi pada hari
raya Paskah tahun 1874, yakni atas 25 orang Nias. Ini berarti bahwa pembaptisan
pertama ini terjadi setelah UPI berlangsung di Nias selama sembilan tahun
lamanya. Dan dalam waktu 25 tahun setelah kedatangan Denninger (1890),
orang-orang Nias yang beerhasil dibaptis menjadi Kristen baru tercatat sebanyak
706 orang yang terhimpun dalam tiga jemaat.
Namun dalam kurun waktu 25 tahun
pertama itu, di sana
telah diciptakan oleh para misionaris sarana-sarana yang memungkinkan perluasan
di kemudian hari, yakni:
a. Orang Kristen Nias sendiri telah
belajar untuk ikut aktif mengabarkan Injil. Salah seorang tokoh Nias yang berkemauan besar dalam UPI ialah kepala kampung yang bergelar Ama Mandranga.
b.
Sejumlah guru-guru serta penatua telah diangkat oleh para misionaris
untuk membantu mereka. Untuk ini, tahun 1882, telah didirikan sebuah lembaga
pendidikan guru.
c.
Usaha-usaha untuk membina jemaat agar mereka mampu membiayai diri
sendiri sudah dimulai pada masa ini.
d.
Penterjemahan Alkitab dan buku-buku Krisrten ke dalam bahasa Nias oleh
misioanaris Sundermann, dengan bantuan Ama Mandranga dan orang-orang Nias
lainnya.
Masa perkembangan Kekristenan di Nias
2.
Tahun 1915, setelah 50 tahun UPI di Nias
jumlah orang-orang Kristen di sana telah
naik menjadi 20.000 orang dan pada waktuitu daerah zending sudah meliputi
daerah nIas Barat dan Nias tengah. Tetapi perkembangan kekristenan yang lebih
pesat baru mulai sejak tahun 1916. Sejak saat ini, sering terjadi pembaptisan
secara massal. Pertobatan massal ini mula-mula dilakukan oleh seorang
evanggelis dari orang Nias itu sendiri yang bernama Filemo (Philemon) di
Humene. Dia seorang evanggelis yang sangat teguh dalam iman dan menjadi
gembala yang baik, sehingga ia menjadi suri teladan dalam hidup kekristenan di
Nias. Dalam UPI-nya, Philemon menekankan
pertobatan yang sungguh-sungguh, pengampunan dosa, dan pergi ke tempat-tempat sunyi seperti yang dilakukan
oleh Johanes pembaptis. Philemon mengadakan penggembalaan di antara empat mata
dan ia mendoakan setiap orang yang datang kepadanya. Dengan cara ini,
berduyun-duyunlah orang-orang Nias menemuinya di tempatnya. Dalam setiap pembeicaraan penggembalaan yang dilakukan
sering terjadi bahwa orang-orang yang digembalakannya itu sampai mencucurkan
air mata, setelah menyadari akan dosa-dosanya. Penggembalaan yang dilakukannya
juga sering mendorong terjadinya pertobatan yang sepenuh hati yang dalam bahasa
Nias disebut sebagai “fangesa dodo”. Tetapi ada juga orang-orang Nias
yang mencoba meniru-niru cara yang dilakukan oleh Filemo untuk tujuan yang
tidak baik. Mereka kemudian sering
dijuluki sebagai “tukang fangesa dodo”, menyelewengkan kepercayaan orang banyak
kepada mereka untuk mencari keuntungan diri sendiri. Tukang-tukang “fangesa
dodo” ini mengarah kepada praktek-praktek dukun yang mengutip bayaran dari
orang-orang yang datang kepada mereka dan
ada juga yang melanggar hukum yang ketujuh. Tetapi niat jahat
“evanggelis-evanggelis” palsu seperti
itu juga ketahuan kepada orang banyak, sehingga mereka pun ditinggalkan oleh
orang Nias. Dengan adanya gerakan pertobatan massal pada kurun waktu ini, maka
dengan cepat bertambahlah jumlah orang-orang Kristen Nias. Dalam perhitungan
tahun 1929, jumlah mereka yang telah di baptis menjadi Kristen tercatat
sebanyak 85.000 orang.
Terbentuknya
Synode BNKP (Banua Niha Keriso Protestan)
3.
Synode BNKP pertama yang terbentuk adalah tahun 1936, yang sekaligus menjadikan
gereja ini sebagai gereja yang mandiri. Walau dikatakan sebagai gereja yang
mandiri, kepemimpinan BNKP masih tetap dipegang oleh para misionaris Jerman
sebagaimana halnya yang terjadi di HKBP. BNKP juga mengalami akibat peristiwa
10 Mei 1940, di mana terjadinya orang antara Jerman dengan Belanda, maka
seluruh tenaga misionaris Jerman yang bekerja di Nias ditangkap dan dipenjarakan
oleh penguasa Belanda di Indonesua. Gereja di Nias juga mengalami ujian yang
sangat berat dengan hadirnya BNZ yang berusaha untuk menggantikan kedudukan RMG
dan mencoba mengambil kepemimpinan BNKP. Tetapi orang-orang Kristen Nias tidak
mau menyerahkan kepemimpinan gereja itu kepada pendeta-pendeta Belanda dalam naungan BNZ ini. Mereka ingin
berdiri sendiri dengan dipimpin oleh putera Nias sendiri. Pada waktu inilah
terpilih Ephorus BNKP yang pertama dari kalangan pendeta Nias, yakni: Pdt.
Atefona Harefa ia memegang jabatan Ephorus dari tahun 1940-1955. Struktur
gereja BNKP hampir sama dengan struktur gereja HKBP, hanya jenjangnya sedikit
berbeda dari HKBP. Resort bagi HKBP, adalah sama dengan Distrik bagi BNKP, dan
sebaliknya: distrik bagi HKBP adalah resort
bagi BNKP. Gereja ini juga banyak
menghadapi tantangan, baik yang muncul dari dalam maupun yang datang dari
luar. Yangmuncul dari dalam ialah adanya beberapa gereja yang terpecah dari
BNKP. Perpecahan pertama dalam tubuh gereja BNKP terjadi tahun 1946 yang
dilakukan oleh satu kelompok orang Kristen Nias di daerah Humene. Mereka
membentuk gereja mereka sendiri dengan nama: “Angowuloa Masehi Idanoi Niha”
(AMIN) atau disebut juga sebagai “Agama Masehi Indonesia Nias”. Perpecahan kedua terjadi tahun 1950 di daerah
Nias Barat. Orang-orang Nias yang memisah ini membentuk gereja yang diberi
nama: “Orahua Niha Keriso Protestan” (ONKP). Kedua perpecahan ini bukan karena persoalan teologis dogmatis
(perbedaan ajaran), tetapi karena masalah kepemimpinan atau organisasi gereja
itu. Tantangan adari luar adalah dengan masuknya beberapa gereja dan agama lain
ke daerah Nias. Gereja RK mulai berusaha masuk ke Nias tahun 1939 yangmula-mula
bekerja di daerah Nias bagian Selatan. Perkembangan gereja RK terlihat lebih pesat setelah PD II berakhir.
Selain dari gereja RK, gereja Adventist juga bekerja di daerah Nias bagian Selatan. Selain gereja-gereja tersebut di
atas, agama Islam berusaha mengembangkan pengaruhnya di daerah Nias, tetapi
pengaruh Islam ini tidak begitu berkembang di Nias karena latarbelakang budaya
Nias (makan daging babi) yang dipantangkan oleh Islam. Kebiasaan ini tidak
terpisahkan dari budaya dan adat kebiasaan masyarakatnya. Pusat pendidikan
pelayan gereja (seminari) yang mendidik calon guru-guru jemaat dan calon pendeta Nias mula-mula
didirikan di Omblata tetapi kemudian dipindahkan ke Gunung Sitoli. Tamatan pertama sekolah pendeta di Omblata,
terjadi tahun 1906. Sebuah Rumah Sakit
didirikan di Hilisimaetano yang diberi nama RS Lukas. Pada akhir tahun 1980-an,
keadaan jumlah orang Krosten di daerah
Nias adalah sebagai berikut: “BNKP beranggota kira-kira 250.000 orang ; AMIN
beranggota 14.000 orang ; ONKP beranggota 35.000 orang dan RK beranggota + 50.000
orang. Hampir seluruh masyarakat Nias adalah penganut agama Kristen.
Kekristenan
di Pulau-Pulau Batu
4.
Pulau-pulau Batu terletak di sebelah selatan kepulauan Nias. Yang meberitakan
Injil ke pulau-pulau ini bukanlah penginjil RMG, melainkan para misionaris
Belanda yang beraliran Lutheran. Mereka
diutus oleh “lembaga PI Lutheri” dari negeri Belanda. Usaha PI di Pulau-pulau
Batu di mulai tahun 1889 – 1940. DI pulau-pulau ini sudah terbentuk 15 jemaat
yang kecil. Masa PD II gereja ini
berdiri sendiri di bawah pimpinan seorang kepala suku yang sudah menjadi
Kristen. Tetapi setelah perang berakhir, gereja ini telah bergabung dengan
gereja BNKP. Pendeta pertama putera daerah adalah Pdt. Wao, lulusan dari
seminari sekolah pendeta Sipoholon.
SEJARAH
GEREJA KRISTEN
PROTESTAN
MENTAWAI (GKPM)
Permulaan Kekristenan di Mentawai
1. Kepulauan
Mentawai adalah terletak di sebelah Barat daerah Sumatrera Barat, dan terdiri
dari beberapa pulau dan pulau-pulaunya yang terbesar ialah: Siberut, Sipora
dan Page. Bahasa daerah di Pulau Page adalah berbeda dari bahasa daerah di
Pulau Siberut. Tetapi bahasa yang dipergunakan dalam gereja adalah bahasa
Page. Hal ini menunjukkan bahwa kekristenan di pulau Page lebih maju dari
kekristenan di Pulau Siberut. Bagaimana kekristenan di Pulau Mentawai ini ?
Menjelang tahun 1900, pimpinan RMG di Barmen mendapat sebuah kiriman berupa
sebilah tombak yang disertai dengan sepucuk surat dari Syah Bandar Padang seorang
Belanda. Dalam surat
itu, ia menyebutkan: “dengan tombak ini orang Mentawai telah membunuh
seorang awak kapal dagang. Penduduk pulau itu masih orang-orang kafir yang buas
semua. Masih berapa lama lagi mereka baru sempat mendengar Injil ?” Surat inilah yang
mendorong RMG mengirim misionarisnya ke Mentawai. Misionaris pertama yang
diutus oleh RMG ialah, August Lett, yang tiba di Mentawai tahun 1901. Namun
sebelum adanya orang-orang Mentawai yang dibaptis, August Lett dibunuh oleh
orang-orang Mentawai sendiri tahun 1909, karena ia berusaha menjadi pengantara
masyarakat setempat dengan pemerintah Belanda. Pekerjaan August Lett diteruskan
oleh Pdt. F. Berger yang mulai bekerja di sana tahun 1907, yang dibantu oleh seorang
guru Injil yang diutus oleh Zending Batak bernama: Gr. Manase Simanjuntak.
Namun, dalam UPI itu,
mereka mengadapi banyak kesulitan, a.l:
a.
Daerah ini juga merupakan sarang penyakit malaria.
b.
Keadaan geografis, dan hubungan lalu lintas
yang sulit. Hubungan lalu lintas masih lebih banyak melalui laut dan sungai,
karena perkampungan pada umumnya berada di tepi laut atau sungai.
c.
Pengaruh kekafiran dan kuasa dukun sangat
besar. Bagi masyarakat Mentawai: “datu” (Sikerei bahasa Mentawai)
lebih dihargai daripada seorang raja atau “rimata”. “Sikerei” sangat
dihormati karena dia dianggap sebagai perantara antara Tuhan dengan mereka.
Sikerei juga dianggap mengetahui segala-galanya, karena ia sering berhubungan
dengan roh-roh atau “sanitu-sanitu”.
d.
Tantangan dari pihak orang-orang Minang yang
tidak menghendaki orang-orang Mentawai mengalami kemajuan. Orang-orang Mentawai
diharapkan oleh orang-orang Minang yang datang berdagang ke Mentawai sebagai
sumber penghasilan yang cukup besar. Karena orang-orang Metawai masih bodoh,
sering mereka menyerahkan begitu saja hasil bumi mereka berupa cengkeh hanya
dengan imbalan sedikit tembakau.
Setelah bergumul
hampir 15 tahun, maka pembaptisan pertama baru terjadi tanggal 9 Juni 1916
yakni atas empat orang (dua pasangan suami isteri) yakni: Pomanyang dan
isterinya dan Jago Mandi dan isterinya. Saat pembatisan yang pertama
inilah yang ditetapkan sebagai hari lahir dari GKPM.
Dalam upaya
menyebarkan Injil itu, hal-hal yang mendapat perhatian dari zending ialah:
a. Pembinaan rohani. Pembinaan ini
dimaksudkan untuk memperdalam iman dan pemahaman mereka akan nilai-nilai
kekristenan itu. Tetapi pekerjaan ini sangat sulit dilakukan karena kepercayaan
yang lama, yakni agama Sabulungan yang menganut paham animisme telah
sangat sangat sulit dilepaskan dari kehidupan mereka.
b. Usaha Pendidikan. Usaha ini dilakukan
dengan mendirikan Sekolah-sekolah Dasar. Usaha pendidikan di sana sangatlah lambat sekali jika
dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah sangat kurang memberi
perhatian kepada usaha pendidikan di sana.
Sampai tahun 1957, sekolah SD yang didirikan oleh pemerintah hanya satu dalam
satu kecamatan, dan sampai tahun 1970 satu-satunya sekolah tingkat lanjutan yang ada hanya SMP yang dibuka oleh
sending HKBP mulai tahun 1957.
c. Usaha dibidang kesehatan. Bidang ini
juga merupakan perhatian zending, sehingga sending membangun sebuah RS di pulau
Sikakap, dan sebuah poliklinik masing-masing di pulau Sipora dan di Muara
Siberut.
d. Mengenai kehidupan social ekonomi.
Tingkat kehidupan social ekonomi sehari-hari sangat rendah, walau daerah ini
mempunyai hasil yang cukup banyak seperti: kopra, rotan, cengkeh, dll. Namun
yang memperoleh keuntungan yang besar dari hasil bumi mereka adalah
pedagang-pedagang yang datang dari luar terutama orang-orang Minang. Sampai tahun 1957,
system perdagangan di sana
masih system tukar menukar barang. Mereka sering memberikan hasil bumi mereka
kepada orang-orang luar hanya dengan memperoleh imbalan tembakau.
Orang-orang Mentawai menganggap mereka
kaya, karena di sana
mereka tidak kekurangan bahan makanan berupa sagu, ketela pohon, keladi, pisang
dll.
Tantangan Terhadap
Gereja Mentawai
2. Gereja Mentawai
juga menghadapi banyak tantangan yang datang dari luar dirinya antara lain dari
gereja RK, dari agama Islam dan agama Baha’i.
Gereja RK mulai bekerja di sana
sesudah PD II, mereka mendatangkan kesulitan bagi zending HKBP karena “pada
umumnya orang-orang yang sudah Kristen itulah yang diambil oleh RK menjadi
anggotanya”. Gereka RK mempengaruhi warga Kristen ini dengan berbagai cara yang
menarik antara lain, dengan membangun gereja yang besar dan bagus walau di
tempat itu belum ada anggota jemaatnya. Sebelumnya, apabila zending mau
membangun gedung gereja, partisipasi warga gereja dituntut misalnya dalam
bentuk iuran, bantuan gotongroyong mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan
seperti kayu, batu, pasir dll. Agama Islam juga dicoba dimasukkan di tengah-tenagah
masyarakat Mentawai melalu orang-orang Minang yang datang ke sana. Tetapi agama Islam sulit diterima oleh
orang Mentawai karena: “kebiasaan orang Mentawai yang suka makan daging babi”.
Cara-cara sembahyang Islam yang sulit diikuti oleh orang-orang Mentawai itu.
Adat kebiasaan mereka yang banyak bertentangan dengan kebiasaan Islam.
Misalnya, ketika seorang meninggal dunia, bagi orang Islam pakaian orang yang
meninggal itu tidak boleh ikut dikuburkan bersama mayatnya, sedangkan menurut
kebiasaan orang Mentawai semua pakaian orang yang meninggal itu harus ikut dikuburkan, tidak boleh ada yang
tertinggal, karena menurut kepecayaan mereka, roh atau hantu orang yang meninggal itu bisa tertinggal
dalam pakaiannya. Suatu agama yang baru, yang bersifat sinkritisme pernah masuk
ke Mentawai tahun 1953 yang dibawa oleh seorang Dokter asal Iran yang bekerja
untuk pemerintah RI dan ditugaskan di daerah Mentawai, dan ia tinggal di daerah
Muara Siberut. Agama yang diajarkannya disebut sebagai agama Baha’i atau Babisme. Agama ini mulai didirikan
tahun 1843 di Iran
oleh pendirinya yang bernama Mirza Ali Muhammad dari Shiras. Tetapi
karena pengikut agama ini mengadakan pemberontakan (1848), pemerintah Iran membasmi
agama ini dari negeri itu dan sang pendiri yang bergelar “Bab-ed-Din”
yang memperkenalkan diri sebagai Nabi yang dipercayai oleh orang-orang Jahudi,
Kristen dan Islam dihukum mati. Babisme kemudian dilanjutkan oleh pemimpin yang
baru yang bergelar Baha Ullah (nabi utusan Allah). Ia adalah seorang Iran yang bernama Mirza Hussein Ali
dan mengumumkan dirinya sebagai pengganti Bab-ed-Din. Kaum Baha’i mengimani
hidup sederhana, pendidikan umum kesatuan semua agama, perdamaian dunia,
persamaan kaum pria dan kaum wanita. Agama ini meluas ke seluruh dunia pada abad
20, dan berpusat di Willmette – AS. Hingga sekarang, banyak pemeluk agama Baha’i yang sukses di AS dan kaya raya
sehingga mereka dapat membangun sebuah tempat ibadah mereka yang besar dan
berlapis emas di Haifa Israel. Dan kota inilah yang kemudian
dijadikan sebagai pusat agama Baha’i.
Sekitar tahun 1953, agama ini mulai masuk ke Indonesia
dan sempat berkembang di wilayah Jakarta,
Mentawai dan Jawa Timur. Tetapi karena ada segi-segi kegiatan mereka tidak
sesuai dengan kepribadian Indonesia
dan sering melawan hukum yang ada maka
pemerintah Indonesia
melarangnya tahun 1962. Dari sudut ajaran agama ini, dapat dikatakan bersifat
sinkritis. Mereka yakin tidak ada satu pun
agama yang sudah ada sebelumnya, yang bisa memonopoli kebenaran seratus
persen. Mereka menolak pendapat yang mengatakan “agamaku yang paling benar”.
Sebaliknya, mereka percaya tiga agama yakni :Islam, Kristen dan Jahudi” serta
percaya kepada semua nabi yang dikenal oleh ketiga agama itu sejak nabi Musa,
Isa (Yesus Kristus) dan nabi Muhammd SAW. Setelah agama ini dilarang oleh
pemerintah Indonesia, maka
agama ini menjadi hilang dari bumi Indonesia termasuk juga dari daerah
Mentawai.
GKPM Sebagai gereja yang bediri sendiri
3. Tahun 1978, HKBP mengubah status gereja ini dari
gereja sending menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri. Pada waktu itu,
namanya yang lama “Paamian Kristen Protestan Mentawai” (PKPM) diganti
menjadi “Gereja Kristen Protestan Mentawai” (GKPM). Setelah
kemandiriannya itu, maka gereja ini dipimpin langsung oleh putera itu sendiri
dengan Ephorus yang pertama: Pdt. Melki Tatubetet, STh, ia seorang alumni Fakultas theology Universitas
HKBP Nomensen. Tetapi walau gereja ini dikatakan sudah berdiri sendiri, gereja
ini masih bergumul pada soal dana dan sumber daya manusia. Sampai sekarang
gereja ini masih tetap dibanrtu oleh HKBP dan badan-badan gereja lain dari luar
negeri.
SEJARAH
GEREJA BATAK
KARO
PROTESTAN (GBKP)
1. Pendahuluan. Denominasi ini adalah jemaat Kristen
di Sumatera Utara yang bertumbuh bukan sebagai hasil misi PI badan zending RMG
(Jerman), tetapi dihasilkan oleh badan misi zending NZG (Nederland Zending
Genotschaft) Belanda. Latarbelakang masuknya NZG di tanah Karo, sangat
berhubungan dengan dibukannya perusahaan-perusahaan perkebunan (khususnya
tembakau) melalui badan perdagangan (VOC) pemerintah Belanda tahun 1860) daerah
Sumatera bagian Timur. Perusahaan-perusahaan perkenunan ini kemudian semakin
berkembang ketika tahun 1890 perusahaan minyak bumi kemudian ditemukan di
Brandan (Langkat). Hingga tahun 1890, daerah Sumatera bagian Timur (Deli)
penduduknya dominan dihuni oleh suku Melayu (sebagai penduduk asli), suku Jawa
(mereka khusus didatangkan sebagai tenaga kerja di berbagai perkebunan dan
pabrik-pabrik yang didirikan oleh Belanda) dan orang Tionghoa yang datang
untung tujuan perdagangan mereka. Fenomena ini, mempengaruhi berkembangnya
beberapa kota di daerah Sumatera bagian Timur seperti misalnya, Binjai, Medan
dan Tebing Tinggi di mana kehidupan social masyarakat di kota-kota ini tidak lagi
dipengaruhi oleh hubungan daerah seperti halnya di daerah suku yang masih
murni. Daerah pedalaman sebelah Utara Danau Toba yang didiami oleh suku Batak
Karo (masih serumpun dengan Batak Toba) penduduknya secara langsung mendapat
pengaruh kuat dari pendirian perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda ini.
Akhrinya mereka semakin terdesak, dan makin jauh masuk ke pedalaman yang
melaluinya msayarakat Karo sadar terhadap penyerobotan tanah mereka oleh
perusahaan perkebunan Belanda. Awalnya masyarakat Karo sangat tegas menolak
kehadiran perusahaan-perusahaan Belanda ini, dan aksi yang mereka lakukan
menolak perusahaan-perusahaan ini adalah melalui membakar gedung-gedung
perkebunan Belanda.
2. Latarbelakang GBKP sebagai gereja hasil
misi PI NZG. Sejak awalnya, tajamnya penolakan masyarakat Karo terhadap
pendirian perusahaan-perusahaan Belanda di daerah mereka (Sumatera bagian Timur
- daerah Langkat sekarang) merupakan alasan kuat bagi pemerintah kolonial untuk
mendatangkan para misionaris melalui badan misi NZG dari Belanda untuk
“merngkristenkan” masyarakat Karo. Ini dapat dikatakan bahwa inisiatif pertama
pengkristenan Karo, ini diprakarsai oleh perusahaan perkebunan Belanda bukan
badan zending. Akibat gangguan yang dialami oleh perusahaan perkebunan itu, maka
pimpinan perusahaan Belanda meminta NZG mengutus para misonaris kepada orang
Karo dengan satu-satunya harapan agar masyarakat Karo dapat di “jinakkan” atas
peristiwa gangguan itu. Tawaran perusahaan perkebunan itu kepada pihak badan
zending RMG adalah, bahwa mereka akan menanggung semua biaya misi kepada
masyarakat Karo. Awalnya, pimpinan NZG di Belanda tidak menerima permintaan
ini, alasannya misi PI tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan perdagangan
(kapitalisme). Namun, sadar akan rencana pertama yang tertunda oleh pihak NZG
untuk mengabarkan Injil di Karo (karena ketiadaan biaya) maka tawaran ini
dianggap sebagai peluang dan kesempatan baik walau di kemudian hari setelah
perjanjian ini dilaksanakan pihak perusahaan tidak melanjutkan biaya misi NZG itu
karena ketiadaan biaya sebab krisis ekonomi ketika itu. Dengan keadaan seperti
itu, NZG tetap melanjutkan pekerjaan misi di Karo.
3.
Sejak
awal perjanjian ini, misionaris pertama yang di utus ke tanah karo ialah H.
C. Kruyt yang tiba di sana
tanggal 18 April 1890. Tanggal inilah kemudian ditetapkan oleh GBKP sebagai
hari lahir Gereja itu. H.C.Kruyt adalah anak dari J.Kruyt,
seorang penginjil yang pernah bekerja di Majowarno-Jawa Timur dan abang dari A.C.Kruyt
(seorang etnologi ternama) misionaris Ordo Yesuit di Sulawesi Tengah.
Sebelumnya, H.C. Kruyt bekerja sebagi kepala sekolah Guru di Tomohon, Minahasa.
Dari Minahasa dia membawa empat orang guru yang diharapkan akan bisa membantu
dirinya memberitakan Injil tanah Karo. Setibanya di Tanah Karo, mereka kemudian
menetap di Buluh Hawar (dekat Sibolangit), sebab pemerintah Belanda
belum mengijinkan mereka masuk lebih jauh ke daerah yang waktu itu belum
dikuasai oleh Belanda. Tetapi Kruyt bekerja di tanah Karo hanya dua tahun, lalu
ia pulang ke Negeri Belanda. Karena itu yang menjadi tokoh penginjil yang
paling terkenal di tanah Karo bukanlah dirinya, melainkan J.H.Newmann
yang bekerja di daerah itu dari tahun 1900 – 1949, yang oleh orang Karo
menganggap Newmann sebagai rasul mereka.
Setelah H.C.Kruyt pulang, ia diganti oleh Van Wijngaarden (1892),
inilah misionaris pertama yang melakukan pembaptisan pertama di Tanah Karo di
mana peristiwa itu berlangsung tanggal: 20 Agustus 1893, atas 6 orang Karo dan
sampai tahun 1900 tidak lebih dari 25 orang yang di baptis menjadi Kristen.
Baru setelah kedatangan Newmann penginjilan di daerah Karo mengalami
perkembangan yang lebih cepat. Jika
dibandingkan dengan penginjilan yang dilakukan Nommensen di Tapanuli Utara,
hasil yang dicapai di Tanah Karo sangatlah lambat. Pada tahun 1926, jumlah
orang Krsiten yang di baptis di Karo masih 1500 orang, dan setelah 50 tahun
penginjilan itu orang Kristen karo masih berjumlah 5000 orang.
Beberapa factor yang
membuat penginjilan itu kurang maju di sana
ialah:
-
Orang
Karo melihat Zending itu sebagai sahabat perusahaan perkebunan yang mereka
musuhi, karena makin mendesak mereka.
-
Orang
Karo tidak terdesak oleh Islam yang militan seperti halnya di Tanah Batak
bagian Selatan sehingga para misionaris kurang berpacu melakukan penginjilan
itu.
-
Orang-orang
Karo pada waktu itu belum membutuhkan zending sebagai sarana untuk menampung
modernisasi.
-
Orang-orang
karo kurang diberi kesempatan untuk menanggung sendiri karya pekabaran Injil di
daerahnya. Zending memang terus berusaha mendirikan sekolah penginjil agar dari
orang Karo itu ada tenaga yang ikut membantu pekabar-pekabar Injil yang diutus
oleh NZG. Kemudian dari antara mereka tahun 1938 dipilih dua orang untuk di
sekolahkan mengikuti pendidikan kependetaan di Seminari Sipoholon, Tarutung.
Kedua orang itu tammat dan ditahbiskan menjadi pendeta, tahun 1941. jadi sampai
Gereja itu berumur 50 tahunn yakni tahun 1940, belum ada satu orangpun pendeta
Karo ditahbiskan.
Tetapi peranan Zending sangat besar
dalam mendidik masyarakat Karo menyesuaikan diri dengan ekonomi modern dengan
jalan menanam kentang, sayur-sayuran, buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan
kota-kota besar di Sumatera Utara bahkan dikemudian hari hasil tanaman
sayur-sayuran tanah Karo telah ada di ekspor ke luar negeri. Dari sudut inilah diketahui
partisipasi besar misionaris terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
masyarakat Karo hingga sekarang.
4.
Terbentuknya Sinode GBKP yang pertama (1941).
Sinode
“Gereja Batak Karo Protestan” (GBKP) yang pertama dilangsungkan di Sibolangit
tanggal 21 Juli 1941, saat sinode ini berlangsung, mereka menetapkan sebuah
tata Gereja dan tata kebaktian yangbaru dan berlaku bagi Gereja itu. Pada tahun
itu dua orang pendeta Karo yang pertama telah ditahbiskan, yakni Thomas
Sibero dan Palen Sitepu, namun pimpinan gereja masih tetap dipengang utusan
NZG. Masa bergejolaknya PDI, para pendeta Belanda itu ditawan oleh pemerintah
militer Jepang tahun (1942), atas keadaan ini barulah kemandirian Gereja Karo
berlangsung secara penuh. Masa perang kemerdekaan (1945-1949), ini mempengaruhi
terjadinya perjuangan yang sengit khususnya di daerah Karo. Masa keadaan ini
orang Kristen Karo mendapatkan tantangan sengit dari suku Melayu yang
berdekatan langsung dengan mereka. Sebab baik orang Karo yang belum Kristen,
maupun orang Melayu yang eusdah menjadi Islam, mereka menganggap orang-orang
Kristen Karo yang dihasilkan oleh Zending NZG (Belanda) mereka dianggap (juga
oleh pejuang kemerdekaan Indonesia) sebagi kaki tangan Belanda, namun dalam
situasi sulit seperti itu warga jemaat GBKP tetap mampu dan berhasil
mempertahankan dirinya. Perkembangan kekristenan yang lebih pesat di tanah Karo
baru terjadi mulai tahun 1950-an. Pada waktu itu banyak tentara dari suku Karo
yang masuk Kristen. Misalnya tahun 1953, semua anggota satu batalyon TNI masuk
menjadi Kristen. Dalam masa lima
tahun anggota GBKP berlipat empat kali jumlahnya. Pertambahan yang lebih besar
lagi terjadi sejak peristiwa G30SPKI tahun 1965, pada waktu itu banyak orang
Karo belum beragama dan mereka beranggapan bahwa jika tidak memasuki agama
Kristen mereka akan dituduh sebagai komunis. Karena itu secara beramai-ramai
masuklah orang-orang yang masih pelbegu itu menjadi Kristen, yang membuat
sering terjadi pembaptisan massal. Untuk melayani pembaptisan massal itu GBKP terpaksa
meminta beberapa tenaga beberapa pendeta dari HKBP, HKI, GMI, GKPS, dll. Tahun
1965 itu, ketika GBKP berusia 75 tahun, jumlah anggotanya mencapai 35 ribu
orang. Kemudian gerakan penginjilan yang lebih intensif mulai dilakukan oleh
GBKP menjelang tahun 1980, ketika gereja itu sudah beranggotakan 110 ribu
orang. Misalnya tahun 1979, gereja itu
telah menyusun suatu Pengakuan Iman yang memberi patokan iman dan
anjuran bagi warga gereja di GBKP.
PERKEMBANGAN GEREJA METHODIST
INDONESIA DI
SUMATERA UTARA
1.
Pendahuluan. Berbicara mengenai sejarah GMI, perlu diketahui terlebih
dahului mengenai sejarah permulaan dari gereja Methodist itu. Sebagaimana
diketahui bahwa gereja Methodist muncul di Inggris tahun 1738 sebagai hasil
dari gerakan kebangunan rohani yang telah dic etuskan oleh Jhon Wesley. Aliran
Methodisme ditandai oleh tekanan atas kehidupan suci dan displin gereja yang
sangat ketat. Gereja ini kemudian berkembang di Amerika yang dibawakan oleh
kaum imigran Inggris ke Amerika. Dan pada tahun 1784, penganut-penganut gereja
Methodist di Amerika telah memisahkan diri dari gerakan di Inggris, dengan
mendirikan gereja yang tersendiri yang
dipimpin oleh uskup-uskup (episkopal Methodist
Church). Tahun 1818,
gereja ini membentuk sebuah badan penginjilan yang bernama: “Board of Mission and Church Extention of The Methodist Church”
atau “Dewan Pekabaran Injil dan Perluasan Gereja Methodist”. Tahun 1855,
badan penginjilan ini mulai bekerja di Malaka dan Singapura dan dari sana mengembangkan usaha penginjilannya sampai ke Kalimantan, Jawa dan Sumatera. Karena tidak cukup tenaga
dan dana untuk membiayai lapangan penginjilan yang seluas itu, maka tahun 1928
zending Methodist membatasi diri pada pulau Sumatera saja. Di Sumatera pun
zending Methodist dapat menempuh pekerjaan yang intensif hanya di Sumatera
Utara dan di Palembang. Mereka bekerja terutama di kalangan orang Cina yang
tinggal di kota-kota dan orang Batak perantauan. Karya penginjilan di Sumatera
Utara, khususnya di Medan di mulai tahun 1905, yang dirintsi oleh sejumlah
bekas murid sekolah Methodist di Penang yang dipimpin oleh seorang guru tamatan
sekolah Penang itu yang bernama Salomo Pakianathan (orang Tamil). Mereka
mulai mengadakan kebaktian Methodist dan mendirikan sekolah sekolah khususnya
bagi orang-orang Cina yang ada di tempat itu.
2. Perkembangan Selanjutnya Methodist Hingga
Ke Sumatera Utara. Pada tahun 1912, seorang pendeta utusan dari Amerika
tiba di Medan.
Misionaris Methodist inilah yang pertama sekali melakukan perjanjian kerjasama
dengan zending RMG (gereja Batak) untuk melayani sebagian orang-orang Kristen
Batak yang pindah dari Tapanuli ke Sumatera Timur dan yang untuk bekerja di
perkebunan-perkebunan, pegawai pemerintah dan juga membuka lahan-lahan
pertanian yang baru. Tenaga RMG dan pendeta Batak tidak cukup untuk ditempatkan
untuk melayani mereka yang berserak di beberapa tempat, sehingga RMG (gereja
Batak) meminta bantuan dari misionaris Methodist ketika itu. Pelayanan Ini
didanai oleh uskup gereja Methodist dari Singapura dengan mengirimkan beberapa
pendeta dari evangelist Methodist ke daerah Sumatera Timur. Dan untuk
menghindari adanya salah paham dan perselisihan di antara ke dua belah pihak,
maka tahun 1912 ditetapkalah perjajian ini yang isinya terutama menyangkut
pembagian daerah pelayanan: “gereja Methodist diberi kesempatan untuk
melayani di daerah Asahan, Labuhan Batu sampai ke daerah Bengkalis” sedangkan
gereja Batak (pimpinan RMG) akan melayani di daerah Deli Serdang dan Langkat.
Sedangkan daerah Simalungun sudah lebih dulu dilayani oleh misionaris yang
diutus oleh RMG (gereja Batak) dan khususnya mengenai daerah-daerah perkebunan
jika di sana sudah ada pendeta dari Tapanuli, maka kepada orang-orang Kristen
Batak yang ada di sana diberi kebebasan apakah memilih pelayanan Methodist atau
memilih pelayanan pendeta dari Tapanuli itu (gereja Kristen Batak atau HKBP).
3. Tindaklanjut Realisasi Perjanjian Methodist dan RMG
(gereja Batak). Kerjasama antara
gereja Methodist untuk seterusnya berjalan dengan baik, termasuk dalam
pendidikan kependetaan. Gereja Methodist juga menyekolahkan putera-puteranya di
Sekolah Seminari Sipoholon. Tenaga pengejar dari Methodist pun pernah di utus
ke Seminari Sipoholon yakni: Pdt. Klaus. Demikian juga setelah
berdirinya Fakultas theology di Pematangsiantar, gereja Methodist pernah
mengutus tenaga pengajar seperti Rev. Alm dan Rev. H. Parkin. Di
kemudian hari, pernah terjadi perselisihan di antara kedua gereja ini yang
disebabkan oleh pemahaman dan penafsiran yang berbeda mengenai isi perjanjian
yang telah disepakati antara keduanya tahun 1912. Setelah semakin banyak
orang-orang Kristen Tapanuli (warga HKBP) yang pindah ke daerah Asahan dan
mereka tetap menginginkan agar dilayani dan menjadi warga HKBP, maka mereka
mendirikan gereja HKBP di sana
seperti di Tanjung Balai misalnya. Tindakan ini, dianggap oleh gereja Methodist
sebagai pelanggaran terhadap perjanjian yang pernah dimufakati. Karena itu,
gereja Methodist pun akhirnya melanggar kesepakanan itu dengan mendirikan
beberapa gereja Methodist di Tapauli Utara untuk menanmpung warga HKBP yang
sedang bergelak seperti yang pernah terjadi di Sigumpar. Pada mulanya, secara
organisatoris, zending Methodist dan gereja-gereja yang dihasilkannya dibawahi
uskup di Singapura yang merupakan warga negara Amerika Serikat. Pada masa
konfrontasi Indonesia dengan
Malaysia,
hal ini menimbulkan persoalan. Maka pada tahun 1964, dimulailah proses menuju
otonomi yang selesai tahun 1969 dengan pengangkatan seorang warga negara
Indonesia menjadi uskup yang berkedudukan
di Medan. Gereja Methodist Indonesia sesuai dengan pola Methodist terdiri dari
dua “konferensi” (sinode wilayah).
Yakni, konferensi sumatera Utara dan konferensi Sumatera Selatan. Kedua
konferensi ini dipersatukan dalam sinode Am-nya yang disebut sebagai
“konferensi agung”. Konferensi agung inilah yang memilih uskup gereja itu.
4. Penutup. Belakangan ini, gereja Methoist
mengalami perkembangan yang sangat pesat di kalangan orang-orang Tionghoa.
Hingga sekarang, gereja ini sangat aktif dan maju melalui usahaa-usaha
pendidikan mulai dari sekolah taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Di kota Medan
sendiri, gereja in telah memiliki satu Universitas yang cukup besar dan
ternama. Hingga sekarang juga, gereja ini tidak luput dari persoalan-persoalan
yang menimbulkan perpecahan. Tahun 1964, gereja Methodist telah mengalami
perpecahan, yaitu dengan berdirinya sebuah gereja yang memisah yakni: “gereja
Methodist merdeka, yang persoalannya hampir sama dengan persoalan yang
menyebabkan perpecahan GKPI dari HKBP yang juga terjadi tahun 1964.”
BIBIT-BIBIT KONFLIK DALAM GEREJA
BATAK DALAM
SEJARAH
Pendahuluan
1. Dalam pelayanan jemaat, terdapat berbagai
kelompok yang sering menjadi pemicu dan pencetus/penggerak conflik. Mereka
disebut sebagai musuh-musuh dalam jemaat yang kalau tidak ditangani sedemikian
rupa bisa mengakibatkan masalah bahkan konflik yang besar. Mereka sering
melancarkan serangan kepada para pelayan dan kepemimpinan di jemaat dengan
mempergunakan kekuatan dan pengaruh mereka. Tanpa bukti yang jelas dan
substansial, mereka mau menyampaikan tuntutan dan serangan kepada para pelayan.
Musuh-musuh utama ini sering menolak bahkan tidak mau mendengar apa yang masuk
akal. Tujuan utama mereka hanyalah menimbulkan kekacauan. Sebenarnya, tidak
semua konflik itu tidak sehat artinya: ada konflik yang sehat. Sangat alamiah
jika ada perbedaan-perbedaan pendapat tentang pengelolaan jemaat, tentang
tafsiran Alkitab dan lain-lain. Gereja
adalah persekutuan orang berdosa bukan persekutuan orang yang sudah sempurna.
Jika demikian, kehadiran konflik dalam persekutuan yang demikian sangatlah
masuk akal. Namun yang menjadi masalah adalah jika konflik tersebut melumpuhkan
dan merusak pelayanan.
Berhubungan dengan ini, ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan dalam mengatasi konflik, antara lain:
a.
Menciptakan suasana yang kondusif
b. Melakukan klarifikasi persepsi dari
masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik
c. Memfokuskan analisa pada kebutuhan
masing-masing individu dan kebutuhan bersama.
d. Membangun kekuatan yang
positif. Di sini ajaran dan kepercayaan kita orang Kristen dipraktekkan
e. Memandang dan berharap akan
masa depan yang lebih baik dan belajar dari masa lalu
f. Memunculkan beberapa opsi
atau alternatif pemecahan maalah
g. Mengembangkan
tindakan-tindakan yang dapat dilakukan
h. Melihat dan memformulasikan
kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan semua pihak. Untuk sampai ke tahap
ini harus disepakati juga bahwa masing-masing pihak harus mau dan mampu
mengalah.
2.
Dalam hubungannya dengan tema ini, ada lima
hal keadaan yang menjadi pokok perhatian, jika hendak ditelusuri sejarah
perjalanan gereja Batak saat jatuh bangun akibat konflik yang terjadi di dalam
dirinya, yakni:
a.
Bibit-bibit konflik sudah bersemi sejak berdirinya jemaat di kalangan
orang Batak, yakni sejak tahun 1860-an pada jaman zending RMG. Hal ini terjadi
karena gereja Batak lahir dan bertumbuh di atas realitas hidup orang Batak,
bukan di atas tanah yang kosong (hampa).
b.
Para pelayan jemaat-terutama para
pelayan penuh waktu, yakni: pendeta, guru huria, bibelvrouw, diakones,
evangelist, dan sintua tidak pernah luput dari bahaya konflik yang terjadi di
tengah-tengah kehidupan mereka sebagai komunitas kristiani.
c.
Beberapa hal dapat dianggap sebagai titik-titik rawan dari berbagai
konflik itu.
i. Apa yang harus kita lakukan
agar gereja Batak (HKBP) dapat keluar dari konflik itu. Jalan terbaik bukanlah
mencari siapa yang menang dan kalah
tetapi supaya semangat saling memaafkan dan bersama mencari solusi “sama-sama
menang” (win win solution) saat muncul konflik itu.
j. Bagaimana kita melihat diri
kita sebagai pelayan yang punya power (sederhananya: kuasa) dari segi
teologis-pastoral ?
Beberapa segi inilah yang merupakan
lingkaran pemikiran (pelayan HKBP sekarang secara umum) yang perlu dijalani secara
spritual saat ini.
Bibit-Bibit Konflik Dalam
Organisasi Gereja Batak
Dan Warga Jemaat Sejak Awal
3.
Terdapat berbagai bibit konflik di dalam organisasi dan warga jemaat.
Sehubungan dengan kehadiran para tokoh misionaris di tengah-tengah masyarakat
Batak, di sekitar para calon baptisan muncul rasa cemburu satu sama lain.
Mereka mencari posisi siapa yang terdekat pada sang misionaris, contoh klasik
tentang hal ini adalah: dari masa I.L. Nomensen di Silindung adalah
persaingan antara Raja Pontas Lumbamntobing dan Raja Amandari
Lumbantobing. Bibit konflik juga muncul ketika tokoh misionaris mencari,
memilih dan menggunakan sebidang tanah untuk dijadikan pertapakan pargodungan,
pendidikan, kesehatan atau bidang diakoni sosial. Hal ini menyangkut masalah
asset jemaat/gereja. Dalam beberapa kasus, ada semacam perjanjian bahwa lahan
itu bisa dipakai atau dimiliki oleh
badan zending sejauh dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan zending tetapi
ada juga yang tanpa perjanjian, artinya sepenuhnya dihibahkan kepada zending.
Ketika zending RMG harus keluar dari Hindia Belanda (Indonesia) terjadilah kemelut yang
mengakibatkan banyaknya asset zending yang pindah tangan bukan kepada HKBP
tetapi kepada orang atau kelompok yang mengambilnya. Sampai saat ini HKBP masih
harus sibuk menyelesaikannya melalui jalur hukum dan jalur menang-menang
(berbagai cara). Seiring dengan perkembangan waktu, jemaat itupun mempunyai
satu pedoman hidup kristiani yang tertuang dalam apa yang dikenal dengan ruhut
paminsongon (yang kemudian diperbaharui menjadi RPP: Ruhut Parmahanion
dohot Paminsangon). Dalam menjalankannya, selalu muncul pro dan kontra
karena di antara mereka ada yang merasa bahwa keputusan itu tidak benar/tidak
adil, pilih kasih dan lain-lain. Apa benar tidak adil ? Kalau benar bagaimana
memperbaikinya ? Kalau tidak benar, bagaimana cara untuk memberi penjelasan
sehingga kesalahpahaman dapat terselesaikan ?
Bibit konflik yang lain, muncul karena dipicu oleh konflik social di
luar jemaat. Seiring waktu konflik eksternal itu merasuki kehidupan jemaat
sehingga menjadi konflik internal jemaat. Munculnya tokoh yang mengajak warga
jemaat memisahkan diri dari zending RMG juga melahirkan konflik. Kasus Sutan
Malu Panggabean misalnya muncul di Pematangsiantar yang melahirkan Huria
Chisten Batak (HChB yang kemudian menjadi HKI). Ajakan pemisahan dari
tokoh-tokoh lain melahirkan Mission Batak di Medan dan Punguan Kristen Batak
(PKB di Jakarta). Sementara tokoh-tokoh Simalungun juga melakukan gerakan
serupa karena masalah pemakaian bahasa Simalungun untuk warga asal Simalungun
di Jemaat Pematangsiantar, Kampung Kristen dan lain-lain. Pemikiran dan
pemahaman baru tentang peranan gereja/zending dalam gerakan kebangsaan tahun
1917 juga melahirkan organisasi baru. Tokoh Kristen Batak yang harus dicatat di
sini adalah Hesekiel Manullang yang melahirkan Hatopan Kristen Batak
(HKB). Pdt. Herkules Marbun dan kawan-kawan muncul dengan semangat
keandirian dengan menuntut tempat pelayanan bagi pribumi di bidang
kepemimpinan, hal ini terjadi tahun 1920-an. Kemunculan yayasan pengelola
pendidikan di kalangan warga jemaat juga memicu konflik. Tahun 1930-an misalnya
muncul kasus Nomensen Shcoolvereeniging (Yayasan Sekolah Nomensen
di Sigompulon Tarutung). Konflik yang sering muncul adalah konflik kepemimpinan
Synodal (Hatopan). Konflik ini berlangsung sejak tahun 1960-an hingga tahun
1990-an. Akibatnya, tahun 1960-an, muncul perpecahan gereja yang melahirkan GKPI.
Perpecahan di kalangan pelayan penuh waktu terjadi tahun 1970-an. Sementara
konflik tahun 1990-an mengakibatkan korban banyak materi dan juga korban jiwa.
Bibit
Konflik Dalam Kehidupan Pelayan
4. Beberapa titik rawan dalam kehidupan pelayan
adalah:
a.
Mutasi: sikap tidak menerima karena berbagai alasan
b.
Kompleks pargodungan: Konflik di antara anggota keluarga (sang isteri, anak-anak, bahkan kerabat).
c. Pembaian tugas antara
pendeta resort dengan pelayan lainnya: hal ini biasanya melahirkan konflik
antara pendeta resort dengan pendeta diperbantukan, guru huria, bibelvrouw,
diakones dan sintua
d. Hamauliateon (uang ucapan
syukur): Ucapan syukur dalam bentuk uang yang diberikan warga jemaat dan
biasanya dicatat dalam warta jemaat mingguan menjadi titik rawan munculnya
konflik karena pembagiannya bisa menimbulkan masalah.
e. Penatalayanan
harta/uang/administrasi gereja; hal ini juga menjadi titik rawan konflik
petugas tertentu, biasanya mengelola aset gereja, misalnya bendahara
huria/resort, petugas keuangan dalam berbagai bidang, lembaga atau kepanitiaan,
misalnya dalam pembangunan gedung gereja atau rumah inventaris gereja (jabu
huria, jabu resort).
f. Pengambilan keputusan dalam
rapat jemaat/rapat resort
g. Hubungan dengan pemerintah
(pilkada tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten, juga partai politik). Titik
rawan ini juga menyangkut masalah-masalah social yang menyangkut ketidakadilan,
korupsi, HAM, judi/togel (dulu), lingkungan hidup, adat/kebudayaan dan
lain-lain. Contoh kasusnya adalah Indorayon (kini PT. TPL–Toba Pulp Lestari).
h. Geraka sectarian dan
kharismatik.
i. Gerakan-gerakan yang berbau
sara, fundamentalisme, kekerasan fisik, fsikologis, ideologis dan teologis. Hal
ini menyangkut juga kehidupan antar umat
beragama.
j. Pemilihan pimpinan gereja
dalam tingkat Synodal (hatopan).
Ambiguitas
(Sikap Menduahati/Dualisme) Kekuasaan/Power Pelayan Gereja
5. Secara teoritis setiap pelayan memiliki tiga
corak power/kekuasaan di dalam jemaat, yakni:
a.
Kekuasaan yang mendominasi karena keahliannya dari segi pendidikan atau
materi yang diraih. Contoh: Daud ketika masih junior….!
b.
Kekuasaan kharismatis yang ada di dalam diri sendiri. Contoh: Goliat
…!
e. Kekuasan karena keahlian
mempengaruhi orang lain. Contoh: Delila (negatif), (contoh
Positif: Paulus, I.L. Nomensen), dan lain-lain …!
Ketiga kekuasaan ini bisa menumpuk dalam
diri seseorang pelayan, bisa hanya satu atau dua. Sebagai seorang pemimpin,
seorang pelayan dapat berperan sebagai penguasa dari atas (bos), bisa sebagai
kepala keluarga (orangtua) dan biasa sebagai birokrat mewakili sebuah pranata,
lembaga atau institusi. Artinya, power itu bisa tampak dalam ketiga penampilan
itu. Sebagai pemimpin, pelayan dapat mempergunakannya untuk mencapai berkat
bagi pranata yang dia pimpin tetapi bisa menjadi bencana bahkan kutukan bagi
pranata yang dilayani. Masalahnya,
bagaimana menyikapi ambiguitas power pelayan ini, dia dapat menjadi berkat
kalau digunakan untuk mencari apa yang dibutuhkan oleh pranata (jemaat/gereja)
tetaspi sebaliknya akan menjadi bencana kalau dipakai untuk kepentingan pribadi
(kelompok). Sebagai pemimpin, seorang pelayan diberi kebebasan untuk apa ia
menggunakan power yang ada di dalam dirinya. Jika punya kuasa sebagai atasan
terhadap bawahan, kekuasan itu bisa digunakan sebagai alat yang menjalin hubungan alamiah yang baik seperti
hubungan ayah-anak, pelayan jauga bisa
mengandalkan kuasa birokratis yang tersedia dalam struktur atau system
organisasi yang tersedia. Ketiga macam bentuk itu, bisa dipakai menjadi
kebaikan, tetapi bisa juga menjadi bencana. Seorang pelayan harus siap memilih
yang terbaik untuk jemaat/gereja jika benar-benar ia seorang pelayan yang
melayani dan bukan pelayan yang menguasai, mendominasi bahkan meneror orang
yang kebetulan adalah “bawahan”. Kalau pelayan ingin dan komit memakai power
itu untuk menjadi berkat bagi warga jemaat/gereja, maka ia akan selalu bersikap
arif dan bijaksana dalam mengelola konflik yang terjadi dalam jemaat yang
dipimpin dengan solusi “sama sama menang”. Sebagai teolog pelayan dapat membenarkan sikap
otoriternya dengan mengambil gambar Allah yang
pemarah, hakim, tuan. Contohnya banyak bisa ditemukan dalam
cerita-cerita PL. Kalau pelayan cenderung bersikap kebapaan, keibuan dalam
kepemimpinan hendaknya seorang pelayan dapat mengambil gambar Allah sebagai
Bapak atau Ibu. Contohnya juga banyak dalam cerita-cerita PB. Kalau ingin
bersikap sebagai juru damai, mediator di antara orang yang bertikai di tengah
jemaat gerejawi yang dipimpin, lihatlah Tuhan Allah dalam diri Yesus Kristus
yang telah mengosongkan dirinya itu (kenosis: lih. Fil. 2:5-11).
Allah itu adalah penguasa, Tuhan, hakim, yang telah mengosongkan keilahian
diriNya supaya menjadi manusia di tengah-tengah manusia yang bertikai itu. Dia
menjadi hamba, pelayan, orang hukuman. Inilah gambaran yang paling mulia dan
paling khas tentang bagaimana Allah menggunakan Power yang di atas para bawahan.
Gambaran Allah yang ber-kenosis itu, sangat berlawanan dengan gambaran
para penguasa dunia ini yang memakai power itu menjadi sumber segala macam
perang, tirani atau birokrasi yang korup.
Makna yang sering digunakan seperti empowerment (pemberdayaan/menyemangati),
sebenarnya ungkapan ini menyimpan makna dari gambaran Tuhan Allah yang ber-kenosis sekalipun hal itu
tidak memperlihatkan semua arti sesungguhnya kenosis itu. Alasannya,
kalau kita menerima power-kuasa dari Tuhan Allah maka kita diberdayakan dan
disanggupkan olehNya, sekaligus Allah meminta atau menuntut sesuatu dari kita.
Kita dipanggil menjadi muridNya, menjadi pengikutNya untuk menjalani proses kenosis
dalam perjalanan hidup leyanan kita itu. Dalam hal ini kita harus menjaga
diri supaya jangan mengambil tempat Tuhan Allah dan Yesus Kristus. Jangan kita
mengangkat diri menjadi seperti Tuhan Allah, atau menjadi ilah-ilah yang harus
dipuja-dipuji oleh para jemaat. Melalui istilah pemberdayaan (empowerment)
ini, kita diingatkan supaya melihat Tuhan Yesus yang menderita. Allah yang
menderita tampak dalam peristiwa penyaliban, peristiwa penyaliban yang
mempertontonkan titik nadir dari power/kuasa yang sudah korup, baik di kalangan
pemimpin Jahudi maupun di kalangan pemimpin sekuler yang diwakili oleh para
petinggi kekaisaran Romawi. Entah itu kaisar Agustus atau pun petinggi di
Palestina yang bernama Herodes atau Filatus. Di tengah kekacauan itulah terjadi
peristiwa penyaliban Tuhan Yesus Kristus yang menggunakan Power yang ada
padaNya untuk tidak bersekongkol dengan power/kuasa yang disalahgunakan oleh
para penguasa tersebut di atas. Tuhan Allah solider dengan orang-orang yang
menderita atas penindasan dan ketidak adilan dari mereka yang telah
menyalahgunakan power atau kuasa yang mereka raih. Tuhan Allah ikut menderita
di tengah-tengah manusia yang menderita itu. Apa artinya ini, di dalam hal
mengelola konflik di dalam jemaat/gereja ? Sebagai pemegang kuasa, pelayan
jangan ikut-ikutan menyalibkan Yesus ketika terjadi konflik di tengah pelayanan
kelak. Ikutlah jejak Yesus yang rela menahan penyalahgunaan power/kuasa itu
demi pepentingan pribadi dan kelompok. Konflik dalam jemaat tidak sama makna
dan artinya dengan konflik yang terjadi di dalam masyarakat atau negara, karena
jemaat atau gereja adalah rumah Allah. Sepatutnyalah keluarga Allah harus
seiring dengan teladan Yesus Kristus, bukan sebaliknya. Tugas dan tanggungjawab
kita sangatlah mulia dan agung, karena sebagai pelayan kita berada pada jalan
menuju perdamaian (rekonsiliasi) yang dari Tuhan Allah.
Dua
Kepentingan: Pranata (jemaat/gereja) dan Manusia
6.
Secara teoritis sebagai pemimpin, pelayan harus menggumuli masalah bagaimana
cara memuaskan kebutuhan lembaga pelayanan tanpa membahayakan citraanya sebagai
mana murid Yesus Kristus. Ingatlah apa yang dituntut oleh Yesus dari muridNya,
yaitu ikut ber-kenosis sangat menggunakan power/kuasa itu di tengah
konflik yang mengarah pada penyalahgunaan power/kuasa itu. Anda punya pengikut
yang anda raih karena keunggulan anda mempengaruhi mereka untuk tujuan yang
benar dan baik/kebutuhan pelayanan. Anda juga dipengaruhi oleh mereka yang
punya berbagai kepentingan dan kebutuhan. Anda mungkin sudah pernah merasa
terjepit dalam dua kepentingan, yaitu kepentingan jemaat/gereja dan kepentingan pribadi-pribadi
anggota jemaat yang mengikut anda. Apakah anda sudah merasakan bahwa dalam
ketergantungan sedemikian rupa itu, kehidupan anda dan mereka yang anda pimpin
itu diuji supaya sama-sama bertumbuh secara rohani dan spritual ? Inilah
tandanya anda sebagai pemimpin (gembala) yang mengasihi. Anda pasti
merasakan bahwa jemaat mempunyai
struktur atau system yang kadang-kadang lebih kaku, lebih lamban daripada anda
sendiri sebagai manusia. Kita merasakan juga bahwa kita terjepit antara
kebutuhan kita/keluarga sendiri dan tuntutan institusional dari jemaat.
Kenaliah situasi jemaat di mana anda menggunakan power (kuasa) melayani. Karena
terdapat jemaat/gereja yang baik maupun yang buruk seperti ada pemimpin yang
baik dan ada pemimpin yang jahat/jelek. Dan tidak semuanya pemimpin itu adalah
gembala. Jangan heran kalau anda pernah merasakan tekanan jemaat atau tekanan
system sebagai “gejala kejahatan” seperti pernah diingatkan oleh oleh para ahli
sejarah dalam gereja. Artinya, kita harus sampai pada suatu arah pemahaman bahwa
ketika kita merasakan tekanan jemaat (system) sebagai tekanan seseorang yang
berada di atas kita maka pada saat itu kita mengalami bahwa power/kuasa yang
tersimpan dalam system/struktur tersebut dirasakan menindas kita. Artinya,
system yang berlaku tidak luput dari kejahatan atau kecurangan. Dengan kata
lain sesungguhnya yang pertama kali dirasuki oleh kejahatan itu adalah
jemaat/gereja lalu pindah kepada individu-individu yang berada pada lembaga
itu. Dalam proses demikian tidak mustahil pula bahwa kejahatan lembaga itu
dapat mengubah gembala menjadi dictator atau tiran yang dikuasai oleh gairah
kejahatan dan keserakahan. Gereja sebagai satu lembaga pranata di dunia ini
juga tidak luput dari bahaya ini bahkan sering menjadi sasaran kejahatan system
atau pranata. Dari pengalaman banyak orang pelayan di HKBP, dapat ditambahkan
bahwa para pelayan ke depan harus sadar, “sebaik apapun struktur jemaat
gereja, kalau perilaku pelayan/budaya berorganisasi HKBP korupt/jahat maka
hasilnya akan membawa bencana bahkan kehancuran pada gereja HKBP”. Artinya,
yang paling penting adalah mempersiapkan diri agar mampau berorganisasi secara
sehat dan bukan secara sakit. Intinya, konflik yang terjadi sesaat atau
berkepanjangan dalam sejarah HKBP menandakan bahwa alangkah lemahnya dan
rapuhnya budaya berorganisasi gereja HKBP. Seolah-olah setiap pribadi
pendetalah yang menjadi biang masalah, seolah-olah segala sesuatunya terletak
dalam pikiran dan keputusan pribadi pendeta sehingga tidak perlu lagi membaca
dan memberlakukan aturan/pedoman kerja yang berlaku. Sikap korupt yang seperti
inilah bibit konflik yang paling mudah muncul dalam jemaat HKBP sepanjang
sejarahnya.
Penutup:
Sebagai mediator
7.
Teoritis pelayanan yang menghadapi dua kelompok yang berseteru dalam jemaat,
akan melihat hadirnya dua power/kuasa yang saling beradu tenaga
untuk mencapai kemenangan sepihak. Pertanyaan yang muncul adalah: apa yang
kemudian membuat konflik ini dapat bersifat kristiani dan konstrukltif/membangun ? Jawabannya adalah:
“sikap yang mampu mengendalikan diri, kedua belah pihak yang berkonflik harus
mau saling mendengarkan dengan penuh hormat”. Mereka yang bertikai ingin
memahami dan menghargai kepentingan yang berbeda-beda. Mereka akhirnya
memperoleh perspektif-perspektif baru yang menjadi modal dasar untuk
mengembangkan solusi sama-sama menang (win-win solution). Penting juga,
bahwa menyikapi konflik sebagai pergumulan kekuasaan atas berbagai perbedaan:
informasi atau keyakinan yang berbeda, kepentingan, keinginan atau nilai-nilai
yang berbeda, kemampuan yang berbeda
dalam memperoleh sumber-sumber yang dibutuhkan. Kelompok-kelompok yang bertikai
itu sama-sama menggunakan power/kuasa. “Mereka menggunakan kekuasaan mereka
baik untuk saling menaklukkan (pertarungan
curang) atau untuk saling bekerjasama (pertarungan secara jujur)”. Sebagai
mediator, kita mengharapkan dan mengarahkan mereka supaya melakukan
“pertarungan jujur untuk mencapai solusi-sama sama menang-melalui
cara mediasi, tak perlu membawanya ke depan pengadilan negara. Mereka yang sudah
menemukan jalan menuju pertarungan yang jujur itu, pasti didasarkan pada iman
kristiani artinya kalau mereka yang bertikai itu berangkat dari dasar iman yang
sama maka mereka menyadari keterbatasan diri mereka sehingga tidak
mengklaim diri sebagai yang terbaik, paling benar, paling penting, dan
lain-lain. Mereka melihat bahwa pertikaian mereka bukan melulu/sekedar
menyangkut masalah perbedaan keyakinan, tetapi lebih dari itu yaitu: menjadi
masalah pengungkapan iman mereka. Mereka melihat secara bersama visi kristiani
tentang Syalom (perdamaian) Allah yang mencakup kasih, keadilan, penebusan,
pembebasan, kebenaran dan belaskasih Allah. Untuk itulah mereka dipanggil oleh
Tuhan Allah dan sekaligus punya tugas untuk menyampaikan Syalom Allah itu
kepada sesama dan lingkungan hidup.
VISI DAN MISI HKBP
1. Visi
dan Misi HKBP sebagai upaya
untuk
mempertahankan identitasnya.
Gereja-gereja Protestan di
Indonesia sebagian besar merupakan produk (berdiri sebagai hasil) dari
penginjilan badan-badan PI (Pekabaran Injil) yang datang dari Eropa. Misalnya
badan misi RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) yang mengutus Ludwig
Ingwer Nommensen (1834-1918), dan kemudian bekerja di tanah Batak.[69]
Strategi dan metode kerja Nommensen sangat luar biasa untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat Batak baik dari segi iman maupun kehidupan sosial orang Batak.
Para missionaris dari semula telah memberikan
sumbangan besar terhadap kesehatan, pendidikan (mendirikan sekolah), menebus
budak, memperkenalkan cara bercocok tanam yang baru, meminjamkan uang dengan
bunga rendah. Semua upaya ini dilakukan tidak hanya agar orang yang bukan
Kristen tertarik olehnya pada injil, lebih dari itu supaya orang yang sudah
menerima Injil dapat hidup dalam suasana yang sesuai dengan Kabar Kesukaan itu.
Para missionaris di tanah Batak
juga berusaha memberi makna baru terhadap adat Batak melalui Firman Tuhan
dengan upaya menyusun suatu: “hukum adat Kristen” yang lengkap.[70]
Para missionaris juga mempersiapkan dan
memampukan jemaat (gereja) supaya mandiri dan tidak selamanya berada di dalam
asuhan lembaga misi PI Eropa. Para pendeta
pribumi dipersiapkan agar kelak menajadi pemimpin gereja sekaligus menjauhkan
gereja dari unsur kepercayaan tradisional Batak yang bertentangan dengan Firman
Tuhan (hasipelebeguon). Namun demikian, cita-cita misi belumlah berjalan
dan berhasil sebagaimana diharapkan. Masih banyak unsur-unsur tradisi lama
(adat) kuat terpatri dalam kehidupan jemaat, sementara hal itu bertentangan
dengan Firman Tuhan. dari kondisi ini, perjalanan sejarah gereja nyata sangat
sulit dilepaskan dari bingkai perjumpaan Adat dan Injil di tanah Batak. Bahkan
perjalanan gereja HKBP dalam sejarah erat berkaitan dengan perjalanan suku
Batak sebagai konteks dominan jemaat HKBP. HKBP sebagai gereja yang menggunakan
kata “Batak” sebagai identitas dirinya, nyata selanjutnya bahwa HKBP sangat
terikat (cukup kental) dengan unsur-unsur budaya Batak dan memang hal itu tidak
dapat dipisahkan.
Etnisitas adalah nyata
sebagai kodrat manusia yang diciptakan Tuhan dengan suku yang berbeda-beda.
Terdapat banyak suku (etnis) dan budaya yang berbeda namun dipersatukan Allah
dalam satu negara kesatuan Republik Indonesia. Berhubungan dengan ini,
gereja bertanggungjawab untuk mengkampanyekan keberagaman etnisitas dalam
bingkai tanggungjawab baru yang terus diperbaharui agar di dalam masyarakat
secara terus-menerus dapat tercipta sikap yang terbuka kepada keberadaan orang
lain, tanpa mengurangi keunikan dan identitas budaya sendiri.
Banyak cap dan stempel
negatif dikesankan oleh gereja-gereja yang tampak sebagai gereja suku terkesan
sangat eksklusif, tertutup serta mengasingkan diri. Prinsip dan sikap eksklusif
inilah yang digunakan sebagai tembok penghalang untuk mempertahankan identitas
dan kesiapannya. Namun apakah karena budaya dan penanaman tersebut, seperti
halnya HKBP tidak terbuka atau inklusif dalam masyarakat majemuk. Bahkan bisa
saja latar belakang eksklusifisme itu bukan dalam kerangka suku bangsa yang
melatar belakanginya, tetapi lebih kepada pekabaran Injil yang melatar belakanginya.
Gomar Gultom, menjelaskan bahwa tidak lah mengherankan kalau HKBP selama ini
sangat eksklusif, karena ini merupakan akibat logis dari kesetiaan kepada para
“bapa-bapa rohani” yang meletakkan “dasar-dasar beriman” warga gereja-gereja
Batak, yakni para missionar yang memang memiliki pemahaman yang eksklusif.[71]
Identitas merupakan hal
yang tidak terlepas dari budaya masyarakat. Dengan adanya identitas suatu
masyarakat, hal itulah yang membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lain.
Pada umumnya orang menilai budaya sendiri lebih sempurna dari budaya lain
bahkan tidak tertutup kemungkinan terhadap pemujaan budaya sendiri. Pemujaan
terhadap budaya sendiri mempengaruhi sikap negatif terhadap budaya lain.
Ancaman yang paling berat dari pemahaman ini adalah bahwa orang (budaya) lain
merupakan musuh yang harus ditaklukkan. Atau paling tidak anti tehadap orang
lain.[72]
Sikap yang anti terhadap orang lain merupakan sikap yang tidak relevan dalam
suatu masyarakat atau suatu bangsa pada masa sekarang ini. Bila hal ini masih
melekat pada dunia masa kini maka akan terjadi pengucilan dan perpecahan dalam
masyarakat. Demikian juga halnya dengan gereja HKBP sebagai salah satu gereja
suku yang terbesar di Indonesia.
HKBP harus mampu mempertahankan identitasnya dengan melihat kenyataan
sekitarnya. Artinya HKBP bukanlah mempertahankan identitasnya dengan cara
merugikan orang lain, atau bahkan menganggap gereja atau agama lain adalah
musuh yang harus dilenyapkan. Tetapi bagaimana HKBP berdiri teguh di tengah
masyarakat plural tanpa kehilangan identitas yang sebenarnya.
Dalam upaya mengatasi hal
inilah maka HKBP berusaha keluar dari tuduhan-tuduhan negatif terhadap gereja
suku seperti di atas. HKBP yang walaupun salah satu gereja suku terbesar di Indonesia,
HKBP tidak menganut paham eksklusivisme tersebut. Di samping penetapan visi dan
misinya sebagai gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka, (bnd. Aturan dan
Peraturan HKBP tahun 2002) sangat ditekankan bahwa:
“goar, inganan dohot
parjongjongna (Ponggol
Paduahon, bindu 2.2) tertulis: “Huria Kristen Batak Protestan i ma pardomuan
ni halak Kristen sian sude marga dohot houm ni bangso Indonesia, dohot nasa bangso di
sandok portibi on, na tardidi tu bagasan goar ni Debata Ama, Anak dohot Tondi
Parbadia. Sada hapataran ni pamatang ni Kristus do HKBP, namanghamham na porsea
na marpanindangion di sandok portibi on”. (Huria Kristen Batak Protestan
adalah persekutuan orang Kristen dari segala suku dan golongan bangsa Indonesia
dan segala bangsa di seluruh dunia yang dibaptis ke dalam nama Allah Bapa,
Anak, dan Roh Kudus. HKBP adalah satu wujud nyata tubuh Kristus yang mencakup
segenap orang percaya dan bersaksi di seluruh dunia).[73]
Dari uraian ini, jelaslah
bahwa identitas HKBP adalah gereja yang terbuka, universal (am) dan inklusif.
2. Visi
dan Misi HKBP sebagai upaya dalam
menyikapi
perkembangan zaman.
Manusia sekarang sedang
terlibat dalam suatu proses yang tidak terelakkan, yaitu proses globalisasi.
Walaupun proses itu bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru dalam sejarah umat
manusia, namun karena pengaruh informasi dan intensitasnya yang sedemikian
rupa, maka proses ini menjadi makin cepat. Dunia sungguh-sungguh menjadi satu
dengan berbagai akibatnya, baik yang positif maupun yang negatif.[74]
Globalisasi telah menempatkan gereja pada suasana keterbukaan yang luar biasa
dengan berbagai dampaknya. Di satu pihak tentu hal ini baik, karena dengan itu
gereja-gereja pun makin dibebaskan dari keterisolasiannya secara fisik dan
teologis. Tetapi di pihak lain, gereja-gereja seperti halnya masyarakat akan
bertemu dengan nilai-nilai baru yang mungkin belum pernah dipikirkan
sebelumnya. Sebagai contoh, dalam pola kehidupan rumah tangga yang berubah
sebagai akibat dari keterbukaan itu, sehingga seseorang harus memulai
membiasakan diri dan menerima pola “bapa rumah tangga”, dan bukan “ibu rumah
tangga”. Bagaimana menangani kemungkinan ini, apalagi kalau dikonfrontasikan
dengan kecenderungan Alkitab yang memandang suami sebagai: “kepala rumah
tangga”.[75]
Dalam keadaan demikian,
bagaimana gereja bersikap terhadap hal ini. Bagaimana gereja-gereja menangani
kemajuan teknologi informasi yang begitu cepat yang dalam sekejap mata dapat
mengakses berita dari dalam maupun luar negeri? Bagaimana gereja-gereja dapat
mengatasi dampaknya, misalnya dengan sistem ini segala bentuk kerahasiaan
hampir-hampir tidak dimungkinkan lagi. Atau yang lebih parah jika jemaat tidak
mau lagi datang bersekutu ke gereja karena di berbagai saluran televisi sudah
menyajikan acara-acara ibadah yang siap sedia mereka nikmati?
Manusia tidak memilih dunia
atau konteks di mana ia hidup, bekerja dan melayani setiap saat. Konteks selalu
berobah-obah dan panggilan pelayanan selalu ditantang, diperhadapkan dan
dibentuk oleh keadaan sosial-ekonomi, politik, dan kekuatan budaya pada waktu
tertentu. Dengan demikian konteks hidup tersebut mempengaruhi juga kepada
pengertian akan Allah dan pengungkapan iman. Sekarang ini banyak
pemikiran-pemikiran yang memunculkan pemahaman baru dalam hubungannya dengan
masalah sosial. Misalnya masalah gender (kesetaraan perempuan dan laki-laki)
dan masalah kekerasan terhadap anak-anak. Tidak lupa bahwa pendidikan juga
merupakan masalah konkrit yang marak dewasa ini. Apa yang terjadi sekarang
adalah tidak adanya satu hari pun dapat terlewatkan tanpa kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak, persoalan-persoalan perempuan dan anak-anak sering
disepelekan.[76]
Perempuan selalu dinomor-duakan di dalam rumah tangga seperti yang terjadi pada
keluarga orang Batak dulu. Inilah fenomena yang harus disikapi oleh gereja.
Bagaimana gereja hidup dan berada di tengah-tengah dunia yang penuh dengan
kekerasan. Sudah seharusnya gereja berpartisipasi dalam mengatasi kekerasan
tanpa kekerasan. Atau setidaknya gereja berperan mengurangi kekerasan tersebut.
Gereja ikut serta dalam perjuangan untuk mempertahankan hak-hak asasi manusia.
Di tengah perkembangan yang
seperti inilah gereja-gereja di Indonesia hidup dan melayani. Maka salah satu
topik penting yang sangat hangat dibicarakan dan didiskusikan akhir-akhir ini
adalah mengenai kehadiran dan peran gereja di tengah kepelbagaian agama,
khususnya dalam konteks Indonesia.
Perlu disadari bahwa keberadaan dan kehadiran suatu agama tidak terlepas dari
keberadaan dan kehadiran agama lain. Kepelbagaian itu disadari sebagai hasil
atau produk dari globalisasi tersebut. Arus globalisasi menimbulkan perubahan
yang sangat cepat, bukan lagi hanya dalam lingkup budaya masyarakat tetapi
lebih jauh kepada perkembangan agama-agama. Pergeseran dan perpindahan nilai
dan tatanan hidup pun mulai terjadi. masyarakat yang dulunya hidup secara
homogen, akhirnya berobah menjadi masyarakat yang heterogen. Masyarakat agama
yang dulunya mengenal tolok ukur nilai-nilai moral dan spiritual berdasarkan
doktrin agamanya, akhirnya mengenal nilai-nilai dan kebenaran lain dari
berbagai agama, aliran kepercayaan, faham dan ideologi yang hidup dan
berkembang di sekitar kehidupannya.
Realitas dari kondisi
kehidupan yang serba majemuk dan pluralistis tersebut turut mempengaruhi gereja
dan kehidupan orang Kristen masa kini. Sebab pada kenyataannya, di mana gereja
dan orang Kristen berada, di situ ia hidup berdampingan, bersentuhan dan
berhubungan dengan agama dan penganut agama lain. Dengan demikian, gereja dan
orang Kristen sudah harus memberi perhatian tentang bagaimana hidup ditengah-tengah
kepelbagaian agama. Pada satu pihak, gereja harus memberikan dasar-dasar
teologis-dogmatis tentang paham dan sikapnya terhadap agama dan penganut agama
lain. Sedangkan pada pihak lain, gereja harus dapat memahami dan mengerti
tentang keberadaan, dasar-dasar kehidupan penganut agama lain, dan sedapat
mungkin mengenal ajaran agamanya. Atas dasar itulah gereja dan orang Kristen
dapat mengambil sikap praksis, bagaimana hidup bersekutu, melayani dan bersaksi
di tengah-tengah kepelbagaian agama dan penganut agama lain. Melalui pemahaman
dan pengenalan itulah gereja melakukan tugas dan panggilannya, sebagai garam
dan terang dunia, di tengah-tengah kehidupan yang berdampingan, bersentuhan dan
berhubungan dengan agama dan penganut agama lain.
Gereja HKBP sebagai salah
satu gereja yang berpijak di Indonesia,
diperhadapkan dengan situasi ini. Secara sosiologis, HKBP dirangkul oleh satu
etnis, yakni suku Batak. Sebagai gereja suku, HKBP akhirnya akan sering
dikritik dan disalah mengerti sebagai gereja yang tertutup atau gereja yang
eksklusif. Padahal Indonesia
adalah negara pluralistik yang mengakui keberagaman agama, suku dan budaya
masyaraakat. Mungkin sudah menjadi kodrat bahwa masyarakat Indonesia
sekarang ini masih terikat dengan tradisi budaya nenek moyang yang kental dalam
berbagai segi kehidupannya walaupun mereka telah menerima berlapis-lapis
nilai-nilai budaya lain. Keanekaragaman itu merupakan kekayaan tersendiri bagi Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara lain. Oleh karena itulah, setiap orang atau
kelompok termasuk gereja di dalamnya harus menemukan strategi pelayanan yang
tepat. Dalam kerangka itu, strategi pewartaan dan pelayanan gereja dalam
konteks masyarakat majemuk acap kali membutuhkan pengkajian ulang dari waktu ke
waktu. Bagaimana pun, pewartaan harus tetap dijalankan, Firman Tuhan harus
selalu disebarkan, jika gereja mau tetap setia dalam tugas panggilannya di
dunia ini, termasuk di tengah ketegangan sosial bernuansa SARA yang semakin
memuncak dewasa ini. Termasuk HKBP harus menemukan rumusan dan sikap yang tepat
dalam menghadapi kenyataan ini sehingga HKBP dapat mempertahankan keberadaannya
sebagai wakil Allah dalam mewujudkan damaiNya di dunia ini. Berdasarkan
fenomena inilah Ephorus Emeritus HKBP Pdt. DR. J.R. Hutauruk pada Sinode Godang
HKBP 2000, mencetuskan harapannya agar warga beserta pelayan HKBP dapat
menumbuhkembangkan sikap yang inklusif dan dialogis. Dalam berbagai pertemuan,
khususnya dalam proses penyusunan konsep Aturan dan Peraturan HKBP, beliau
mengajukan istilah inklusif dan dialogis tersebut.[77]
Dalam AP HKBP 2002, nyata dicantumkan visi dan misinya.
Dikatakan
bahwa:
Misi
HKBP adalah:
“HKBP berusaha menjadi
gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka, serta mampu dan bertenaga
mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus,
bersama-sama dengan semua orang di dalam masyarakat global, terutama masyarakat
Kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang Mahakuasa”.
Misi HKBP adalah:
“HKBP berusaha meningkatkan
mutu segenap warga masyarakat, terutama warga HKBP, melalui pelayanan-pelayanan
gereja yang bermutu agar mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap
perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan bersama
segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional
dan global dalam menghadapi tantangan abad ke-21”.
Prinsip HKBP adalah:
“Untuk melaksanakan missi
menuju visi tersebut di atas, HKBP berpegang teguh pada prinsip di bawah ini:
a. Melayani, bukan dilayani
(Mark. 10:45)
b. Menjadi garam dan terang
(Mat. 5:13-14)
c. Menegakkan keadilan,
perdamaian, dan keutuhan ciptaan (Mark. 16:15; Luk. 4:18-19).[78]
Tentu uraian visi[79]
dan misi[80] ini
sangat menegaskan seruan, ajakan ataupun kerinduan agar HKBP sebagai lembaga
agama dan masyarakat lebih dapat terbuka dalam melaksanakan tugas, fungsi dan
peranannya. Dengan konsep ini, HKBP telah melihat kenyataan dan keberadaannya
di tengah dunia ini. Semakin HKBP sadar akan situasi nasional maupun
internasional, HKBP aakan semakin sadar untuk melakukan visi dan misi Tuhan Allah,
yaitu membawa kasih yang mendamaikan atau rekonsiliasi, menebarkan kasih yang
mementingkan diri orang lain terutama bagi kalangan yang sangat mengalami
ketertindasan, ketidakadilan dan keserakahan para penguasa dunia ini. Dalam
kaitan itu, HKBP harus lebih sadar diri untuk melepaskan diri dari sikap-sikap
dan pikiran yang tertutup, yang eksklusif dan monologis.
Istilah inklusif dan
dialogis populer di HKBP adalah sebagai wacana dalam upaya menyikapi realitas
konteks kehidupan bersama. Karena sebenarnya makna kedua istilah itu secara
implisit berpadanan dengan visi dan misi Allah di dunia ini yaitu aagar semua
umat manusia mengasihi Tuhan Allah dan sekaligus mengasihi sesama manusia. Visi
dan misi Allah ini tidak berubah hingga kini ayaitu kasihNya yang nyata dengan
mengutus Tuhan Yesus Kristus ke dunia ini serta mengutus Roh Kudus yang tetap
bekerja dalam diri setiap orang Kristen. Roh Kudus memberi pendampingan,
peneguran dan peneguhan supaya setiap orang Kristen, yang terhimpun dalam
jemaat setempat atau kelompok kristiani hidup dalam visi dan misi pelayanan
Allah di dunia ini. Dan sesungguhnya, setiap orang Kristen telah berjanji
kepada Tuhan Allah Yang Maha Pengasih itu bahwa dia hidup di dunia ini untuk
visi dan misi pelayanan Allah.[81]
Sejarah perkembangan agama
Kristen beberapa dekade terakhir ini menyaksikan terjadinya pembakaran
gereja-gereaja, sulitnya mendirikan gedung gereja, dan sebagainya adalah
sebagian pengalaman pahit yang dialami warga HKBP. Dalam menghadapi situasi
ini, HKBP berupaya mendekatkan diri dengan saudara-saudara warga negara Indonesia
yang berjiwa terbuka, inklusif dan dialogis. Sehingga di berbagai daerah, di
antara umat beragama terjalin persaudaraan yang saling tolong-menolong dan
bersama-sama mencermati upaya-upaya yang sengaja mempertentangkan
sentimen-sentimen etnis dan agama.[82]
Dengan demikian diharapkan bahwaHKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif,
dialogis, dan terbuka serta mampu mengembangkan kehidupan yang bermutu dalam
kasih Tuhan Yesus Kristus bersama-sama dengan masyarakat global, khususnya
masyarakat Kristen untuk kemuliaan Allah Bapa Yang Maha Kuasa. Terhadap unsur
persekutuan dengan sesama manusia, gereja yang terpanggil untuk bersifat
inklusif, terbuka dan dialogis. Gereja yang inklusif, terbuka dan dialogis hendaknya
belajar dari anjuran Rasul Paulus kepada jemaat Roma: “Sebab itu terimalah satu
akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan
Allah” (Rom.
15:7).[83]
Sebagaimana ditekankan oleh
DR. J.R. Hutauruk, maka ada beberapa program yang harus diprioritaskan HKBP
guna mewujudkan citranya sebagai gereja yang inklusif dan dialogis serta
terbuka, yakni:
Pertama: adalah belajar dan
melatih diri supaya semakin menjiwai sikap yang terbuka, inklusif, dan
dialogis. Ini dimaksudkan agar rumusan visi dan misi HKBP bukan hanya formulasi
tetapi menjadi komitmen setiap warga HKBP dalam kehidupan bertetangga di
tengah-tengah masyarakat majemuk. Kedua: mendorong para pelayan HKBP untuk
memberdayakan setiap warga HKBP supaya semakin mampu hidup bertetangga dengan
baik. Setiap pelayan (parhalado) pada segenap jajaran HKBP seharusnya
memfokuskan program dan kegiatannya untuk memampukan warga HKBP menjadi
tetangga yang baik, yang pandai menjauhkan hal-hal yang mencurigakan pihak
lain. Ketiga: juga menjadi program prioritas HKBP untuk melengkapi dirinya dari
dalam yaitu dengan memberdayakan para pelayan: pendeta, guru huria, bibelvoruw,
diakones, evangelis, dan sintua dalam berbagai bidang keterampilan sesuai
dengan cakupan tugasnya masing-masing.[84]
Titik tolak penyusunan
program pelayanan yang seperti ini menunjuk bahwa HKBP telah memegang
prinsipnya, yaitu tidak untuk dilayani tetapi untuk melayani, menjadi garam dan
terang dunia, menegakkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Dengan
demikian pelayanan HKBP akan dapat menjawab berbagai tantangan dan pergumulan
hidup manusia. Berdasarkan itu pula pelayanan HKBP menjadi aktual dan relevan
dalam kehidupan jemaat dan masyarakat, baik untuk dirinya maupun bagi orang
lain.
Sehubungan dengan visi dan
misi HKBP tersebut, beberapa teolog besar juga menekankan sikap keterbukaan
gereja terhadap orang lain maupun terhadap dunia. Salah seorang di antaranya
adalah Jürgen Moltmann, yang dalam beberapa tulisannya menyerukan
supaya gereja hadir bagi orang lain.
3. Analisa
Teologi Terhadap Visi dan Misi HKBP
Sesuai dengan visi dan misi
HKBP sebagai gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka, maka perlu dilakukan
pengkajian yang lebih mendalam atas makna yang terkandung dalam setiap
pernyataan itu. Ada
beberapa hal yang perlu diteliti sehubungan dengan sikap teologis HKBP
tersebut. Sikap inklusif yang bagaimana yang dipahami oleh HKBP di
tengah-tengah perkembangan agama-agama sekarang ini. Sikap dialogis yang
seperti apa yang akan dikembangkan dan didukung oleh HKBP sebagai sarana untuk
memahami orang lain itu. Di tengah-tengah perkembangan pemahaman teologi baru
sekarang ini yang terkadang membingungkan jemaat, misalnya ajaran “Teologi
Sukses” yang mengajarkan hidup berkelimpahan dan kemakmuran.[85]
Jika demikian, sejauhmana keterbukaan HKBP dalam bidang pemahaman teologinya
dalam menanggapi perkembangan tersebut. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan
pengkajian teologi-dogmatis sehingga makna dari visi dan misi HKBP tersebut
benar-benar berdasarkan prinsip Alkitabiah.
Ada tiga sikap hidup yang
ditemukan dalam masyarakat saat ini dalam hubungannya dengan hidup beragama.
Alan Race mengelompokkannya berdasarkan sikap teologis terhadap agama-agama
lain. Ia menjelaskan bahwa sikap hidup itu adalah eksklusif, inklusif, dan
pluralis.[86]
Pandangan tersebut akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
Pertama sikap eksklusif,[87]
yaitu sikap yang menganggap dirinya lebih benar dari orang lain, selalu merasa
lebih mampu, bahkan pada akhirnya akan menganggap rendah orang lain. Apabila
sikap seperti ini melekat di dalam kehidupan berbangsa, bernegara, beragama,
baik secara pribadi maupun kelompok maka bangsa, agama, dan orang lain akan
dianggap lebih rendah dari dirinya. Ia akan menganggap dirinya lebih superior
(mempunyai kemampuan lebih), sedangkan orang lain dianggap inferior (kemampuan
sangat terbatas). Akibatnya, ia (bangsa, agama, atau pribadi) tidak terbuka
kepada yang lain, bahkan tidak mau bekerjasama dengan orang lain. Sikap seperti
ini muncul dalam hidup beragama karena respons terhadap kepercayaan bahwa
keselamatan dan kebenaran hany ada dalam ajaran agamanya saja. Sikap ini juga
timbul sebagai akibat dari penafsiran yang terlalu dangkal dan sempit terhadap
ajaran agamanya.[88]
Kedua sikap inklusif,[89]
yaitu sikap yang menganggap diri benar, tetapi yang lain (bangsa, agama atau
pribadi) juga mempunyai kebenaran. Merasa memiliki kemampuan, daya dan tenaga,
tetapi sekaligus menyadari adanya kekurangan, keterbatasan, kelemahannya. Atas
dasar kesadaran inilah, ia akan terbuka dan mau berdiskusi dan berdialog dengan
orang lain untuk mencari jalan terbaik demi kepentingan bersama. Dalam
menjalani tugas dan tanggungjawabnya, ia akan lebih bersedia menjalin kerjasama
dengan orang lain daripada bekerja sendiri. Sikap seperti ini sangat dibutuhkan
dalam kehidupan dalam kepelbagaian.[90]
Ketiga sikap pluralis,[91]
yaitu sikap yang mengakui dan menghargai dan mengakui kepelbagaian yang
beraneka ragam. Dalam hidup beragama, setiap agama diharapkan untuk menghargai
setiap kebenaran orang lain yang sifatnya relatif dengan dasar bahwa Allah
dipahami mewujudkan diriNya dalam iman dan kebaikan orang lain, bukan hanya di
pihak-pihak tertentu.[92]
Dalam kadar tertentu sikap ini sangat membantu pemahaman agama-agama untuk
mengembangkan potensinya memahami orang lain. Tidak hanya memikirkan dirinya
sendiri, tetapi juga memikirkan orang lain yang ada di luar dirinya. Sikap
toleransi, pelayanan dan perhatian terhadap pelayanan sosial semakin terbuka.
Perbedaan dan kepelbagaian tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi justru sebagai
kekayaan pengalaman manusia yang berguna bagi setiap pemahaman, penghayatan dan
refleksi iman. Tetapi di lain pihak, sikap ini juga akan meruntuhkan pemahaman
teologis yang sudah diwarisi oleh agama-agama selama ini. Dengan demikian perlu
membangun pemahaman yang baru, karena pemahaman yang lama sudah dipertanyakan
kebenarannya.[93]
Sehubungan dengan visi dan
misi HKBP, maka uraian di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk menjelaskan
lebih luas terhadap makna teologivisi dan misi HKBP tersebut. Sebenarnya,
seruan kepada gereja untuk bersikap inklusif, dialogis dan terbuka, bukanlah
suatu formula yang baru dalam dunia keberagaman. Jauh sebelum penetapan visi
dan misi HKBP tersebut, sudah banyak pandangan yang menekankan hal itu. uraian
dibawah ini akan menunjukkan bahwa di beberapa teks Alkitab, doktrin gereja,
maupun pandangan para teolog telah membicarakan pemahaman yang berhubungan
dengan formula tersebut. Sehingga melalui uraian itu dapat dijadikan sebagai
tolok ukur atau landasan teolog dari visi dan misi HKBP.
3.1. Gambaran Gereja yang
Inklusif berdasarkan Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama, para
nabi Israel misalnya Elia dan Hosea di utara dan Yesaya dan Yeremia di selatan,
menekankan ibadat eksklusif kepada Allah yang satu-satunya, yaitu הזהי (Yhwh).[94]
Pemberitaan mereka menekankan kasih Allah kepada umatNya pada masa lampau,
keinginanNya yang khusus tentang berkat pada masa yang akan datang. Bangsa Israel
sebaliknya harus mempertahankan kepercayaan yang murni dengan setia beribadat
kepada satu Allah saja. Bahkan para nabi juga memperingatkan akan terjadinya
hukuman yang dahsyat, termasuk hancurnya kerajaan tersebut bila Israel
tidak setia dalam menjalankan ibadah mereka.[95]
Para nabi tidak mentolerir agama lain,
khususnya ibadah kepada Baal dan Asyera, ilah-ilah kesuburan yang disembah
bangsa-bangsa Kanaan. Peristiwa pembunuhan para imam Baal yang diceritakan
secara hidup dan dramatik dalam 1 Raja-raja 18, mewakili pendirian semua kitab
yang ditulis pada zaman kerajaan dan sesudahnya. Para
nabi dan para penulis kitab-kitab tersebut tidak mau mentolerir dewa-dewa lain
di Israel. Bagi mereka hanya Yhwh yang boleh disembah; setiap ibadah
yang asing di Israel
harus dikecam. Orang diminta untuk berpaling dari ibadat dan pemujaan terhadap
dea-dewa dan melawan politeisme rakyat. Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam
melawan agama-agama lain, para nabi biasanya berkhotbah atau menggunakan
bentuk-bentuk propaganda yang bersifat simbolis, misalnya mujizat-mujizat yang
dilakukan Elisa (2 Raj. 3-6) dan perkawinan Hosea (Hos. 1 dan 3). Mereka tidak
menggunakan kekerasan dan paksaan, kecuali bila mereka dan orang-orang yang
setia kepada Yhwh lebih dahullu diperlakukan secara bebas. Orang tidak
diizinkan membunuh atau bertindak kejam dalam melawan penyembahan Baal dan
agama-agama lain. Dengan demikian, Perjanjian Lama memberi kesan bahwa di
tengah-tengah keanekaragaman agama, orang yang percaya kepada Yhwh
sebagai Allah yang satu-satunya dan berpegang pads perjanjianNya tidak
berkompromi dengan agama-agama lain. Dalam mempertahankan kepercayaan yang
murni terhadap Allah, bangsa Israel
harus mewujudkan keadilan serta belas kasihan, sehingga setiap orang
menunjukkan sikap tersebut dengan penuh kemurahan hati kepada sesamanya tanpa
memandang bulu.[96]
Dengan demikian, uraian
Hess di atas pada akhirnya bermuara kepada seruan kepada suatu pelayanan
terhadap orang lain. Orang percaya (gereja) harus mengasihi orang lain sebagai
konsekuensi ibadah dan imannya kepada Allah (Yhwh). Hal ini jugalah yang
mendorong HKBP dalam menetapkan visi dan misinya sebagai upaya untuk
menciptakan kerukunan bersama dengan agama lain. Selanjutnya, John E. Goldingay
dan Christopher J.H. Wright menjelaskan bahwa teks penciptaan dapat dijadikan
sebagai dasar dari toleransi hidup beragam dalam konteks pluralitas.[97]
Mereka menjelaskan bahwa teks Kej. 1-11, secara tidak langsung memperlihatkan
adanya kesadaran keagamaan pada manusia. Kesadaran itu terlihat dalam pemakaian
nama Allah dengan Yhwh, yang pada masa prasejarah nama itu bukan nama
Allah yang dipakai oleh manusia (bnd. Kel. 6), melainkan merupakan tafsiran
teologis oleh penyunting pada kemudian hari. Walaupun belum mengenal dengan
jelas nama Yhwh tersebut, namun mereka sungguh-sungguh menyembah Dia.
Yhwh dikenal sebagai pencipta dunia, pemberi berkat, hakim dan pelindung,
yang pada akhirnya direspons dalam bentuk persembahan, permohonan dan
pemberitaan. Hal ini menunjukkan bahwa Allah memerintah seluruh dunia dan
campur tangan dalam perkara-perkaranya (bnd. Amos 9:7). Menurut Perjanjian Lama
dijelaskan bahwa, hikmat Allah turut berperan dalam penciptaan dan tercermin
dalam apa yang diciptakan (Imago Dei). Nafas Allah yang Mahakuasa berada
di dalam manusia karena ia diciptakan. Hal ini merupakan alasan teologis untuk
menganggap kebenaran Allah dicerminkan dalam pengalaman, kebudayaan, pemikiran
dan budaya manusia. Dengan demikian, imam Israel kepada Yhwh mengambil
alih hal-hal yang baik dari kebudayaan lain: nilai-nilainya diakui sambil
dibersihkan dari unsur-unsur pemujaan berhala atau politeisme.[98]
Melalui pemahaman akan penciptaan tersebut, maka dalam setiap diri manusia
tercermin gambar dan rupa Allah, yang mempunyai kesamaan satu dengan yang lain.
Dengan demikian, imam
Perjanjian Lama menunjukkan bahwa umat Israel sebagai umat pilihan Allah,
telah hidup dan berdampingan dengan bangsa-bangsa dan agama-agama dan
kepercayaan lain. Pemilihan itu bukanlah atas dasar kemampuan yang dimiliki
orang-orang Israel,
melainkan berdasarkan kasih Allah semata (Ul. 7:7). Maksud pemilihan itu adalah
untuk menunjukkan kepada bangsa dan kepercayaan lain bahwa Yhwh adalah
Tuhan yang menciptakan, melindungi dan memelihara setiap ciptaanNya. Allah
tetap mengasihi bangsa Israel
sebagai umat pilihanNya dan sekaligus mengasihi seluruh dunia sebagai
ciptaanNya. Oleh karena itulah, dalam konteks hidup beragama masa kini, orang
percaya (gereja) harus bersikap terbuka dan tidak menutup diri. Walaupun
sebenarnya dalam beberapa bagian dalam Perjanjian Lama, misalnya kitab Daniel
yang bersifat sangat eksklusif dan menutup diri, namun dalam suasana demikian
ia sangat kreatif. Konteks kehidupan Israel yang pluralistik menyediakan
berapa contoh tentang cara berhubungan dengan agama-agama lain.[99]
Demikian halnya dengan konteks hidup beragama di Indonesia, HKBP melalui penetapan
visi dan misinya merupakan salah satu contoh tentang cara berhubungan dengan
agama-agama lain, bahkan dalam hal tanggungjawabnya di tengah-tengah
perkembangan zaman tempat di mana ia berada. Sebagai umat Allah yang hidup
berdampingan dengan bangsa, agama dan kepercayaan lain, maka HKBP telah sadar
akan kasih Allah yang diberikan kepada seluruh dunia.
3.2. Gambaran Gereja yang Inklusif Berdasarkan
Perjanjian Baru
Perjanjian Baru,
menyaksikan bahwa Yesus semasa hidupNya, secara historis di dunia ini,
menunjukkan sikap yang inklusif, dialogis dan terbuka (Yoh. 3:16). Dengan sikap
demikian, Yesus telah menyelesaikan tugas pelayananNya secara sempurna di Bukit
Golgota. Melalui penderitaan, kematian, dan kebangkitanNya, darahNya telah
tercurah untuk menebus dosa-dosa manusia dan untuk pendamaian antara manusia
dengan Allah, nyawaNya sebagai ganti kebinasaan seluruh dunia. Dalam diri Yesus
Kristus, Allah mewujudkan visi dan misiNya kepada seluruh dunia, tidak terbatas
pada individu atau kelompok tertentu. Jadi bukan untuk sebagian bumi atau
bangsa, tetapi untuk tebusan banyak orang tanpa membedakan suku, bangsa, ras,
dan agama. Dalam menyempurnakan tugas pelayananNya, Yesus merangkul semuanya
tanpa mengucilkan pihak-pihak tertentu. Tuhan Allah telah memperlihatkan kepedulian,
keterbukaan, dan dialog dengan manusia melalui para nabi dan rasulNya kepada
dunia yang sering tidak menerima kasihNya itu. Penolakan akan kasih Allah itu
nyata melalui sikap dan perbuatan yang ingin mengumpulkan kekuatan dan
kekuasaan untuk dirinya sendiri, untuk kelompoknya sendiri, untuk suku atau
bangsanya sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain, kelompok alain,
bangsa atau agama lain. Pada saat menjelang kenaikan Yesus ke sorga setelah
bangkit dari kematian, Dia menyampaikan perintah kepada para murid agar pergi
ke seluruh dunia untuk menjadikan semua bangsa muridNya, membaptiskan mereka
serta mengajarkan semua yang diperintahkanNya (Mat. 28:18-20).[100]
Perintah yang universal inilah yang menjadi tugas utama orang percaya (gereja)
sejak turunnya Roh Kudus. Dari tugas inilah dapat dilihat, betapa tugas gereja
sejak semula mencerminkan warna inklusif, dialogis dan terbuka.
Imam Perjanjian Baru dalam
teologi Paulus, juga menunjukkan sikap bagaimana orang Kristen harus hidup
dalam dunia yang mengenal pluralisme. Paulus dalam suratnya ke jemaat di
Korintus, menjelaskan bahwa pertama-tama jemaat jangan menimbulkan keraguan
dalam hati karena pluralisme agama itu. Paulus mengecam orang yang mempengaruhi
orang Kristen untuk mengikuti pesta-pesta kafir karena tindakan seperti itu
adalah dosa terhadap Kristus (1 Kor. 8:12). Paulus telah mengambil keputusan
untuk mencari penyesuaian dengan budaya-budaya lain, dengan tujuan mencari
cara-cara baru untuk memberitakan Injil kepada golongan-golongan sosial dan
etnis yang berbeda-beda (1 Kor. 9). Dengan demikian, dalam hal ini Paulus
mengharapkan bahwa orang-orang Kristen dalam dunia pluralisme agama tetap
melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Allah dengan cara menyenangkan hati
semua orang dengan tidak mencari keuntungan sendiri; dan semuanya itu demi
keselamatan orang lain oleh Yesus Kristus.[101]
Lebih jauh, Robert Jewett menjelaskan bahwa inti pendekatan Paulus tentang
pluralisme ditemukan dalam suratnya ke jemaat Roma. Dalam surat tersebut, Paulus menawarkan suatu
sumber yang meyakinkan sebagai formula doktrin tentang toleransi orang-orang
Kristen. Surat Roma tersebut menunjukkan suatu hubungan antara sikap etis dalam
misi dan hubungannya dengan pola hidup jemaat (Rom. 15:7).[102]
Beberapa teks Alkitab tersebut hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak yang
mengajarkan cara hidup praktis di tengah-tengah dunia pluralis. Namun demikian,
melalui uraian tersebut, maka makna teologis dari visi dan misi HKBP tersebut
dapat dipertanggungjawabkan secara biblika dalam dunia akademis.
3.3. Gambaran Gereja yang Inklusif Berdasarkan Ajaran Gereja
Pada awalnya, gereja dalam
memandang agama sekitarnya sangatlah bersikap eksklusif. Sikap seperti ini
dianut oleh gereja (Roma Katolik) pra-Konsili Vatikan II. Dalam memandang orang
lain itu, gereja Roma Katolik tidak mengakui adanya keselamatan di luar gereja.
Dengan kata lain, keselamatan hanya ada dalam ruang lingkup gereja Roma
Katolik, tidak ditemukan dalam agama-agama lain. Dasarnya adalah bahwa Allah
hendak menyelamatkan semua orang dengan perantaraan Kristus, Penyelamat
satu-satunya (Yoh. 14:6; 1 Yoh. 5:11-12). Pemahaman ini dirumuskan dalam
pernyataan: extra ecclesiam nulla salust (di luar gereja orang tidak
mungkin diselamatkan).[103]
Sikap seperti ini sangat mempengaruhi metode-metode penginjilan sampai
bertahun-tahun lamanya pada Abad Pertengahan. Tetapi sikap eksklusif ini
bergeser menjadi sikap inklusif setelah dicetuskannya Konsil Vatikan II
(1962-1965). Salah satu dokumen konsili itu adalah deklarasi “Nostra Aetate”,
yaitu suatu pernyataan tentang hubungan gereja dengan agama yang bukan Kristen.[104]
Dalam pernyataan itu dikatakan bahwa gereja-gereja bukan Katolik dengan jelas
diakui sebagai gereja Kristus, warna inklusif betapa dihargai. Mereka diakui
dan dihormati dalam segala keaslian pengalaman religiusnya di luar wahyu
kristiani.[105]
Dalam dokumen Konsili
Vatikan II dijelaskan bahwa:
“Gereja Katolik tidak
menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap
hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup
kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari
apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan
sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.”[106]
Pernyataan ini menunjukkan
bahwa gereja Roma Katolik menerima ajaran orang lain yang memantulkan sinar
kebenaran. Artinya, bukan hanya gereja Roma Katolik yang benar, tetapi juga
agama-agama lain. Tetapi pada kepemimpinan Paus Johanes Paulus II, sikap
inklusif ini bergeser ke arah eksklusifisme. Suatu kemunduran sikap Roma
Katolik dalam menyikapi ajaran agama lain. Pada Bulla Paus ayang dikeluarkan
pada tanggal 17 April 2003 berjudul: Encyclical Letter “Ecclesia de
Eucharistia” of His Holiness Pope John Paul II to the Bishops, Priests and
Deacons, Men and Women in the Consecrated Life, and all the Lay Faithful: On
the Eucharist in Its Relationship to the Church (April 17, 2003), menyatakan
bahwa di luar Roma Katolik, Pastor tidak bisa menjalankan Perjamuan Kudus (eucaristi).
Dalam enklisik (Bulla Paulus) tersebut dinyatakan bahwa: “…..it is not
possible to celebrate together the same Eucharistic liturgy until those bonds
are fully re-established”.[107]
Semangat dalam menanggapi kemajemukan bangsa sudah sejak lama menggema dalam
lingkungan HKBP. Dalam menyikapi pluralitas bangsa Indonesia, maka HKBP melalui
pengakuannya (konfesi) sudah menunjukkan pergeseran dari sikap eksklusif ke
arah keterbukaan yang kreatif-positif. Dalam Konfesi HKBP tahun 1996 tidak
dicantumkan lagi mengenai gereja dan aliran kepercayaan seperti Katolik,
Advent, Pinkster dan lain-lain yang tadinya dipahami sebagai sumber ajaran
sesat dan ancaman bagi HKBP sebagaimana dijelaskan dalam bagian Pendahuluan
Konfesi HKBP tahun 1951.[108]
Berdasarkan Konfesi HKBP
tahun 1996 tersebut, maka ada beberapa hal yang ditemukan secara eksplisit dan
implisit yang berkaitan dengan kemajemukan agama, antara lain:
-
Pasal
1 menyatakan, “hanya ada satu Allah yang memerintah seluruh umat manusia.”
Pernyataan ini mengandung makna sebuah panggilan untuk melihat dan
memperlakukan sesama manusia (tanpa membedakan latar belakang agama dan ras)
dari sudut Allah.
-
Pasal
4 berbunyi, “HKBP memahami keberadaannya yang hidup dalam konteks pluralitas
agama”. Meski tidak diuraikan secara detail, namun pemahaman seperti itu
menunjukkan kesadaran akan kebersamaan dengan penganut agama lain.
-
Pasal
13 secara tegas mengakui fungsi Apncasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Memang wacana sekitar tinjauan teologis terhadap Pancasila terus
berlangsung, akan tetapi pernyataan Konfesi tersebut menunjukkan kesediaan HKBP
menerima kenyataan bahwa Pancasila dapat mempersatukan warga bangsa yang
beraneka ragam latar belakang.[109]
Demikian juga panggilan dan
usaha untuk melakukan pemahaman terhadap agama lain di dalam gereja oikumenis
telah dikumandangkan oleh lembaga-lembaga gereja. Misalnya, Konferensi
Pekabaran Injil sedunia di Edinburg
atahun 1910, Yerusalem tahun 1928 dan di Tambaran 1938, telah bergumul keras
untuk memahami makna dari kepercayaan-kepercayaan lain di dalam hubungannya
dengan Injil. Usaha dan panggilan itu telah diwujudnyatakan dalam beberapa
dialog multilateral (yang melibatkan orang-orang dari berbagai agama) di
Ajaltoun (1970), Colombo
(1974) dan Mauritus (1983).[110]
4.
Analisa
Teologi Terhadap Pandangan Jürgen Moltmann
5.
Permasalahan
Iman Dalam Hubungannya Dengan Keselamatan Universal
6.
Tipe
Kepemimpinan yang Inklusif, Dialogis serta Terbuka
7.
Visi
dan Misi HKBP Menjadikan Jemaat Missioner
SEBUAH
REFLEKSI HISTORIS
TENTANG
SEJARAH GEREJA BATAK
1. Selama beberapa abad masyarakat Batak telah mendiami
wilayah pedalaman Sumatera Utara yang secara umum mereka hidup terpencil dan
terbelakang. Adalah fakta bahwa sejak awalnya, masyarakat Batak telah melakukan
hubungan dan komunikasi antara satu dengan yang lain. Sebagai masyarakat yang
hidup di dalam keadaan demikian tentu kehidupannya juga terbelakang pada
berbagai aspek. Hal yang sangat penting diperhatikan bahwa: “metode kerja
para misionaris menerapkan Injil ke dalam kehidupan orang Batak dalam sejarah
misi”. Bila para misionaris menyesuaikan konsep-konsep kekristenan
kepada perbendaharaan bahasa dan struktur social serta budaya masyarakat Batak
tradisionil, selanjutnya (kini) nyata bahwa kebudayaan Batak telah membuktikan
kekuatannya dengan mendapatkan pengaruh pengaruh asing masuk ke dalam unsur
kehidupan Batak. Melalui hikmat pernyataan ini, barangkali merupakan tenaga
pendorong bagi anda sebagai (calon) pelayan di mana melalui ungkapan ini hendak
menegaskan bahwa “metode kerja pelayan sangat menentukan
keberhasilannya menerapkan Injil ke dalam kehidupan orang yang kepadanya
keselamatan yang sesungguhnya diberitakan”. Bila bercermin dari pengalaman
sejarah, dapat dipetik hikmat bahwa “agama Kristen hadir di Tapanuli (bagi
masyarakat Batak), sangat tepat di tengah situasi kekacauan social di
seluruh tanah Batak berlangsung sekaligus melalui metode kerja para misionaris,
Injil (kekristenan) sangat membuktikan “keunggulan”-nya bagi
perubahan yang pasti bagi masyarakat Batak. Sekali lagi hikmat pernyataan ini
hendaknya dapat memotivasi anda sebagai mahasiswa teologi (calon pelayan)
terhadap kehadiran anda di tengah pelayanan jemaat kelak.
2. Barangkali adalah teladan yang sangat baik masa kini
bagi misi dan pelayanan jemaat, yakni: “sikap dan kepribadian serta dedikasi
para misionaris melayani”. Jika awalnya unsur ini merupakan kekuatan bagi
misi kekristenan - melaluinya perlawanan (tantangan) misi dapat dipatahkan:
maka sikap yang sangat simpatik dari pelayan akan menghasilkan komunitas yang
unggul di tengah jemaat (perkampungan Huta Dame) sekaligus sebagai kekuatan
yang membawa perubahan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, adalah hal yang
tidak dapat disangkal bahwa jemaat masa kini sangat menantikan: keramahan,
kearifan, kepribadian (sikap), keahlian, keteguhan iman seorang pelayan
melaluinya jurang komunikasi antara Injil (berita keselamatan) itu dengan dunia
yang dilayani hendaknya dapat dijembatani. Wibawa, kecerdasan, ketangkasan
dan ketajaman berpikir peayan terhadap soal-soal kemasyarakatan merupakan
potensi yang sangat kuat bagi pelayanan masa kini guna dimamfaatkan bagi
perkembangan gereja. Bila Nomensen
sudah melakukan teladan ini, di mana nasehatnya terhadap memutuskan
persoalan adat, tata laksana kehidupan antar kampung, perselisihan antar
keluarga, keadilan pertimbangannya mendamaikan perselisihan antar penganut
agama suku, hendaknya ini juga menjadi corak kepemimpinan dan kepribadian
pelayan masa kini memberhasilkan misi kekristenan. Potensi ini sangat tidak
dapat dipisahkan dari kemampuan jemaat, artinya: bila refleksi histories
terhadap perkembangan gereja Batak (misalnya HKBP) dilakukan maka antusiasme
anggota jemaatnya demikian terhadap dedikasi yang tidak kenal takut menjadi
factor paling menentukan bagi perkembangan itu ke berbagai wilayah (seluruh
tanah Batak khususnya dan Indonesia Umumnya), maka kemampuan seperti ini
agaknya tidak dapat dipisahkan (sangat mempengaruhi) dari teladan dan cerminan
yang dinampakkan oleh gembalaNya yang mewaris kepada para hambaNya yang tidak lain
adalah para pelayan. Inilah modal dasar bagi perkembangan gereja dan
kekristenan di tengah dunia masa kini bahwa semangat dan dedikasi setiap orang
Kristen sangat menentukan untuk memperkenalkan panggilan Tuhan kepada orang
yang belum mengenal berita keselamatan itu.
3. Bercermin dari
pengalaman gereja, adalah hal yang penting untuk dihindarkan bahwa konflik
nyata sangat memperlemah kedudukan gereja dan orang Kristen di tengah
sekitarnya. Demikian apabila konflik ini dihubungkan dengan munculnya berbagai
kekuatan di tengah masyarakat (fundamentalisme, globalisasi, dll) yang semuanya
menuntut terjadinya pembaharuan di berbagai bidang termasuk bangkitnya semangat
kerohanian berbagai agama masa kini. Maka sepatutnyalah kita sebagai pelayan
(calon) mengantisipasi ini dan sadar akan keadaan diri di tengah perseteruan
yang semakin tajam. Adalah fakta jaman masa kini bahwa melihat munculnya
kekuatan-kekuatan yang berlangsung di dalam masyarakat secara luas nyatanya
demi kelangsungannya ke depan gereja harus memberi jawaban dan jawaban ini
hendaknya sebagai pokok perhatian untuk memahami sikap gereja agar tetap
mengabdi kepada yang adalah Tuhan bagi gereja itu sendiri, dan bukan kepada dua
tuan. Hubungan pernyataan ini bagi diskusi kita adalah: hendak ditekankan bahwa
dari pengalaman banyak orang dan pelayan, bahwa para pelayan ke depan harus
sadar: “sebaik apapun struktur jemaat gereja, kalau perilaku pelayan dan
budaya berorganisasinya di dalam gereja adalah korup/jahat maka hasilnya akan
membawa bencana bahkan kehancuran pada gereja itu sendiri” (ingat pertemuan
terakhir sebelum diskusi ini). Artinya, bagi anda yang paling penting adalah:
bagaimana anda mempersiapkan diri agar mampu berorganisasi secara sehat di
dalam gereja dan bukan secara sakit. Intinya, konflik yang terjadi sesaat
atau berkepanjangan dalam sejarah (gereja), ini menandakan bahwa alangkah lemah
dan rapuhnya budaya berorganisasi gereja itu sendiri. Seolah-olah setiap
pribadi pendetalah yang menjadi biang masalah, seolah-olah segala sesuatunya terletak
dalam pikiran dan keputusan pribadi pendeta sehingga tidak perlu lagi membaca
dan memberlakukan aturan (pedoman kerja) yang berlaku. Sikap korupt yang
seperti inilah bibit konflik yang paling mudah muncul dalam jemaat sepanjang
sejarahnya.
4. Mungkin banyak
hal yang tidak menyenangkan bagi anda selama proses kuliah SGB semester ini.
Melalui kesempatan ini, ada baiknya bila dimohonkan maaf sebab semuanya
berlangsung alamiah sebagai manusia alamiah. Semoga Tuhan memberkati dan
selamat berminggu sunyi (mempersiapkan ujian).
[1] Robert K. Greenleaf, Servant
Leadership: A Journey Into The Nature Of Legitimate Power And Greatness (New York: Paulist Press: 1991) hl. 32-36
[2] Greenleaft., Ibid
[3] Greenleaft, Ibid
[4] Lih. Prof. Bungaran A
Simanjutak, Struktur social dan Sistem
Politik Batak Toba (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2006) hl. 66. Buku ini awalnya merupakan sebuah Tesis B. A. Simanjuntak untuk Instituut voor Culturele Atropologi di
Leiden Belanda, yang bahan penelitian
topicnya sebelumnya telah dilakukannya antara tahun 1975-1976 sebelum penulis
kuliah di Post Graduate Anthropology
Universitas Leiden Belanda (selesai 1978 ). Fokus perhatian penulis dalam
buku ini adalah perkembangan social budaya yang sangat cepat dewasa ini telah
menimbulkan banyak dampak terhadap pergaulan dan kehidupan social orang Batak
Toba, terutama yang hidup di desa-desa dan kabupaten Tapanuli. Perkembangan itu
sangat didasari sepenuhnya oleh pengaruh kemajuan pendidikan, hubungan
masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar propinsi dan antar suku bangsa.
Perubahan yang terjadi itu, pula sangat berpengaruh kepada sturktur dan system
social masyarakat Batak Toba secara keseluruhan.
[5] B.A. Simanjuntak, Ibid.
[6] Masyarakat Toba
pra-kolonial, tidak memiliki (mengenal) konsep Negara dan organisasi politik
dasarnya terdiri dari desa-desa kecil. Desa-desa kecil ini diperintah oleh
masing-masing raja (pemimpin) yang sebenarnya merdeka, meski pun mereka
merupakan bagian dari jaringan yang kompleks dengan desa-desa yang lain berdasarkan
hubungan dan keanggotaan marga dalam komunitas-komunitas pemujaan yang lebih
besar (bius). Lih. Johan Hasselgren, Batak
Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak toba di Medan,
1912-1965 (Medan:
Penerbit Bina Media Perintis, 2008) hl. 68
[7] J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK-GM,
1992) hl. 15. Dengan mengutip pendapat J. Tiedeman, mengakatakan bahwa:
“kehadiran Raja na Opat tidak
memberi/membawa perubahan yang nyata dalam tata tertib social suku bangsa
Batak”. Seperti: a). Untuk Simalungun disebut: “Raja na Opat”, yaitu keempat raja (di Silo, Pane, Siantar, dan
Tanah Jawa). b). Di kalangan suku Batak Toba di daerah Toba dan Silindung
terdapat lembaga “Raja na Opat”, di
mana Raja na Opat memperoleh gelarnya
dari seorang pembesar adat di Barus, yang beragama Islam dan yang konon adalah
keturunan Minangkabau. Raja na Opat
di Silindung menyandang gelar: Rangkae
Tua (yakni di tengah marga Sitompul, Panggabean, Hutabarat dan Sisangkal), Baginda Hulana (di tengah marga Hutabarat
Partali dan Hutabarat Parbaju), Raja
Ilamuda (di tengah marga Hutauruk, Situmeang dan Simanungkalit) dan Bagot Sinta (di tengah marga Hutapea,
Lumbantobing dan Hutagalung). Ke empat Raja
na Opat di Silindung merupakan “Raja
bawahan” dari raja-Imam Sisingamangaraja.
[8] Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di
Sumatera: Tapanuli, 1915-1940 (Jakarta,
Kepustakaan Populer Gramedia: KPG, 2001) hl., 6. Penduduk tinggal di
kampung-kampung yang disebut huta di
mana huta dipimpin oleh yang disebut sebagai “raja ni huta” yang adalah pendiri kampung atau para keturunannya.
Penghuni kampung tidak tunduk secara politis kepada otoritas yang lebih tinggi.
[9] Andar M. Lumbantobing, Makna
Wibawa Jabatan Dalam Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1996) hl., 1-2. Penjelasan
ini didukung oleh J.R. Hutauruk, mengatakan: “suku-suku Batak yang temasuk
rumpun Melayu-Purba, hingga sekitar tahun
1825 tidaklah beragama Hindu, Islam dan Kristen dan tidak tuntuk kepada
suatu penguasa jajahan”. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan social
budaya yang mereka alami setelah 1825 sangat ditentukan oleh kehadiran
bangsa-bangsa tetangganya yang beragama Islam (suku-suku Aceh di Sumatera
Utara, suku Melayu dari Sumatera Timur dan Minangkabau dari Sumatera Barat).
Kemudian berlangsung pengaruh agama Kristen melalui ekspansi perekonomian dan
pemerintahan Eropa. Lih. J.R. Hutauruk, Op.Cit., hl. 10-11
[10] Lihat,
Bisuk Siahaan, Batak Toba Kehidupan di
Balik Tembok Bambu (Jakarta:
Kempala Foundation, 2005) hl. 43-44. Kesimpulan yang dibuat oleh Bisuk Siahaan
terhadap pengaruh Hindu kepada masyarakat Batak tradisionil adalah “pengaruh
Hindu hanya terbatas pada ilmu perbintangan, pengetahuan dukun, ilmu meramal,
dan tulisan. Sedangkan mengenai
kepercayaan, falsapah, pandangan hidup Batak” tidak lebih jauh dipengaruhi
oleh Hindu.
[11] Ibid., hl. 45
[12] J.R. Hutauruk, Ibid., hl. 11
[13] DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak
(Medan: CV. Armada, 1992) hl. 422.
[14] Lih. Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., 52-53. Arti harafiah “Dalihan Na Tolu”: Tungku Yang Tiga Batu-nya” (tungku yang disanggah oleh tiga batu).
Tungku adalah alat memasak. Orang Batak melambangkan alat memasak makanan dalihan yang tiga
batunya sebagai lambing struktur social masyarakatnya. Artinya ada tiga golongan
penting dalam struktur social masyarakat Batak, yakni: hula-hula (kelompok marga pemberi isteri), boru (kelompok marga penerima isteri), dan dongan sabutuha/dongan tubu (kelompok marga yang satu asal
perut/satu nenek moyang/satu marga). Lih. Juga: B. A. Simanjuntak, Op.cit., hl. 100
[15] Op.Cit., 420. Orang Batak tradisionil yakin
bahwa awalnya Siraja Batak berpusat di Pusuk Buhit yang kemudian pindah ke
Bakkara pada Dynasti Raja Sisingamangaraja. Harajaon Batak tradisionil terbagi
atas empat wilayah dan wilayah-wilayah inilah yang disebut sebagai Raja Maropat yang masing-masing wilayah
meliputi: Raja Maropat Samosir dengan
daerah Pulau Samosir dan sekitarnya. Raja
Maropat Humbang dengan wilayah daerah Humbang hingga ke Samudera Hindia dan
Aceh Selatan (Singkil). Raja Maropat
Silindung dengan wilayah Silindung sekarang sampai Samudera Hindia dan
perbatasan Pagaruyung. Raja maropat
Toba dengan wilayah Toba sekarang hingga ke pantai Timur perbatasan dengan Riau
(Kerajaan Johor).
[16] Ibid., hl. 421. Jika pada uraian penelitian
ini dibicarakan system pemerintahan Batak Toba, maksudnya adalah bahwa dalam
system kemasayarakatan Batak Toba hal inilah yang terus hidup di dalam bentuk
budaya.
[17] Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., hl. 453
[18] Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 153.
[19] B.A. Simanjuntak, Op.Cit., hal. 186
[20] Keempat Raja
Na Opat Bius ini dapat disebutkan yakni: Pertama, Raja Adat berfungsi merencanakan dan menata mengenai uhum/hukum dan
adat. Kedua, Raja Parbaringin
berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang social politik dan keamanan Bius. Ketiga, Raja Bondar berfungsi merencanakan dan menata mengenai perekonomian
Bius. Keempat, Pimpinan Bius yang disebut “Ulu
Bius” dipilih Raja-raja Bius. Ulu Bius ini pada mulanya disebut Ihutan karena fungsinya serupa dengan Primus Interpares yang dituakan sesama
mereka dan kemudian berkembang menjadi raja adat, pimpinan keagamaan dan
pimpinan pemerintahan.
[21] Bisuk
Siahaan, Op.Cit., hl. 159. Seorang
Raja Doli biasanya adalah seorang yang paling kaya, paling pintar dan paling
berani,mampu bertindak dan bijaksana. Jabatan Raja Doli bisa diwariskan. Ada
kalanya seseorang bisa mengangkat diri sebagai Raja Doli, dia bersama
pengikutnya menentang Raja Doli yang ada, sehinggaterjadi percekcokan hingga
akhirnya dapat menyulut perang saudara. Tugas utama Raja Doli adalah
mendamaikan perselisihan yang timbul dalam Bius,menjalankan ketentuan dan
peraturan untuk pepentingan umum, misalnyamemasang saluran air, melakukan
pengamanan bersama bahkan memaklumkan perang.
[22] B.A. Simanjuntak., Op.Cit., hl. 180
[23] Bisuk Siahaan., Op.Cit. hl. 154
[24] Bisuk,., Ibid., 156-157
[25] Biasanya pesta jenis ini dilakukan adalah untuk memohon kepada
leluhur supaya panen diberkati, menangkal penyakit menular yang sedang
melanda daerah horja atau memohon kepada leluhur atau dewata
supaya mengaruniakan keturunan kepada pasangan yang sudah lama menantinya.
[26]
Parbaringin berasal dari garis tertua marga
cabang, jabatan ini dapat diwariskan. Cara mewariskan jabatan parbaringin
dilakukan sebagai berikut: Raja Parjolo, Raja Huta, pengetua masyarakat dan
Raja Na Mora berkumpul bermusyawarah untuk menunjuk dan menetapkan seorang dari
turunan parbaringin sebagai pewaris.
Penunjukan ini diumumkan pada pesta pasampehon (menerima masuk ke dalam
lingkungan parbaringin) yang dihadiri semua parbaringin. Pada acara tersebut
parbaringin mengucapkan tonggo-tonggo kemudian melakukan tari wajib. Bisuk
Siahaan, Op.cit., hl. 159
[27] Lih. J.C. Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pusata Azet, 1985)
hl. 119
[28] Lih. B. A. Simanjuntak, Op.Cit., hl. 165
[29] I. Tampubolon, Adat mendirikan Huta/Kampung (Medan: Percetakan Philemon Siregar,
1968) hl. 7
[30] Marmanuk ni ampang maksudnya: upacara
magis, sesekor ayam dipotong dimasukkan ke dalam ampang kemudian dilihat ketak
ayam mati tersebut di dalam denah peta
magis yang sudah disediakan.
[31] Ibid.
[32] Penting
juga ditekankan bahwa pengertian raja bagi orang Batak sejak lama sangat
mendasar pada realisasi pengembanan tanggungjawab (bukan sebagai kepala
pemerintahan).
[33] Vergouwen, Op.Cit., hl. 126
[34] Ibid. Di Silindung, galur besar atau
cabang-cabang marga mengelompok di sekeliling raja jungjungan yang kuat. Wewenangnya adalah ia sebagai seorang
kepala yang berhasil membuat dirinya dihormati oleh kelompok silsilah yang
lebih besar yang ke dalamnya ia terbilang. Ia menangani terutama soal soal yang
berkaitan dengan keamanan dan perang dan juga dengan urusan “dalam negeri
wilayah”. Dalam hal mempertimbangkan sesuatu dia dibantu oleh raja partahi (penasehat) yang biasanya
kepala cabang-cabang yang menjadi komponennya. Tetapi jika seseorang yang
tadinya merupakan tokoh kuat kehilangan pengaruh dalam urusan wilayah, atau
jika pertumbuhan cabang yang ke dalamnya dia termasuk lebih kecil dari pada
yang lain di dalam kelompok yang lebiih besar maka persaingan orang antara
sesama dan pertandingan sesama galur yang lebih kecil akan segera muncul ke
permukaan dan wilayah yang tadinya menjadi unit yang perkasa bisa terpecah ke
dalam sempalan-sempalan marga yang saling cekcok. Di sini, kejadian historis
dan pribadi memainkan peranan penting walaupun efeknya bisa agak diredakan oleh
keinginan untuk memihak kepada cabang marga tertua (haha ni partubu juga disebut haha
ni harajaon). Hal seperti ini tidak hanya tedapat di Silindung melainkan
juga di Humbang Tengah dan Timur, atau di Muara, mungkin pula di daerah Sipaettua dekat Laguboti yang keadaannya
tidak terlalu beberbeda.
[35] B. A. Simanjuntak, Ibid., hl. 79-80
[36] Togar Nainggolan, Op.Cit., hl. 78-79
[37] Lance Castle, Op.Cit., hl. 36ff
[39] Johan
Haselgreen. Op.cit., hl. 71 Setelah
tanah Batak takluk dan dikuasai (diperintah) maka melalui propaganda-proganda
kolonial seterusnya system pemerintahan berdasarkan pemerintahan colonial
dijalankan dengan ketentuan bahwa katanya peranan Bius masih dihargai.
[40] Hal ini dapat dijelaskan: Horja adalah wilayah kekuasaan
pemerintahan, ugamo dan adat. Satu-satu Horja adalah gambaran kesatuan satu
paradatan. Horja terdiri dari beberapa
Lumban sebagai satu wilayah pemerintahan, ugamo dan adat dan didukung oleh
marga. Lumban terdiri dari beberapa Huta Bolon yang juga didukung oleh
marga. Huta Bolon terdiri dari Huta
yaitu wilayah pemerintahan, ugamo dan adat yang menjadi wilayah pemerintahan,
ugamo dan adat yang terendah dari struktur organisasi Harajaon Batak.
Pembagian-pembagian wilayah seperti inilah yang menjadi kabur dengan munculnya
pembagian wilayah oleh penjajahan Belanda .
[41] Lance Castle, Op.Cit., hl. 10-11
[42] Gultom
Rajamarpodang, Ibid., hl. 422.
Dijelaskan oleh Gultom Rajamarpodang bahwa system kemasyarakatan Batak Toba
sekarang masih menggambarkan demikian sehingga dalam penetrapan kegiatan
masyarakat, sulit dipadu antara kegiatan masyarakat dengan budyanya dengan
system pemerintahan yang dijalankan sekarang.
[43] Lih. Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta: Kontuinitas dan Perubahan Identitas (Medan: Penerbit Bina
Media, 2006) hl. 53-54. Togar Nainggolan
menjelaskan dalam bukunya, penguasaan atas tanah Batak oleh Belanda merupakan
tujuan utama kolonialisme. Demi efektifitas dan sentralisasi adalah alasan
utama kolonialisme Belanda membagi-bagi daerah Batak menjadi beberapa daerah
residen. Untuk ini, beberapa huta disatukan dalam beberapa regio pemerintahan,
dengan demikian kemerdekaan huta dikurangi dan kekuasan pemerintahan
diperbesar. Dewan pemerintahan pusat dibentuk yang terdiri dari raja-raja huta. Mereka ini bertugas
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di huta sesuai dengan hukum adat, kemudian pemerintah colonial Belanda
meneguhkan hukum adat. Pemerintah colonial (termasuk misi) sangat mempergunakan
struktur hierarki masyarakat Batak Toba untuk mencapai tujuan mereka. Belanda
membentuk pemerintahan regio yang terdiri dari raja-raja huta dan mereka ini
disebut hundulan (dewan regio).
Tujuan akhir pemerintah Belanda adalah untuk mengganti struktur huta dengan
system pemerintahan colonial untuk mengatur dan menjamin aturan dan hukum yang
berlaku demi ketertiban masyarakat.
[44] Lance Castle, Op.Cit., hl. 57-69
[45] William
Skidmore, Theoretical Thinking in
Sociology (London: Cambridge University Press, 1975) hl. 175
[46] Frans Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta:
Gramedia, 2000) hl. 59.
[47] Lih. Carter Lindberg, The
Third Reformation ? (Georgia: Mercer, University, 1983) hl. 131
[48] Lih.
Johan Hasselgren, Batak Toba di Medan:
Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di Medan, 1912-1965 (Medan: Penerbit Bina Media
Perintis, 2008) hl. 76-77
[53] Lih. Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja
(Jakarta: BPK-GM,1996) hl. 96-98. R. Fabri datang ke Amsterdam
menemui pemerintah Belanda guna membicarakan masalah misi selanjutnya di
Kalimantan akibat bergejolaknya perang Hidayat tahun 1859 di sana. Akibat perang itu juga para misionaris
RMG turut terbunuh sebab ketika itu Kalimantan
juga merupakan wilayah kerja misi RMG yang dirintis sejak tahun 1835. Masa
kunjungan inilah awalnya Fabri menemukan kesan yang sangat mendalam
baginya terhadap awal pengenalannya kepada orang Batak sehingga merupakan
inspirasi awal bagi masuknya RMG di tanah Batak.
[54] Hasellgren, Ibid., hl 82-83
[56] Lih.
P.B. Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan:
Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatera Utara (BPK, Jakarta, 1975) hl.
52-54
[57] Lih. P.B. Pedersen, Ibid.,
hl. 54-64 Lih.
Juga: Lothar Scheiner, Telah Ku Dengar
Dari Ayahku, Perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta:
BPK: 1978) Ia lahir di pulau Nordstand (daerah Schleswig-Holstein sebuah
daerah antara Denmark dan Jerman) tanggal 6 Pebruari 1834 (pada
tahun terbunuhnya Munson dan Lyman di Lobupining) dan bulan Oktober
1861 (setelah menjalani pendidikan teologi di bawah bimbingan RMG) ia
ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Tiba di Padang tanggal 14 Mei 1862
(masa 142 hari pelayaran dari Jerman hingga ke Padang).
[58] Di rumah seorang penduduk setempat bernama Bondannalotot Nasution di Prau
Sorat-Sipirok. Tanggal rapat koordinasi kerja mereka inilah yang
kemudian oleh badan zending RMG ditetapkan sebagai hari lahirnya gereja-gereja
Batak (HKBP). Secara kebetulan, orang Kristen Batak melihat bahwa huruf pertama
dari masing-masing nama ke empat misionaris ini (Heine, Klammer, Betz dan V(P)an Asselt) dianggap sebagai ilham dan nubuatan kemudian untuk nama
gereja HKBP (Huria Kristen Batak
Protestan). Lih. Andar Tobing, hl. Op.Cit., 100
[59] Lih. J.R. Hutauruk, Kemandirian
Gereja (BPK, Jakarta, 1992) hl.
24-30. Realitas selanjutnya,
wilayah bagian Selatan Tapanuli, Islam sudah sangat dominan bagi masyarakat
setempat, sementara di bagian Utara agama tradisionil Batak juga masih sangat
dominan (masih belum disentuh oleh pengaruh apapun) bagi masyarakatnya. Demi
pengembangan misi selanjutnya, rapat koordinasi ke empat orang misionaris ini
tetap memutuskan bahwa Van Asselt bersama Heine keduanya bekerja untuk
wilayah Utara khususnya daerah Pahae sedangkan Klammer dan Betz bekerja
untuk wilayah Selatan khususnya daerah Bungabondar (Sipirok).
[60] P.B. Pedersen, Ibid., hl. 64
[61] Lih. J.R. Hutauruk (Koord), Tuhan Menyertai Umatnya,
Sejarah 125 Tahun HKBP, Pearaja Tarutung, 1988. hl. 147 ff
[62] Lih. Hutauruk, 125 tahun HKBP, Ibid., hl 148
Bidang Pendidikan Umum. Untuk
membaca dan berhitung dibuka SD di Prau Sorat tahun 1893. Selanjutnya, sekolah-sekolah sending di
Tapanuli mendapat bantuan dari pemerintah Belanda sebab sekolah sending sangat
berperan meningkatkan pengetahuan masyarakat, “Sekolah anak ni raja” didirikan di Narumaonda dan sekolah ini
memakai bahasa Belanda. Di Narumonda juga didirikan sekolah Tukang yang dididik
menjadi terampil/ahli bidang pandai besi dan kayu. Lama belajar adalah 2 tahun
yang kemudian sekolah ini mendapat bantuan dari pemerintah. Hingga tahun 1961,
oleh orang Kristen Batak melalui HKBP bersemangat mengembangkan lembaga pendidikan
ini melalui pendirian perguruan teknik HKBP di P. Siantar (Jln. Medan
sekarang). Bidang pendidikan
teologia. Lembaga pendidikan guru pertama yaitu Seminari Prau Sorat sebagai sekolah
Kateket) di dirikan di Prau Sorat Sipirok (Tapanuli Selata, 1868). Siswa
sekolah ini direkrut dari tamatan SD sending terbaik ketika itu dengan
kurikulum: “pengetahuan tafsiran
Alkitab dan Sejarah Alkitab, Katekhismus, Ilmu Bumi, Sejarah (Kuno, Modern, dan
Sejarah Gereja), Berhitung, Bernyanyi, Pengetahuan Alam dan bahasa Jerman dan
Melayu”. Sekolah ini ditutup tahun 1872 (hanya menghasilkan 27orang guru
dari tiga angkatan) karena hasil misi PI umumnya di TAPSEL sangatlah lambat di
banding TAPUT dan akhirnya sekolah ini dipindahkan ke TAPUT. Hingga tahun 1934, pengembangan pendidikan teologia terus dilakukan hingga
berdirinya:”sekolah penginjil khusus wanita (Bibelvrouw) di Laguboti”.
Sekolah ini pertama sekali di bawah pimpinan Schwester Elfriede Harder. Mula-mula sekolah ini didirikan di
Narumonda-Porsea (1934-1936) tetapi tahun 1837 dipindahkan ke Laguboti. Sejak
awal, produk sekolah ini diharapkan mampu menjadi pelayan gereja khusus bagi
pekerjaan wanita seperti: pembinaan wanita dalam gereja, mengajar anak-anak dan
muda/i, pelayanan pastoral lainnya para wanita ke rumah-rumah. Masa pendudukan
Jepang (1940-1945) sekolah ini ditutup, namun oleh Pdt. K. Sirait mantan
Ephorus HKBP pertama, sekolah ini dibuka kembali.
[63] Lih. J.R. Hutauruk, Nomensen dan Metode Pekabaran Injil
dalam: Bagian Ilmu Sejarah dan Pekabaran Injil STT-HKBP, Benih Yang Bebruah (Pematangsiantar: STT-HKBP, 1984) hl. 37-39. Dalam sejarah gereja HKBP,
personifikasi kesatuan itu berulang dalam diri almarhum Ephorus Dr. J.
Sihombing yang dalam mengarungi masa-masa pencobaan pada waktu pendudukan
Jepang, sangat terasa kegunanaannya. Type kepemimpinan yang demikian menjadi
harapan setiap anggota jemaat masa kini sebab bagaimana pun baiknya metode
kerja yang telah disepakati, hasilnya bergantung kepada orang yang bekerja,
kepada kharisma kepemimpinan pribadi dari pemimpin gereja itu
[64] Lih. Hutauruk, 125 tahun HKBP, Ibid. RS RMG pertama didirikan di
Tarutung (1900) yang dipimpin
oleh Dr. med. J. Schreiber. Hingga
tahun 1940, pelayanan kesehatan telah berlangsung denganbaik
melalui berdirinya 14 RS penolong di: Ambarita; Butar;
Dolok Sanggul; Nainggolan; Pakantan; Pakkat; Pangaribuan; Pangururan;
Pargarutan; Parsoburan; Sayurmatinggi; Sihorbo; Sipirok; Sitorang. RS
penolong ini kemudian didukung oleh berdirinya
12 Poliklinik, yakni di: Janjimatogu; Laguboti; Lintongnihuta; Lumban
Julu; Onanhasang; Parsoburan; Porsea; Salak; Sarulla; Simarangkir; Sigumpar;
Sipahutar.
[65] Lih. Pedersen, Op.Cit., hl. 61
Dalam usaha memperbaiki sistem social masyarakat ini, para misionaris RMG
menerapkan metode kerja misi sebagai berikut:
pertama, memberantas sistem “parhatobanon” (system budak)
melalui menebus utang “hatoban” kepada para pemiutang (tuan-tuan/raja).
Membasmi system utang-piutang (pinjam
meminjam) dengan bunga yang sangat tinggi dengan menggiatkan system
perkoperasian yang pengelolaannya dipercayakan kepada para guru sending yang
sekaligus berfungsi sebagai guru jemaat setempat. Untuk pelayanan bidang ini,
Nomensen memberi modal kepada jemaat untuk dipinjamkan dengan bunga sangat
rendah. Ketiga, mengurangi beban kerja
para wanita menumbuk padi dengan mengajari mereka membuat kincir air (losung
aek) yang berfungsi sebagai gilingan padi. Keempat, mengajari para petani
Batak dengan system pertanian modern. Sistem ini ditambah dengan
pengefektipan lahan pekarangan rumah guna meningkatkan pendapatan dan giji
keluarga seperti tanaman sayuran dan buah-buahan. Pola ini diterapkan pertama
sekali dengan mengembangkan penataan “pargodungan” (kompleks gereja
sekaligus kompleks perumahan pelayan: Pdt dan guru sending/jemaat). Kelima, untuk
membina system perekonomian masyarakat Batak yang lebih luas, I.L. Nomensen
mengusulkan kepada pemerintah mengatur hari pekan (Onan) di tiap daerah di
Tapanuli Utara. Tujuannya supaya hasil panen penduduk dapat dipasarkan dengan
baik melalui lancarnya roda perputaran uang di tanah Batak (misalnya: Onan
Senin - Laguboti ;
Selasa-Narumonda ; Rabu – Porsea ; Kamis–Silaen ; Jumat–Balige ; Sabtu –
Sigumpar ; Rabu – Siborongborong dan daerah daera lainnya di Silindung).
[67] Lih. J.R. Hutauruk, Nomensen dan Metode Pekabar Injil,
dalam: Bidang Penelitian dan Pengembangan
STT-HKBP Bagian Ilmu Sejarah Gereja dan Pekabar Injil, Benih Yang Berbuah (Hari Peringatan 150
Tahun Ompu I Ephorus Dr. Ingwer Ludwig Nomensen Almarhum (Pematangsiantar :
STT-HKBP, 1984) hl. 37
[68] Lih. Lance Castle, Kehidupan
Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli, 1915-1940 (Gramedia, Jakarta, 2001) hl. 31-33. Suatu hal dapat
dikatakan bahwa keberhasilan misi di tanah Batak sangat ditentukan oleh cara
pendekatan para misionaris yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat
Batak pada masanya. Pernyataan inilah yang dilakukan secara khusus oleh
Nomensen, dan nampak dalam hal: Pertama, ketika pertama sekali orang Batak
memberi gelar “Ompui” kepadanya,
pemberian gelar ini tidak semata-mata karena keberhasilannya membentuk dan
membina sebuah perkampungan Huta Dame di lembah Silindung yang sekaligus ia
memberi pengajaran Alkitab dan
pengetahuan agama Kristen kepada mereka. Lebih dari itu, nasehatnya dalam
memutuskan persoalan adat, tata laksana kehidupan antar kampung, demikian
perselisihan antara keluarga, keadilan pertimbangannya memperdamaikan
perselisihan antar penganut agama suku semuanya menjadi corak kepemimpinan
dan kepribadiannya yang sangat tanguh memberhasilkan misi di tanah Batak.
Kedua, wibawa (sahala) dirinya yang ditunjukkannya ketika pertemuan para raja
di setiap berlangsungnya Onan nampak kecerdasan, ketangkasan dan
ketajamannya berpikir terhadap soal-soal hikmat ke-Batak-an dan melampaui
raja-raja Batak sendiri. Sikap seperti inilah inilah dapat dijadikan sebagai
teladan yang sangat kuat bagi pelayan dan pelayanan (kepemimpinan gereja Batak)
masa kini guna dimanfaatkan bagi perkembangan gereja sebagaimana diharapkan ke
depan.
[69] Th. Van den End & J.
Weitjens, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm. 184-185.
[70] Ibid, hlm.
189-190.
[71] Gomar Gultom, Menggapai
Gereja Inklusif; Bunga Rampai Penghargaan atas Pengabdian Pdt. DR. J.R.
Hutauruk (Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2004), hlm. v-vi.
[72] Nekson Simanjuntak, “HKBP Menuju Gereja
Yang Inklusif dan Dialogis – Suatu Telaah Dari Pendekatan Budaya dan Teologi”,
dalam Immanuel HKBP Vol. 115 No. 9 Sep. 2004, hlm. 40.
[73] HKBP, Aturan dohot Paraturan
(Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2002), hlm. 99-100. Penggunaan
selanjutnya disingkat dengan AP HKBP 2002.
[74] A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukuanan (Jakarta: BPK-GM, 2006),
hlm. 127.
[75] Ibid, hlm. 138.
[76] Robinson Rajagukguk, “Pendeta
HKBP Menjadi pelayan yang Menghayati Pelayanan Koinonia, Marturia, Diakonia
yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka”, dalam Buku Panduan Rapat Pendeta
HKBP 01-05 Agustus 2005 (Unpublished), hlm. 138-140.
[77] J.R. Hutauruk, “Gereja Yang Inklusif dan
Dialogis, Merangkul Semua Tanpa Mengucilkan” dalam Immanuel HKBP
Vol. 112, No. 7 Juli 2002, hlm. 38.
[78] AP HKBP 2002, hlm. 95-95.
[79] Visi adalah: kemampuan untuk melihat
pada inti persoalan; pandangan luas; wawasan; penglihatan; pengamatan. (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hlm. 1004).
[80] Misi adalah: tugas yang dirasakan orang
sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi, patriotisme,
dsb. (Ibid, hlm. 587).
[81] Ibid, hlm. 38-39.
[82] Ibid, hlm. 42.
[83] Binsar Nainggolan, “HKBP Distrik X Medan-Aceh
Terpanggil untuk Mewujudkan Gereja sebagai Tubuh Kristus yang Inklusif,
Dialogis, dan Terbuka Mencapai Cita-cita menjadi Berkat bagi Sesamanya di
tengah-tengah Masyarakat yang Pluralis”, dalam Arahan dan Laporan
Praeses ke Sinode distrik, disunting oleh Midian KH Sirait (Medan: HKBP
Distrik X Medan Aceh, 5-6 Desember 2006), hlm. 111.
[84] J.R. Hutauruk, Op.cit, hlm. 42.
[85] Herlianto, Teologi Sukses-Antara Allah dan
Mamon (Jakarta: BPK-GM, 1993), hlm. 1. Teologi Sukses, lebih memberikan
tekanan pada hidup kaya, dibekarti dan berkelimpahan. Ajaran tersebut juga
menawarkan kepada manusia untuk menyembah Allah dan tetap mencintai Mamon,
suatu bentuk pandangan hidup mendua yang praktis dan populer pada masa kini.
[86] Alan Race, Christians and Religious Pluralism
(Amrynoll-New York: Orbis Books, 1982). Dalam buku ini, ia menguraikan
pengelompokan itu berdasarkan pandangan para teolog yang mengembangkan beberapa
sikap dalam hidup keberagaman.
[87] Eksklusif artinya: “terpisah dari orang
lain; khusus”. Sedangkan eksklusivisme adalah paham yang mempunyai
kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat. (Bnd. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hlm. 221). Bnd. juga Alan
Race, Op.cit, hlm. 10-37.
[88] Bnd. Alan Race, Op.cit, hlm.
37.
[89] Inklusif artinya: “termasuk;
terhitung” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit, hlm.
332).
[90] Bnd. Alan Race, Op.cit, hlm.
38.
[91] Pluralis artinya: bersifat jamak
(banyak), sedangkan pluralisme adalah hal yang mengatakan dan mengakui jamak
atau tidak satu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit,
hlm. 691).
[92] Alan Race, Op.cit, hlm. 72-73.
[93] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar
Bebas, Op.cit, hlm. 276.
[94] Nama tersebut dalam bahasa Ibrani terdiri
dari empat konsonan (huruf mati). Vokalnya tidak diketahui lagi dengan apasti
karena sejak zaman Perjanjian Lama, nama yang maha suci itu tidak diucapkan
tetapi selalu diganti dalam pembacaan dengan kata ינדא-adonay (Tuhan).
Bnd. Freedmann, “הוהי Yhwh”, dalam Theological Dictionary of The Old
Testament Vol. V, disunting oleh G. Johannes Botterweck & Helmer
Ringgren (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing, Co., 1986),
hlm. 501.
[95] Richard S. Hess, “Pluralisme Agama di
Israel Kuno”, dalam Satu Allah Satu Tuhan-Tinjauan Alkitabiah Tentang
Pluralisme Agama, disunting oleh Andrew D. Clarke & Bruce W. Winter,
diterjemahkan oleh Martin B. Dainton (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm. 16.
[96] Ibid, hlm. 18.
[97] John E. Goldingay &
Chistopher J.H. Wright, “Keesaan Allah Dalam Perjanjian Lama”, dalam Satu
Allah Satu Tuhan-Tinjauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama, Ibid,
hlm. 33.
[98] Ibid, hlm.
34.
[99] Ibid, hlm.
49.
[100] Terdapat perbedaan penafsiran terhadap teks
ini dalam hubungannya dengan tugas dan misi orang Kristen (gereja) masa kini.
Satu sisi teks ini dapat dipahami dan diimplementasikan sebagai suatu pemahaman
orang Kristen mula-mula, atau yang lebih khususnya dapat dipahami sebaga
konteks Injil Matius ketika jemaat (Yahudi) keluar dari sinagoge. Pemahaman
yang lain menyebutkan bahwa teks ini tidak asli sebagai ucapan Yesus, tetapi
berasal dari proselitisme triumphalis jemaat abad pertama. Tetapi pada intinya
bahwa interpretasi terhadap teks Mat. 28:18-20 merupakan salah satu contoh
perbedaan pandangan di dalam umat Kristen. (Bnd. Martin Harun “Amanat Aguung
dan Pluralitas Agama: Masalah Eksegetis dan Hermeneutis:, dalam DISKURSUS:
Jurnal Filsafat dan Teologi: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Vol. 5, No.
2, Oktober 2006, hlm. 181).
[101] Bruce. W. Winter, “Orang Kristen Mula-mula
dan Pluralisme Agama” dalam Andrew D. Clarke & Bruce W. Winter (peny.),
Op.cit, hlm. 95-97.
[102] Robert Jewett, Christian Tolerance-Paul’s
Message to The Modern Church (Philadelphia: The Westminster Press, 1982),
hlm. 10-11.
[103] Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja Jilid
1 A-Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), hlm. 315-316.
[104] Dokumen Konsili Vatikan II,
diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor, 2002), hlm. 309-315.
[105] Bnd. Tom Jacobs, Gereja Menurut Vatikan II (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), hlm. 27-28.
[106] Dokumen Konsili Vatikan II, Op.cit,
hlm. 311.
[107] http: // www.Vatican.Encyclical Letter
ecclesia de eucharistia, diakses tanggal 12 Desember 2007.
[108] HKBP, Konfesi HKBP 1955 dan Konfesi HKBP
1996 (Pematangsiantar,HKBP, ttp),hlm. 5-9.
[109] Willem T.P. Simarmata, “Mewujudkan HKBP
yang Terbuka dan Dialogis”, dalam Menggapai Gereja Inklusif; Bunga
Rampai Penghargaan atas Pengabdian Pdt. Dr. J.R. Hutauruk, Op.cit,
hlm. 328.
[110] Iman Sesamaku dan Imanku, diterjemahkan oleh Eka Darmaputra
(Jakarta: BPK-GM, 1994), hlm. viii.
No comments:
Post a Comment