Kata Inspisari Terindah

Orang Malas Tidak Akan Menangkap Buruannya, Tetapi Orang Rajin Akan Memperoleh Harta Yang Berharga (Amsal 12 : 27) By : Bona Sumbayak
ff

Wednesday 26 April 2017

Sejarah Gereja Indonesia Di Tanah Batak (Edisi Lengkap)



MASYARAKAT DAN AGAMA BATAK
SEBELUM KEKRISTENAN


Selayang Pandang

Pendahuluan
1.   Secara umum, selama bertahun-tahun (sebelum abad 19) masyarakat suku Batak khususnya yang mendiami Provinsi Sumatera Utara (ada enam etnis  suku mendiami wilayah ini yakni: Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan Mandailing) hidup terpencil dari hubungannya dengan dunia luar karena letak geografisnya yang bergunung-gunung. Kendati pun demikian, namun dapat dikatakan bahwa orang Batak telah mengembangkan sistem-sistem kompleks kehidupannya sehari-hari di bidang social, hukum dan agama. Pokok inilah yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan selanjutnya terhadap penelusuran metode kerja para misionaris menerapkan Injil ke dalam kehidupan orang Batak dalam sejarah misi. Artinya, para misionaris perlu menyesuaikan konsep-konsep kekristenan kepada perbendaharaan  kata dan struktur social  dari masyarakat Batak yang tradisionil. Dalam hubungan ini, nyata bahwa kebudayaan Batak telah membuktikan kekuatannya dengan menempatkan pengaruh-pengaruh asing masuk ke dalam kebudayaan Batak yang tradisionil masa selanjutnya. Ada indikasi bahwa ada pengaruh kebudayaan Hindu dan Buddha (thn 2000 seb. Masehi – 1500 AD) masuk kepada sistem-sistem kehidupan orang Batak, namun sejauh pengaruh ini tidak menguasai keseluruhan masyarakat Batak. Demikian dengan keislaman yang sudah sangat dinamis di daerah Utara-Aceh dan Selatan-Minangkabau (Islam masuk ke Indonesia, abad 13-14), unsur ini gagal menggantikan keperayaan Batak tradisionil. Secara umum para peneliti abad 19 tentang masyarakat Batak memberi kesimpulan bahwa streotip (ciri karakter) utama sebagai pengenalan kepada masyarakat Batak sebelum kekristenan disebut sebagai orang yang “keras sifatnya dan harus dihindari oleh semua orang”.  Menurut Pedersen (Darah Batak…, hl. 16) William Marsden-lah yang secara positif pertama sekali menyimpulkan bahwa orang Batak: menurut penelitiaannya mengatakan sebagai : “masyarakat yang sudah memiliki peradaban yang telah berkembang tinggi dengan pengalaman duniawi di bidang social, hukum dan agama”. Penting ditekankan bahwa menurut sejarahnya, masyarakat Batak tidak pernah secara langsung berada di bawah pemerintahan asing sebagai jajahan yang tak bebas.

2.   Kepercayaan Terhadap Agama Tradisionil. Sebelum uraian ini dilanjutkan dapat dikatakan bahwa: ketika misionaris-misionaris Kristen tiba di tengah kehidupan orang Batak, mereka telah menemukan hilmat bahwa orang-orang Batak adalah satu suku bangsa yang sangat bergairah dan memiliki kesadaran yang hidup dan kekuatan agamaniah di dunia sekitar mereka (kesadaran tentang adanya kekuatan supra alamiah dunia sekitar). Pemujaan terhadap kekuatan supra alamiah inilah yang kemudian sangat dikutuk oleh para misionaris namun sifat kesalehan Batak terhadap kegiatan  dinamis dari kuasa agamaniah ini tetap dipelihara dalam konteks Kristen. Kemudian para misionaris menganggap hal ini menyenangkan, malah esensil untuk menerangkan pemberitaan mereka dalam istilah tradisonil.
      Tentang kepercayaan Batak terhadap agama tradisionil ini dapat dikatakan sebagai berikut:
a.    Kosmologi Batak tradisionil membagi eksistensi kehidupan ke dalam tiga tingkat dunia (dunia) yakni: Dunia atas, sebagai kerajaan Dewata tertinggi yaitu: “Mula jadi Na Bolon dan roh nenek moyang yang sudah meninggal”. Dunia tengah, sebagai gelanggang keseluruhan kegiatan manusia, dan Dunia Bawah sebagai tempat tinggal para hantu dan setan yang diperintah oleh Naga Padoha sang ular Naga. Orang Batak Toba mengalami seluruh ruang kosmis sebagai suatu totalitas  dunia bawah, dunia atas dan dunia tengah, di mana ssetiap tingkat mempunyai suatu fungsi khusus dalam keselarasan kehidupan (eksistensi). Sebuah pohon kehidupan yang tingginya dari dunia bawah hingga ke dunia atas merupakan symbol Dewata Tertinggi dalam menyatukan segala kehidupan  dan mewakili seluruh tata tertib kosmis. Nasib setiap orang tercatat pada pohon kehidupan ini, yang dari padanya  seluruh kehidupan berasal.
b.    Seluruh daya upaya orang Batak selama hidupnya harus tertuju pada pengembangan dan penyempurnaan “sahala” (kewibawaan, kemewahan, kemuliaan dan kekuasaan). Sahala ini mencakup kewibawaan, harta benda, keturunan (bibit), keberanian, kegagahan, kecerdasan, kecerdikan, kemahiran bicara, keluruhuran budi, rasa keadilan, kesaktian, ilmu gaib, pengetahuan yang luas, dan lain sebagainya. Sebelum kekristenan, orang yang sanggup membangun sebuah kampung baru, menang main judi, berperang, berperkara, dan lain sebagainya soal-soal yang sebenarnya tidak wajar dia menangkan (pintar bersoal jawab) adalah orang yang diakui telah memilik “sahala” lebih dari sesamanya. Oleh karena itu, hingga masa modern abad 21 ini, pengaruh paham ini sangat berpengaruh kepada orang orang Batak melalui usaha berbagai cara agar mendapatkan “sahala” termasuk himbauan orang tua kepada anaknya agar rajin sekolah.

3.   Bentuk Kepemimpinan Tradisionil. Identitas bentuk kepemimpinan tradisionil masyarakat Batak, ini sangat menonjol pada peran  Datu yang sekaligus berfungsi sebagai imam, raja dan sebagai kepala desa. Menurut penelitian para ahli (lih. Andar Lumbantobing, hl.36) peranan dan fungsi datu ini lebih sebagai pengaruh dari jaman Hindhu-Buddha di mana peranan ini merujuk pada suatu jabatan keimaman, kebangsawanan yang lebih tinggi, atau kepada suatu gelar yang mungkin dapat dipergunakan. Sebelum kekristenan fungsi datu (hadatuon) ini bagi orang Batak adalah sebagai penghubung unsur-unsur magis dengan tugas-tugas yang bersifat medis-agamaniah secara asasi dan bersifat pengajaran. Sebelum kekristenan, untuk banyak urusan kehidupan sehari-hari seluruh masyarakat Batak sangat tergantung pada pengetahuan dan kemampuan datu, sebab datu diakui sebagai orang yang memiliki talenta khusus untuk menambah kekuatannya sendiri melawan kuasa kuasa kosmos. Kemampuan seorang datu menurut orang Batak adalah orang yang dapat mengalahkan kuasa roh jahat, mendamaikan roh yang tidak ramah, menyembuhkan segala macam penyakit, mengendalikan cuaca, dapat mempengaruhi hasil panen, dan menetukan masa depan. Datu juga berfungsi sebagai seorang dokter, dapat menyatakan perang, hari menikah, membangun rumah dan dapat membaca isi perut seekor anak ayam dan dapat menafsirkan satu peristiwa masa lalu demikian dengan  peristiwa yang akan datang.

4. Organisasi Social. Kesempurnaan hidup orang Batak sejak awal hingga masa modern ini, sangat dipengaruhi oleh keikutsertaannya dalam urusan-urusan adat. Orang Batak meyakini bahwa pemeliharaan terhadap adat sangat berhubungan dengan pencegahan terhadap bencana, pemulihan, keselarasan, kesuburan, kesehatan, dan kesejahteraan golongan. Berhubungan dengan keyakinan ini, kecelakaan, bencana dan gejala-gejala alam yang aneh yang mengancam kesejahteraan segolongan masyarakat Batak ini sangat dihubung-hubungkan dengan pemeliharaan dan pelanggaran terhadap adat. Melalui adat, orang Batak sangat menjunjung tinggi kecerdasan nenek moyang yang merumuskan peraturan-peraturan adat, sehingga masa setelah kekristenan  sangat sulit merubah aspek-aspek yang fundamental dari adat. Dalam makna yang lebih luas, adat adalah sumber identitas bagi orang Batak sehingga melalui realitas ini sejak awalnya gereja sudah mengadopsi beberapa aspek adat masuk ke dalam struktur gereja.

5. Organisasi-Organisasi Agama Tradisional. Orang Batak (sebelum) kekristenan menganut agama-agama tradisonil, di mana agama-agama tardisionil orang Batak ini dapat diidentifikasi ke dalam beberapa kelompok (lih. Lance Castle, hl. 57-69 juga: P.B. Pedersen, hl. 41-44), sebagai berikut:
a.    Kaum Parmalim. Kelompok agama tradisionil ini mulai muncul di kalangan orang Batak baru akhir tahun 1870-an . Latarbelakang munculnya kelompok ini,  bersumber dari beberapa orang Batak yang berusaha melindungi unsur-unsur tradisionil Batak dari pengaruh-pengaruh yang dianggap merusak dari mulai masuknya agama Kristen, Islam, dan kolonialisme. Sekte ini, pertama sekali didirikan oleh Guru Somalaing Pardede (dari Balige) bersama dengan Raja Sisingamangaraja yang merekrut pengikut-pengikutnya dari daerah Toba (Uluan) dan Simalungun. Nama Parmalim diadopsi dari istilah bahasa Batak: “Malim” yang berarti: “untuk menjadi merdeka”. Gagasan tentang agama tradisionil baru ini diperoleh Guru Somalaing dalam suatu perjalanannya bersama dengan seorang ahli botani (ahli ilmu tumbuh-tumbuhan) Italia bernama: Elio Modigliani yang berkunjung ke tanah Batak melakukan penelitiannya ketika itu. Dalam perjalan  mereka Somalaing mendapat informasi dari Elio tentang ajaran agama Katolik (Trinitatis) sebagai: Yehowa, Maria dan Yesus. Somalaing mengasosiakan pemahamannya kepada Sisingamangaraja yang setara dengan Raja  Romawi, Raja Turki (Paus dan Sultan Turki secara berturut-turut) Raja Hatorusan, Raja Uti (tokoh mitologi Batak) Sideak Parujar dan Naga Padoha (dewa Batak). Pengikut kelompok ini menyebut diri sebagai Parsiakbagi
b.    Kelompok Parhudamdam. Kelompok ini mulai popular tahun 1907 dan tahun 1920, munculnya kelompok agama tradisionil ini juga merupakan gerakan perlawanan terhadap pengaruh-pengaruh asing bagi unsur-unsur tradisionil Batak. Gerakan kelompok ini sangat diilhami oleh tewasnya Raja Singamangaraja XII yang kemudian diikuti oleh awal mulai berpengaruhnya kolonialisme Belanda di Tapanuli.  Keadaan ini, bertindaklanjut pada beban masyarakat Batak oleh sistem pajak yang sangat berat oleh pemerintah kolonial kepada orang Batak. Pembebanan sistem pajak ini, kemudian diikuti dengan penyusunan kembali pola-pola  tanah milik dan penyebaran pengaruh kekuasan Belanda ke seluruh wilayah Tapanuli. Intinya, munculnya “agama tradisionil baru” ini adalah melingkungi kenangan terhadap Sisingamangaraja dengan suatu mytologi yang mesianis dan Dewata tertinggi dengan suatu tema kebinasaan bagi orang-orang yang tidak mempercayainya. Awalnya gerakan kelompok ini direalisasikan dengan perjalanan  keliling guru-guru Parhudamdam ke berbagai kampung orang Batak dengan tujuan menarik seluruh warga kampung masuk menjadi anggotanya. Namun tidak lama, gerakan ini hilang lenyap sebab  mereka tidak sanggup mempersatukan golongan-gologan social, politik, dan orang-orang Batak yang bermacam kepentingannnya. Lenyapnya golongan ini sangat didukung oleh gencarnya perlawanan dilakukan oleh militer kolonial Belanda terhadap mereka, juga oleh anggapan kebanyak orang Batak menilai golongan ini ketinggalan zaman dari proses modernisasi yang dinamis. 
c.    Golongan  Sirajabatak. Populernya kelompok ini berawal dari peristiwa tanggal 17 Juni 1942 dimana gerakan sirajabatak dari seluruh Indonesia diorganisir untuk memanggil orang-orang Batak kembali pada agama nenek moyangnya. Pada pertemuan ini, pemujaan terhadap Dewata tertinggi diproklamirkan, ritus pesta-pesta kurban di lakukan, demikian penghormatan terhadap nenek moyang suku bangsa dan pemujaan terhadap adat juga peraturan-peraturan memelihara tradisi kuno ditekankan. Awalnya, metode kerja kelompok ini dilakukan dengan merekrut orang-orang Kristen yang kena hukuman disiplin gereja, tetapi tidak pernah menarik jumlah pengikut yang besar. Dari indikasi ini, sirajabatak memasukkan banyak unsur kepercayaan kekristenan ke dalam agama tradisionil ini dan menekankan nasionalisme dalam ajarannya.

6. Komunikasi Antar Etnis Batak Sebelum Tahun 1861. Penting sebagai gambaran bahwa hingga tahun 1825 seluruh suku-suku Batak di wilayah Sumatera Utara tidaklah beragama Hindhu, Islam atau Kristen dan tidak tunduk kepada suatu penguasa jajahan. Bahkan boleh dikatakan bahwa sampai tahun 1861, oleh pengaruh keadaan alam, tidak memungkinkan adanya komunikasi yang lancar antar etnis Batak berlangsung, sehingga melaluinya hubungan satu sama lain sangat terisolasi dari pengaruh luar. Namun melalui keadaan ini, gejala baru yang mengarah kepada perpisahan antar etnis Batak nampak semakin besar jurang pemisahnya. Sebab mulai dekade ini, umumnya daerah-daerah pesisir sudah menjadi daerah sultan yang mempunyai daya ekonomi dan tata pemerintahan yang lebih maju (Hutauruk, Kemandirian, hl. 10-12). Gencarnya gerakan islamisasi daerah pesisir Batak terjadi sekitar tahun 1825, di mana suku-suku daerah sekitar Batak yang beragama Islam (Aceh, Minangkabau dan Melayu Di Sumatera Timur) melalui perdagangan turut mempertebal jurang pemisah komunikasi ini. Demikian dengan kehadiran para pedagang asing yang menganut Agama Islam telah dimamfaatkan para pengusaha pribumi meningkatkan kehidupan jasmani maupun rohani mereka. Jarak pemisah ini kemudian semakin diperbesar oleh ekspedisi seorang ahli pertanian berkebangsaan Belanda di tanah Deli yaitu: Neuwenhijs yang tahun 1861 mulai merobah hutan-hutan Sumatera Utara menjadi daerah-daerah perkebunan milik bangsa Asing seperti kebun kelapa sawit, karet, teh, tembakau dan lain-lain (lih.  J.R. Hutauruk, 125 tahun HKBP, 15-16). Demikian dengan penemuan dan pembukaan sumber minyak di Pangkalan Brandan tahun 1885 juga ikut mempertebal jauhnya jarak komunikasi antara tanah Batak Pesisir dan orang Batak di bagian wilayah pedalaman Sumatera.  Dengan indikasi ini, dapat dikatakan bahwa perkembangan di daerah Tenggara Sumatera Utara telah mempertebal jurang pemisah tanah Batak di pesisir dan di pedalaman. Pedalaman (Tapanuli) tetap dalam eksistensinya yang lama tanpa pengaruh para sultan dan para penguasa asing serta pemerintah Belanda. Perkembangan di daerah tetangga, sampai tahun 1861 telah memberikan indikasi bahwa agaknya pada saat yang tidak lama dan tanpa membutuhkan banyak tenaga, Belanda akan segera berhasil menduduki daerah tanah Batak (pedalaman) itu. Namun nyatanya ketika itu, Belanda tidak merasa penting baik secara eknomi maupun politik segera menduduki tanah Batak, sebab masih ada daerah yang lebih bersifat strategis untuk diduduki yakni tanah Eceh yang sangat luas.

7. Selayang Pandang Tentang Masuknya Keristenan di Indonesia. Dibawah ini dapat diuraikan tentang mulai masuk, bertumbuh dan berkembangnya kekristenan di Indonesia:
a.    Bersamaan dengan penaklukan Albuquerque tahun 1551 kepada Malaka, Franciscus Xaverius rasul untuk Indiea itu tiba di Maluku dan mulai mengabarkan Injil di sana.
b.    Tahun 1596, masuknya pertama sekali kapal-kapal dagang Belanda di Pulau Jawa, dan inilah permulaan zaman perdagangan besar antara Belanda dengan penduduk pulau Jawa.
c.    Tahun 1602, kongsi perdagangan Belanda yang terkenal dengan VOC: Vereenigde Oost Indische Compagnie didirkan di Belanda, oleh pemerintah Belanda diakui sebagai satu-satunya kongsi dagang Belanda yang mengadakan hubungan dagang dengan Indonesia. Lama kelamaan kongsi dagang ini ternyata tidak hanya mengurusi soal perdagangan, tetapi malah terfokus ke urusan militer yang menguasai seluruh Indonesia
d.    Hingga tahun 1820, pertama sekali gereja Baptis Inggris mengutus tiga orang misionarisnya ke Bengkulu untuk menjumpai jenderal Militer Belanda bernama Rafless, ketiga orang inilah yang berhasil mencapai tanah Batak yang masih kafir.

8. Periodesasi Sejarah Gereja Batak. Untuk melanjutkan uraian kuliah ini secara lebih detail, maka penting ditekankan bahwa periode sejarah gereja Batak dapat dibuat sebagai berikut:
a.    Periode I (Periode awal: 1820-1911): Periode ini ditandai dengan masuknya para misionaris pertama ke tanah Batak yang sekaligus melalui metode dan hasil kerja mereka pertumbuhan gereja dimulai di tanah Batak. Walau ‘umumnya’ gereja-gereja Batak adalah hasil misi badan Zending RMG: Rheinische Missionsgesellschaft, namun badan misi yang pertama sekali masuk ke tanah Batak (1824) adalah BMS: Baptist Missionary Society dari Inggris. 
b.    Periode II  (Periode Pengembangan dan Pendewasaan: 1912-1961): Periode ini ditandai dengan berlangsungnya perubahan-perubahan umum di wilayah Sumatera Utara di mana keadaan ini mempercepat lahirnya suatu dunia baru. “Dunia baru” inilah yang mempengaruhi keadaan perkembangan gereja-gereja pada umumnya di Sumatera Utara dan di tanah Batak khususnya. 
c.       Periode III (Periode persiapan memasuki Era Modern: 1962-sekarang): Periode yang penuh harapan dan tantangan menyongsong era modern dan globalisasi.
















PARADIGMA KEPEMIMPINAN
BATAK TOBA TRADISIONAL
(Suatu Pendekatan dari Sudut Sejarah
dan Antropologi Budaya Batak)
           
Pendahuluan
1.   Melalui tema ini, hendak dijelaskan suatu hal mengenai: “Paradigma Kepemimpinan Menurut Pandangan Batak Toba Tradisionil” (suatu pendekatan dari sudut sejarah dan antropologi budaya Batak). Pada posisi ini, penting bagi mahasiswa memahami secara mendalam inti tekanan tema ini sebab mahasiswa dapat diharapkan mampu mengaktualisasikan diri di tengah pelayanan. Mengingat gereja dan orang Kristen sekarang sedang berada pada titik balik sejarah dunia (sejarah gereja) di mana banyak terjadi perubahan yang memang nyata sulit dibayangkan beberapa decade yang lalu. Gereja sedang menghadapi realitas dunia dengan fenomena baru yang bergerak cepat dan sering disebut sebagai “Globalisasi”. Pada decade terakhir ini, kecepatan globalisasi nyata sungguh luar biasa, kecepatan ini didukung oleh liberalisasi ekonomi dan teknologi informasi yang demikian canggih dan nyata sudah meruntuhkan banyak birokrasi dan batas-batas Negara dan wilayah. Nilai-nilai positif dan negatif, ancaman dan peluang datang silihberganti dan secara bersamaan dengan femomena dimaksud. Sekarang tergantung kepada gereja (umat Kristen) umumnya, khususnya kepada mereka yang dipercayakan pemimpin diharapkan dapat mempergunakan keadaan ini untuk mendatangkan berkat dan kebaikan, atau justru membiarkan perubahan berjalan begitu saja dengan konsekwensi akan tergilas jaman.

2. Sejauh penelitian (dosen pengampu kuliah ini) dilakukan tentang teori-teori kepemimpinan (pemerintahan), dan menurut para ahli sangat banyak teori serta defenisi tentang pemimpin dan kepemimpinan. Hikmatnya, kalau ditanyakan kepada mereka yang ahli dalam bidang ini, semuanya mungkin menjawab melalui defenisi yang berbeda-beda. Contohnya Robert K. Greenleaf,[1] ia mengumpulkan pendapat para ahli dan mencoba mendefenisikan kepemimpinan mengatakan bahwa: “kepemimpinan adalah kapasitas dan kemauan mengarahkan orang untuk tujuan bersama dan karakter yang mengilhami keyakinan”. Ada yang mengatakan bahwa seorang pemimpin adalah “dia yang memahami dengan jelas apa yang dibutuhkan dan apa yang benar dan mengetahui bagaimana menggerakkan orang yang dipimpin dan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan berama”. Selanjutnya dalam buku yang sama, Greenleaft mengutip pendapat Howard Gardner[2] berkata: “seorang pemimpin adalah sebagai orang yang banyak mempengaruhi pemikiran, sikap dan perasaan orang lain tentang sesuatu”. Dikatakan juga bahwa kepemimpinan adalah “suatu kemampuan untuk menggerakkan orang bekerjasama dengan entusiasme untuk mencapai tujuan bersama”. Dari banyaknya defenisi tentang kepemimpinan dapat dipahami bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas tersendiri atau kemampuan untuk mempergunakan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan dalam sebuah organisasi khususnya dan lembaga masyarakat umumnya. Istilah entusiasme di sini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas khusus untuk mendorong atau memberi motifasi sehingga orang-orang yang dipimpin dapat dengan semangat melakukan yang terbaik demi tercapainya visi dan misi kepemimpinan. Pada akhirnya, dalam bukunya Greenleaft[3] menyarankan suatu model dan konsep dalam kepemimpinan yang disebutnya sebagai: “Servant Leadership” (kepemimpinan hamba) mengatakan bahwa “pemimpin hamba pertama-tama ia harus bertindak sebagai hamba, itu dimulai dengan perasaan alamiah bahwa dia benar-benar ingin untuk melayani kemudian dengan pilihan secara sadar akan menuntun dia untuk ingin memimpin”.

3.   Berhubung dengan uraian di atas, “bagaimana masyarakat Batak Tradisionil dulu (sebelum jaman Belanda dan kekristenan) menerapkan bentuk dan gaya kepemimpinan dan pemerintahan dalam masyarakatnya?” Inilah yang menjadi pertanyaan dasar dan kokoh melalui studi tema ini, tentu adalah tidak mudah menjawab dan menjelaskan ini. Mempertimbangkan pernyataan para ahli[4] di mana hampir semua menyimpulkan bahwa berhubungan dengan system politik dan pemerintahan masyarakat Batak, bahwa: “orang Batak dahulu (pada jaman tradisionilnya yakni sebelum masuknya kekristenan dan sebelum berkuasanya kolonialisme Belanda) tidaklah mempunyai susunan pemerintahan yang teratur dan tegas bidang-bidang kerajaan di Jawa seperti Kediri, Singosari, Mataram, Mojopahit, dan lain sebagainya”. Hingga masa penelitiannya, B. A. Simanjuntak,[5] tidak yakin bahwa ada satu kerajaan yang betul-betul seperti kerajaan-kerajaan di negeri Eropa pada abad pertengahan, terdapat di tanah Batak. Kalau pun ada kerajaan yang dipimpin oleh Sisingamangaraja, sifat dan bentuknya tidak seperti kerajaan-kerajaan di Eropa maupun di Jawa. Pemerintahan di tanah Batak sebelum pengaruh kekristenan dan Belanda, itu bercampurbaur antara organisasi formal dengan adat istiadat yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, bahkan “adat merupakan landasan pemerintahan”. Artinya bahwa bagi orang Batak tradisionil pemerintahan masyarakatnya, itu dijalankan sebagai manifestasi (sangat berhubungan integral) dari adat.[6] Tekanan pokok yang hendak disampaikan melalui penjelasan ini adalah bahwa: “sampai saat kedatangan Belanda (juga sampai sebelum kedatangan kekristenan) ke Tanah Batak, kecuali untuk pembayaran upeti kepada colonial, tidaklah terdapat keterikatan orang Batak terhadap bangsa-bangsa tetangganya secara hierarkis”.[7] Artinya, ke enam suku Batak, masing-masing tidaklah dipimpin oleh satu system pemerintahan dan kekuasaan yang menganyomi seluruh wilayahnya maupun social kemasyarakatannya. Kekuasaan politik seorang pemimpin bagi secara umum suku Batak, hanya berlaku dan terbatas pada marga dalam masing-masing (tidak kepada semua anggota kelompok satu suku) suku, termasuk: “raja-imam Batak Sisingamangaraja”. Pernyataan ini semakin jelas melalui pernyataan Lance Castle mengungkapkan bahwa: “sebelum masa colonial Belanda, masyarakat Batak (Toba) hampir tidak mengenal Negara”.[8] Penjelasan inilah yang mengilhami sangat kuat motivasi penulis melakukan studi ini sekaligus merumuskan judul seperti diuraikan di atas. Penulis sadar betul bahwa penelitian dan penjelasan tema ini masih belum representative menguraikan dan menjelaskan konsep kepemimpinan Batak Toba secara detail seperti dijelaskan di atas. Tulisan ini hanya sebagai usaha dari seorang Pelayan (Pendeta) yang sedang studi dan berusaha belajar, bertanya dan menggumuli dan lain sebagainya tentang: “Paradigma Kepemimpinan Tradisionil Batak Toba”.  Penulis berharap, akhirnya tulisan ini dapat menjadi representative sebagai bahan bacaan bila pembaca memberikan kritik (dukungan) dan kontribusi (sumbangan) pikiran yang tentu membangun wacana penulis tentang makna filosofi budaya Batak Toba tentang kepemimpinan. Sengaja sub judul tema ini dirumuskan dengan: “Sebuah pendekatan dari sudut sejarah dan antropologi budaya (Batak Toba)” di mana melalui pendekatan ini, penulis berharap dapat dengan mudah mensystematisasi sekaligus mengelompokkan identitas (pokok-pokok pikiran secara tematis) dan menekankan maksud uraian tema ini menurut tujuan yang hendak dicapai oleh penulis sendiri.

Selayang Pandang Tentang Batak Toba Tradisionil
4.   Secara ginealogis-antropologis, ada enam (cabang) suku yang mendiami wilayah daratan bagian Utara dan Barat Laut Pulau Sumatera di mana ke enam suku itu disebut sebagai suku “Batak”. Ke enam suku itu yakni: “Karo, Pakfak/Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan Mandailing” yang masing-masing (cabang) suku ini memiliki dialek (bahasa) tersendiri. Hingga pertengahan abad 19 (sebelum tahun 1850-an), semuanya masih sangat sulit menerima pengaruh-pengaruh budaya dari luar baik secara antropologis maupun cultural[9]. Artinya, masing-masing suku masih sangat tertutup satu sama lainnya namun sifat tertutup ini mulai terbuka setelah berlangsungnya penyerbuan dan pendudukan Islam di bagian Selatan daerah Batak (pada tahun 1830-an) yang kemudian disusul dengan masuknya Reinse Zending (Rheinische Missionsgesellschaft: RMG) sebuah badan penginjilan dari Jerman. Jauh sebelumnya, Hindu telah berpengaruh kepada system struktur social dan hukum Batak. Untuk membuktikan pengaruh Hindu terhadap sturktur social dan hukum Batak, J. Tiedeman  dan Harry Parkin masing-masing telah menulis buku berjudul “Pengaruh Hindu di Bagian Utara Tanah Batak/Hindoe Invloed in Noordelijk Batakland”, buku ini telah diterbitkan tahun 1936 di Amsterdam Belanda. Buku kedua ditulis Harry Parkin berjudul “Pengaruh Hindu Kepada Kehidupan Batak/Batak Fruit of Hindu Thought”. Menurut Bisuk Siahaan[10], agaknya buku Harry Parkinlah yang lebih mendalam dari sudut penguraiannya sebab Parkin menjelaskan persamaan dan perbedaan antara kebudayaan dan kepercayaan Batak Toba dengan orang Tamil yang berasal dari India Selatan. Menurut Parkin,[11] ada lima belas kemungkinan diperkirakan dapat mempengaruhi Budaya, cara hidup dan kepercayaan Batak, yakni: pengaruh pemukiman orang Tamil  di Lobu Tua Barus; bahasa Sanskerta dalam perbedandaharaan kata Batak Toba; Pustaha dan tulisan Batak; kalender dan astrologi; biara dan candi Budha-Hindu di Padang Lawas; kerajaan Hindu di tanah Jawa Simalungun; budaya megalit dan sarkofagus; agama dan kepercayaan; konsep Debata Mula Jadi Na Bolon; Debata Na Tolu; Roh alam; Desa Na Ualu; Bindu Matoga; Hariara Jambu Barus”.

J.R. Hutauruk mengatakan[12]: “berkenaan dengan masa hingga sebelum tahun 1825 tidak dapat disebutkan bahwa ada suku-suku Batak yang tunggal di mana keanekaragaman dialek Batak sangat mengisayaratkan keterasingan mereka satu dengan yang lain dan tidak terdapat sama sekali pengaruh Islam dan Barat di dalamnya”. Bila mulai abad ke-13, melalui perdagangan dan agama Islam telah “meraih” suku bangsa Aceh, Minangkabau dan Melayu, maka disebabkan oleh kepentingan ekonomis dan politis berhadapan dengan suku-suku tetangganya, kaum Batak, maka terjadilah hubungan yang mengakibatkan orientasi keagamaan dan politis yang baru  bagi kaum suku Batak. Untuk suku Karo misalnya, bagi yang bermukim di Dusun lama: kelamaan terpengaruh oleh kesultanan Islam-Melayu di Langkat, Deli dan Serdang, sedangkan yang bermukim di pegunungan tetap bebas dari pengaruh Islam. Hal serupa terjadi bagi suku Simalungun di daerah Simalungun Hilir, khususnya di Pematangsiantar dan Bandar terdapat beberapa orang Melayu Islam. Hingga 1902, beberapa pembesar suku sudah memeluk Islam sebelum permulaan penjajahan Belanda di Simalungun, misalnya raja Pematangsiantar. Untuk kalangan Batak Toba, yang menandai perubahan terjadi ialah penyesuaiannya dengan kebudayaan Melayu di Sumatera Timur (Asahan) sebagai akibat hubungan perniagaan dengan para saudagar dan dengan Sultan-sultan Melayu. Selanjutnya, pengaruh Islam dari Sumatera Barat tidak sebesar yang masuk dari daerah pantai Timur, hanya dapat dikatakan bahwa hingga tahun 1825 pelabuhan Sibolga sudah didominasi oleh orang Batak Toba. Namun tahun 1852, orang Batak Toba mulai mundur ke daratan tinggi walau Sibolga tetap merupakan pusat penting untuk perdagangan orang Batak Toba dengan Melayu Islam. Ke Selatan dari daerah pemukiman Batak Toba, terdapat pemukiman suku Batak Angkola dan Mandailing. Oleh kaum ilmuwan tidak diragukan bahwa mereka adalah keturunan suku Batak Toba. Karena hidup bertetangga dengan kaum Islam Minangkabau, sebelum tahun 1820 mereka juga terkena pengaruh agama Islam.

Sistem Kepemimpinan dan Pemerintahan Batak Toba Tradisionil
5.  Sebagaimana sudah dijelaskan di atas (pada poin dua 2), DJ. Gultom Rajamarpodang[13] menekankan bahwa: “system pemerintahan Harajaon Batak Toba pada masa yang lalu, ini tidak boleh dibandingkan dengan system pemerintahan dengan bentuk sekarang di mana suatu Negara dipimpin oleh seorang Kepala Negara”. Namun untuk menjelaskan system pemerintahan Batak Toba Tradisionil, penting diingat bahwa menurut keyakinan Batak tradisionil: “Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga)[14] adalah merupakan penerapan kuasa Mulajadi Na Bolon di bumi ini. Wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon ini nyata pada paham yang dianut sebagai: pertama, Debata Na Tolu pada fungsi kebijakan. Kedua, Batara Guru pada fungsi kebenaran dan kesucian. Ketiga, Debatasori Sohaliapan/ Debatabalabulan pada fungsi kekuatan. Orang Batak yakin bahwa setiap pemimpin Batak Toba sejak dari Siraja Batak sampai dengan Sisingamangaraja XII semuanya merupakan titisan Mulajadi Na Bolon. Keyakinan inilah yang membuat maka setiap pemimpin Harajaon Batak menjadi kepala pemerintahan, pemimpin ugamo sekaligus Raja Adat. Hal ini jelas kelihatan ketika Raja Sisingamangaraja XII memimpin Harajaon Batak.[15] Inilah yang mempengaruhi raja-raja Batak sejak dahulu tidak mendirikan istananya karena istananya sendiri adalah rakyatnya sendiri.[16] Sejak munculnya Siraja Batak (sebagai asal/nenek moyang semua orang Batak), ia terlebih dahulu mengkonsolidasikan pemerintahannya untuk melanjutkan kuasa kerajaan Batak dengan terlebih dahulu menanamkan kesadaran berbangsa dan bernegara dengan penanaman pandangan ideal Dalihan Na Tolu sesuai dengan pandangan kepercayaan Batak terhadap Mula Jadi Nabolon. Siraja Batak adalah kepala Negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan, pemimpin keagamaan dan Raja Adat. Karena pemerintahan belum dapat dijalankan sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala Negara maka jalan satu-satunya yang ditempuh adalah dengan menyatukan masyarakatnya dengan keagamaan dengan adat istiadat. Keagamaan dan adat istiadat sudah dapat dijalankan dengan baik, tetapi dalam hal pemerintahan belum terlaksana dengan sempurna dalam pengertian yang sebenarnya menurut hukum ketatanegaraan. Sementara itu nyata bahwa sudah datang pula paham-paham baru yang mempengaruhi pandangan masyarakat Batak. Pada pemerintahan Raja Sisingamangaraja, paham-paham baru itu dihadapi dengan landasan keyakinan yang sudah menjadi hayat masyarakatnya. Dalam hal ini pemimpin-pemimpin Batak sudah berhasil, tetapi bagi perwujudan pemerintahan sesuai dengan ketatanegaraan masih jauh dari pada tujuan. Pada tahap ini juga masih ada yang mengatakan bahwa Sisingamangaraja bukanlah Raja Batak, tetapi adalah seorang pemimpin Batak yang dapat memimpin masyarakat Batak. Oleh sebab itu, ciri pemerintahan yang dominan nampak pada pemerintahan Batak tradisionil adalah sebagai: “perpaduan antara pimpinan pemerintahan dengan pimpinan keagamaan dan pimpinan adat[17]”. Menegaskan hikmat pernyataan ini, Bisuk Siahaan[18] mengatakan: “hampir di semua tempat di Toba dapat ditemukan mata rantai yang menghubungkan antara marga dan huta, antara kelompok suku dan daerah asalnya. Hubungan tersebut tidak selalu jelas terlihat dan tidak mempunyai tanda-tanda yang mudah dikenal. Terdapat tiga factor utama yang mengikat penduduk sehingga bersedia tinggal di suatu tempat yaitu, kesilsilahan, kesamaan agama kepercayaan dan wilayah tempat tinggal yang sama”. Ikatan yang paling menonjol adalah kesamaan silsilah dan kedua agama. Daya pengikat yang dianggap lebih longgar dan tidak sekuat factor kekerabatan dan agama. Dalam tiga unsur identitas yang sangat berpadu inilah pokok penelitian ini diarahkan guna menjelaskan system pemerintahan (kepemimpinan) pada masyarakat tradisionil Batak Toba, di mana itu nampak pada apa yang di dalam system struktur masyarakat Batak Toba disebut sebagai Bius, Horja dan Huta.

Bius
6.   Bius adalah struktur wilayah dari system pemerintahan Harajaon Batak dengan wilayah tertentu dan mempunyai rakyat serta pemerintahan. Bius adalah tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dalam masyarakat Batak Toba dan pemerintahan Bius sangat bersatu dengan ugamo dan adat. Wilayah Bius terdiri dari beberapa Horja. Kepala dan pimpinan Bius disebut sebagai Raja Doli. Bius merupakan kesatuan pemujaan sombaon maksudnya banyaknya masalah yang tidak dapat ditangani oleh horja karena berada di luar kemampuannya (seperti musim kering yang sangat panjang, penyakit kolera yang mewabah, masa panceklik dan panen yang gagal dan lain sebagainya). Untuk memohon belas kasihan serta perlindungan maka penduduk membentuk kelompok yang beranggotakan semua marga yang tinggal diwilayah yang tertimpa bencana. Persekutuan inilah yang disebut sebagai Bius. Jelasnya, Bius merupakan gabungan beberapa horja yang terdapat dalam satu kesatuan territorial yang memiliki identitas social tertentu. Marga-marga yang menjadi anggota suatu Bius memiliki wilayah yang berbeda. Karena itu mereka merasa bahwa sombaon yang terdapat di wilayah mereka harus dipuja secara bersama-sama, supaya dewata dapat memberi beri berkat dan ketenteraman di antara mereka.[19] Pusat kegiatan Bius disebut dengan Parbiusan (tempat persidangan raja-raja Bius). Raja-raja Bius adalah Partuho Mangajana yaitu rumpun keluarga sesuai dengan hikmat kebijaksanaan yang dimiliki berdasarkan kelahiran (partubu). Dalam mekanisme pengambilan keputusan rapat, apa yang menjadi keputusan raja-raja Bius adalah sah dan mutlak menjadi keputusan rumpun keluarga yang diwakilinya dan apa yang disetujui mereka adalah menjadi persetujuan dari rumpun keluarga. Untuk merencanakan dan menata pembangunan demi kesejahteraan rakyat Bius, Raja-raja Bius memilih Raja Na Opat Bius[20] sesuai dengan keahliannya berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang kepercayaan rakyat Bius. Menurut fungsinya, Raja-raja Bius (dari sudut keberadaannya) berasal dari Raja Jolo-Raja Jolo marga dan dapat diwakili anak sibulang-bulangan marga. Raja Bius adalah wakil-wakil dari Horja. Raja-raja Bius inilah sering disebut Partuho Mangajana yaitu pemilik hikmat kebijaksanaan masyarakat umum sesuai dengan masing-masing marga. Masing-masing Raja Bius memilih Uluan melalui masyarakat Horja. Uluan adalah pemimpin pelaksana dari satu-satu Horja dari kesatuan marga pada Lumban (beberapa Huta). System kemasyarakatan Lumban (Huta) adalah Dalihan Natolu. Fungsi kekerabatan Dalihan Na Tolu sangat berperan bagi setiap pelaksanaan kegiatan. Raja-raja Bius berfungsi sebagai wakil rakyat dan menjadi penyelenggara pemerintahan yang dipercayakan kepada Raja Na Opat Bius. Uluan sebagai pelaksana pada Horja menugasi para Parhobas sesuai dengan kemampuannya. Raja-raja Na Opat Bius membuat rencana rutin tahunan program kegiatan untuk dilaksanakan Uluan Horja tiap tahunnya. Kedudukan Ihutan adalah untuk mengayomi program. Raja-raja Bius di dalam kesepakatan pada Mangajana (sidang umum) menetapkan semua hal yang berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat Bius, misalnya untuk perburuan demikian dalam hal perikanan termasuk semua bentuk gotongroyong. Semua perintah dari Harajaon Batak disampaikan kepada Ihutan melalui Raja Maropat dan diteruskan ke Bius. Semua perintah itu dilaksanakan dengan konsekwen dan dirasakan oleh masyarakat apabila perintah (tona) tidak dilaksanakan akan mendatangkan bala. Rencana dan program dari Ihutan, terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Raja-raja Bius, baru dapat dijalankan oleh Raja Na Opat Bius atas nama Raja-raja Bius. Perihal rencana dan Program rutin yang disepekati raja-raja Bius, Ihutan dalam hal ini adalah untuk mengayomi. Yang menyangkut hukum, baik yang menyangkut perdata maupun pidana (termasuk adat) ada di tangan Raja-raja Bius setelah mendengar Panimbangi dan Ihutan. Kuasa menyetujui dan untuk melaksanakan suatu ketetapan berada di tangan Raja-raja Bius. Ihutan juga mempunyai peranan karena ia dipandang pemilik hikmat kebijaksanaan karena kedudukannya. Bagi masyarakat Batak Toba ikatan yang paling mendasar bagi pengembanan aspek hukum, ini dilihat dari segi kerohanian dan dianggap ritual. Sulit bagi masyarakat Toba mengingkari perintah dari Ihutan termasuk perintah dari Raja-raja Bius, setiap perjanjian baik berbentuk tulisan maupun lisan, ini sangat kuat dan sulit dibedakan nilainya. Ungakapan Batak Toba mengatakan “Hori ihot ni doton, hata siingoton” artinya bahwa: “kata-kata sangat mahal harganya”. Kuasa Bius, ini didelegasikan kepada Raja Na Opat Bius yang meneruskan ke Uluan Horja dan seterusnya kepada Raja Jolo Lumban sampai Tunggane Huta dari Huta. Dalam hal rapat ketua sidang Bius adalah seorang dari Raja Doli[21], tetapi harus dari marga siahaan (marga yang tertua) dan yang terpilih menjadi ketua dan dinamakan sebagai raja bolon (raja besar, raja mulia). Salah satu bukti bahwa Bius tergolong organisasi wilayah yang menyangkut soal-soal pemerintahan yaitu bahwa setiap keputusan Bius tidak bisa dibantah maupun dibandingkan sebab tidak ada lagi organisasi yang lebih tinggi dari Bius. Kalau seseorang tidak menerima keputusan rapat Bius, maka satu-satunya jalan adalah melakukan perang yang dinamakan manguji (mencoba) antara orang yang diadili di pengadilan Bius.

Horja
7.   Pengertian Horja dalam masyarakat Batak Toba bermacam-macam. Ada yang memahami sebagai pesta yang dilakukan oleh salah satu cabang marga yang telah beratus tahun mendiami satu wilayah tertentu (pesta sahorja). Kalau dihubungkan dengan upacara yang berbau keagamaan kuno, maka sahorja horbo, berarti satu pesta memotong kerbau. Pengertian lain dari Horja adalah satu kelompok cabang marga yang didasarkan kesatuan memakan daging dari perkawinan boru (sahorja mangan tuhor ni boru-sepesta makan tuhor boru). Di daerah Humbang, Horja diartikan sebagai wilayah tertentu yang dihuni oleh satu marga saja. Di Tapanuli Selatan Horja diartikan sebagai Luat (wilayah, tempat). B.A. Simanjutak[22] memberikan defenisi Horja sebagai yang menguasai hukum pertanahan adat yang dalam hal ini Horja sebagai wilayah marga atau territorial marga. Horja adalah struktur dan organisasi wilayah yang terdiri dari beberapa wilayah Huta, di mana kepala/pimpinan Horja dinamakan sebagai Raja Parjolo (raja terdepan) yang didampingi oleh beberapa Raja Partahi (raja perencana). Dalam masyarakat Batak, pesta horja hanya dilaksanakan oleh mereka yang semarga. Bisuk Siahaan[23]  mendefesnisikan horja sebagai sebuah federasi atau persekutuan bersama yang dibentuk oleh bebrapa kampung (huta) dan sifat persekutuan itu adalah otonom. Fererasi huta yang disebut sebagai horja hampir selalu memiliki kampung induk. Horja merupakan unit yang masing-masing terikat satu dengan yang lain secara kesilsilahan, meskipun di antaranya terselip maraga-marga lain yang sudah dianggap sebagai anggota keluarga. Horja berhak mengikat janji dengan horja lain, misalnya untuk kepentingan bersama antara lain pertahanan. Awalnya, federasi horja adalah masyarakat kurban, tetapi lama-kelamaan berubah menjadi masyarakat hukum, yang secara langsung mengurus kepentingan duniawi warganya. Lebih jelas uraian Bisuk Siahaan[24] mengenai Horja mengatakan bahwa menurut tugasnya, Raja Parjolo sebagai pimpinan Horja, ia berhak menyatakan perang dan mengatur pekerjaan pekerjaan besar yang ada kaitannya dengan kepentingan anggota. Dan juga mengatur persiapan horja rea[25] (pesta persembahan besar) dan membawakan doa-doa ritual (martonggo) walau pemimpin upacara martonggo tetap ada pada parbaringin.[26] Tugas dan wewenang parbaringin dalam ritual keagamaan adalah mempersembahkan kurban kepada “Debata Mula Jadi Na Bolon, sombaon dan roh leluhur”. Selama menjalankan tugasnya parbaringin harus menyisipkan ranting beringin di serbannya, inilah sebagai simbol mengapa ia disebut parbaringin (parsanggul beringin).

Huta
8.   Wilayah huta bagi orang Batak secara umum berarti kampung. J.C. Vergouwen[27], mendefenisikan makna Huta (kampung) bagi orang Batak Toba sebagai: “ sebuah dunia kecil yang tertutup, satu kesatuan yang hidup dan terdiri dari sekelompok kecil orang yang terikat satu sama lain secara alami, dan sudah lama hidup di tempat ini, tempat anak-anak mereka lahir, tempat yang diharapkan menjadi kuburan mereka sendiri”. Ciri yang menonjol dari umumnya huta (kampung) orang Batak, umumnya dikelilingi oleh parik (tembok yang terbuat dari tanah atau batu) yang tingginya sampai dua meter dan lebar satu meter. Keliling huta (tembok) biasanya selalu ditanami oleh pohon bambu duri yang gunanya sebagai benteng untuk melindungi huta dari serangan musuh.[28] Huta merupakan tempat tinggal dari orang Batak yang berasal dari satu nenek moyang (satu ompu) dengan atau tanpa boru. Marga pendiri huta disebut marga raja (marga tano). Marga-marga lain yang tinggal di huta dinamakan marga boru, mereka ini tidak mempunyai hak atas tanah. Huta didirikan oleh satu marga raja dan di dalam setiap huta Batak terdapat raja huta yaitu seorang dari pendiri huta. Raja huta didampingi oleh pandua (orang kedua, wakil) serta seorang dari boru yang ikut bersama dengan marga raja. Bila satu Huta sudah dianggap padat, orang mengatasinya dengan mendirikan huta baru yang kemudian disebut sosor/pagaran. Alasan lain mendirikan huta karena ada pertentangan atau perkelahian di antara penghuni sebelumnya. Demikian dengan keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik atau karena ingin mandiri (manjae) dan memiliki kerajaan sendiri bebas dari kekuasan huta induk.[29] Menurut Tampubolon[30] selanjutnya bahwa sejak penjajahan Belanda menguasai tanah Batak dan membawa struktur pemerintahan baru serta menerapkannya di kalangan masyarakat Batak, maka pembukaan huta-huta baru semakin besar sebab keinginan untuk memperoleh jabatan kepala kampung yang disebut Hampung (dibaca: happung). Soal kepemimpian huta sesuai penelitian ini dapat ditegaskan bahwa kepemimpinan huta diwariskan dari nenek moyang kepada anak cucu, artinya kepemimpinan huta harus tetap di tangan marga raja (pendiri kampung). Raja huta mengurus segala keperluan di huta secara musyawarah dengan saudara-saudaranya serta boru termasuk mengatur pendirian rumah di dalam huta juga menghukum orang yang membuat keonaran. Raja huta berhak penuh dan mutlak mengatur hutanya dan biasanya pola pemerintahan huta bagi orang Batak ini sangat otonom.[31]

9.   Dalam system pemerintahan Harajaon Batak, system kepemimpinan sebenarnya dimulai dari huta yang dipimpin oleh Raja[32] Huta/Tunggane Huta (Tetua kampung) yang didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat Keluarga berdasarkan kekerabatan Dalihan Na Tolu. Kemudian, ke tingkatan yang lebih atas adalah Lumban yang dipimpin oleh Raja Jolo Marga Lumban dan didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat Marga Lumban berdasarkan kekerabatan keluarga Dalihan Na Tolu. Vergouwen[33] mengatakan: “hak memerintah di huta (harajaon) adalah hak bersama (hatopan) setiap keturunan patrilinear langsung sipendiri”. Walau menurut peraturan hukum hak itu dipangku oleh satu orang dan mungkin hanya terbatas pada cabangnya, keturunan lain pendiri mendapat manfaat juga dari padanya. Mereka tidak boleh diusir dari kampung (pabilhon) dan mempunyai hak yang tidak boleh diganggu gugat untuk masuk dan bertempat tinggal di dalamnya jika mereka menghendaki demikian. Jadi harajaon adalah semata-mata hak istimewa galur keturunan raja, bukan hak dari galur yang lebih besar atau dari marga yang menjadi batang tubuhnya. Di masing-masing huta di wilayah harajaon Batak, sebutan untuk raja huta nampak berbeda. Di Samosir raja huta disebut sebagai tunggane huta (tetua kampung). Di tempat lain kadang-kadang dipanggil sebagai siboan bunti (pembawa persembahan). Sebagai siboan bunti dialah yang bertugas atas pengelolaan kampung dan penegakan hukum serta ketertiban dan displin. Dia merupakan keturunan patrilinear pendiri kampung yang menjadi raja huta pertama. Jabatan ini, jika mungkin diturunkan dari bapak ke anak atau kepada uaris (ahli waris). Jaman tradisionil Batak, dari kepala kampung dituntut satu kwalitas yang lebih banyak sebab pekerjaan kepala kampung sama aneka ragamnya dengan banyaknya aspek kehidupan kampung.

Tugas-tugas ini dapat diuraikan sebagai berikut[34]:
a).  Bertanggungjawab atas pemeliharaan pelataran kampung dan temboknya, ia mengatur agar baris rumah-rumah lurus sambil menjalankan pengawasan atas tanah kampung.
b). Memutuskan apakah sebuah kebun kecil mesti ditiadakan untuk memberi tempat kepada rumah baru, ataukah tetap saja begitu, ia membimbing perilaku hukum warga dan membantunya jika ada tuntutan terhadap siapapun juga atau dalam hal sipeminjam uang membuat terlalu banyak kesulitan kepadanya.
c). Membimbing perundingan pertunangan jika putera-puteri mereka akan kawin.
d).  Dia mewakili kepentingan kampung dan kerabatan seketurunan jika terlibat urusan dengan dunia luar. Walau pun dalam tahun-tahun belakangan ini, agak terdesak ke belakang ia masih tetap sebagai pembesar kampung yang menjalankan perintah dari pembesar yang lebih atasan.
e). Bertanggungjawab atas penyelenggaraan peradilan. Penduduk kampung harus menerima kepemimpinannya dan dibimbing olehnya dan sebagai buktik harus menghormatinya dalam transaksi seperti perkawinan, penjualan ternak, pelepasan tanah dan lain sebagainya dan menyerahkan sesuatu sebagai penghormatan, upa raja. Dia pada pihaknya biasanya memeinta pendapat bawahannya yang tua-tua (natua-tua atau pangituai).
f).   Dari yang paling terkemuka di antara mereka ini (Na Mora Boru), orang terpenting dari kalangan marga penumpang, ia menerima dukungan secara teratur terutama jika soalnya menyangkut perbedaan pendapat antara ia dan anggota galur seketurunan, namun kata terakhir ada padanya.
g). Jika terpaksa ia dapat menggunakan kekuasaannya sebagai kepala, agar perintah yang dikeluarkannya dipatuhi. Ia adalah pemerintah dan polisi sekaligus dan di masa dulu dia kadang-kadang menenpatkan pasungan di dekat rumahnya sehingga ia dapat mengendalikan penduduk yang tidak mau tunduk dengan cara yang terhormat kepada perintahnya.

Sudah barang tentu hanya orang berwibawa yang lebih unggul dari penduduk kampung dan yang kata-katanya tidak dianggap enteng yang bisa menjadi kepala kampung yang sukses (yang ototritansya dirasakan). Intinya, bagi persekutuan tradisionil Batak kedudukan kepala kampung sangatlah penting. Dalam praktek kadang-kadang ia tidak mempunyai kesempatan yang banyak untuk memperlihatkannya.


Struktur Sosial Batak Tradisionil
10. Dalam masyarakat Batak Toba unsur yang dapat menjelaskan struktur social masyarakatnya adalah “struktur kekerabatan” dan “system perkawinan” serta “dalihan na tolu”. Unsur-unsur ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 

a.   Struktur kekerabatan.
Unsur pertama dalam struktur kekerabatan Batak adalah Marga. Orang Batak mengenal marga  dengan arti: “satu asal keturunan, satu nenek moyang, sabutuha, artinya satu perut asal”. Karena orang Batak menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal), maka dengan sendirinya marga juga berdasarkan garis keturunan bapak. Sejarah lahirnya marga ini didasarkan pada nenek moyang laki-laki. Menurut Simanjuntak[35], Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan adalah merupakan bapak pertama dari marga-marga di kalangan orang Batak. Karena sebelumnya mereka belum punya induk marga, hanya satu moyang yaitu si Raja Batak. Dalam masyarakat Batak, marga adalah merupakan satu kesatuan kelompok yang mempunyai garis keturunan yang sama berdasarkan nenek moyang  yang sama. Satus social orang Batak sangat ditentukan oleh marga. Di dalam hubungan social orang Batak, marga merupakan dasar untuk menentukan partuturan, hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang dari marga yang lain. Fungsi lain dari marga adalah untuk menentukan kedudukan seseorang di dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar pergaulan yang di namakan dalihan na tolu (tungku nan tiga). Dasarnya, dengan mengingat marga ibu, nenek, isteri (isteri saudara), saudara perempuan dan lain sebagainya yang masih memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat. Dalam konteks ini marga yang menentukan status dan kedudukan social setiap orang Batak dalam hubungan social adat maupun kehidupan sehari-hari. 

  1. Perkawinan
Prinsip dasar perkawinan dalam masyarakat Batak adalah perkawinan dengan orang di luar marganya sendiri. Artinya system eksogami yakni patrilokal. Perkawinan semarga sangat terlarang, kalau terjadi sumbang (incest) di dalam satu marga, kalau perlakuan itu dilakukan oleh mereka yang masih sangat dekat hubungan kekerabatannya maka keduanya dihukum dan diusir dari huta (dibuang dari rumpun marganya). Maksud dari larangan ini adalah agar hubungan kekerabatan tidak menjadi kacau dan tidak menjadi terbalik-balik juga agar hubungan social di dalam struktur masyarakat tidak menjadi kacau atau rusak. Demikian dengan kedudukan sebagai hula-hula tidak menjadi jatuh. Karena kalau terjadi demikian, maka boru menjadi hula-hula dan hula-hula yang pertama menjadi boru. Ini sama sekali tidak dikehendaki di dalam satu keluarga dekat.

  1. Dalihan Na Tolu
Banyak ahli mengatakan bahwa system “Dalihan Na Tolu” bagi struktur kebudayaan Batak tidaklah mencerminkan system kepemimpinan dan pemerintahan Batak. Dalihan Na Tolu hanya terbatas pada lingkup persaudaraan sehari-hari saja. Namun pandangan berbeda dikemukakan oleh Togar Nainggolan[36]  menyimpulkan bahwa: “secara bersama sama di dalam komunitas system Dalihan Natolu ada terbentuk system pemerintahan Batak yang disebut sebagai “Panungganei (kaum tua-tua)”. Panungganei adalah badan legislative dan iudikatif, ia yang membuat aturan dan memutuskan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat di huta. Kemudian badan eksekutif ialah marga raja, yang dipimpin oleh raja huta (kepala dalam huta). Raja huta melaksanakan aturan bersama, yaitu mengatur ketertiban huta. Raja huta dibantu oleh raja adat, yaitu orang yang pandai dalam adat. Raja adat ini perlu memberi nasehat kepada marga raja sebab raja adatlah yang lebih tahu tentang penyesuaian adat dengan perkembangan jaman. Raja adat boleh dari marga raja atau dari marga lain. Orang pendatang yang tidak termasuk anggota Dalihan Na Tolu yang disebut paisolat (penumpang) boleh memberi suara pada rapat paripurna (rapot) godang.

Tekanan Kolonialisme Belanda Terhadap Sistem
Kepemimpinan dan Pemerintahan Batak Tradisionil
9.   Tahun 1833, saat ini adalah merupakan awal masuknya pengaruh pemerintahan formal dan modern di tanah Batak yakni melalui pemerintahan kolonialisme Belanda. Sebelumnya, disebabkan oleh situasi dan kondisi yang kurang tepat (oleh pertimbangan pemerintah colonial Belanda), baru pada tahun 1886 tanah Batak diputuskan untuk secara resmi diatur oleh colonial melalui keputusan Gubernur Sumatera bagian pantai Barat ketika itu yakni tanggal 16 Oktober 1886. Intensifnya penguasaan ini menuru Lance Castle[37] kemudian berlangsung tahun 1905 melalui ditandainya permulaan kebijakan baru di propinsi-propinsi luar” Hindia Timur Belanda (1904-1905). Tahun 1905, H. Colijn (perdana meneteri Belanda) berkunjung ke Tapanuli dengan tugas utama untuk mengusulkan suatu reorganisasi untuk menolong daerah terbeklakang seperti Tapanuli agar dapat meningkatkan kemampuan keuangannya. Akibatnya, tanah Batak yang masih merdeka ketika itu, seperti: Samosir, Uluan, Dairi, takluk di bawah kekuasan Belanda. Penaklukan inilah yang sangat merangsang kuat colonial melakukan pengejaran terus menerus kepada Sisingamangaraja XII yang akhirnya ia tertembak bersama dengan dua orang puteranya tanggal 7 Juni 1907. Tiga ciri utama penaklukan Belanda menguasai Tapanuli adalah: pertama, memberlakukan pajak ditambah dengan pemaksaan kepada penduduk agar menanam tanaman (misalnya kopi) yang menguntungkan perdagangan Belanda. Kedua: program pekerjaan rodi terutama untuk pembangunan jalan-jalan membuka ketertutupan Tapanuli dari daerah lain. Ketiga: pembentukan pemerintahan daerah yang terdiri dari pejabat-pejabat (orang-orang pribumi) yang digaji dan dapat dipindah-pindahkan. Analisa Lance Castle, kebijakan pemberlakukan pajak dan rodi oleh Belanda tidak mendapat perlawanan (protes) berarti dari penduduk setempat ketika itu. Hanya saja penduduk setempat sangat membencinya karena pemerintah Belanda tidak mewajibkannya bagi penduduk non-pribumi (misalnya warga Eropa dan Cina). Akhirnya rodi menjadi pembangkit kebencian yang efektif terhadap colonial terutama di daerah Tapanuli yang baru saja dikuasai.[38] Sesuai dengan pernyataan L. Castle ini, berhubungan dengan pembentukan pemerintahan daerah yang baru oleh pemerintah Belanda di Tapanuli: Hasellgreen[39] mengatakan bahwa dengan segala pertimbangan dan saran-saran dari bestuur ambtenar (pejabat-pejabat yang digaji langsung oleh Belanda dan dapat dipindah-pindahkan) ketika itu, maka oleh penguasa colonial susunan pemerintahan diatur secara bertingkat dari yang terendah hingga ke yang tertinggi. Susunannya sebagai berikut: a).Huta atau Kampung (bagian sulit ditentukan oleh Belanda statusnya dalam struktur pemerintahan Belanda sendiri) dikembangkan hingga terdiri dari banyak huta dan masing-masing huta  dipimpin oleh seorang kepala kampung. b). Hundulan dipimpin oleh seorang jaihutan dan raja pandua yang terdiri dari beberapa kampung. Di atasnya adalah negeri yang dipimpin oleh seorang kepala negeri, daerahnya terdiri dari beberapa hundulan. c). Sub distrik dipimpin oleh seorang asisten demang yang wilayahnya terdiri dari 10-15 negeri. d). Distrik dipimpin oleh seorang kepala distrik dengan wilayah 2-3 sub distrik. Jabatan kepala distrik dinamakan demang. Demang dan asisten demang langsung menjadi bawahan controleur.

Dalam system Harajaon Batak sebelumnya, otorisasi wilayah daerah pemerintahan nampak pada Bius maka dalam penguasaan pemerintahan Belanda, Bius tidak lagi disebut tetapi sudah menjadi negeri dan dipimpin oleh seorang kepala negeri yang disebut Raja Ihutan. Pengertian raja (sebagai gelar raja Ihutan) dalam hal ini, nampak kuasa Raja Ihutan sudah sesuai dengan pengertian raja yang sebenarnya yakni memerintah. Hak-hak Raja Ihutan sudah semakin banyak dan mutlak, sedangkan pengertian Bius kemudian berubah kepada wilayah daerah kebudayaan. Semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan selama ini dalam hal persetujuan dan penyelenggaraan pemerintahan atas nama Bius, semua beralih menjadi persetujuan dan penyelenggaraan Raja Ihutan. Fungsi-fungsi Raja-raja Bius yang sebelumnya dipimpin oleh Ulu Bius (Raja Doli), masa penguasaan Belanda: itu kemudian hanya berkaitan pada adat istiadat baik mengenai spiritual maupun menyangkut dengan harta (juga yang berkaitan dengan kebudayaan). Pengertian “Horja, dan Huta[40] pun menjadi berubah yaitu menjadi wilayah daerah kebudayaan terutama pengertian Huta dari system pemerintahan ala Harajaon Batak berubah menjadi hanya tempat tinggal yang terikat dengan adatnya sama dengan pengertian kampung sekarang ini. Raja Ihutan berdasarkan system pemerintahan colonial dalam hal hukum beralih dari kuasa Bius menjadi kuasa-kuasa kepala negeri (wewenang Raja Ihutan). Jika dahulu kuasa hukum dan adat di tangan Raja-raja Bius maka dalam system penguasa hukum dan adat berada di tangan Raja Ihutan. Hanya dalam hal pertimbangan hukum dan adat yang diminta dari raja-raja Bius sedang keputusan berada di tangan kepala negeri. Sebelum sesuatu pelanggaran hukum dan adat disampaikan kepada pengadilan yang dikuasakan kepada asisten demang, demang dan controleur ini masih dapat diselesaikan oleh Raja Ihutan dengan Raja-raja Bius. Kalau pelanggaran tadi tidak dapat diselesaikan, maka baru disampaikan kepada pengadilan kepolisian colonial Belanda. Melalui cara ini setahap demi setahap dan pasti kekuasaan pemerintah colonial semakin diutamakan di tanah Batak dan akhirnya membuat dan menetapkan belasting (pajak) rakyat dan upah raja ditetapkan besarnya dari setiap kegiatan termasuk dari hasil jual beli (termasuk jual beli ternak babi).

11. Dalam bukunya Lance Castle mengatakan bahwa Belanda sangat memanfaatkan unsur karakter Batak dalam menunjang program politiknya terhadap soal pemerintahannya di tanah Batak. Unsur itu adalah konsep tentang “sahala dan hasangapon”.[41] Didefenisikan oleh Castle bahwa “sahala” merupakan kwalitas tertentu dari tondi seseorang Batak. Seorang pemimpin yang kuat harus memiliki “sahala” demikian orang tua terhadap anaknya, datu terhadap muridnya, hula-hula terhadap boru-nya. Para dewa dan leluhur yang mempunyai banyak keturunan mempunyai sahala. Pada kaitannya, sahala adalah perwujudan kekuatan supranatural juga sebagai perwujudan dari konsep ketuhanan yang tertinggi bagi orang Batak. Seorang pemilik sahala dengan sendirinya memperoleh hasangapon (kehormatan). Bagi orang Batak umumnya sahala harajaon adalah suatu kwalitas kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah. Oleh sebab itu, sebuah sahala harajaon hanya dapat dilihat dari buahnya. Bagi orang Batak tradisionil, seorang laki-laki dengan banyak anak cucu dan menjadi kaya raya karena bertani, berdagang atau berjudi, yang lewat perkawinan mempunyai kerabat yang berpengaruh, pandai berpidato serta gagah perkasa dalam perang, jelas sebagai seorang yang sempurna dari sudut sahala dan hasangapon. Mendapatkan “hasangapon dan sahala”, inilah merupakan motif politik utama yang dilihat dan dimanfaatkan oleh Belanda jaman penguasaan mereka di tanah Batak. Oleh karena itu, dalam hal pembagian wilayah pemerintah colonial Belanda sangat berusaha memadukannya menurut system bentukan mereka dengan system Harajaon Batak. Melaluinya, Belanda membuat system pemerintahan Harajaon Batak berubah menjadi system kebudayaan. Bila masa sebelum penjajahan Belanda, kegiatan menyeluruh masyarakat Batak Toba langsung dilaksanakan sendiri tanpa campur tangan penguasa colonial, maka masa sejak awal penguasaan colonial, dengan berkedok budaya Batak Toba, mereka kemudian memperalat orang-orang Batak untuk menjalankan prinsip penjajahannya di tanah Batak sendiri[42]. Intinya, sebagai akibat penjajahan maka wilayah pemerintahan Harajaon Batak, ini berubah menjadi wilayah kebudayaan. Caranya yakni dengan dengan memadukan kuasa pemerintahan Belanda dengan kuasa Bius yang sudah dikebiri. Oleh Belanda Ihutan (sebagai Ulu Bius) dipilih oleh Raja-raja Bius melalui musyawarah Mangajana. Raja Ihutan kemudian menjadi kepala negeri yang dipilih langsung oleh rakyat negeri dari marga-marga tanah (marga-marga yang mula pertama mendirikan huta di satu-satu wilayah/daerah, merekalah yang disebut Sisuan Bulu/Sisuan Baringin). Masing-masing marga tanah menentukan calonnya menjadi Raja Ihutan. Semua rakyat yang sudah berumahtangga berhak untuk memilih sedang para pemuda (naposo) belum diperkenankan untuk memilih. Siapa yang memperoleh suara terbanyak dialah yang diajukan kepada controleur dan beslitnya (surat keputusannya) diterbitkan asisten residen atau residen. Penyelenggara pemilihan adalah Raja-raja Bius dibantu oleh Ulu Balang di negeri itu. Apa bila Raja Ihutan sudah mendapat beslit (surat keputusan) maka ia dilantik dengan jalan memberikan pakaian kelengkapan untuk seorang raja dalam arti sebenarnya. Melalui Raja Ihutan, apa maksud dan tujuan pemerintah colonial dapat diwujudkan. Melalui ini, fungsi raja-raja Bius semakin berkurang karena keputusan sudah berada di tangan Raja Ihutan. Jika Ulu Bius (Ihutan) mempunyai hak untuk mengayomi dan merestui keputusan Raja-raja Bius maka fungsi Raja Ihutan sudah berubah menjadi mutlak.[43]

Tanggapan Dari Orang Batak
Terhadap Tekanan Belanda
12. Awal perkembangan baru terjadi di Tapanuli akibat tekanan Belanda mulai nampak tahun 1890, dengan munculnya berbagai sekte agama tradisionil baru yang mengandung unsur-unsur sinkritisme (mereka inilah yang disebut Parmalim). Kelompok ini awalnya didirikan oleh Guru Somalaing Pardede dari Balige yang sebelumnya ia adalah seorang datu yang menguasai ilmu mistik Batak tradisionil seperti ilmu gaib, penyembuhan dan aksara Batak. Guru Somalaing adalah salah seorang contoh orang Batak tradisionil yang kehilangan reputasi (sahala/wibawa) akibat perkembangan kekristenan di tanah Batak. Dalam menyebarluaskan pengaruhnya Guru Somalaing menaburkan propaganda kebencian kepada Belanda juga kepada para misionaris di Tapanuli. Pada akhirnya unsur kebencian inilah yang sangat menentukan bagi Belanda membuangnya dari Sumatera tahun 1896 walau sebelum ia ditangkap ia telah berhasil menyebarluaskan ajarannya ke berbagai daerah Toba (Habinsaran) hingga ke daerah Asahan. Sepeninggal Guru Somalaing, para pengikutnya kemudian mengembangkan aliran ini dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya yakni melalui munculnya aliran tradisional baru dengan apa yang dinamakan sebagai: Parsiakbagi (artinya: yang bernasib malang). Aliran ini dimunculkan oleh Jaga Siborutorop (nama samaran). Gerakannya agak hati-hati dan ajarannya agak bercampur dengan ajaran Parmalim menurut Guru Somalaing dengan ajaran kekristenan sebab dalam ajaran Parsiakbagi ditekankan: “hanya Yesus sebagai sang guru”. Aliran ketiga adalah kaum Parsitekka: kelompok ini merupakan perkembangan lanjutan dari Parmalim dan Parsiakbagi. Parsitekka dalam mengembangkan ajarannya agak berbeda dengan dua aliran disebutkan yang mendahuluinya. Sebab bagi Parsitekka, tokoh-tokoh mitos Batak (Naga Padoha, Raja Uti, dan lain sebagainya) ini tegas ditolak. Aliran keempat adalah Parhudamdam dengan tekanan akan munculnya Harajaon Batak yang baru di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja yang melepaskan orang Batak dari system kerja paksa (rodi) dan pajak yang diberlakukan oleh Belanda. Menurut Lance Castle[44] bahwa yang terpenting diperhatikan bagi munculnya berbagai gerakan paganisme Batak tradisionil baru seperti disebutkan di atas adalah semangat mereka yang ditimbulkan oleh kebencian terhadap orang kulit putih (Belanda dan para misionaris) juga dengan harapan bahwa orang-orang itu suatu waktu akan dapat diusir pada hari perhitungan kelak.


Refleksi Teologis Tema ini
Terhadap Kepemimpinan Jemaat
13.    Penting diperhatikan pernyataan William Skidmore[45] tentang beberapa hal dalam rangka mempertahankan sebuah system kemasyarakatan, yakni:
        a.    Setiap system harus memiliki suatu alat untuk memobilisasi sumber-sumbernya agar dapat mencapai tujuan-tujuannya (goal attainment).
   b. Setiap system harus mempertahankan koordinasi internal dari dalam bagian-bagiannya dan membangun cara-cara yang bertautan dengan deviasinya. Dengan kata lain, dia harus mempertahankan kesatuannya (integration).
  c.    Setiap system harus mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam keadaan seimbang.

Melalui hikmat pernyataan W. Skidmore ini, beberapa hal dapat dikatakan bahwa:
     a.   Kepemimpinan yang kolektif, koordinatif dan organistik
Menarik pernyataan Frans Magnis Suseno[46] mengenai legitimasi kekuasaan sosiologis secara tradisionil, mengatakan: “salah satu legitimasi kekuasaan kepemimpinan tradionil secara sosiologis adalah wibawa (sahala: kharisma). Dalam pengalaman orang Batak tradisionil bahwa legitimasi kekuasaan melalui charisma/wibawa (keabsahan kekuasaan berdasarkan charisma) inilah yang palig menonjol di mana keberhasilan kepemimpinan sangat ditentukan oleh rasa hormat dan kagum terhadap pribadi yang mengesankan, sehingga membuat orang lain yang dipimpin menjadi taat/patuh. Dalam hal ini, legitimasi merupakan keyakinan yang ada dan hidup di dalam sebuah konteks serta dilakoni masyarakat dengan penuh kesadaran bahwa seorang pemimpin itu memang wajar dan patut dipatuhi dan dihormati. Sejauh ini, bingkai kepemimpinan yang kolektif, organisitik dan koordinatif sebagai ciri yang paling menonjol nampak pada system kemimpinan tradisionil Batak Toba. Ketiga bingkai ini, menurut penulis sangat sesuai dengan cita-cita hidup masyarakat Batak Toba yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup sebagai manusia yang sempurna. Maksudnya terhadap kesempurnaan hidup seseorang masyarakat Batak Toba, ini sangat ditentukan oleh kemampuannya melakukan tiga fungsi di dalam perannya sehari-hari yakni: “kolektif, koordinatif dan organistik” yang nampak dalam aktifitasnya hidupnya di: Huta, Marga, Dalihan Na Tolu, Bius dan Horja sebagaimana telah di   jelaskan di atas.

b.  Kepemimpinan Kolektif
Ketika praktek kepemimpinan Batak sebagai sebuah system, maka di dalamnya ada persyaratan fungsi yang harus dipenuhi sebagai sebuah system yakni: “adaptasi, tujuan yang memelihara, dan mempertahankan kesatuannya”. Di dalam aplikasinya, hal itu diperlihatkan melalui system kolektif “Dalihan Na Tolu, Bius, Horja dan Huta” yang sekaligus beberapa hal ini menjadi landasan normativ yang memperlihatkan konsep keseimbangan di dalam kebudayaan Batak Toba. Di atas keseimbangan system kolektif: Bius, Horja, Huta dan Dalihan Natolu, inilah sekaligus sebagai sudut pandang (world view) masyarakat Batak Toba dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan ini, maka berefleksi dari Timoteus dan Titus terhadap kepemimpinan keduanya pada jemaat mula-mula: kepada mereka diberikan sebuah tugas menjaga kemurnian ajaran dengan terlebih dahulu mengiontensifkan sumber daya yang ada di dalam jemaat (I Tim. 4:1-11). Upaya ini direalisasikan dengan terlebih dahulu mengangkat presbyteros (penatua) dan episkopos (penilik/pengawas: uskup) sebagai pemimpin di setiap kota. Di dalam perkembangannya, para presbyter akhirnya berperan sebagai penilik pastoral yang mengatasi penatua Yahudi. Akhirnya, perkembangan dan praksis penilik pastoral ini melahirkan konsep tentang episkopos. Inilah indikasi yang memberi pemahaman bahwa episkopos dan presbyteros merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan. Sepintas, melalui kesamaan episkopos dan presbyteros dalam kepemimpinan ini, nampak kesejajaran bahwa model kepemimpinan di dalam gereja adalah kolektif. Kolektif bukan berarti meniadakan seorang pemimpin yang mengkoordinasikan potensi kekuatan dan kekuasaan yang ada. Di dalam Alkitab tidak dikenal jabatan yang memunculkan asosiasi-asosiasi klerikal dan hierarkis tetapi Alkitab sangat menekankan jabatan yang diakonal.

Kesimpulan
14.       Beberapa kesimpulan dapat dirangkum terhadap konsep dan system pemimpinan menurut paradigma tradisionil Batak Toba, yakni:
a.   Dari banyaknya defenisi tentang kepemimpinan dapat dipahami bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas tersendiri atau kemampuan untuk mempergunakan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan dalam sebuah organisasi khususnya dan lembaga masyarakat umumnya. Pernyataan ini dapat berarti bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas khusus untuk mendorong atau memberi motifasi sehingga orang-orang yang dipimpin dapat dengan semangat melakukan yang terbaik demi tercapainya visi dan misi kepemimpinan.
b.   System dan konsep kepemimpinan (pemerintahan: harajaon) menurut paradigma Batak Toba tradisionil, ini tidak boleh dibandingkan dengan system pemerintahan dengan bentuk sekarang di mana suatu Negara, kelompok atau lembaga masyarakat dan lain sebagainya dipimpin oleh seorang (kepala Negara/raja, kaisar). Ciri yang dominan nampak pada kepemimpinan Batak tradisionil, ini adalah sebagai perpaduan antara pemimpin pemerintahan dengan pimpinan keagamaan dan pimpinan adat. Artinya di dalam hubungan masyarakat, ada hubungan yang sangat kuat mengikat yakni antara kesilsilahan, kesamaan agama dan kepercayaan serta wilayah dan tempat tinggal yang sama. Dalam konsep inilah realisasi kepemimpinan Batak tradisionil nyata berlangsung seperti pada: Bius, Huta, Horja dan Dalihan Na Tolu.
c.  Secara historis unsur yang sangat mempengaruhi pandangan Batak tradisionil mengenal kepemimpinan menurut paradigma modern, ini sangat dominan terjadi melalui pengaruh kolonisasi Belanda di tanah Batak (pengaruh kekristenan akan dibahas pada judul tersendiri). Artinya, dengan masuknya pengaruh kolonisasi Belanda di tanah Batak demi percepatan tujuan mereka, Belanda secara langsung mengatur dan membentuk serta mengembangkan system pemerintahan desa (huta) di seluruh tanah Batak. Cara ini ditempuh Belanda demi menunjang program politik mereka agar segera dapat menguasai tanah Batak. Untuk cita-cita ini, Belanda sangat memanfaatkan karakter khusus Batak yakni: “sahala dan hasangapon” yang bagi orang Batak,  sahala” merupakan kwalitas tertentu dari tondi seseorang. Seorang pemimpin yang kuat harus memiliki “sahala” demikian orang tua terhadap anaknya, datu terhadap muridnya, hula-hula terhadap boru-nya. Para dewa dan leluhur yang mempunyai banyak keturunan mempunyai sahala. Pada kaitannya, sahala adalah perwujudan kekuatan supranatural juga sebagai perwujudan dari konsep ketuhanan yang tertinggi bagi orang Batak. Mendapatkan “hasangapon dan sahala”, inilah yang merupakan motif politik utama yang dilihat dan dimanfaatkan oleh Belanda jaman penguasaan mereka di tanah Batak. Oleh karena itu, dalam hal pembagian wilayah pemerintah colonial Belanda sangat berusaha memadukannya menurut system bentukan mereka dengan system Harajaon Batak. Melaluinya, Belanda membuat system pemerintahan Harajaon Batak berubah menjadi system kebudayaan. Intinya, sebagai akibat penjajahan maka wilayah pemerintahan Harajaon Batak, ini berubah menjadi wilayah kebudayaan.
e.   Sangat menarik bahwa masyarakat Batak tradisionil sama sekali sangat tidak mengenal konsep kepemimpinan tunggal tetapi kepemimpinan kolektif, koordinatif dan organisitik (paling tidak sebagai duo kepemimpinan atau dwi tunggal). Artinya bagi orang Batak Toba tradisionil, tidak pernah ada peluang kepemimpinan terjadi melalui dominasi satu orang, tetapi kepemimpinan itu harus diemban dan dilaksanakan bersama secara kolektif. Hikmat inilah yang nampak pada: Raja-raja Bius, Parbaringin, Partuho Mangajana, Raja Na Opat Bius, Ihutan, Panimbangi, Raja Huta/Tunggane Huta dan lain-lain.



INFORMASI AWAL TENTANG KEKRISTENAN DI TANAH BATAK

1.    Pendahuluan (1-2). Informasi yang sudah terkenal pada ilmu sejarah gereja di Indonesia bahwa jauh sebelum masuknya kekristenan di Indonesia (1511-1596) melalui usaha PI Barat atau Eropa,  pada abad ke-7 kekristenan telah pernah datang ke Tapanuli, khususnya di daerah Barus Tapanuli Tengah sekarang. Kekristenan ini dibawa oleh para pedagang Kristen Nestorian yang berasal dari semenanjung Arab dan Turki ketika itu. Informasi ini dapat dilihat dalam bukunya Th. Muller Krueger (Sejarah Gereja Indonesia, 1996, lih. juga, Hutauruk, 125 tahun HKBP, hl. 17) mengatakan: dari sebuah dokumen sejarah kuno yang ditulis oleh Shaykh Abu Salih al-Armini tentang Provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya, telah ditemukan daftar biara-biara dan gereja-gereja Kristen tersebar di mana di daerah Pancur (Sumatera). Menurut penelitian, daerah Pancur yang disebutkan dalam dokumen ini adalah nama sebuah kota pelabuhan di Barus (Tapanuli Tengah) di mana kota pelabuhan ini sudah ramai dikunjungi oleh kapal-kapal pedagang dari manca negara sejak permulaan abad-abad pertama tarikh Masehi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya ketika itu dihasilkan kapur Barus yang pada waktu itu sangat laris sebagai bahan perdagangan di daerah India, Persia, Mesir hingga daerah Eropa. Kapur Barus ini sangat berguna sangat berguna bagi bahan utama pengawetan (tradisi Mummi di Timur Tengah) manusia. Hanya masa sekarang ini, informasi ini sudah merupakan kenangan saja bagi kekristenan di Indonesia umumnya dan di tanah Batak khususnya. Menurut informasi lainnya (lih. Walter Lemp, Benih Yang Bertumbuh XII, LPS PGI) bahwa catatan perjalanan uskup Joa de Merignolli OFM (duta besar Paus Clemens VI di Peking) melaporkan bahwa ketika berkunjung ke Sumatera sekitar tahun 1346 menghadap ratu kerajaan Sriwijaya (hingga tahun 1377 sampai akhir abad ini kerajaan Sriwijaya masih dalam puncak kejayaannya), Joa de Merignolli mencatat bahwa ia sudah bertemu dengan banyak orang Kristen di daerah pantai Timur kerajaan Sriwijaya (Tapanuli) dan sempat melayani orang-orang Kristen itu. Informasi ini juga telah hanya sebagai kenangan bagi ilmu sejarah gereja khususnya di tanah Batak sekarang.

2.    Kesinambungan sejarah gereja Batak kemudian dapat diurut hingga masa awal abad 19, dengan semaraknya bada-badan misi Eropa melakukan PI di Sumatera. Beberapa badan zending Barat/Eropa yang pernah bekerja melakukan PI I tanah Batak (Lih. Andar Lumbatobing, hl. 64ff, 1996)adalah:

a.    BMS: Baptist Missionary Society dari Inggris.
Tahun 1820 badan misi ini pertama sekali mengutus misionarinya ke tanah Batak (Sumatera) sebanyak tiga orang (lih. P.B. Perdersen, hl. 45ff), yakni: Richard Burton seorang yang ahli dalam bidang bahasa dan ilmu bangsa-bangsa, kemudian ia ditugaskan menterjemahkan kitab suci ke bahasa Batak & bekerja di Sibolga; Nathaniel  Ward seorang yang ahli dalam bidang ilmu kesehatan ditugaskan untuk meneliti wabah penyakit kolera yang mewabah di daerah Silindung dan Toba untuk sementara tinggal di Bengkulu; dan Evans seorang yang ahli dalam bidang pendidikan (Guru) ditugaskan menjajaki kemungkinan dan pendirian badan-badan pendidikan di Tapanuli untuk sementara tinggal di Padang. Tahun 1924, ketiganya secara serempak memulai aksi misi mereka di daerah Tapanuli-tanah Batak. Tanggal 4 Mei 1824 saat pertama sekali mereka tiba di Silindung, mereka disambut baik, ramah dan hangat oleh penduduk ketika itu. Namun tidak sampai sebulan mereka di daerah Silindung, mereka harus kembali ke Sibolga karena wabah kolera yang tidak bisa mereka atasi di daerah ini ketika itu. Hanya dapat ditambahkan bahwa menurut laporan P.B. Pedersen (Darah Batak dan Jiwa Protestan, 1975) bahwa kesan Burton dan Ward ketika itu kepada orang Batak menyatakan: “orang-orang Batak menyatakan langsung bahwa mereka tidak sanggup meninggalkan tradisi-tradisi dan adat yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Orang Batak menuntut bahwa tidak sebagian kecil-pun dari unsur adat boleh dirubah”. Menurut Burton dan Ward, orang Batak menawarkan kepada mereka ketika itu: “…jika anda membawa kami kepada kejayaan, kami siap mendengarkan dan menerima anda”. Catatan sejarah gereja Batak hingga sekarang menggoreskan bahwa Ricahrd Burton, Nathanael War, dan Evans adalah tiga orang misionaris pertama yang memasuki tanah Batak dari badan misi BMS Inggris.

b.    NZG: Nederlands Zendingsgenootschaft dan Beberapa Pendeta Tentara dari Belanda
-    Tahun 1826, badan NZG mencoba mengirim seorang misionaris berkebangsaan Jerman bernama Karl August Guetzlaff ke Sumatera khususnya daerah Tapanuli. Namun karena perang Paderi-Bonjol (Sumartaera Barat) tengah berkecamuk melawan kolonial Belanda maka misionaris ini tidak dapat memasuki Tapanuli ketika itu. Akhirnya, ia hanya bekerja hanya untuk orang Batavia dan orang Cina ketika itu di Batavia (Jakarta sekarang), yang kemudian ia diutus untuk misi PI ke Cina (Hongkong).
-    Tahun 1830-an merupakan waktu pertama sekali pemerintah kolonial Belanda berkuasa di daerah Tapanuli Selatan. Untuk kepentingan kerohanian para tentara Belanda di sana, kolonial mengutus seorang pendeta bernama Elout sekaligus mengusahakan PI kepada orang Batak di Tapanuli Selatan. Catatan sejarah gereja Batak tentang kelanjutan dan hasil misi misionaris ini tidak banyak diperoleh, namun HKBP mencatat bahwa orang Batak pertama yang dibaptis menjadi Kristen itu dilakukan oleh Van Asselt seorang misionaris dari lembaga misi Ermelo Belanda. Peristiwa pembaptisan orang Batak itu berlangsung tanggal 31 Maret 1861 yakni kepada Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar.

      c.   ABCFM: American Board of Commisioners for Foreign Missions
      Bandan zending ini berpusat di Boston Amerika dan tahun 1834 mengutus dua  orang tenaga penginjil ke tanah Batak, yakni: Henry Lyman dan Samuel Munson.  Dua orang misionaris ini adalah lulusan: “Andover Theological Seminary (1832)”, yang sebelum tiba di Tapanuli untuk beberapa waktu mereka belajar bahasa Melayu di Jakarta dan bulan Juni 1834 mereka tiba di Sibolga. Pada bulan ini juga (23 Juni) mereka meninggalkan Sibolga menuju pedalaman Tapanuli (Silindung). Sebelum sampai di Silindung, di sebuah desa bernama Lobupining  (desa yang terletak antara Sibolga dan Tarutung) mereka mati terbunuh yang diduga dilakukan oleh masyarakat setempat. Beberapa dugaan mengapa mereka di bunuh oleh masyarakat Lobupining, adalah: 1. Mereka di duga sebagai mata-mata Belanda yang pada waktu itu telah terdengar berita ke masyarakat Batak bahwa kolonial Belanda akan berkuasa hingga ke Tapanuli yang sebelumnya sudah berkuasa di Tapanuli Selatan ; 2. Ada dugaan bahwa mereka juga dibunuh oleh para pembantu mereka snediri dengan motif meramps barang-barang bawaan mereka ; 3. Dugaan lain mengatakan bahwa mereka juga dibunuh oleh tentara Belanda dengan alasan bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak menghendaki pekerjaan misionaris di Tapanuli demi kepentingan politik mereka ; 4. Rasa anti pati masyarakat setempat kepada orang kulit putih karena penyerbuan tentara Paderi ke tanah Batak waktu itu disebabkan oleh kehadiran dua orang kulit putih (Burton dan Wards) sepuluh tahun sebelumnya ke daerah Siindung. Peristiwa pembunuhan dua orang misionaris ini, hingga sekarang meninggalkan kesan yang kurang baik bagi masyarakat Batak secara umum walau dari penjelasan di atas tidak jelas informasi benar tidaknya peristiwa itu dilakukan oleh Batak. Namun akhir abad 19 orang Kristen Batak membangun tugu sebagai monumen peringatan tentang kemati-martyran Munson dan Lyman di Lobupining. Pada nisan mereka dituliskan perkataan Tertulisanus, seorang Bapa Gereja mula-mula, berbunyi: “darah para martir merupakan benih bagi pertumbuhan gereja”.

        d. Badan Zending Ermelo Belanda
      Agaknya walau bukan yang paling berhasil, sejak awalnya badan zending Belandalah yang paling banyak melakukan UPI di daerah Tapanuli (tanah Batak). Melalui laporan Frans Junghun (1847) seorang warga negara Jerman yang atas permintaan pemerintah kolonial Belanda pernah memimpin suatu ekspedisi (perjalanan) ke tanah Batak (1840-1841), maka lembaga Alkitab Belanda mengutus Neubronner van der Tuuk (tahun 1849) dan tinggal di Barus mempelajari bahasa Batak dan berhasil menulis dan menyusun beberapa buku tentang tata bahasa Batak, kamus bahasa Batak-Belanda dan menterjemahkan beberapa buku Alkitab ke bahasa Batak. Melalui hasil pekerjaan van der Tuuk ini, perkumpulan orang Kristen petani di Ermelo Belanda mengutus seorang misionaris bernama Van Asselt ke tanah Batak dan ia tiba di Tapanuli Selatan tahun 1856. Selanjutnya, karena badan zending Ermelo tidak sanggup membiayai UPI Van Asselt, ia bekerja di sebuah perkebunan Belanda di Tapanuli Selatan. Karena kuatnya pengaruh Islam di daerah Tapanuli Selatan, Van Asselt tidak berhasil melakukan UPI-nya karena masyarakat di sana sudah banyak yang menganut Islam. Hingga tahun 1857, beberapa misionaris lainnya di utus ke  Tapanuli Selatan, yakni: Dammerboer yang kemudian menetap di Hutaimbaru (Angkola), Van Daalen di Pargarutan, Betz di Bunga Bondar (Sipirok).  Dalam pekerjaan UPI ketiga orang misionaris ini, mereka mendapat dukungan dari badan PI yang berkedudukan di Jakarta. Akhirnya, hingga tahun 1861, Van Asslet bersama Betz bergabung dengan para misionaris utusan badan zending RMG di Tapanuli Selatan. Tanggal 31 Maret 1861, Van Asselt berhasil membaptiskan dua orang putera Batak menjadi Kristen, yakni: Yakobus Tampubolon (sebelum Kristen bernama: Main Tampuboon), Simon Siregar (sebelum Kristen bernama: Pagger Siregar). Dammerboer dan Van der Tuuk tidak mau bergabung dengan badan zending RMG, tetapi mereka mencari pekerjaan sebagai guru pemerintah Belanda ketika itu.

e.   RMG: Rheinische Missiongesllschaft ( lalu menjadi VEM-zending Barmen)
      Badan zending ini yang paling berhasil melakukan UPI di tanah Batak, dan badan zending inilah yang melahirkan gereja HKBP sekarang. Pekerjaan badan zending ini, diawali dengan mengutus misionaris Heine dari Jerman ditambah dengan Klammer (seorang bekas misionaris RMG yang melarikan diri dari Kalimantan  karena perang Hidayat melawan orang kulit putih di daerah itu tahun 1859). Dua orang misionaris ini bergabung dengan Van Asselt dan Betz di Tapanuli Selatan, hingga ke empat orang misionaris inilah atas prakarsa Van Asselt (P.B. Pedersen, hl. 52-54) pertama sekali mengadakan rapat koordinasi kerja misi tanggal 7 Oktober 1861 di rumah seorang penduduk setempat bernama Bondannalotot Nasution di Prau Sorat-Sipirok. Rapat koordinasi misi itu, membicarakan tentang: “metode kerja misi di tanah Batak sekaligus membagi wilayah kerja mereka”. Tanggal rapat koordinasi kerja mereka inilah yang kemudian oleh badan zending RMG ditetapkan sebagai hari lahirnya gereja-gereja Batak (HKBP). Secara kebetulan, orang Kristen Batak melihat bahwa huruf pertama dari masing-masing nama ke empat misionaris ini (Heine, Klammer, Betz dan V(P)an Asselt) dianggap sebagai ilham dan nubuatan kemudian untuk nama gereja HKBP. Penting diingat bahwa ada dua moment sangat penting berlangsung saat rapat koordinasi ini diadakan, yakni: oleh RMG melalui pimpinannya Fabri di Jerman peristiwa itu merupakan penggabungan kerja badan misi Belanda dengan RMG-Jerman dan sekaligus sebagai penyerahan badan misi Belanda ke RMG di tanah Batak.

f.     Java Comitee (Komite Jawa)
Badan zending ini berasal dari negeri Belanda, awalnya bertujuan memajukan UPI di pulau Jawa. Badan ini mulai bekerja di tanah Batak tahun 1864, khususnya di Hutaimbaru dan Pargarutan Tapanuli Selartan. Badan zending ini sempat merekrut anggota jemaatnya di Tapanuli Selatan hingga sebanyak 5000 orang. Namun tahun 1931 anggota jemaat ini bergabung dengan HKBP, karena dasar pertimbangan bahwa jumlah ini masih kecil untuk mendirikan/membentuk satu gereja yang berdiri sendiri. 

g.    Mennonit (Doopgezinde Zendingsvereeniging)
Badan zending ini juga berpusat di negeri Belanda, namun para misionarisnya berasal dari berbagai negara di Eropa. Beberapa misionaris Mennonit dari Ukraine Rusia sempat bekerja di Pakantan Tapanuli Selatan (1869-1918) dan sempat mendirikan beberapa jemaat di sana. Misionaris Mennonit terakhir yang bekerja di Pakantan adalah Iwan Tissanov yang akhirnya tahun 1918 pindah ke daerah bandung (Jawa). Namun karena pertimbangan seperti di atas, jemaat ini bergabung dengan HKBP tahun 1931.

h.    BNZ: Batak Nias Zending
Badan zending ini adalah bentukan orang-orang (termasuk pemerintah kolonial) Belanda di Indonesia yang tujuannya mengambil alih semua hasil pekerjaan RMG di tanah Batak dan Nias. Pertimbangan ini ditempuh karena kalahnya Jerman masa puncak PD II di Eropa (Mei 1940) di mana semua misionaris RMG (Jerman) ditangkap dan dipenjarakan oleh tentara Belanda di Indonesia. Setelah penangkapan para misionaris RMG ini, badan zending BNZ berusaha merebut kepemimpiunan gereja Batak (HKBP) dan gereja Nias (BNKP), walau usaha itu tidak berhasil, karena para pendeta pribumi sangat bertekad untuk mandiri dalam segala dalam gereja.  Akhirnya, BNZ hanya dapat menguasai sebagian besar asset RMG seperti sekolah-sekolah zending, RS dan usaha-usaha lainnya. Setelah Jepang berkuasa di Indonesia tahun 1942, BNZ hilang lenyap dan seluruh asset RMG yang sempat dikuasai BNZ kemudian diambil alih oleh Jepang.

i.      Samosir Zending.
Badan ini dibentuk di negeri Belanda bekerja sama dengan RMG dan zending Batak. Tujuannya membantu UPI di daerah Samosir sebagai salah satu daerah PI yang agak terbelakang dibandingkan dengan daerah lainnya di tanah Batak. Misionaris yang sempat dikirim dan pernah bekerja di Samosir melalui badan ini adalah Ds. M. Vink, Ds. J. Bos dan Rychoek.

3.   Sebuah Analisa Tentang Situasi Awal Pengkristenanan Tapanuli.  Merujuk pada penekanan tema pembahasan ini (bnd. tema pert I) beberapa penilaian dapat dikatakan sebagai berikut:
a.    Sebenarnya agama Kristen hadir di Tapanuli tepat pada situasi yang benar (cocok) di tengah kekacauan social di seluruh tanah Batak berlangsung. Banyaknya misionaris dan lembaga zending asing bekerja di Tapanuli Selatan dan Utara, sebenarnya  hanya yang bekerja di Tapanuli Utara saja yang di bawah pengaruh kekuasaan Belanda. Di satu sisi, pengawasan pekerjaan misionaris yang ketat oleh Belanda di Tapanuli Utara sementara di Selatan kurang dikontrol, sikap ini sangat berhubungan langsung dengan keamanan realisasi politik  kolonial ketika itu sebab daerah Utara kurang menguntungkan bagi tujuan Belanda bila dibandingkan dengan Selatan. Tujuan utama Belanda dalam hal ini adalah keuntungan oleh system perdagangan, ini terbukti kemudian melalui didirikannya perusahaan-perusahaan perkebunan di hampir semua wilayah tetangga Tapanuli Utara walau secara tidak langsung pendirian perkebunan-perkebunan ini mematahkan isolasi masyarakat dan tanah Batak dari daerah sekitarnya.

b.    Hadirnya pekerjaan misi di Tapanuli di mana pengaruh Belanda sudah mendahului di daerah tetangga, kesan yang ditemukan melalui keadaan ini adalah bahwa misi pada akhirnya menjadi suatu pertandingan antara agama Kristen dengan Islam bagi orang Batak.

c.    Bila lembah Silindung pada masanya kemudian menjadi satu pintu gerbang utama yang baru bagi masuk, bertumbuh dan berkembangnya agama Kristen, ini kemudian merujuk pada sifat antusiasme dan dedikasinya anggota-anggota Kristen Batak yang tidak kenal takut, yang akhirnya menjadi suatu faktor yang sangat penting bagi penyebaran agama Kristen di seluruh tanah Batak bahkan hingga ke seluruh wilayah tempat di mana gereja Batak tersebar. Berhubung dengan pernyataan ini, orang Kristen Batak modern menyaksikan: “dimana ditemukan orang Kristen Batak, di sana ada seorang yang berbicara mengenai imannya, di mana dua orang, di sana ada pertemuan doa, di mana ada tiga orang di sana terdapat sebuah gereja, dengan empat orang, suatu koor atau paduan suara”. Pernyataan ini sebenarnya menggambarkan sifat dinamis dan antusiasme misi orang Batak untuk menyaksikan imannya sebagai orang Kristen yang sudah menerima Injil sebagai terang bagi hidup mereka. 







METODE KERJA MISI BADAN ZENDING RMG
(LAHIR DAN BERKEMBANGNYA GEREJA BATAK)


1. Pendahuluan. Sebagaimana pada penjelasan pertemuan lalu (Ke-III) telah dijelaskan bahwa perkembangan dakwah Islam dan misi PI Kisten di Indonesia umumnya dan di Tapanuli (Sumut) khususnya, keduanya turut (paling tidak) dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Keadaan ini jugalah yang berlangsung pada sejarah misi Kristen dan dakwah Islam di Tapanuli masa pertengahan abad 19 (sebelum dan sesudah tahun 1861). Penguasa tertinggi pemerintah Belanda yang membawahi seluruh Sumatera ketika itu, yakni Jenderal Thomas Stamford Rafles yang berkedudukan di Bengkulu, sangat kuat mendorong usaha penginjilan dilakukan di tanah Batak agar maksud Rafles terwujud yakni: memisahkan orang Aceh (daerah paling Utara Sumatera) yang sudah dominan Islam dengan orang Minangkabau (Selatan Tapanuli) yang juga sudah dominan Islam. Kebijakan ini juga  merupakan bagian sistem politik Rafles (umumnya Eropa: misal Belanda di wilayah kekuasaan Hinda Belanda yakni Indonesia; dan Inggris umunya daerah ASEAN) yang bertujuan  memecahbelah dan mengalahkan penduduk (de vide et impera) ketika itu (lih. P.B. Pedersen, hl. 45). Berhubung dengan ini, ketika pertama sekali badan zending BMS mengutus tiga orang misionarisnya bekerja di daerah tanah Batak (1820: Burton, Ward dan Evans) dan menjadikan Sibolga sebagai titik berangkat mereka ke Silindung, perang Paderi (Bonjol) yang dipimpin oleh Tuanku Rao sangat berusaha menduduki Tapanuli dengan menjadikan Sibolga sebagai pangkalan utama Islam di Tapanuli. Tujuan penyerangan-penyerangan ini, di samping mempersempit ruang gerak pemerintah kolonial, juga untuk memperluas pengaruh Islam di tanah Batak. Dapat dikatakan bahwa walau tidak lebih jauh pengaruh Islam di tanah Batak (umumnya Silindung, Humbang dan Toba), tentara Paderi sudah menguasai tanah Batak dari tahun 1818 hingga masa selanjutnya. Realitasnya juga, bahwa hingga akhir abad 19, ketentaraman pemerintah kolonial Belanda sangat diancam/diganggu oleh pemberontakan-pemberontakan pasukan Islam (Paderi) secara umum. Hikmat yang dapat dipetik melalui keadaan ini secara menyeluruh bahwa agama Kristen tiba dalam suatu suasana yang tepat dan cepat oleh kekacauan social di seluruh Tanah Batak. Di tengah pengaruh dan kepentingan politik pemerintah kolonial Belanda demi tujuan keuntungan perdagangan kolonial, misi dan dakwah menjadi suatu pertandingan antara Islam dan Kristen bagi orang Batak di tanah Batak. Demikian di tengah menguatnya pengaruh Belanda, pendirian perkebunan-perkebunan di wilayah-wilayah yang mengelilingi tanah Batak menjadi kekuatan tersendiri untuk mematahkan isolasi masyarakat Batak dari daerah sekelilingnya (lih. P.B. Pedersen, hl.  64-65).  

2.  Sebagaimana ditekankan di atas, nampaknya terlepas dari sudut kepentingan dan tujuan politik kolonial, demikian tekanan-tekanan dari pihak Islam, misi zending kekristenan nampak harus terus diperjuangkan di Tapanuli. Dan badan zending yang paling berhasil mendirikan gereja di tanah Batak adalah Rheinische Missiongesllschaft – RMG (kemudian badan zending ini berobah nama menjadi VEM: Vereinte Evangelische Mission ; kemudian menjadi menjadi UEM: United Evangelical Mission) yang tahun 1859 direkturnya Dr. R. Fabri datang ke Amsterdam menemui pemerintah Belanda guna membicarakan masalah misi selanjutnya di Kalimantan akibat bergejolaknya perang Hidayat tahun 1859 di sana, dimana akibat perang itu juga para misionaris RMG turut terbunuh sebab ketika itu Kalimantan juga merupakan wilayah  kerja misi RMG yang dirintis sejak tahun 1835. Masa kunjungan inilah awalnya Fabri menemukan kesan yang sangat mendalam baginya terhadap awal pengenalannya kepada orang Batak melalui sebuah tulisan Batak berjudul : Surat ni si Johanes:                                                . Atas kesan yang mendalam inilah, melalui kebijakan Fabri (sebagai direktur) kemudian RMG secepatnya memindahkan wilayah kerja misi yang bergejolak dari Kalimantan ke tanah Batak. Para misionaris RMG yang sebelumya bekerja di Kalimantan segera di pindahkan ke tanah Batak misalnya: Heine, Klammer dan Denniger (sebab alasan kesehatan isterinya, misionaris ini tidak ikut ke tanah Batak namun oleh RMG ia kemudian diutus ke daerah Nias). Sebelumnya misionaris badan zending Ermelo Belanda sudah mendahului pekerjaan misi di tanah Batak melalui Betz dan Van Asselt. Awal pertemuan ke empat orang misionaris inilah, peristiwa sejarah gereja Batak tanggal 7 Oktober 1861 penting diingat, yakni rapat koordinasi misi tentang penetapan metode kerja badan misi RMG dan badan misi Ermelo di tanah Batak. Realitasnya, wilayah bagian Selatan Tapanuli Islam sudah sangat dominan bagi masyarakat setempat, sementara di bagian Utara agama tradisionil Batak juga masih sangat dominan (masih belum disentuh oleh pengaruh apapun) bagi masyarakatnya. Demi pengembangan misi selanjutnya, rapat koordinasi ke empat orang misionaris ini tetap memutuskan bahwa Van Asselt bersama Heine keduanya bekerja untuk wilayah Utara khususnya daerah Pahae sedangkan Klammer dan Betz bekerja untuk wilayah Selatan khususnya daerah Bungabondar (Sipirok). Melalui pembagian wilayah ini, setelah kedatangan Dr. Ingwer Ludwig Nomensen, mereka kemudian sepakat untuk mengutusnya (Nomensen) ke daeran Utara yakni daerah lembah Silindung untuk misi dan nyata selanjutnya pekerjaan Nomensen inilah yang jauh paling berhasil sekaligus mencirikan identitas perkembangan gereja Batak selanjutnya. 

3. Metode Kerja Misi di tanah Batak (3-4). Sebelum pokok tema ini dibicarakan lebih jauh, ada baiknya diperkenalkan profil tokoh misionaris yang paling berjasa menanam dan mengembangkan Injil di tanah Batak, beliau adalah Dr. I.L Nomensen (lebih jauh informasi tentang tokoh ini lih. P.B. Pedersen,hl. 54-64 dan buku rujukan  lainnya). Ia lahir di pulau Nordstand (daerah Schleswig-Holstein sebuah daerah antara Denmark dan Jerman) tanggal 6 Pebruari 1834 (pada tahun terbunuhnya Munson dan Lyman di Lobupining) dan bulan Oktober 1861 (setelah menjalani pendidikan teologi di bawah bimbingan RMG) ia ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Tiba di Padang tanggal 14 Mei 1862 (masa 142 hari pelayaran dari Jerman hingga ke Padang). Awalnya, oleh kepentingan politik Belanda dan setibanya Nomensen di Padang, Belanda tidak memperbolehkannya memasuki daerah pedalaman Tapanuli. Ia hanya diperbolehkan bekerja untuk misi di daerah Barus (tiba tahun 1862, di daerah inilah Nomensen belajar bahasa dan adat Batak), yang walau pemberian ijin ini tidak sesuai dengan cita-cita misi Nomensen sejak awal, namun ia menganggap situasi ini sebagai langkah awal memasuki pedalaman Tapanuli ketika itu. Perjalanan misi pertama di mulainya dari Barus ke Sipirok tanggal 25 Oktober 1862, dan setibanya di Sipirok, pekerjaannya sangat mendapat simpatik dari banyak orang ketika itu. Modal yang sangat tajam bagi Nomensen sejak awal dalam mengembangkan misi adalah sikap dan kepribadiannya yang dinampakkannya melalui dedikasinya melayani. Inidikasi ini nampak ketika ia mendirikan lembaga pendidikan zending di Prau Sorat, walau akhirnya lsekolah ini tidak berkembang karena beratnya tantangan dialami dari pihak Islam. Perjalanan misi kedua dilakukannya tahun 1863 menuju daerah pedalaman yakni Silindung, perjalanan ini dimulainya setelah Nomensen mendapat dukungan semangat dari Van Asselt dan Klammer di mana tahun sebelumnya (1862) dua orang misionaris ini sudah mengunjungi Silindung. Setibanya di Silindung, Nomensen awalnya disambut baik oleh masyarakat Silindung, namun ketika pertama sekali ia berkunjung ke Sipoholon, ia mengalami perlawanan yang sesungguhnya dari penduduk setempat sebab Nomensen dianggap sebagai mata-mata Belanda untuk daerah Silindung. Namun oleh sikapnya yang sangat menarik simpatik banyak orang Batak ketika itu, ia dibiarkan tinggal di Silindung dan mulai Mei 1864 ia tinggal menetap di desa Saitnihuta dan di desa inilah untuk pertama sekali ia mendapatkan sebidang tanah rawa yang kemudian dirubahnya menjadi model perkampungan Kristen (Huta Dame) yang patut menjadi teladan dalam berbagai hal untuk sekitarnya. Di huta Dame inilah ia memulai misi yang lebih mendalam di lembah Silindung melalui: pendidikan (membaca, menulis, berhitung dan  ilmu bumi, dll), kesehatan, kerohanian dan bidang ekonomi-sosial, akhirnya usaha misi inilah yang kemudian dikenal  sebagai “metode misi empat dimensi”. Sikapnya yang ramah dan keahlianya mengobati berbagai penyakit, menjembatani jurang komunikasi dirinya menjadi sangat akrab dengan penduduk setempat ketika itu. Akhirnya, tanggal 27 Agustus 1865, ia membaptiskan orang berwibawa pertama (bersama empat orang lainnya) dari orang Batak menjadi Kristen yaitu: Raja Pontas Lumbantobing. Beliau inilah (dan empat orang yang dibaptis) yang di kemudian hari sangat banyak mendukung Nomensen bekerja demi misi di lembah Silindung. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan misi Nomensen di tanah Batak sangatlah berhasil, akhirnya tanggal 23 Mei 1918 Nomensen meninggal dalam usia 85 tahun. Tahun saat Nomensen meninggal, gereja telah bertumbuh dan mencakup anggota jemaat sebanyak 180.000 orang anggota di baptis, sekolah-sekolah sebanyak 510 buah dengan 32.700 murid, sejumlah gereja dengan 34 orang orang pendeta Batak ditahbiskan, 788 guru Injil dan 2.200 orang penatua (lih. Pedersen, hl. 64). Tahun 1881, saat Nomensen kembali untuk cuti ke Eropa oleh RMG sebagai lembaga misi yang mengutusnya ke tanah Batak menganugerahinya gelar: “Ephorus” (overseer: pengawas) di mana kemudian nama ini dipertahankan HKBP sebagai gelar jabatan tertinggi di dalam gereja dan tahun 1904, ia diberi gelar kehormatan Dr. Teologia oleh Universitas Bonn.

4.  Selanjutnya, setelah melihat perkembangan misi yang sangat pesat di tanah Batak RMG mengutus para misionaris lainnya (mis. P.H.Johansen, Meerwalt, J. Warneck dll) untuk membantu pekerjaan misi di tanah Batak (lih. 125 tahun HKBP, hl 147 ff). Dari metode dan dedikasi kerja misi yang tajam berikut diuraikan tahap demi tahap hasil yang diperoleh dalam usaha pembentukan dan perkembangannya gereja Batak kemudian yakni:
a.    Bidang Kerohanian. Usaha-usaha dalam bidang ini sangat berhubungan dengan pembinaan kehidupan kerohanian orang-orang Kristen Batak melalui: “ibadah, khotbah, persekutuan-persekutuan Kristen dan evanggelisasi, penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Batak, serta pengadaan buku-buku bacaan yang berisikan pengajaran Kristen dan lain-lain”. Lengkapnya pekerjaan ini dapat dikatakan sebagai berikut:
1876: Nomensen menterjamahkan Akitab PB ke bahasa Batak Toba yang ditulis ke aksara Batak dan diterbitkan tahun 1876. Dengan tambahan terjemahan kitab Mazmur oleh P.H. Johansen, terjemahan kitab PB ini disalin dalam aksara Latin tahun 1885.
1894: Alkitab PL terjemahan bahasa Batak Toba pertama sekali diterbitkan tahun  1894, setelah PH Johansen mengerjakannya selama 13 tahun.
1874: I.L. Nomensen menterjemahkan Katekhismus M. Luther ke bahasa Batak Toba.
1881: Buku ende huria dalam bahasa Batak Toba dikumpulkan dan diterbitkan sebanyak 121 nyanyian, juga lampiran konsep dosa pagi dan sore. Nyanyian-nyanian itu disadur dari bahasa Jerman ke bahasa Batak Toba. Cetakan kedua buku nyanyian ini dilakukan tahun 1886 dengan 162 nyanyian. Hingga tahun 1889, santapan rohani (bohal partondion) karangan H.V. Bogatzky diterjemahkan oleh P.H. Johansen, di mana buku ini dipergunakan sebagai buku renungan dan ibadah keluarga Kristen.
1886: Nyanyian rohani dan Kathehismus dalam bahasa Batak Angkola- Mandailing diterjemahkan oleh Chr. Schuetz.
1889: Untuk pertama sekali majalah gereja “Imanuel” diterbitkan, isinya berita-berita pelayanan gereja, khotbah gerejani bulanan. Tujuan terbitnya majalah ini adalah untuk mempersatukan jemaat-jemaat Kristen Batak yang semakin pesat perkembangannya.
1898: Pertama sekali Almanak tahunan gerejani diterbitkan sebagai buku penuntun teks khotbah setiap hari minggu serta nats-nats bacaan bagi setiap anggota keluarga Kristen.
1899: Buku kumpulan cerita Alkitab PB yang diterjemahkan oleh I.L. Nomensen diterbitkan dalam aksara Batak dan latin. Buku ini sebagai bahan pengajaran pertama bagi pelajaran sidi. Demikian dengan tahun 1902 buku kumpulan certa Alkitab PL diterjemahkan  ke bahasa Batak Toba oleh P.H. Johansen. Penterjemahan ke bahasa Batak Angkola–Mandailing dilakukan oleh Ph.Schuetz, buku ini diterjemahkan dari buku karya Zahn dan Kuertz.

b.    Bidang pendidikan umum dan teologi. Para misionaris awalnya sangat memahami bahwa tidak mungkin gereja berdiri di tengah masyarakat yang buta huruf (aksara) sebab membina kerohanian saja tidaklah mungkin membentuk manusia seutuhnya. Melalui pendidikan mereka sadar bahwa ini adalah sarana utama bagi penunjang berhasilnya PI yang sesungguhnya, melalui pendidikan inilah para pribumi kemudian sangat mendukung berhasilnya PI. Berikut dicantukan sejarah pembangunan pendidikan umum dan pendidikan teologi oleh gereja di tanah Batak:

- Bidang Pendidikan Umum

1861: Oleh Nomensen di Prau Sorat SD untuk membaca dan berhitung dibuka yang tahun 1893. Selanjutnya, sekolah-sekolah sending di Tapanuli mendapat bantuan dari pemerintah Belanda sebab sekolah sending sangat berperan meningkatkan pengetahuan (kwalitas SDM) masyarakat.
1900: “Sekolah anak ni raja” diririkan di Narumaonda dan sekolah ini memakai bahasa Belanda. Di Narumonda juga didirikan sekolah Tukang yang dididik menjadi terampil/ahli bidang pandai besi dan kayu. Lama belajar adalah 2 tahun yang kemudian sekolah ini mendapat bantuan dari pemerintah.
1911: Sekolah yang jenjangnya lebih tinggi dari SD yakni HIS (Hollands Inlands School) di Sigompulon Tarutung didirikan, sekolah ini jugaberbahasa Belanda
1927: Sekolah MULO (setingkat dengan SMP) Kristen didirikan di Tarutung. Hingga pertengahan abad 19 produk sekolah ini sangat bermutu hingga siap diandalkan di seluruh Indonesia.
1930: Sekolah Vervolg (Vervlog School) didirikan sebagai lanjutan dari kelas III SD.
1932-1950: Persekolahan di kalangan Kristen Batak di berbagai daerah (dari Siborongborong, Balige, Tarutung, bahkan ke P. Siantar dll) tumbuh seperti jamur. Sekolah ini kemudian dinamakan Schakelschool yang bersama dengan HIS dan HIS Bregensstroth, sekolah-sekolah ini berbahasa Belanda.
1945-1950: Persekolahan (mulai dari SD-SMA) HKBP bertumbuh sangat pesat, dan untuk pertama sekali SMA dan SGA HKBP berdiri di Tarutung. Hingga tahun 1962 melalui Depertemen Pendidikan HKBP telah memayungi 100 buah lembaga pendidikan umum yangtersebar di berbagai daerah.
1954: (7 Oktober) melalui SA-nya, HKBP mendirikan sebuah Universitas milik HKBP yang diberi nama Universitas HKBP Nomensen, awalnya hanya tiga Fakultas yakni: Theologia, Ekonomi dan Hukum.
1957-1961: Badan persekolahan gereja ini sangat mengalami hambatan dalam pengelolaannya sebab keadaan politik negara, yang akhirnya mengurangi gaji para guru yang sangat dibawah standart dan sulitnya para guru ini memperoleh kenaikan pangkat/golongan yang berhubungan dengan kesejahteraannya.
1961: Perguruan teknik HKBP didirikan di P. Siantar (Jln. A. Yani/Medan sekarang samping percetakan HKBP).

- Bidang pendidikan teologia

1868: Lembaga pendidikan guru pertama yaitu Seminari Prau Sorat sebagai sekolah Kateket) di dirikan di Prau Sorat – Sipirok (Tapanuli Selatan). Siswa sekolah ini direkrut dari tamatan SD sending terbaik ketika itu dengan kurikulum: “pengetahuan tafsiran Alkitab dan Sejarah Alkitab, Katekhismus, Ilmu Bumi, Sejarah (Kuno, Modern, dan Sejarah Gereja), Berhitung, Bernyanyi, Pengetahuan Alam dan bahasa Jerman dan Melayu”. Sekolah ini ditutup tahun 1872 (hanya menghasilkan 27orang guru dari tiga angkatan) karena hasil misi PI umumnya di TAPSEL sangatlah lambat di banding TAPUT dan akhirnya sekolah ini dipindahkan ke TAPUT.
1873-1877: Sikola Mardalan-Dalan didirikan (sekolah yang belajarnya tidak menetap/mardalan-dalan). Disebut namanya demikian, sebab para misionaris sebagai guru mereka, oleh pekerjaan misi yang sangat banyak para siswa datang menemui guru untuk diajari.Tiga orang misionaris yang bekerja di Silindung ketika itu sekaligus sebagai guru adalah: I.L. Nomensen di Pearaja, P.H. Johansen di Pansur Napitu, A. Mohri di Sipoholon. Kurikulum yang diterapkan merupakan pengembangan dari kurikulum sekolah guru  Prau Sorat.
1877: Seminari Pansur Napitu. Seminari ini merupakan lanjutan dari Sekolah Mardalan-dalan sebelumnya. Dibukanya seminari ini oleh para misionaris, sebab pertimbangan kurang efektifnya sekolah mardalan-dalan yang melalui ini dipikirkan cara yang lebih bai yaitu membuka sekolah menetap di Pansur   Napitu (kemudian disebut Seminari Pansur Napitu). Seminari ini dipercayakan atas pengelolaan P.H. Johansen yang juga ia melayani jemaat setempat. Untuk lebih meingkatkan kwalitas lulusannya, para misionaris memutuskan lama pendidikannya selama empat tahun. Kebijakan ini diambil sebab, pendidikan yang serupa telah dibuka di Depok (Jawa Barat) tahun 1878 yang oleh karena itu para misionaris mengharapkan lulusannya dengan kwalitas yang serupa dengan lembaga pendidikan yang didiririkan  di Depok. Selanjutnya, lembaga pendidikan Pansur Napitu ini mendidik putra pribumi yang diharapkan menjadi tenaga bidang pendidikan guru jemaat dan sekolah pendeta.
1900: Seminari Sipoholon didirikan. Tahun ini merupakan perpindahan seminari Pansur Napitu ke Sipoholon. Perpindahan ini disebabkan pertimbangan para misionaris atas hasrat putra pribumi mendapatkan pendidikan teologia dan pendidikan umum yang lebih baik. Atas inisiatif para misionaris, J. Warneck dipercayakan menjadi pemimpin seminari ini.  Dari tenaga pengajar dan kurikulum serta lama pendidikan, seminari ini merupakan  pengembangan dua lembaga pendidikan (sekolah mardalan-dalan dan seminari Pansur Napitu) sebelumnya.
1934: Sekolah penginjil khusus wanita (Bibelvrouw) di Laguboti. Sekolah ini pertama sekali di bawah pimpinan Schwester Elfriede Harder. Mula-mula sekolah ini didirikan di Narumonda-Porsea (1934-1936) tetapi tahun 1837 dipindahkan ke Laguboti. Sejak awal, produk sekolah ini diharapkan mampu menjadi pelayan gereja khusus bagi pekerjaan wanita seperti: pembinaan wanita dalam gereja, mengajar anak-anak dan muda/i, pelayanan pastoral lainnya para wanita ke rumah-rumah. Masa pendudukan Jepang (1940-1945) sekolah ini ditutup, namun oleh Pdt. K. Sirait mantan Ephorus HKBP pertama, sekolah ini dibuka kembali.]

Catatan:
- Masa pendudukan Jepang di tanah Batak, umumnya lembaga pendidikan umum dan sekolah-sekolah teologi sedang mengalami kegentingan yang amat sangat yaitu ditutupnya oleh pemerintah Jepang semua badan sekolah itu.
-    Setelah kemerdekaan, lembaga sekolah ini di buka kembali dengan paradigma yang berbeda sesuai apa yang direncanakan oleh para misionaris. Artinya bila sekolah-sekolah sending didirikan untuk kepentingan misi secara menyeluruh (sebagai tenaga-tenaga guru bidang pendidikan umum) oleh HKBP,  pengefektipan kembali sekolah-sekolah teologi tahun 1950 (melalui pendirian sekolah guru huria misalnya) diharapkan dapat menjadi tenaga pelayan yang terbatas hanya mengelola pelayanan jemaat lepas dari fungsi sebagai guru di sekolah-sekolah umum.
-    Hikmat ini penting, guna memahami dibukanya kembali pendidikan guru huria khusus sebagai tenaga pelayan bagi jemaat-jemaat yang mengalami perkembangannya masa pertengahan abad 19 di tanah Batak dan di berbagai daerah lainnya. 

c.  Bidang kesehatan. Sejak awal bahwa keberhasilan misi di tanah Batak sangat didukung oleh pelayanan para misionaris di bidang kesehatan (penyembuhan dan kebersihan lingkungan, penyuluhan giji yang baik). Pelayanan ini mempengaruhi masyarakat Batak akhirnya meninggalkan ketergantungan mereka kepada peran datu dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan selanjutnya pelayanan ini, memotivasi para misionaris mendirikan lembaga pelayanan kesehatan seperti pendirian beberpa rumah sakit yang lebih besar, yakni:
1900: RS RMG pertama didirikan di Tarutung, yang dipimpin oleh Dr. med. J. Schreiber
1901:  Dr. (med) Winkler dan Suster Charlotte Spethmann diutus untuk melayani RS Tarutung.
1905: Sekolah pendidikan perawat dan Bidan untuk para wanita Batak dibuka.
1917: RS penolong di buka di Balige, dan tahun 1928 di tingkatkan menjadi sebuah RS yang sama kelasnya dengan yang di Tarutung.
1940:  Hingga tahun ini, pelayanan kesehatan HKBP melalui berdirinya 14 RS penolong di: Ambarita; Butar; Dolok Sanggul; Nainggolan; Pakantan; Pakkat; Pangaribuan; Pangururan; Pargarutan; Parsoburan; Sayurmatinggi; Sihorbo; Sipirok; Sitorang.
RS penolong ini kemudian didukung oleh berdirinya 12 Poliklinik, yakni di: Janjimatogu; Laguboti; Lintongnihuta; Lumban Julu; Onanhasang; Parsoburan; Porsea; Salak; Sarulla; Simarangkir; Sigumpar; Sipahutar. 
1940: (10 Mei), semua lembaga pelayanan kesehatan ini dikuasai oleh pemerintah Belanda dan Maret 1942 kembali dikuasai oleh pemerintah Jepang, dan 1945 setelah kemerdekaan diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Tanggal 15 Desember 1945, melalui SK MENKES RI Dr. Lie Kiat Teng No. 8/9632/Kab. Pemerintah menyerahkan semua fasilitas pelayanan kesehatan yang diwarisi dari RMG kepada HKBP. Namun oleh ketidakmampuan HKBP waktu itu, hanya RS Balige kembali ditanggung jawabi oleh HKBP. Maka hak dan beban tanggungjawab RS itu secara resmi ditangani oleh HKBP sejak 1 Januari 1955.

d.    Bidang Sosial Ekonomi (lih. Pedersen, hl. 61). Adalah merupakan fakta sebelum kekristenan di tanah Batak, bahwa masyarakat Batak hidup dalam penggolongan (pengkastaan) derajat hidup akibat: kemiskinan, kebodohan, kemalasan, kebiasan berjudi, system perbudakan (parhatobanon) dan system pinjam-meminjam (rentenir) yang gawat masih dominan.  Dalam usaha memperbaiki sistem social masyarakat ini, para misionaris menerapkan metode kerja misi sebagai berikut:

- Memberantas sistem “parhatobanon” (system budak) melalui menebus utang “hatoban” kepada para pemiutang (tuan-tuan/raja).
- Membasmi system utang-piutang (pinjam meminjam) dengan bunga yang sangat tinggi dengan menggiatkan system perkoperasian yang pengelolaannya dipercayakan kepada para guru sendirng yang sekaligus berfungsi sebagai guru jemaat setempat. Untuk usaha ini, Nomensen memberi modal kepada jemaat untuk dipinjamkan dengan bunga sangat rendah.
- Mengurangi beban kerja para wanita menumbuk padi dengan mengajari mereka membuat kincir air (losung aek) yang berfungsi sebagai gilingan padi.
- Mengajari para petani Batak dengan system pertanian modern. Sistem ini ditambah dengan pengefektipan lahan pekarangan rumah guna meningkatkan pendapatan dan giji keluarga seperti tanaman sayuran dan buah-buahan. Pola ini diterapkan pertama sekali dengan mengembangkan penataan “pargodungan” (kompleks gereja sekaligus kompleks perumahan pelayan: Pdt dan guru sending/jemaat).
- Untuk membina system perekonomian masyarakat Batak yang lebih luas, I.L. Nomensen mengusulkan kepada pemerintah mengatur hari pekan (Onan) di tiap daerah di Tapanuli Utara. Tujuannya supaya hasil panen penduduk dapat dipasarkan dengan baik melalui lancarnya roda perputaran uang di tanah Batak (misalnya: Onan Senin-Laguboti ; Selasa-Narumonda ; Rabu – Porsea ; Kamis – Silaen ; Jumat – Balige ; Sabtu – Sigumpar ; Rabu – Siborongborong dan daerah daera lainnya di Silindung). Sistem pengaturan seperti ini juga berlangsung di daerah Silindung dan Humbang.

5.  Penutup untuk bab ini. Suatu hal dapat dikatakan bahwa keberhasilan misi di tanah Batak sangat ditentukan oleh cara pendekatan para misionaris yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat Batak pada masanya. Pernyataan inilah yang dilakukan secara khusus oleh Nomensen, dan nampak dalam hal:

-          Ketika pertama sekali orang Batak memberi gelar “Ompui” kepadanya, pemberian gelar ini tidak semata-mata karena keberhasilannya membentuk dan membina sebuah perkampungan Huta Dame di lembah Silindung yang sekaligus ia memberi pengajaran Alkitab dan pengetahuan agama Kristen kepada mereka. Lebih dari itu, nasehatnya dalam memutuskan persoalan adat, tata laksana kehidupan antar kampung, demikian perselisihan antara keluarga, keadilan pertimbangannya memperdamaikan perselisihan antar penganut agama suku semuanya menjadi corak kepemimpinan dan kepribadiannya yang sangat tanguh memberhasilkan misi di tanah Batak.
-          Wibawa (sahala) dirinya yang ditunjukkannya ketika pertemuan para raja di setiap berlangsungnya Onan nampak kecerdasan, ketangkasan dan ketajamannya berpikir terhadap soal-soal hikmat ke-Batak-an dan melampaui raja-raja Batak sendiri.

Sikap seperti inilah inilah dapat dijadikan sebagai teladan yang sangat kuat bagi pelayan dan pelayanan masa kini guna dimamfaatkan bagi perkembangan gereja sebagaimana diharapkan ke depan.






STRATEGI KEPEMIMPINAN MISI RMG
DI TANAH BATAK (1861 – 1930)

Pendahuluan

1. Berbicara mengenai strategi kepemimpinan misi RMG di tanah Batak, nampaknya ini harus dilihat dari sudut pekerjaan Nomensen dan rekan-rekannya. Nomensen dan rekan-rekan yang dimaksudkan di sini adalah para misionaris RMG yang bekerja di tanah Batak dari tahun 1861-1930. Sebenarnya Nomensen adalah misionaris RMG ke lima yang bekerja di tanah Batak. Gustav van Asselt telah mendahuluinya tahun 1857, Betz tahun 1859, Klammer dan Heine tahun 1862 yang hingga tahun 1930 mereka bertambah-tambah sehingga pernah mencapai sebanyak 50 orang. Sekedar menjadi pegangan bahwa arti strategi pekabaran Injil, hal ini menyangkut cara yang terbaik dijalankan dalam pemberitaan itu di tanah Batak. Dalam mencapai satu tujuan tertentu, seorang misionaris telah memikirkan dan mencari lebih dahulu cara terbaik yang akan dia pakai. Dalam hal ini, cara dan tujuan sangat rapat hubungannya bahkan tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Dalam menentukan satu tujuan pun, penentuan itu termasuk pada metode atau cara tadi. Dalam hubungan pernyataan di atas dengan tema ini, penulis mengalami kesulitan khusus, sebab yang paling pertama adalah di samping bahan-bahan literatur pendukung sangat sedikit ditemukan, tema ini tidak mungkin dikerjakan pada ruang yang singkat ini. Namun, walau demikian penulis tetap mencoba  menelusurinya dari sudut karya Nomensen. Akhirnya, penulis menekankan penelitian tema ini bagi gereja-gereja Batak umumnya dan HKBP khususnya. Artinya, ada hasil dapat dipetik dan ditawarkan dari strategi kepemimpinan para misioanris RMG di tanah Batak.

2. Kata yang sangat terkenal sebagai ulasan penulis Surat Ibrani tentang pemimpin dan kepemimpinan adalah: ”ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu” (13:7). Makna yang paling  esensial dari kata “mengingat” dalam hal ini adalah “menelusuri pola hidup dan kepasrahan seraya menyimak hikmat-hikmat yang bernilai guna dipedomani”. Dari inspirasi inilah menguraikan tema ini di mana  kepemimpinan Nomensen dalam misi di tanah Batak, ini merupakan kepemimpinan yang memahami dengan jelas apa yang dibutuhkan dan mengetahui bagaimana menggerakkan orang Batak yang dilayaninya. Sebagai seorang misionaris, Nomensen adalah seorang yang banyak mempengaruhi pemikiran, sikap dan kehidupan orang Batak. Kepemimpinannya merupakan kepemimpinan hamba (Servant Leadership) di mana ia bertindak sebagai hamba demi kemuliaan Allah di tanah Batak.    


Berdirinya Serikat Misi RMG Dan
Perkembangan Teologi Pietismenya

3.   Untuk melihat corak, bentuk dan type pelayanan misi RMG di tanah Batak,  penting dipahami munculnya RMG sebagai lembaga misi. Secara umum, munculnya gerakan rohani baru di dalam gereja adalah lebih sebagai reaksi terhadap sikap gereja baik secara positif maupun secara negatif yakni berupa sikap melepaskan diri dari gereja. Terhadap kasusnya di Jerman, pertentangan antara pihak Kontra Reformasi (RK) dengan pengikut Reformasi mengakibatkan terjadinya penderitaan rakyat Jerman sendiri secara tidak terperikan.[47] Dampaknya, kepemimpinan gereja akhirnya di pegang oleh pemerintahan sipil Negara. Akibat dari kondisi umum ini, bangkitlah orang-orang otonom yang tidak mau diperintah oleh kekuatan lain atas dirinya yang secara umum mereka tidak mengindahkan gereja (agama). Kekakuan gereja terhadap keadaan ini menghasilkan suatu kecenderungan baru yakni Injil diterima secara moralis sehingga akhirnya muncul suatu gerakan rohani baru yang sangat menekankan pertobatan dan penyucian.  Di kalangan pengikut-pengfikut Lutheran di Jerman, Philip Jakob Spener(1635-1705), August Herman Francke (1663-1727) dan Nikolaus Ludwig von Zinzendorf (1700-1760) merupakan perintis semangat ini. Dapat dikatakan selanjutnya bahwa refleksi konsep dogma dan teologi sebagaimana uraian Luther semakin hidup oleh implementasi praksis beberapa tokoh ini dalam kehidupan gereja secara praksis. Artinya konsep mereka tentang pietisme sebagai kesalehan, kekudusan, dan ketaatan yang terlatih melalui komitmen hidup semakin disadari sangat mendukung dalam mewujudkan cita-cita reformasi Luther abad 16. Johan Hasselgren menegaskan pernyataan ini mengemukakan bahwa berdirinya (tahun 1829 di Barmen: Jerman) lembaga misi RMG (Rheinische Missiongesellschaft), awalnya lembaga ini merupakan hasil penggabungan (merger) dari beberapa serikat  misi Kristen Protestan di Jerman pada masanya. Sebagai serikat misi, awalnya RMG sangat kuat terkait dengan Jerman Pietisme (anak Pietisme Jerman) di mana umumnya aliran Pietisme sangat menekankan kebutuhan bagi iman emosional, personal dan individual yang merupakan interpretasi harafiah Injil dan kebutuhan bagi semua jemaat yang sungguh berdedikasi untuk bersama-sama berkarya. Pada posisi ini, para penganut Pietisme mengembangkan teologi misi mereka dalam hubungannya dengan para pendukung: “confessional Lutheranisme”. Para pendukung “confessional Lutheranisme” inilah yang kemudian mengembangkan/merepresentasikan teologi-teologi misi RMG di dalam pengaruh tradisi Pietisme termasuk di tanah Batak[i]. Beberapa tokoh itu di antaranya, yakni:[48]

a.   J.C Wallmann (1811-1865)[49] adalah seorang inspektur RMG tahun 1848-1857. Ia sangat  mempengaruhi banyak orang pada generasi selanjutnya bersemangat menjadi para misionaris RMG. Wallmann adalah seorang Pietis yang baginya gagasan kebutuhan mendesak bagi pentobatan individual merupakan sesuatu yang sangat sentral. Keyakinan ini dikombinasikan dengan kelekatan yang kuat dengan pentobatan Lutheran. Teologi misi Wallmann sangat menekankan kebutuhan akan “para durjana yang tinggal di kegelapan” yang harus diselamatkan (sebuah tema khas dari jamannya). Meskipun Wallmann adalah seorang nasionalis Jerman yang konservatif, ia membuat pembedaan jelas antara prinsip ajaran Kristen dengan peradaban Barat, artinya bagi wallmann: “tujuan misi dalam cara apa pun tidak melibatkan gagasan tentang Eropanisasi”. Bangsa non-Eropa dalam konteks misi harus diberi kesempatan untuk menjadi jemaat Kristen dalam kerangka kerja tentang kebudayaan mereka sendiri. Para misionaris seharusnya mendekati jemaat non-Kristen dengan cinta bukan merendahkan kebudayaan dan agama mereka. Pemikiran tentang misionaris seharusnya bebas dari maksud-maksud memegahkan diri untuk meng-Eropa-kan. Sebagai bukti dari minatnya dalam kebudayaan-kebudayaan non Barat, Wallmann menghasilkan banyak karya dalam antropologi missioner. Jelaslah bahwa pembedaan mendasar Wallmann antara Injil dan kebudayaan Barat berimplikasi pada ketertarikan antropologis dan evaluasi positif tentang kerangka kerja kebudayaan RMG di wilayah pelayanan misi di mana orang-orang dipertobatkan agar memeluk ajaran Kristiani.  

b. Friederick Fabri (1824-1891)[50], adalah inspektur RMG selama periode 1857-1884. Setelah menyajikan desertasi doktornya tahun 1847, posisinya di RMG adalah hasil dari upaya serikat ini untuk merekrut orang-orang yang terpelajar mengabdi di Seminari. Fabri merupakan salah seorang pemimpin misi yang berpengaruh dan disegani di Jerman. Dia menyediakan banyak waktu untuk masalah-masalah politik dan sosial tetapi juga untuk memperkuat dukungan bagi RMG. Elemen sentral dalam teologi Fabri[ii]  adalah kerajaan Tuhan. Menurut dia, dunia ini adalah bagian bawah kerajaan Tuhan, sebuah entitas spiritual yang aktif dalam sejarah manusia, tetapi tidak menjadi bagian darinya. Realisasi utuh tentang kerajaannya adalah kenyataan eskatologis yang hanya bisa digenggam melalui iman pribadi. Terbiasa dengan ontology yang mendasar ini, Fabri mengembangkan teologi misinya. Baginya, gagasan bahwa semua orang harus dipertobatkan menjadi Kristen adalah salah konsep. Alih-alih Tuhan memanggil semua orang menjadi jemaat Kristen untuk mengumpulkan mereka orang-orang yang terpilih. Ketika Injil telah diwartakan kepada semua bangsa, akhir dunia akan datang. Sebagai hasil dari kepemimpinan Fabri, jumlah misionaris RMG yang semakin bertambah dipengaruhi oleh teologinya tentang kerjaan Tuhan. Meski pandangannya bahwa kerajaan Tuhan bukanlah dari dunia ini, Fabri berpikir bahwa jemaat-jemaat Kristen di Barat, karena standar peradaban mereka yang tinggi memiliki tugas untuk mewartakan ajaran Kristen dan peradaban ke seluruh dunia. Sehubungan dengan organisasi-organisasi missioner, pemerintahan colonial memberikan dukungan moral dan perlindungan bagi misionaris. Fabri sangat mengajukan permohonan kepada pemerintah Jerman ketika itu yang baru bersatu dipimpin oleh Kanselir Bismarck untuk berusaha mendirikan koloni-koloni, akibatnya Fabri dijuluki Bapak Kolonialisme Jerman. Ketika dari tahun 1880-an, Jerman mulai mendirikan koloni-koloninya sendiri, RMG melaksanakan tugasnya sebagai misi colonial Jerman di Namibia dan New-Guniea. Jelaslah bahwa, Fabri mengembangkan teologianya dalam sebuah arah yang berlawanan dengan pembedaan Wallmann yang jelas antara Injil dan kebudayaan Barat. Munculnya era imperialisme yang besar-besaran sebuah era yang tidak dialami Wallmann, memiliki poengaruh kuat pada garis pemikiran Fabri. Pemikiran ini memiliki akibat bahwa minat positif Wallmann bahwa kerangka kerja kebudayaan tentang pertobatan-pertobatan diganti oleh sebuah penekanan pada: “misi yang beradab dari Barat”. Pada akhir abad ke19, aliran pemikiran Baru mulai mempengaruhi RMG.

c. Gustav Warneck (1834-1910)[51] adalah seorang teoris misi yang paling berpengaruh selama akhir abad ke 19 di Jerman. Pada tahun 1871, Warneck dipekerjakan oleh RMG sebagai guru di Seminari. Dia bekerja pada organisasi tersebut sampai tahun 1874 ketika Warneck menjadi pendeta jemaat kecil di Saxony. Tahun 1896-1909, Warneck menjadi Profesor misi di Halle. Pengaruhnya di Jerman muncul melalui tulisan-tulisannya yang terinspirasi oleh hubungan-hubungan yang ekstensif dengan lingkup missioner dengan misi-misi di luar negeri. Pemikirannya secara sadar didasarkan pada terjalinnya pengalaman misioner, teori dan praktek. Warneck memiliki hubungan yang dekat dengan misi RMG di Sumatera. Dalam teologi misinya, Warneck menggabungkan semangat gagasan Pietisme tentang pentobatan individual dengan tujuan membuat semua orang menjadi Kristen dan memasukkan paham atau gagasan romantisisme. Sehubungan dengan pokok persoalan misi menurut Warneck, seluruh gereja pada dasarnya bertanggungjawab untuk mewartakan iman. Tetapi karena tanggungjawab tersebut tidak bisa diharapkan dari seluruh anggota  gereja, tugas tersebut diemban oleh para jemaat yang setia yang merupakan inti dari gereja. Meski demikian persoalan misi yang terutama adalah mengkristenkan seluruh umat manusia dan untuk mendirikan gereja umat. Prosesnya bertahap dimulai dengan individu-individu kemudian pesan mencakup keluarga-keluarga dan desa-desa sampai akhirnya seluruh umat manusia menjadi Kristen. Para jemaat yang setia merupakan penggerak dalam proses ini. Dengan cara ini, pentobatan indibidu-individu merupakan basis bagi pentobatan sebuah bangsa dan secara bersama-sama. Elemen penting dalam gagasan Warneck tentang gereja utama adalah bahwa gereja seharusnya otonom. Bagi Warneck, pendidikan dan pentahbisan penduduk pribumi seperti menjadi penginjil, guru dan pendeta merupakan prioritas yang penting, usaha-usaha mereka membuka jalan bagi para jemaat Kristen yang baru untuk membantu gereja mereka secara finansial. Dalam hal gereja yang seharusnya mengelola diri sendiri, Warneck berpendapat bahwa gereja itu independent dalam arti bahwa gereja sebaiknya tidak menjadi subjek terhadap rumusan-rumusan konvensional yang kaku dari gereja-gereja Eropa, atau mengambil alih bentuk-bentul  liturgy dan aturan gereja Eropa yang rapi dan teratur. Jauh lebih penting bagi jemaat Kristen pribumi utnuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa mereka sendiri daripada menghafal bentuk-bentuk pengakuan dan peribadatan Eropa.

d.   August Schreiber (1839-1903)[52] adalah seorang misionaris RMG pertama yang lulus dari universitas jurusan teologi dan ia berkarya di Sumatera dari tahun 1889-1893. Tahun 1874, ia menggantikan Warneck sebagai guru di seminari dan tahun 1889, ia menjadi misionaris pertama yang memimpin RMG. Ia bertugas sebagai inspektur sampai wafat sampai tahun 1903. Schreiber termasuk sebagai seorang pemimpin RMG yang paling berpengaruh. Dalam cara yang sama dengan Warneck, Schreiber menerima bahwa kebudayaan-kebudayaan pribumi merupakan “sebuah persiapan bagi Injil” dan bahwa tujuan misi adalah mendirikan gereja-gereja umat yang otonom. Schreiber membagikan sebuah pandangan negative tentang kemampuan-kemampuan intlektual tentang “si kafir” tetapi tidak menekankannya sebanyak Fabri dan Warneck. Selama studinya di Iggris, pada tahun 1864 – 1865, ia dipengaruhi secara langsung oleh rumus: “Tiga Mandiri”. Oleh karena itu, ia menerima sebuah versi yang lebih murni tentang rumus tersebut daripada yang diterima Warneck. Berlawanan dengan Warneck, Schreiber dengan kuat menekankan pentingnya mengalihkan kekuasaan kepada orang pribumi secepat mungkin dan tidak usah menunggu sampai orang-orang pribumi tersebut cukup matang.

      Kesimpulan yang dapat dipetik melalui uraian di atas bahwa perkembangan teologis RMG masa abad ke-19 hingga selanjutnya, ini memiliki akibat langsung bahwa tujuan Pietisme tentang pentobatan individual sangat diintegrasikan dalam gagasan bahwa tujuan misi adalah mendirikan gereja yang mengarahkan seluruh umat manusia. Sifat utama gereja ialah bahwa gereja tersebut akan memenuhi rumus: “Tiga Mandiri”. Asumsi Barat yang lebih khusus yakni superioritas Jerman atas penduduk non Barat, sangat berimplikasi bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk menunda implementasi beberapa aspek rumusan tersebut. Yang terutama ialah permasalahan para baptisan baru yang sesungguhnya mengambil alih kepemimpinan yang efektif atas gereja. Sehubungan dengan aturan kebudayaan para baptisan baru, asumsi tentang superioritas Barat menyebabkan Fabri menekankan dengan kuat: “memperadapkan misi Barat”. Meskipun mereka membagikan gagasan superioritas Barat, Warneck dan Schreiber mengikuti pandangan positif Wallmann tentang kebudayaan-kebudayaan non Barat dalam hubungannya dengan karya missioner. Kebudayaan para baptisan baru meskipun dibersihkan dari: “unsur-unsur kekafiran” merupakan batu penjuru dari gereja umat.


Pelayanan Misi RMG di Tanah Batak

4.   Awal pekerjaan misi RMG di Indonesia secara umum, ini dimulai ketika lembaga misi ini mulai mengutus para misionarisnya ke Kalimantan (Borneo) tahun 1834.[53] Dua tahun kemudian, para misionaris RMG (pusat misi di Kalimantan adalah Banjarmasin)  mulai meneruskan pelayanan misi di antara suku pedalaman Kalimantan yakni suku Dayak.[54] Ketika pengaruh politik kolonial Belanda berperilaku tidak adil kepada para penguasa lokal di Kalimantan (termasuk kepada para Sultan di Banjarmasin) maka keadaan ini memicu terjadinya perang Hidayat (1830-1864) di sana.  Akhirnya, atas keadaan ini Belanda berhasil dipaksa keluar dari Kalimantan dan RMG mulai mencari wilayah misi lain dalam koloni Belanda. Bulan Oktober 1860, keputusan penting bagi RMG dalam pelayanan misi di Sumatera yakni dengan menetapkan tanah Batak sebagai lapangan misi yang baru. Selanjutnya, tahun 1861 dua orang misionaris pertama RMG pertama tiba di Sipirok yakni: “Heine dan Klammer”. Saat awal tibanya dua orang ini di Sipirok, mereka langsung mengadakan kontak dengan dua orang misionaris lembaga misi Ermelo (Belanda) yang sudah mendahului di Sipirok yakni: “van Asselt dan Betz”. Di Sipirok, tidak sedikit penduduk mereka baptis menjadi Kristen namun akibat tantangan dari pihak Islam akhirnya mereka murtad menjadi Islam. Ketika RMG mengembangkan misi ke Utara, menuju wilayah Batak Toba (di mana agama Islam belum masuk) barulah sejumlah besar orang bergabung dengan agama yang baru yakni Kristen[55]. Artinya ke empat orang misionaris inilah (atas prakarsa Van Asselt) pertama sekali mengadakan rapat koordinasi kerja misi tanggal 7 Oktober 1861 di Sipirok  membicarakan tentang: “metode kerja misi di tanah Batak sekaligus membagi wilayah kerja mereka”. Penting diingat bahwa ada dua momen sangat penting berlangsung saat rapat koordinasi ini diadakan, yakni: oleh RMG melalui pimpinannya Fabri di Jerman, peristiwa itu merupakan penggabungan kerja badan misi Belanda dengan RMG-Jerman dan sekaligus sebagai penyerahan badan misi Belanda ke RMG di tanah Batak. Melalui pembagian wilayah ini, dan setelah kedatangan Dr. Ingwer Ludwig Nomensen, mereka kemudian sepakat untuk mengutusnya (Nomensen) ke daeran Utara yakni daerah lembah Silindung untuk misi. Nyata selanjutnya bahwa pekerjaan Nomensenlah yang jauh paling berhasil sekaligus mencirikan identitas perkembangan gereja Batak selanjutnya. 

Stategi Kepemimpinan Misi Para
Misionaris RMG di Tanah Batak

5.   Pioner karya lembaga misi RMG paling berhasil di tanah Batak adalah Dr. I.L Nomensen.[56] Awalnya, oleh kepentingan politik Belanda dan setibanya Nomensen di Padang, Belanda tidak memperbolehkannya memasuki daerah pedalaman Tapanuli. Ia hanya diperbolehkan bekerja untuk misi di daerah Barus (tiba tahun 1862, di daerah inilah Nomensen belajar bahasa dan adat Batak), yang walau pemberian ijin ini tidak sesuai dengan cita-cita misi Nomensen sejak awal, namun ia menganggap situasi ini sebagai langkah awal memasuki pedalaman Tapanuli ketika itu.

a. Perjalanan misi pertama di mulainya dari Barus ke Sipirok tanggal 25 Oktober 1862, dan setibanya di Sipirok, pekerjaannya sangat mendapat simpatik dari banyak orang ketika itu. Modal yang sangat tajam bagi Nomensen sejak awal dalam mengembangkan misi adalah sikap dan kepribadiannya yang dinampakkannya melalui dedikasinya melayani. Inidikasi ini nampak ketika ia mendirikan lembaga pendidikan zending di Prau Sorat, walau akhirnya sekolah ini tidak berkembang karena beratnya tantangan dialami dari pihak Islam.
b.   Perjalanan misi kedua dilakukannya tahun 1863 menuju daerah pedalaman yakni Silindung, perjalanan ini dimulainya setelah Nomensen mendapat dukungan semangat dari Van Asselt dan Klammer di mana tahun sebelumnya (1862) dua orang misionaris ini sudah mengunjungi Silindung.

Setibanya di Silindung, Nomensen[57] awalnya disambut baik oleh masyarakat Silindung namun ketika pertama sekali ia berkunjung ke Sipoholon, ia mengalami perlawanan yang sesungguhnya dari penduduk setempat sebab Nomensen dianggap sebagai mata-mata Belanda untuk daerah Silindung. Namun oleh sikapnya yang sangat menarik simpatik banyak orang Batak ketika itu, ia dibiarkan tinggal di Silindung dan mulai Mei 1864 ia tinggal menetap di desa Saitnihuta dan di desa inilah untuk pertama sekali ia mendapatkan sebidang tanah rawa yang kemudian dirubahnya menjadi model perkampungan Kristen (Huta Dame) yang patut menjadi teladan dalam berbagai hal untuk sekitarnya.[58] Di huta Dame inilah ia memulai misi yang lebih mendalam di lembah Silindung melalui: pendidikan (membaca, menulis, berhitung dan  ilmu bumi, dll), kesehatan, kerohanian dan bidang ekonomi-sosial, akhirnya usaha misi inilah yang kemudian dikenal  sebagai “metode misi empat dimensi”. Sikapnya yang ramah dan keahlianya mengobati berbagai penyakit, menjembatani jurang komunikasi dirinya menjadi sangat akrab dengan penduduk setempat ketika itu. Akhirnya, tanggal 27 Agustus 1865, ia membaptiskan orang berwibawa pertama (bersama empat orang lainnya) dari orang Batak menjadi Kristen yaitu: Raja Pontas Lumbantobing. Beliau inilah (dan empat orang yang dibaptis) yang di kemudian hari sangat banyak mendukung Nomensen bekerja demi misi di lembah Silindung. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan misi Nomensen di tanah Batak sangatlah berhasil, akhirnya tanggal 23 Mei 1918 Nomensen meninggal dalam usia 85 tahun. Tahun saat Nomensen meninggal, gereja telah bertumbuh dan mencakup anggota jemaat sebanyak 180.000 orang anggota di baptis, sekolah-sekolah sebanyak 510 buah dengan 32.700 murid, sejumlah gereja dengan 34 orang orang pendeta Batak ditahbiskan, 788 guru Injil dan 2.200 orang penatua Tahun 1881, saat Nomensen kembali untuk cuti ke Eropa oleh RMG sebagai lembaga misi yang mengutusnya ke tanah Batak menganugerahinya gelar: “Ephorus” (overseer: pengawas) di mana kemudian nama ini dipertahankan HKBP sebagai gelar jabatan tertinggi di dalam gereja dan tahun 1904, ia diberi gelar kehormatan Dr. Teologia oleh Universitas Bonn.

Setelah melihat perkembangan misi yang sangat pesat, selanjutnya RMG mengutus para misionaris lainnya seperti: P.H.Johansen, Meerwalt, J. Warneck dan lain-lain untuk membantu pekerjaan misi di tanah Batak. Dari metode dan dedikasi kerja misi yang tajam berikut diuraikan tahap demi tahap hasil yang diperoleh dalam usaha pembentukan dan perkembangannya gereja Batak kemudian yakni[59]:

a.    Bidang Kerohanian. Usaha-usaha dalam bidang ini sangat berhubungan dengan pembinaan kehidupan kerohanian orang-orang Kristen Batak melalui: “ibadah, khotbah, persekutuan-persekutuan Kristen dan evanggelisasi, penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Batak, serta pengadaan buku-buku bacaan yang berisikan pengajaran Kristen dan lain-lain”.
b.    Bidang pendidikan umum dan teologi. Para misionaris awalnya sangat memahami bahwa tidak mungkin gereja berdiri di tengah masyarakat yang buta huruf (aksara) sebab membina kerohanian saja tidaklah mungkin membentuk manusia seutuhnya. Melalui pendidikan mereka sadar bahwa ini adalah sarana utama bagi penunjang berhasilnya PI yang sesungguhnya, melalui pendidikan inilah para pribumi kemudian sangat mendukung berhasilnya PI.
      c.   Bidang kesehatan. Sejak awal bahwa keberhasilan misi di tanah Batak sangat didukung oleh pelayanan para misionaris di bidang kesehatan (penyembuhan dan kebersihan lingkungan, penyuluhan giji yang baik). Pelayanan ini mempengaruhi masyarakat Batak akhirnya meninggalkan ketergantungan mereka kepada peran datu dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan selanjutnya pelayanan ini, memotivasi para misionaris mendirikan lembaga pelayanan kesehatan seperti pendirian beberapa rumah sakit yang lebih besar.
d.   Bidang Sosial Ekonomi. Adalah merupakan fakta sebelum kekristenan di tanah Batak, bahwa masyarakat Batak hidup dalam penggolongan (pengkastaan) derajat hidup akibat: kemiskinan, kebodohan, kemalasan, kebiasan berjudi, system perbudakan (parhatobanon) dan system pinjam-meminjam (rentenir) yang gawat masih dominan. Maka untuk mengatasi keadaan ini para misionaris sangat berjuang meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui bidang pelayanan ekonomi.

6.   Indikasi awal yang sangat menentukan bagi warisan para misionaris terhadap bentuk kepemimpinan gereja Batak yang sudah terbentuk adalah[60]:
       
a.   Hal penting dapat dirujuk melalui rapat koordinasi para misionaris tanggal 7 Oktober 1861 adalah bahwa melalui rapat itu para misionaris “menyepakati bersama tempat atau daerah yang akan mereka layani”. Ini berarti mereka tidak ingin bekerja secara terpisah bekerja untuk misi namun secara terpadu menentukan arah pelayanan misi demi pembentukan gereja Batak. Untuk selanjutnya mereka mengadakan rapat tahunan, di mana mereka membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha  PI di tanah Batak. Hal inilah yang semakin dirasa perlu apabila tiba waktunya bahwa setiap misionaris dibebani oleh serba macam tugas yang harus dikerjakan oleh seorang misionaris waktu itu. Dengan adanya konferensi tahunan itu, para pekabar Injil telah mempunyai satu tonggak yang demikian kuat untuk dijadikan tumpuan berbagai jaringan atau tali yang dimunculkan selama masa pelayanan mereka di tanah Batak. Peranan konferensi itu bukan saja mengatur komunikasi antara RMG di Barmen dan PI di tanah Batak, tetapi yang terpenting adalah rapat itu menjadi bagian yang sangat menentukan bagi arah perkembangan gereja Batak selanjutnya.[61]

b.   Jemaat yang telah berdiri di tanah Batak, oleh kesadaran para misionaris RMG tentu ini sangat membutuhkan pelayan. Pelayan yang dibutuhkan harus berasal dari jemaat asal dan warga masyarakat setempat. Untuk itu, Nomensen memilih beberapa orang terbaik dari orang Batak (jemaatnya) yang disegani sebab wibawanya dalam masyarakat, mereka ini kemudian disebut sebagai “sintua“ (penatua). Di samping itu, dipilih juga orang yang ditugaskan untuk mengunjungi dan merawat yang sakit, menghubungi orang-orang Kristen di desa-desa dalam rangka memungut iuran (guguan) dan membersihkan gereja serta sekolah setiap harinya. Kemudian beberapa orang wanita untuk mengumpulkan anak-anak kecil yang belum dapat pergi ke sekolah dan yang belum dapat mengikuti ibunya ke sawah dan ladang. Para wanita itu menjaga dan bercerita serta mengajarkan nyanyian-nyanian gerejawi kepada anak-anak itu. Sesuai dengan kemampuan para pekabar Injil RMG, untuk mendidik pelayan-pelayan pribumi maka jabatan gerejawi seperti guru jemaat, pendeta, bibelvrouw dimunculkan untuk mendampingi misionaris RMGAI[62].

c.   Nomensen[63] dan rekan-rekannya sejak semula cenderung memberi jawaban bahwa sebaiknya jemaat-jemaat pribumi menghimpun diri dalam satu gereja pribumi. Ini telah menjadi tujuan yang semakin dilihat penting di kalangan umat Kristen Batak yang secara sosiologis dan sepanjang sejarah bangsa Batak belum pernah disatukan dalam satu himpunan yang melewati batas desa dan marga (klan) terutama di kalangan Batak Toba. Untuk inilah mereka telah menyusun suatu bata gereja yang memadukan jemaat-jemaat pribumi secara synodal sehingga secara structural gereja Batak telah mempunyai bentuk sendiri di samping lembaga pekabaran Injil di Sumatera (Hindia Belanda). Pada mulanya, hubungan antara gereja Batak dengan lembaga PI RMG sangat rapat sehingga secara praksis nampaknya satu organisasi di dalam pimpinan, bimbingan dan pengarahan para misionaris RMG. Namun dalam proses PI selanjutnya, nampak partisipasi gereja pribumi dari para misionaris RMG.[64]
c.    Nomensen dan para misionaris lainnya meninggalkan satu warisan pada saat ini tidak kurang pentingnya bagi pemasyuran Injil di dalam dan di luar jemaat. Kesatuan mereka yang terorganisir dan terpadu melalui rapat tahunan mereka, kesatuan yang mampu mendelegasikan kharisma-kharisma setiap pekabar Injil, kesatuan yang menampakkan kerja sama yang erat dan kokoh dan rencana yang matang dan terarah dalam tahap demi tahap. Cara kerja yang demikian lebih nampak kegunaannya di tengah-tengah masyarakat yang terpecah-pecah dalam satuan kecil dan  berdiri sendiri yaitu desa. Secara sosiologis setiap orang Batak melihat desanya adalah buminya sebagai tumpuan loyalitas teratas. Dalam keadaan yang demikian, kesatuan itu dibawakan pula oleh Nomensen dalam pribadinya yang berperan sebagai “Ompu” bagi setiap orang Batak. Di dalam pribadinya, terdapat satu type kepemimpinan yang dapat memupuk kesatuan jemaat-jemaat Kristen Batak[65].
d.    Walter Lempp[66] mengindentifikasikan bahwa latarbelakang Nomensen sangat kuat didukung oleh falsapah aliran romantic, theologia Pietisme dan theologia Pekabaran Injil yang bernafas pengkristenan bangsa-bangsa seluruhnya. [67]Dalam hubungan hikmat ini dengan kepemimpinannya dalam misi di tanah Batak, ini berarti bahwa bagi Nomensen tentu sekali melihat suatu harapan besar dalam kemanusiaan orang Batak apabila dididik tantang pengetahuan menyeluruh dan ilmu pengetahuan. Totalitas hidup dan pengabdiannya merupakan kekuatan perjuangan yang mengadu dalam berbagai aspek mulai dari kepercayaan, kesadaran, keterampilan yang pada akhirnya merobah motivasi, sikap pandang, sikap mental dan hubungan social. Penembusan Nomensen pertama sekali memadukan kekuatan Iniil, pengetahuan dan keberanian sehingga benteng kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan ditaklukkan. Inilah cerminan  paling penting bagi corak kepemimpinan gereja Batak yang sangat relevan pada masa kini.[68]

Kesimpulan

 7. Beberapa kesimpulan dapat dipetik dari uraian ini, yakni:
a.   Berdirinya lembaga misi RMG (Rheinische Missiongesellschaft), awalnya lembaga ini sangat kuat hubungannya bangkitnya gerakan Pietisme Eropa abad 19. Ini dibuktikan dengan berdirinya RMG sebagai hasil penggabungan beberapa serikat  misi Kristen Protestan di Jerman pada masanya.

b.  Ciri yang paling menonjol dari corak kepemimpijnan Nomensen di tanah Batak adalah cara kerja mereka yang tidak pernah berjalan sendiri demi menetapkan arah dan tujuan misi. Para misionaris tidak bekerja secara terpisah untuk misi, namun mereka secara terpadu menentukan arah pelayanan misi demi pembentukan gereja Batak. Untuk tujuan inilah para misionaris selanjutnya mengadakan rapat tahunan di mana mereka membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha  PI di tanah Batak.

  1. Sebagai pemimpin, Nomensen sejak semula cenderung memberi jawaban bahwa sebaiknya jemaat-jemaat pribumi menghimpun diri dalam satu gereja pribumi. Untuk inilah mereka telah menyusun suatu bata gereja yang memadukan jemaat-jemaat pribumi secara synodal sehingga secara structural gereja Batak telah mempunyai bentuk sendiri.

  1. Nomensen dan para misionaris lainnya meninggalkan satu warisan pada saat ini bagi kepemimpinan jemaat yakni kesatuan para misionaris  menyangkut semua aspek perencanaan dan pelaksanaan misi. Para misionaris yang terorganisir dan terpadu yang melaluinya kesatuan misi menyeluruh misi tercipta sekaligus keadaan itu membentuk kharisma-kharisma setiap misionaris.










.  


PERKEMBANGAN SELANJUTNYA GEREJA BATAK
MASA AWAL HINGGA PERTENGAHAN ABAD 19

1. Pendahuluan (1-2). Anda semua sudah sangat memahami bahwa latarbelakang pemberian gelar “Ompui” oleh orang Batak kepada I.L. Nomensen itu merupakan suatu tanda penghormatan orang Batak yang setinggi-tingginya kepada rasul orang Batak itu atas wibawa, kharisma serta segala teladan yang baik yang ditunjukkannya bagi keberhasilan misi kekristenan di tanah Batak. Kalau pada tahun 1881, badan misi RMG (ketika Nomensen kembali ke Eropa dalam rangka cuti tugas di tanah Batak) memberi gelar penghormatan kepadanya melalui mengangkatnya menjadi:  Overseer: pengawas” (asal-usul sebutan Ephorus yang kemudian gelar ini menjadi nama jabatan tertinggi dalam gereja Batak) pemberian gelar ini juga menandakan penilaian lembaga misi RMG atas dedikasi pelayanan yang sangat baik dari Nomensen di wilayah kerja (tanah Batak) badan zending RMG. Sudah dijelaskan kepada anda bahwa metode kerja lembaga misi (RMG) dan para misionarislah yang merupakan satu-satunya ujung tombak bagi keberhasilan pengkristenan di tanah Batak. Metode kerja misi melalui pengkristenan perorangan yang kemudian berubah menjadi pengkristenan massal semuanya menjadi kekuatan bagi berdirinya jemaat-jemaat Kristen di tanah Batak (lih. Andarlumbantobing, hl. 77). Secara khusus terhadap pengkristenan massal, metode ini sering terjadi berkat pendekatan para misionaris kepada penduduk secara berkelompok. Model pendekatan ini menghasilkan penerimaan orang Batak kepada kekeristenan menurut kelompok kampung yang sekaligus didiami oleh sekelompok marga (ciri khas utama komunitas social kemasyarakatan Batak). Latarbelakang ini pulalah yang mendasari adanya jemaat-jemaat membawa nama kampung atau nama marga-marga tertentu, seperti misalnya: jemaat Sipoholon I-V, jemaat Lintongnihuta, jemaat Simarangkir, jemaat Hutabarat, jemaat Rurajulu Sihombing, dan lain sebagainya. Tegasnya dapat dikatakan bahwa hingga tahun 1930: orang-orang Kristen dari suku Angkola, Mandailing, Simalungun, Toba, Pakpak-Dairi telah dikumpulkan secara bersama dalam satu gereja Batak yang secara sepakat mengambil nama HKBP (lih. Pedersen, hl. 70).

2. Walau nampak ironis, namun sudah merupakan fakta yang tidak dapat disangkal bahwa senjata yang sangat ampuh bagi perkembangan gereja Batak: konflik turut mendukung perkembangan gereja di tanah Batak (lih. P.B. Pedersen, hl. 72-73).  Melalui uraian poin 1 di atas, oleh para misionaris dan kebanyakan orang Kristen Batak, awalnya di dalam nama HKBP terkandung suatu harapan bahwa organisasi ini akan menjadi satu-satunya gereja yang mempersatukan semua suku, kebudayaan dan bahasa Batak kecuali Karo (5 etnis saja: sebab kekristenan Batak Karo lahir dari hasil misi NZG Belanda). Ternyata selanjutnya harapan ini tidaklah terwujud, sebab keinginan setiap suku untuk berdiri sendiri di dalam organisasi gereja masing-masing sangat mengacaukan setiap cita-cita akan suatu gereja Batak. Sebenarnya, tahun 1911: jemaat Kristen Batak sudah membentang dari Selatan (Angkola-Mandailing) hingga ke Timur (Simalungun-Pematangsiantar). Dan jemaat-jemaat ini sudah dibagi ke dalam lima distrik, yakni: Distrik Angkola (sekarang Distrik Tapanuli Selatan), Distrik Silindung, Humbang, Toba-Hasundutan, Simalungun-Oostkust: pantai Timur Sumatera Timur yang sekarang sebagai Distrik V Sum-Tim bergabung dengan Pakpak-Dairi. Pembagian distrik ini sangat didasari pada pertimbangan etnografis adat istiadat di wilayah distrik yang kepemimpinan dan tanggungjawab keseluruhan pengembangan dan pengelolaan pelayanan di setiap distrik dipercayakan kepada konferensi PI pada misionaris. Artinya, melalui konferensi ini para misionarislah yang paling bertanggungjawab secara keseluruhan (ke dalam dan ke luar) bagi pelayanan menyeluruh di wilayah jemaat pelayanannya. Rasa kesukuan yang amat dalam di masing-masing etnis Batak, mempengaruhi sikap gereja Batak kemudian mengembangkan wilayah distrik (dari 5 distrik) ini diperluas menjadi tigabelas distrik sesudah tahun 1940. Selanjutnya nyata bahwa HKBP tidak pernah dapat menyatukan semua gereja-gereja (etnis) Batak. Namun antusiasme anggota-angota HKBP dan dedikasi yang tidak kenal takut menjadi factor menentukan dalam perkembangan gereja Batak di seluruh tanah Batak bahkan hingga ke berbagai wilayah Indonesia. Ini dibuktikan dengan berdirinya gereja-gereja Batak di berbagai daerah (lih. 125 Tahun HKBP, hl. 30), misalnya di: Pematangsiantar 1907 ; Medan, 1912 ; Pangkalan Brandan, 1918 ; Batavia (Jakarta), 1919 ; Padang, 1922 dan lain sebagainya. 

3. Sudah ditegaskan pada poin 2 di atas bahwa modal dasar bagi perkembangan gereja dan kekristenan di tanah Batak masa tahun-tahun berikutnya adalah tingginya semangat dan dedikasi orang Batak Kristen berperan dalam memperkenalkan panggilan Tuhan kepada saudara-saudaranya yang belum masuk menjadi Kristen. Semangat inilah yang pertama sekali nampak pada munculnya lembaga PI Batak pertama yakni: PMB (Pardonganon  Mission Batak: Badan Pekabar Injil Batak)  tanggal 2 Nopember 1899. Berdirinya lembaga ini diprakarsai oleh Pdt. Henok Lumbantobing (yang ketika itu ia berkedudukan di Pearaja  Tarutung) di mana perkembangan kekristenan di tanah Batak sangat didukung oleh lembaga PMB ini, terutama di daerah Samosir, Samosir, demikian di daerah Pakpak-Dairi. Dapat dikatakan bahwa lembaga ini adalah merupakan organisasi kerohanian pertama bagi orang Batak yang peranan dan partisipasinya sangat berjasa bagi kegiatan gereja waktu itu. Hal yang serupa bagi munculnya semangat gerakan nasionalisme (secara nasional dengan gerakan Budi Utomo, 1908) orang Batak, ini ditandai dengan berdirinya satu organisasi masyarakat Kristen yang pertama sekali di tanah Batak yakni: “Hatopan Kristen Batak-Persekutuan Kristen Batak” tahun 1917 di mana berdirinya organisasi ini di prakarsasi oleh Mangihut Hezekiel Manullang. Lembaga ini berdiri adalah sebagai usaha orang Batak mempertahankan diri (khususnya mempertahankan status tanah adat/tradisional Batak) dari tekanan pihak kolonial Belanda yang berencana membuka Tapanuli buat perkebunan teh dan karet. Penduduk merasa dirugikan secara material dan moral melalui pembukaan perkebunan itu, melalui dukungan dan koordinasi HKB mereka berhasil menggagalkan perkebunan Belanda di Tapanuli, usaha ini terutama berlangsung di daerah Pahae dan  Silindung. Melalui uraian ini, hendak ditekankan pengalaman awal orang Kristen Batak (gereja) bahwa inilah pengalaman pertama orang Kristen Batak di bidang kerohanian dalam hubungannya dengan bidang politik kemasyarakatan setelah kekristenan yang dapat dinilai secara positif.  Maksudnya, melalui HKB orang Batak sudah mengungkapkan pandangan dan aksi mereka tanpa melibatkan jemaat dan gereja, sekalipun mereka adalah anggota jemaat itu sendiri. HKB berpendirian bahwa anggota jemaat atau gereja dari sudut misinya di dunia ini, itu tidak mungkin melibatkan diri dalam aksi social politik yang mungkin mempunyai aliran politik yang berbeda-beda. Di pihak lain, melalui PMB jemaat atau gereja menganggap bahwa menjadi anggota jemaat itu tidak sama dengan organisasi politik. Dalam kesadaran rohani dan politis yang seperti ini, agaknya orang Kristen Batak awalnya sudah paham bahwa mereka adalah bagian integral (tidak terpisahkan) dari dimensi social hidup bergereja  pada waktu itu. Penting di ingat, HKB sebagai organisasi orang Batak yang bersifat gerakan nasional sejak awal mereka sudah memulai dan mengakhiri rapat-rapat (pertemuan) dengan menyanyikan nyanyian rohani dan berdoa (lih. 125 tahun HKBP, hl. 31), dua organisasi ini akan lebih panjang lebar dijelaskan pada Tema Bab di depan.

4. Di tengah perubahan dan perkembangan yang sangat cepat dialami oleh gereja masa kurun waktu 1911-1936, untuk pemantapan diri gereja juga melakukan pembenahan diri pada bidang organisasi dan khususnya bidang jabatan dalam gereja. Di bawah ini diuraikan beberapa usaha dilakukan oleh gereja membenahi diri pada bidang kepemimpinan dalam tubuh jemaat (lih. Andar Lumbantobing, hl. 85, juga 125 tahun HKBP, hl. 31-32) yakni:
1920: Majelis jemaat dibentuk di tiap jemaat yang anggotanya terdiri dari 3 golongan yakni: pertama, pendeta, guru, evanggelis dan Helper.  Kedua, para penatua (sintua). Ketiga, para kerkbestur yakni beberapa anggota jemaat yang khusus bertugas mengelola keuangan jemaat.
1922: Sinode pertama diadakan buat seluruh jemaat yang terhimpun dalam gereja Batak. Sebelumnya, sejak tahun 1881 pertemuan ini hanya berbentuk musyawarah selesai konferensi tahunan para misionaris RMG.
1925: Tahun ini sinode Agung gereja Batak diadakan, dan pada saat ini gereja Batak diresmikan namanya menjadi “Huria Kristen Batak” (Gereja Kristen Batak).
1929: Beberapa keputusan penting dalam bidang organisasi gereja diputuskan, yakni: pertama, nama “Huria Kristen Batak” disempurnakan menjadi “Huria Kristyen Batak Protestan” (HKBP – seperti nama gereja sekarang). Nama ini sekaligus mengungkapkan identitas ajaran gereja yang beraliran Protestan. Kedua, Tata gereja Baru disyahkan. Melalui TG ini, jenjang kepemimpinan dan pelayanan ditetapkan (sampai sekarang jenjang ini nampak tidak berubah). Ephorus adalah sebagai pemimpin tertinggi dalam gereja. Untuk menjembatani komunikasi dari pusat ke jemaat-jemaat setempat, maka jemaat dibagi atas beberapa resort (pusat-distrik: resort-jemaat). TG ini berlaku thun 1930 dan akan diperbaharui tiap 10 tahun . Ketiga, majelis pusat untuk pertama sekali dibentuk dan disyahkan untuk masa pelayanan 4 tahun. Ini kemudian diperpanjang menjadi 6 tahun.
1931:  HKBP ditetapkan memiliki badan hukum sendiri melalui SK pemerintah tertanggal 11 Juni 1931 No. 48 sebagaimana ditetapkan dalam  lembaran pemerintah 1932 No. 360. Pengakuan ulang pemerintah RI tanggal 2 April 1968 No. Dd/P/DAK/d/135/68.

5.  Corak teologi dan kesalehan orang Kristen Batak. Satu identitas yang tidak dapat diabaikan dalam perkembangan gereja Batak hinga masa pertengahan abad 19 adalah adanya identitas (corak) kesalehan dan teologi orang Kristen Batak yang dipengaruhi oleh corak kesalehan para misionaris itu sendiri yang berasal dari Eropa, di mana untuk ini mereka sangat memamfaatkan struktur/tatanan masyarakat Batak yang bersifat komunal (persekutuan yang erat diikat oleh marga). Identitas ini nampak melalui beberapa peraturan dan tata jemaat yang ditetapkan oleh para misionaris dan berlaku dalam gereja Batak. Di bawah ini, dicantumkan beberapa informasi yang berhubungan dengan pernyataan ini (lebih luas informasi tentang pokok ini lih. J.R. hutauruk, Menata Rumah Allah) yakni:

-          Peraturan dan tata ibadah 1866: Oleh Nomensen konsep ini belum dinamakan seagai Tata Gereja, tetapi hanya sebagai peraturan ibadah jemaat. Dikatakan demikian sebab, Nomensen baru membentuk persekutuan ibadah jemaat dari hasil misi PI-nya, yang melaluinya ia merasa penting untuk mengatur persekutuan dan ibadah jemaat yang baru didirikannya itu. Oleh karena itu, melalui perasturan jemaat dan tata ibadah 1866, Nomensen menetapkan dan mengangkat beberapa pelayan gereja yang dapat membantu dirinya melangsungkan iabdah secara teratur dan rapi. Oleh karena itu ia mengangkat seorang guru, empat orang penatua, tiga orang diakon, seorang diakones dan seorang guru untuk anak-anak. Pembagian tugas dari masing-masing yang membatunya ini pun ditekankannya, misalnya: penatua bertugas untuk mengamati kehidupan setiap anggota jemaat kemudian menegor dan memperingatkan mereka bila ada yang berbuat tidak sesuai dengan tuntutan kekeristenan sebagaimana diajarkan Nomensen. Dalam keadaan darurat, awalnya penatua bertugas memimpin ibadah jemaat, mengamati perlakuan anggota jemaat dalam ibadah. Bila ada yang ribut, segera penatua memperingatinya dan jika peringatan ini diabaikan maka penatua berhak menyampaikan tegoran. Dan jika kesalahan yang sama berulang setelah beberapa kali ditegor, maka jemaat itu dilarang iokut dalam perjamuan Kudus atau dikucilkan dari persekutuan jemaat. Lebih luas peraturan jemaat tahun 1866 ini semuanya berisi tentang aturan-aturan yang menyangkut hidup  persekutuan dan ibadah jemaat.
-          Hukum Sipil Untuk Orang Kristen Batak tahun 1867. Hukum sipil ini dibuat untuk mengatur hal-hal yang menyangkut perkara-perkara duniawi atau lebih khusus yang menyangkut kehidupan masyarakat. Dasar pikiran teologis para misonaris menekankan ini, mereka dipengaruhi oleh corak teologi Martin Luther yang membedakan  perkara-perkara rohani sebagai tugas gereja dan perkara-perkara duniawi sebagai tugas raja. Kemudian dalam tradisi gereja Lutheran sebagai denominasi warisan dari teologi M. Luther, “teori dua kerajaan” (kerajaan rohani dan kerajaan duniawi) nampak sulit diterapkan bagi masyarakat Batak dalam misi oleh misonaris. Sebab dari dalam dirinya sejak semula, orang Batak tidak dapat membedakan unsur keagamaan dari unsur keduniawian. Bagi orang Batak, implikasi pemahaman ini nampak pada posisi kepemimpinan ini Nomensen di perkampungan Huta Dame yang didirikannya di mana ia berfungsi sebagai pemimpin bidang kerohanian sekaligus bertindak sebagai “raja Huta”, walau nyata selanjutnya peran kepemimpinannya ditonjolkan Nomensen dirinya sebagai pemimpin rohani yakni sebagai “guru” semata-mata.
-          Tata Gereja tahun 1881. Peraturan ini disusun oleh Nomensen bersama dengan para misionaris lainnya, yang pada kesimpulannya mereka menamakannya sebagai: “peraturan jemaat, gereja dan Sinode untuk gereja sending injili di tanah Batak-Sumatera, tahun 1881”. Isi inti dari peraturan ini mencakup aturan kehidupan pelayan pribumi dalam: “Gereja Zending Injili di Tanah Batak”. Dalam peraturan ini para misonaris masih menempatkan para pelayan pribumi dalam jenjang terendah hierarki gereja dan semuanya ditempatkan pada jenjang pembantu para pendeta utusan (misionaris).  Para pekerja pribumi ini dibedakan atas dua bagian yakni: yang bergaji dan tidak bergaji. Pekerja yang bergaji adalah: guru Injil, guru sekolah dan parapendeta. Yang tidak bergaji adalah para sintua (penatua). Melalui TG 1881, struktur kepemimpinan gereja disusun berdasarkan pola piramida: dari beberapa jemaat filial (cabang) ke jamat induk (resort), kemudian jemaat distrik, sampai akhirnya Sinode Tahunan.  Semua tenaga yang memimpin mulai dari tingkat resort, distrik hinggakepusat semuanya dipegang oleh misonaris Jerman. Ini artinya, segala kendali kepemimpinan gereja masih terikat pada para misionaris RMG dan pelayan pribumi hak kierarkinya masih dibatasi.
-          Peraturan Jemaat tahun 1907-1912. Melalui peraturan ini semakin nampak perkembangan gereja Batak dalam bidang rumusan tata jemaatnya. Munculnya peraturan jemaat tahun 1907, peraturan ini dinamakan sebagai: “Aturan ni Ruhut di Angka Huria di Tonga-tonga ni Halak Batak”. Isi peraturan ini masih sebagai pengembangan dari peraturan jemaat tahun 1906 yang mencerminkan corak kesalehan dan pola teologi para misonaris Eropa. Tahun 1912, kemudian diterbitkan peraturan yang khusus mengatur soal kepemimpian para pekerja Injil di gereja Batak. Uraian isi peraturan gereja tahun 1907, yakni mengatur soal: tindakan ibadah, Pembaptisan, Perjamuan Kudus, Sidi, Pernikahan dan Pemakaman. Isinya memberi petunjuk yang berkenaan dengan tingkah laku, persiapan dan larangan. Petunjuk-petunjuk itu antara lain:
a.    Sebelum ibadah, lonceng gereja dibunyikan sebanyak dua kali ; setelah lonceng pertama para sintua memperingatkan jemaat masuk ke dalam gereja
b.    Pada waktu nyanyian pertama (dinyanyikan 3 ayat) gereja masih dibuka; setelah votum/doa pintu ditutup dan baru kemudian dibuka setelah nyanyian berikut
c.    Setiap pintu masuk gereja harus dijaga sintua agar binatang (asu: anjing) tidak memasuki gereja saat kebaktian
d.    Kotbah harus dipersiapkan dengan baik yang melaluinya jalan keselamatan dapat diberitakan bagi kehidupan jemaat
e.    Perjamuan Kudus: roti dan anggur disajikan. Roti dan anggur yang tersisa harus dibawa kembali ke rumah pendeta. Jikalau ada orang yang sakit   memintanya, dengan alasan melaluinya mereka mengharapkan kesembuhan, permintaan itu harus ditolak. Alasannya, untuk menghindarkan pemahaman yang bersifat magis terhadap makanan roti itu. Yang harus dipakai dalam PK adalah angggur tidak boleh tuak, karena tuak dianggap sangat bersifat duniawi dan tuak juga merupakan minuman sehari-hari yang memabukkan orang Batak.
f.     Pada setiap pemakanan/kuburan dianjurkan menanam pohon pisang
g.    Setiap subuh hari paskah, diadakan ibadah dikuburan. Hal ini dianggap perlu untuk mengukuhkan harapan orang-orang yang hidup akan kebangkitan orang mati.
h.    Perkawinan dibedakan dalam tiga kategori yakni, pertama: perkawinan bagi orang yang mempunyai “nama baik” yang tetap menjaga kesuciannya. Dalam perkawinan jenis ini, mempelai diperkenankan memakai perhiasan sebagai tanda mereka tidak bercela. Kedua, Upacara perkawinan secara hikmat di muka umum. Ini dilangsungkan oleh seorang pendeta utusan atau pendeta Batak di dalam gereja. Kedua mempelai harus melalui upacara Sidi dan tidak terkena disiplin gereja. Ketiga, upacara perkawinan yang dilakukan di kampung halaman sintua atau mempelai. Upacara peneguhan pernikahan cukup dilakukan dengan hanya mendoakan perkawianan itu saja. Perkawinan jenis ini terjadi bila salah satu mempelai masih sipelebegu (kafir) atau baru mulai belajar agama Krisaten. Juga bila mempelai telah melakukan tindakan salah dalam perkawinan (sedang manjalani hukuman disiplin gereja).

Dari corak kesalehan dan teologi yang dipengaruhi oleh corak kesalehan para misonaris ini, hal yang dapat dikatakan bahwa:  Tata Gereja disusun para misonaris RMG, itu sangat tidak dapat dipisahkan dari paham paramisonaris itu sendiri tentang keselamatan yang mereka pandang sebagai keselamatan untuk perorangan. Jadi makna yang paling esensil dari TG 1907 adalah penaklukan sempurna orang Kristen Batak kepada kekuasaan zending.

6. Kemandirian Gereja Batak. Dalam bukunya: “Indigenous Church(Pempribumian Gereja), Henry Venn (1860) telah mengungkapkan prinsip dasar yang sangat penting dicapai oleh sebuah gereja menuju kemandiriannya. Prinsip ini dikemukakan Henry Venn melalui pengalaman misi gereja Anglikan Inggris di Afrika (Nigeria) dalam memandirikan gereja sebagai hasil misi anglikan di sana. Prinsip kemandirian gereja ini, oleh Henry Venn menyebutnya sebagai: kemampuan membiayai/mendanai diri sendiri (self Supporting) ; kemampuan memimpin/ mengatur diri sendiri (self Government) ; kemampuan melakukan PI sendiri (self Propagating). Tiga bentuk kemampuan inilah yang dipakai sebagai barometer (ukuran) mengukur sebuah gereja bertanggungjawab (dewasa) atas diri sendiri lepas dari asuhan satu lembaga misi tertentu. Dalam gereja Batak ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a.    Mandiri dalam dana (self Supporting). Sejak semula, para misonaris (kuhus Nomensen) telah berusaha membina kesadaran jemaat Kristen Batak ikut memikul biaya yang dibutuhkan bagi pengelolaan jemaat. Usaha ini ditempuh melalui cara: mewajibkanjemaat memberi persembahan/iuran kepada gereja. Dana ini kemudian dipakai untuk membiayai bidang pelayanan umum (pendidikan, kesehatan, dll dengan membangun prasarana berikut gaji guru) jemaat di samping sumbagan dana dari lembaga misi RMG
b.    Mandiri dalam bidang kepemimpinan (self Government). Secara bertahap para orang Kristen Batak dipersiapkan untuk ikut melayani dan mengurus jemaat, mulai dari tingkat penatua, guru Injil, guru jemaat setempat, dan hingga ke  pendeta. Mereka diharapkan kelak dapat memimpin gereja Batak.
c.    Mandiri dalam misi (self Propagating). Orang Batak dibimbing dapat melakukan PI ke luar, kepada orang-orang yang masih menganut kepercayaan suku atau agama lain. Inilah yang nampak melalui berdiri dan seluruh kegiatan PMB.
















HKB SEBAGAI WUJUD BANGKITNYA
SEMANGAT KEBANGSAAN DI TANAH BATAK

1. Asal usul Berdirinya HKB. HKB (Hatopan Kristen Batak) adalah sebuah wujud gerakan organisasi yang bersifat social politik orang Batak yang berdiri bersamaan dengan munculnya gerakan kebangkitan nasional Indonesia, dan merupakan salah satu bentuk perjuangan orang Batak melawan pemerintah Belanda. Melalui gerakan yang dilakukan oleh HKB nampak bahwa salah satu fungsi dan peranan golongan cendekiawan adalah menerima atau menolak sahnya sebuah pemerintahan. Gerakan kelompok ini, berbeda dengan gerakan kelompok  Jong Bataks Bond (perhimpunan pemuda Batak, berdiri 9 Desember 1917) yang bertujuan membina persatuan, tali persaudaraan dan mencintai kebudayaan sendiri tanpa mengurusi politik serta mempererat ikatan antar pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin dan pendidik bangsa, menghargai adat, kebudayaan dan sejarah. Munculnya organisasi HKB  berasal dari sebuah kelompok paduan suara gereja yaitu “Zangvereeniging Hadomuan” di Balige yang anggotanya terdiri dari guru-guru di sekolah zending dan sekolah-sekolah pemerintah serta para pegawai-pegawai swasta. Di sela-sela latihan koor, mereka berdiskusi dan saling bertukar pendapat terhadap perkembangan yang terjadi di tanah Batak baik dalam bidang kegerejaan, kemasyarakatan dan politik. Jadi, dapat dikatakan bahwa organisasi ini terbentuk secara tidak sengaja melalui diskusi yang sering dilakukan oleh kelompok paduan suara gereja itu. Dalam diskusinya, orang Batak Kristen yang tergabung dalam paduan suara gerejawi itu melihat bahwa pengaruh Barat (kolonial) yang datang bersama dengan agama Kristen adalah unsur-unsur “hamajuon” (kemajuan) yang dapat mendorong terwujudnya kemajuan dalam hidup kemasyarakatan dan gereja Batak. Ajarana kekristenan yang dibawa oleh zending RMG di tanah Batak telah membangkitkan semangat orang Batak yang sebelumnya mereka sendiri berusaha menghindari “Batak”. Melalui agama Kristen, orang Batak menemukan rasa solidaritas sebagai satu suku bangsa sehingga ajaran kekristenan mampu membangkitkan permulaan baru yang membangkitkan semangat orang  Batak berani melangkah untuk maju.

2. Berbagai Kepentingan di Balik Munculnya HKB. Berdirinya HKB tanggal 28 September 1917 di Balige, awalnya organisasi ini sangat mendapat dukungan dan respon positif dari pihak pemerintah Belanda, juga dari pihak zending dan para misionaris RMG. Akan tetapi, walau sama-sama mendukung, latarbelakang serta alasan dan harapan mereka terhadap berdirinya HKB berbeda-beda pula. Pemerintah Belanda, menilai bahwa melalui berdirinya HKB mereka mengharapkan masyarakat Kristen Batak dapat menjadi suatu kekuatan yang mendukung system pemerintahan kolonial Belanda. Dengan kata lain, pemerintah kolonial menganggap bahwa orang Batak Kristen menjadi benteng kekuatan Belanda. Di pihak lain, zending RMG mengharapkan, melalui HKB kekristenan dan masyarakat Batak dapat berkembang dengan cepat dan lebih maju serta pada akhirnya dapat memperlambat bahkan mengimbangi serikat Islam yang sudah lebih dahulu masuk dan berkembang di Tapanuli umumnya sejak tahun 1916. Harapan ini didukung oleh system kepengurusan HKB yang dominan dipegang oleh pendeta Kristen Batak, guru dan sintua (penatua gereja), maka terjalinlah ikatan antara organisasi HKBP yang didirikan oleh orang-orang Batak sebagai penduduk pribumi dengan RMG sebagai pemimpin gereja Batak. Dari pihak orang Batak sendiri, mereka memiliki sudut pandang sendiri bahwa melalui berdirinya HKB yang dipelopori oleh golongan inteletual Kristen Batak organisasi ini bertujuan memajukan kehidupan masyarakat Kristen Batak. Harapan ini didukung oleh anggaran dasar HKB awalnya, yaitu: “untuk memperkuat persatuan umat Kristen Batak, memperkuat kasihpersaudaraan tolongmenolong sesama anggota sarekat sesuai dengan kesadaran kristiani dan berusaha untuk memajukan kehidupan social masyarakat Batak (J R. Hutauruk, hl. 86). Sebagai sebuah perkumpulan orang-orang Kristen Batak, awalnya HKB bergerak di bidang gerejani yaitu mempercepat penyebaran kekristenan sesuai dengan cita-cita awal organisasi HKB yang pada dasarnya menginginkan kemerdekaan ekonomi dan sosial sesuai dengan cita-cita Kristen.

3.  HKB dan system Erfpacht Belanda. Tidak lama setelah berdirinya HKB, pemerintah kolonial Belanda menjalankan system penyewaan tanah di Tapanuli yang dalam istilah bahasa Belanda system penyewaan tanah ini disebut sebagai “erfpacht”. Sistem ini didasarkan pada peraturan agraria 1870 yang menyatakan bahwa: “tanah yang tidak digarap oleh penduduk secara langsung menjadi hak milik pemerintah dan penduduk dapat menggarapnya kembali dengan cara mengajukan permohonan erfpacht dan menanam lahan tersebut dengan tanaman jangka panjang”. Namun, untuk mendapatkan ijin sewa tanah, persyaratan yang diajukan oleh pemerintah Belanda berbelit-belit sehingga mempersulit penduduk mendapatkan tanah olahan. System penyewaan tanah yang demikian sangat ditentang oleh pihak lembaga zending dan orang Batak sendiri, walau motif dan kepentingan masing-masing menolak system ini berbeda-beda.
a. Di satu pihak, para misionaris menolak system sewa tanah ini dengan alasan bahwa system erfpacht  dapat mendorong terbentuknya lahan-lahan perkebunan di tanah Batak, dan tujuan ini tidak selaras dengan tujuan misonaris terhadap masyarakat Batak karena system ini dapat mengalihkan perhatian orang Batak dari tujuan utama misi yaitu menyelamatkan orang Batak sesuai dengan iman Kristen yang mereka ajarkan.
b.  Di pihak lain, system ini dapat merusak usaha penyingkiran Islam karena perkebunan akan mendatangkan orang-orang Jawa dan pekerja asing sebagai buruh ke tanah Batak. Melalui itu, mengakibatkan munculnya berbagai penyakit kelamin yang dibawa oleh para pekerja perkebunan yang dari luar tanah Batak. 
c.    Bagi pihak orang Batak sendiri, menolak system erfpacht lebih disebabkan oleh factor kaum muda Batak yang lebih menginginkan “hamajuon” melalui berbagai produk material dan intelektual orang Barat, mereka tidak menginginkan Tapanuli mengalami nasib yang serupa dengan daerah-daerah perkebunan di Pantai Timur Sumatera serta adanya kesadaran bahwa sesuai dengan adat Batak akan arti dan fungsi tanah maka ada anggapan bahwa bangsa Batak akan lebih membutuhkan tanah daripada pemerintah pada masa yang akan datang.
d.    Bagi pihak Belanda, system erfpacht sangat mendorong pemerintah semakin membuka lahan-lahan perkebunan dan perusahaan-perusahaan dagang yang sejajar dengan itu pembukaan dan pembangunan jalan-jalan raya sepanjang Timur ke Barat dan menembus ke jantung tanah Batak. Lancarnya transportasi jalan raya dari Medan ke Sibolga mempengaruhi daerah pedalaman tanah Batak sangat cepat dimasuki berbagai jenis hiburan seperti misalnya: bioskop, byliard, rumah dansa, permainan judi, berbagai minuman keras sebagai pengaruh kebudayaan jelek Eropa.

Selain dampak negatif ini, lancarnya komunikasi di tanah Batak juga sangat mempengaruhi kaum muda Batak pergi ke berbagai daerah di luar Tapanuli untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan pendidikan yang lebih maju. Tanggal 2 Januari 1919, di daerah Tarutung (sebagai secretariat cabang) HKB mengajukan keberatan atas pelaksanaan erfpacht walau keberatan ini tidak digubris oleh Belanda. Tidak diabaikannya keberatan ini, mendorong H.M. Manullang sebagai ketua HKB pergi ke Batavia menyampaikan keberatan masyarakat Batak atas system erfpacht di Tapanuli kepada Direktur Pemerintah Dalam Negeri yaitu: Capentier Alting. Hasilnya, keberatan Manullang diterima pemerintah dan erfpacht di Tapanuli umumnya digagalkan, dan pemerintah menghentikan pembuatan batas-batas tanah yang akan disewakan sampai berbagai keberatan itu diteliti dsan penduduk menjadi tenang kembali. Sejalan dengan perkembangan yang demikian berlangsung di Tapanuli, misi menjalankan organisasi jemaat dengan system kepemimpinan yang episkopal artinya: bahwa kekuasaan di dalam gereja semuanya terpusat di tangan para misonaris, ini berarti bahwa pimpinan tertinggi di dalam gereja tetap di tangan misinaris. Keadaanini juga ditentang oleh HKB, yang akibatnya sampai tahun 1927 banyak jemaat dari gereja Batak yang kecewa dan keluar dari keanggotaan jemaat seraya mendirikan gereja Batak  yang baru yakni HChB (1927) di Pantoan, demikian dengan Gereja Mission Batak, 17 Juli 1927 (GMB) dan Punguan Kristen Batak, 16 Juli 1927 (PKB) di Jakarta dan lain-lain. Akibat dari gejolak ini, HKBP tahun 1930 resmi memiliki badan hukum sendiri dan baru tahun 1939, HKBP mandiri secara kepemimpinan melalui terpilihnya Pdt. K. Sirait sebagai pimpinan jemaat dari antara pendeta pribumi.

4. HKB Dan Hubungannya Dengan HKBP. HKB sebagai oraganisasi adalah merupakan gerakan keagamaan yang  menentang segala kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang dianggap merugikan orang-orang Batak di Tapanuli. Organisasi HKB dibentuk oleh tokoh-tokoh Kristen yang merupakan jemaat HKBP, ini berarti bahwa HKBP merupakan pusat pengembangan organisasi HKB. Bagiorang Batak sejak kekristenan adalah organisasi yang sangat penting, berdirinya HKBP disebabkan oleh masuknya kekristenan ke tanah Batak, dan keadaan ini oleh orang Batak menganggapnya sebagai “sahala”. Artinya, orang Batak setelah kekristenan sadar bahwa para misonaris yang membawa kekristenan ke tanah Batak memiliki “sahala” yang lebih tinggi dari sahala  yang dimiliki oleh para datu-imam  maupun sibaso hasandaran yang diyakini   sebagai perantara antara orang yang hidup dengan roh-roh orang mati. HKB sebagai lembaga formal, melakukan gerakannya di bawah pengawasan gereja yang memberi kelengkapan mengenai perjuangan politik yang dpaat dilakukan oleh semua orang. Berdirinya HKB masa bangkitnya semangat kebangsaan nasional Indonesia, menunjukkan bahwa pemuda dan orang Kristen Batak telah ikut berpartisipasi menentang kolonial Belanda yang menjajah di Tapanuli dan gerakannya sangat didasarkan pada semangat kekristenan.  Perlawanan orang Kristen Batak melawan kolonial di Tapanuli, perjuangan ini sangat didasarkan dan berkaitan pada system kerja Rodi, pajak, dang system Demang.  Tiga system kebijakan kolonial ini, ternyata sangat menimbulkan perasaan sakirt hati dan kebencian bagi orang Batak terhadap kolonial Belanda, waau sudah ada peraturan yang mengatur pelaksanaan Rodi, Pajak dan system Demang ini. Di antaranya peraturan itu adalah bahwa: “orang yang lanjut usia, yang sakit, dibebaskan dari Rodi: hari minggu, hari-hari raya harus dihormati di mana penduduk tidak wajib melakukan Rodi, termasuk kerja Rodi dapat digantikan dengan uang. Namun dalam prakteknya oleh pemerintah kolonial, peraturan ini tidak dijalankan ditambah dengan diskriminasi terhadap orang Cina dan penduduk non-pribumi lainnya tidak diwajibkan melakukan Rodi. Ditambah dengan tingginya kekuasaan Demang oleh pemerintah Belanda, di mana setiap orang yang berani menentang Demang akan dihukum dan dipukul cambuk bahkan dipenjarakan. 

5.  Pola Ajaran Organisasi HKB. Ada beberapa prinsip yang mengikat (sada kongsi parsangean) dijadikan sebagai dasar berdrinya HKB. Beberapa prinsip itu adalah:
a.  HKB harus tetap mencerminkan kehidupan yang sesuai dengan cita-cita kristiani yaitu adanya kesatuan dalam kehidupan masyarakat Batak dengan saling tolong menolong, bersama-sama menanggung beban dan kegembiraan untuk dapat mengejar kemajuan di bidang pendidikan, kesejahteraan social, ekonomi bahkan politik. Hasadaon, yaitu persatuan yang menghasilkan kekuatan ekonomis dan politis.
b. Syarat mutlak yang harus dimiliki oleh HKB adalah hal keagamaan dan moral. Artinya, bahwa tujuan gerakan HKB bukan untuk mendirikan hatopan (sarekat) Batak, melainkan “Hatopan Kristen Batak” yang berarti bahwa anggota-anggotanya hanya terdiri dari orang-orang Kristen Batak dengan tujuan untuk memperkokoh agama Kristen sesuai dengan hukum Kristus. Jika tujuan ini tercapai, maka masyarakat Kristen Batak akan mencapai “hamajuon na tingkos” (kemajuan yang benar) sebab dasar kemajuannya adalah bersumber dari firman Tuhan.
c.    Dalam setiap gerakannya, HKB selalu menekankan pentingnya “hasadaon ni roha” (persatuan di dalam hati) pada diri anggota-anggotanya. Orang-orang Kristen Batak adalah satu kelompok (sahorong), suku yang terpilih (marga na tarpillit), bangsa yang ditebus (houm na hinophop), yangtelah bersatu melalui darah  Yesus Kristus.  Jadi, kerygma  (ajaran, pewartaan: ist. Yunani) harus angat menonjol dalam organisasi HKB

Sejak awal terbentuknya, pernyataan-pernyataan Nomensen (sebagai rasul orang Batak) terasapengaruhnya dalam setiap gerakan-gerakan yang dilakukan HKB. Nomensen menyatakan agar gereja Batak bentul-betul dapat berdiri sendiri secara mandiri, maka ada tiga hal yang harus dilakukan yakni: self-supporting (swasembada: dana), self-government (swaparaja: Kepemimpinan), self-extention (swakarya: penyebaran misi). Melalui prinsip ini, Nomensen sangat menekankan pada diri orang Batak keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk dapat berkembang maju mandiri. 

6.  Kesimpulan.
-          Pada jaman zending, tanah Batak meliputi dua afdeling yang terdapat pada kersidenan Tapanuli sebagai wilayah adsministraif yang dibentuk oleh pemerintah Belanda yaitu: afdeeling Bataklanden (ibukota Tarutung)  dan afdeeling Padang Sidempuan (ibukota: Sidempuan). Artinya, tanah Batak zaman zending meliputi Taput dan Tapsel.  Sementara tanah Batak sekarang lebih identk/dikenal dengan Kabupaten TAPUT (sampai tahun 1990). 
-          Suku Batak Toba sangat menghormati adat dan tradisi kebudayaan nenek-moyang. Jadi, setiap pengaruh luar yang memasuki tanah Batak akan selalu disesuaikan dengan adat dan kebudayaan Batak Toba.
-          HKB merupakan organisasi kemasyarakatan orang Batak yang sangat potensial. Dalam bidang social politik, organisasi ini berhasil menggagalkan system sewa tanah (erfpacht) di Tapanuli, sedang dalam bidang keagamaan, organisasi ini berhasil mendirikan gereja Batak yang mandiri. Nasionalisme di tanah Batak sudah ada sebelum gerakan ini muncul di Indonesia. Pandangan orang-orang Barat mengenai streotip orang Batak yang jorok, bodoh, keras kepala ternyata tidak sepenuhnya benar, sebab jauh sebelum jaman pergerakan nasional, orang Batak justru sudah memiliki pemikiran dan semangat yang maju.




A.
SKISMA TAHUN 1927 GEREJA BATAK

1.  Setelah perkembangan gereja dan kekristenan di tanah Batak, suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam perkembangan itu adalah berlangsungnya skisma di dalam tubuh gereja Batak itu sendiri. Bila dicermati lebih teliti terhadap peristiwa skisma awal di dalam gereja Batak, sebenarnya latarbelakang (penyebab) terjadinya pemisahan itu lebih disebabkan oleh dua hal, yakni: pertama, munculnya gerakan kemandirian di dalam gereja dan kedua: munculnya semangat gerakan nasionalisme secara bersama di seluruh wilayah negara Indonesia pada masanya. Dua fenomena ini sangat ditandai dengan indikasi lahirnya sebuah gerakan kemandirian di dalam gereja yang pada akhirnya gerakan-gerakan kemandirian ini membentuk (mengkristal) denominasi baru yang masing-masing disebut sebagai: “Huria Christen Batak” (HChB, tahun 1946 denominasi ini berubah nama menjadi: “Huria Kristen Indonesia”-HKI), “Pardonganon Mision Batak” (PMB, lebih dikenal dengan “Mission Batak” akhirnya berubah menjadi “Gereja Mision Batak”-GMB) serta “Punguan Kristen Batak” (berubah menjadi “Gereja Punguan Kristen Batak”-GPKB). Perhatian yang cermat dilakukan bahwa semua skisma ini terjadi tahun 1927, dan basis gerakannya terjadi di kota-kotatemnpat di mana gereja Batak sebelumnya telah menyebar. Misalnya, gerakan HChB basis gerakannya terjadi di Pematangsiantar, gerakan Mission Batak terjadi di Kota Medan, Punguan Kristen Batak di Jakarta. Nampaknya ada alasan mengapa beberapa peristiwa ini terjadi di kota-kota besar tempat di mana gereja Batak telah menyebar, yakni: “seiring dengan perpindahan orang Batak ke kota-kota besar bersamaan, dengan itu mereka membawa agamanya-Kristen ke tempat baru. Melalui gaya hidup kota, kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh sikap hidup yang lebih modern meninggalkan apola hidup tradisionil”. Kenyataan inilah yang sangat mempengaruhi berlangsungnya perpecahan di dalam gereja Batak. 

Argumen ini dapat didukung dengan beberapa informasi, yakni:
a. Heterogenitas warga kota dibandingkan dengan homogenitas (satu marga dalam jemaat yang sama) asal orang Batak di desa, sifat ini masih belum lepas dari diri setiap orang Batak yang baru menempati sebuah kota tempatnya berdiam. Persoalannya adalah, pola margasentris (terbawa-bawa) yang sebelumnya dominan di jemaat desa asal: di jemaat kota yang baru ini menjadi pemicu persoalan yang sangat tajam yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan.
b. Keadaan jemaat di kota yang tidak lagi dipimpin oleh para misionaris, mempengaruhi orang Kristen Batak sebagai jemaat kota sangat bersikap bebas di dalam gereja.
c.  Warga jemaat kota yang umumnya sudah berpendidikan, mempengaruhi sikap mereka menjadi lebih kritis di dalam jemaat
.
2. Huria Christen Batak (HChB). Pada rencana awal pembentukan HChB, dalam anggaran dasarnya (1 September 1929) kelompok ini diberi nama: “Vereeniging Hoeria Christen Batak” dan pertama sekali muncul tanggal 1 Mei 1927 dengan dipimpin oleh Frederick Panggabean (bergelar Sutan Malu) seorang warga jemaat awam (biasa) di Pantoan-Pematangsiantar (lih. Hutauruk131-135).

Beberapa alas an mengapa HChB berdiri dapat diuraikan seperti di bawah ini:
a.    Sampai tahun 1927 anggota jemaat HKBP Pematangsiantar sudah berjumlah 300 KK, yang berhubungan dengan itu atas pertimbangan kapasitas daya tampung gedung gereja yang tidak memadai bagi seluruh jemaat untuk melakukan ibadah ditambah dengan jarak yang jauh (4 KM) dari Pantoan, ini dirasakan sebagai suatu kesulitan tersendiri bagi jemaat mengikuti ibadah. Atas keadaan ini, permohonan untuk mendirikan sebuah jemaat baru di Pantoan telah ditolak sehingga jemaat terpaksa harus tetap bergabung pada jemaat di Kampung Kristen.     
b.    Pernyataan Sutan Malu kepada pemerintah kolonial Belanda yang membawahi daerah Simalungun  ketika itu (1 April 1927) bahwa sejak 1 Mei 1927, mereka (bersama tema-teman seperjuangan) tidak mempunyai hubungan lagi dengan Rhijnse Cending Jerman dan mereka berdiri sendiri (zelfstanding) dalam urusan kegerejaan. Sikap ini, menurut Sutan Malu sangat ia dasari dari hikmat pesan teks Yak. 1:22.
c.    Perasaan tidak puas di kalangan perantau orang Batak di Pematangsiantar atas sturktur sentralistis struktur jemaat. Jadi untuk jemaatnya Sutan Malu mempropagandakan sifat kemargaan untuk merekrut sebanyak-banyaknya pengikut dan ternyata usaha ini menarik perhatian banyak orang ketika itu.
d.    Tidak senangnya sebagian orang ketika itu atas ketatnya hukum displin gereja diberlakukan kepada warga jemaat dan rohaniawan. Melalu gerakan HChB, orang Batak yang sebelumnya sudah berpologami beristeri dua atau lebih) dengan senang hati bergabung ke dalam jemaat itu.

Sampai sekarang jemaat ini masih eksis di berbagai daerah Tapanuli dengan nama HKI yang pada tahun 1946 nama  HChB ini dirubah menjadi HKI (Huria Kristen Indonesia) alasan utamanya supaya lebih bersifat nasionalis.

3.   Mission Batak (MB). Jemaat ini memisahkan diri dari gereja Batak asuhan RMG itu berlangsung tanggal 17 Juli 1927 di Medan. Alasan utama pemisahan ini disebabkan oleh perbedaan pendapat warga jemaat di Medan mengenai lokasi pembangunan gedung gereja yang baru yaitu lokasi yang disediakan oleh pemerintah di daerah Polonia atau di Balistraat (sekitar jln. Bali sekarang).  Atas perbedaan pendapat itu, pemerintah membatalkan sumbangannya, namun jemaat tetap mendirikan gedung gereja yang baru yakni di daerah Polonia yaitu gedung gereja HKBP jln. Uskup Agung sekarang. Oleh sebagian kelompok yang tidak setuju atas sikap pemerintah ini, tetap meneruskan keinginannya membangun gedung gereja yang baru, dan mereka menamakan jemaat mereka yang baru itu sebagai “Mission Batak”, tujuannya untuk membedakan jemaat asuhan RMG dengan mereka, dan sampai sekarang jemaat ini masih berdiri dengan nama: “Gereja Mission Batak” dan berkantor pusat di Medan.

4.  Punguan Kristen Batak (PKB). Dari penjelasan terdahulu telah diterangkan bahwa saat pertama sekali orang Kristen Batak merantau ke Jakarta terjadi tahun 1919. Disebabkan oleh kerinduan untuk mengikuti ibadah yang berbahasa Batak di daerah Jakarta, maka orang-orang Kristen Batak membentuk suatu persekutuan ibadah di sana. Untuk memelihara persekutuan itu, atas permintaan mereka maka misionaris mengutus seorang pendeta Batak bernama Pdt. Mulia Nainggolan untuk melayani mereka. Dalam pelayanan selanjutnya, persekutuan ini tahun 1926 mengalami konflik intern yang berhubungan dengan pergantian pengurus jemaat.            Pemimpin jemaat yang sebelumnya dipegang oleh orang Kristen Batak dari Tapanuli Selatan, dalam pemilihan yang terpilih adalah orang Kristen Batak yang berasal dari Tapanuli Utara.  Akibat konflik yang berkepanjangan berlangsung, maka  J. Warneck supaya jemaat di Jakarta memakai system “keerkeraad” yang telah diberlakukan dalam gereja Batak sejak awal kepemimpinan Warneck tahun 1920. Sistem “keerkeraad” ini adalah system kepemimpinan jemaat yang dipimpin oleh “majelis jemaat” dengan pendeta sebagai pimpinan, system yang sebelumnya berlaku di Jakarta adalah bahwa jemaat memilih salah seorang dari antara anggota jemaat sebagai pimpinan jemaat. Akibat perselisihan yang terus berlangsung, maka J. Warneck kemudian mengutus lagi seorang pendeta bernama Pdt. Tyranus Hasibuan, namun pendekatan pendeta ini tidak juga dapat mendamaikan perselisihan. Akibatnya, kelompok jemaat yang tidak setuju dengan kebijakan Warneck sebagai Ephorus, mereka mendirikan jemaat baru yang dinamakan sebagai: “Punguan Kristen Batak” (PKB) yakni tanggal 10 Juli 1920. Jemaat ini kemudian menjadi jemaat yang berdiri sendiri (lep0as) dari asuhan lembaga misi RMG) dan sampai sekarang jemaat ini  masih berdiri di Jakarta dengan nama: “Gereja Punguan Kristen Batak” (GPKB).

5.  Ada bebrapa hikmat dapat ditarik dari peristiwa terjadinya skisma jemaat dia atas, tiga hikmat tersebut adalah:
a.    Berlangsungnya skisma dalam gereja Batak sejak awalnya bukan disebabkan oleh adanyanya perbedaan ajaran secara mendasar, melainkan semuanya lebih disebabkan oleh perbedaan sikap dan pendekatan masing-masing terhadap persoalan jabatan dan organisatoris di dalam jemaat.
b.    Faktor lain yang mempengaruhi berlangsungnya skisma itu adalah terjadinya perubahan social di tengah masyarakat Batak sebagai akibat dari kemajuan yang diperoleh dalam berbagai bidang kehidupan (misalnya pendidikan, ekonomi, politik dan lain-lain) baik melalui usaha zending maupun melalui usaha pemerintah kolonial Belanda. Kemajuan itu telah membangkitkan semangat kebangsaan mereka, sehingga mereka terdorong untuk berdiri sendiri dan ingin membebaskan diri dari kekuasaan asing, termasuk dari kepemimpinan zending.
c.    Adanya fanatisme kemargaan dan ke daerahan yang timbul di kalangan masyarakat Kristen Batak di daerah diaspora (perantauan).
d.    Pemahaman dan kesadaran terhadap hidup berjemaat yang masih dangkal, yang nampaknya orang Kristen Batak cenderung mempersamakan gereja dengan organisasi yang bersifat social kemasyarakatan atau mempersamakannya dengan organisasi kepartaian. Ini nampak dari sebutan awal kepada jemaat yang memisah itu pertama sekali sebagai: “Vereeniging” (Perserikatan). Bukan menamakannya sebagai “Gereja” atau “huria”, sebab melalui nama “Punguan” (Perkumpulan) yang terkandung di dalam nama itu dianggap sama artinya dengan pengertian gereja atau huria.


B.
KONFESSI GEREJA BATAK (HKBP)

6. Sepintas Mengenai Konfessi (6-7). Dalam pengalaman gereja-gereja umumnya, salah satu fungsi yang sangat penting bagi dirumuskannya konfessi adalah sebagai: “jawaban terhadap firman Allah dan terhadap manusia dengan segala kompleksitas permasalahan jamannya”. Berhubung dengan ini, dalam perjalanan sejarahnya (gereja Batak) HKBP telah memiliki dua konfessinya sendiri, yakni konfessi tahun 1951 dan konfessi tahun 1996. Terhadap pernyataan di atas, pergumulan jaman yang mempengaruhi HKBP merumuskan konfessinya adalah bahwa “HKBP sangat menghadapi tantangan pelayanannya dari berbagai pihak (sekte), secara khusus dari pihak gereja RK mengembangkan misinya di daerah Tapanuli secara umum”. Tantangan ini didukung oleh pergumulan HKBP mencari persekutuan oikumenisnya baik secara nasional maupun secara internasional.
      Secara etimologi, kata: “konfessi” berasal dari kata Latin, yakni:  confessio” yang berarti: ”pengakuan dosa juga sebagai pengakuan iman”.

Dalam bentuk kata, istilah ini kemudian berubah maknanya menurut konteks beberapa bahasa sesuai dengan pemakaiannya (lih. Henkten Napel, Kamus Teologi, hl. 86), misalnya:
a. Menurut istilah bahasa Latin,  ada dua makna yang muncul, pertama sebagai “symbol yang dipakai oleh gereja-gereja kuno yang artinya sebagai pengenal” dan makna kedua sebagai “credo yang berarti aku percaya” di mana makna ini sering dipakai dalam ibadah  
b.  Menurut bahasa Inodonesia kata ini berubah makna sebagai “pengakuan
c.  Menurut bahasa Ibrani (PL) dipakai kata “schema” artinya: “dengarkanlah”
d.  Menurut istilah PB dipakai kata: “homologein”. Kata ini menurunkan dua defenisi sebagai: “memuji Allah dan menghaku dosa”. Kemudian menurunkan makna sifat kata sebagai “homologia” artinya: pengakuan
e.    Menurut bahasa Inggris, dipakai kata “confessio” artinya: “pernyataan iman suatu agama atau prinsip iman”. 
f.     Menurut bahasa Jerman dipakai kata: “das bekenntnis” artinya: “pengakuan, identitas denominasi tertentu”.

      Dari berbagai istilah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kata: “konfessi” menunjuk kepada pengakuan suatu gereja untuk menunjukkan dan menampakkan indentitasnya diperhadapkan dengan sekitarnya. Berhubung dengan pernyataan ini maka: “konfessi sekaligus merupakan jawaban terhadap dua soal sekaligus yakni jawaban terhadap firman Allah di mana jawaban ini merupakan dialog dan jawaban terhadap manusia di mana gereja menghadapi berbagai ajaran sesat. Dengan demikian dapat dilihat bahwa konfessi-konfessi adalah respon terhadap Allah. Melalui pengertian ini, konfessi timbul oleh karena tantangan dan kepercayaan. Untuk mengawasi ajaran sesat, dan memberi jawaban kesaksian kepada seluruh dunia yang mempersatuklan orang-orang yang mengaku menurut konfessi-konfessi tersebut. Konfessi-konfessi itu harus hidup terus dan bertahan terhadap ujian waktu” (lih. G.D. Dahlenburg, Konfessi Konfessi…, hl. 3-5). Melalui uraian ini, dapat diartikan bahwa konfessi harus senantiasa mampu menjawab berbagai tantangan, kini dan di sini bahkan masa depan, termasuk halnya dengan konfessi-konfessi tua (konfessi-konfessi oikumenis).

7.  Relevansi Konfessi-konfessi Tua. Sebagaimana diharapkan bahwa setiap konfessi harus bersifat actual dan relevan, artinya kendati dirumuskan pada masa lalu, konfessi itu harus tetap diupayakan mampu menjawab dan berhubungan dengan masalah/ tantangan yang dihadapi oleh gereja di kemudian hari walau perumusannya sudah dipisahkan oleh waktu yang sangat panjang.

Melalui pernyataan ini maka konfessi harus senantiasa mampu menjawab berbagai tantangan, kini dan di sini bahkan di masa depan sekali pun. Termasuk halnya dengan konfessi-konfessi tua, seperti misalnya:
a.  Pengakuan iman apostolocum. Pengakuan ini ditulis antara tahun 200-325 M dengan mengambil ajaran-ajaran para rasul yang penting dari Alkitab.
b.  Pengakuan iman Niceanum di mana konfessi ini di tulis antara tahun 325 saat konsili Nicea yang menentang bidat Arianisme.

Pengakuan iman Athanasianum, pengakuan iman ini dirumuskan antara tahun 313 M untuk menegaskan kebenaran Allah Tritunggal. Jadi, tiga pengakuan iman ini ditambah lagi dengan Katekhismus kecil dan Kathehismus besar Martin Luther, Konfessi Augsburg (Apologi Konfessi Augsburg) dan Rumus Konkord di mana konfessi ini telah dipegang dan dianut oleh gereja selama lebih dari 500 tahun. Dapat diperhatikan bahwa, adalah “berbahaya sekali jika jemaat memisahkan diri dari pengalaman gereja mula-mula yang sudah berjalan masa sekitar 2000 tahun. Kalau anda sebagai mahasiswa teologi (calon pelayan, orang Kristen, atau pelayan jemaat) mengabaikan sejarah gereja, maka gereja akan hidup seperti layang-layang tanpa ekor, atau layang-layang tanpa benang. Orang Kristen (gereja) tidak akan pernah tahu  dari mana ia berasal dan ke mana pula ia pergi”. Pernyatan inilah yang mempertegas sikap kita sekarang sebagai akademisi kampus teologi yang harus tetap memahami bahwa konfessi-konfessi tua harus selalu tetap relevan dan actual. Di samping itu, “sebuah rumusan konfessi sebagai pengakuan iman ini harus  merupakan hal yang sangat mendasar bagi setiap gereja, sebab di dalamnya gereja mengemukakan apa dan siapa yang ia yakini, dan apa sikap serta jawabannya terhadap berbagai tantangan dan masalah yang dihadapinya secara kongkrit, ketika ia merumuskan pengakuan iman itu sekaligus merupakan respons terhadap firman Allah di dalam Alkitab. Dengan demikian, setiap pengakuan iman mestinya harus berciri ganda, yakni tekstual dan sekaligus kontekstual”.

Melalui hikmat ini, hendaknya sebuah gereja dalam merumuskan konfessinya harus mempertimbangkan beberapa unsur yakni:
a. Apakah suatu konfessi benar-benar berakar pada kitab Suci (pernyataan ini melebihi pegangan atas Alkitabs ecara formal saja) ?
e.    Dapatkah suatu konfessi tertentu dianggap sebagai panggilan untuk pertobatan, dan dihakekatnya oleh pelayanan gerejanya untuk pembaharuan ?
f.      Apakah relevan suatu konfessi tertentu berhubungan dengan pengalaman gereja masa kini ?
g.    Apakah konfessi itu meminta persetujuan ?

Sebenarnya suatu konfessi harus mencantumkan panggilan untuk turut serta dalam mengakuinya. Jadi, melalui konfessi 1956 dan konfessi 1996, HKBP telah berusaha secara kontekstual menetapkan konfessinya. Ini didukung oleh argumen (lih. Lothar Schrainer, Arti dan Fungsi Konfessi…, hl. 6-8): “adalah penting untuk diuraikan kedudukan mana salah satu konfessi tertentu diberikan ke dalam gerejanya dan teologianya, misalnya konfessi HKBP di HKBP”. Maksud pernyataan ini akan lebih jelas melalui argumen bahwa gereja-gereja di Indonesia tidak ada yang murni beraliran Lutheran. Namun “pada umumnya (terutama di kalangan gereja Batak) gereja-gereja Protestan mengakui bahwa Martin Luther adalah sebagai salah seorang bapa rohani bagi gerejanya, bahkan teladan iman bagi mereka”. Pada kenyatannya HKBP adalah non konfessional dan non denominasional, artinya: HKBP tidak menganut satu konfessi tertentu dari konfessi yang sudah ada dan juga tidak larut dengan satu konfessi tertentu. HKBP dengan konfessinya, berusaha berteologi secara dogmatis (berisi ajaran tertentu), misiologis (berisi unsur-unsur misi kesaksian) dan apologetis (pembelaan dengan memaparkan prinsip teologia dan dogmatisnya sebagai pendirian HKBP). Pernyataan ini, nampak dalam isi dua konfessi HKBP terutama bila disimak bentuknya: pertama mengenai: “manghaporseai” (mempercayai), kedua mengenai: “manghatindangkon” (menyaksikan), ketiga mengenai: “mangondolhon” (menekankan), keempat mengenai: “mangaradoti” (memelihara/ menjalankan) dan kelima mengenai: “manulak” (melawan/menolak).

8. Latarbelakang Kedua Konfessi (8-9).  Salah satu eksistensi tuntutan dari pentingnya dirumuskannya konfessi adalah untuk “menjawab firman Allah” maksudnya, jawaban yang memiliki unsur dialogis artinya “Allah berfirman dan manusia (gereja) menjawab”.  Argumen inilah yang melatarbelakangi lahirnya dua konfessi HKBP tahun 1951 dan tahun 1996. Terhadap konfessi 1951, sejak 90 tahun lahirnya gereja (HKBP) sebagai “tubuh Kristus” di tanah Batak (7 Oktober 1861) HKBP belum memiliki jawaban yang baku terhadap  firman Allah yang diterimanya. Artinya belum memiliki jawaban yang tertuang dalam bentuk konfessi. Kenyataan inilah yang disadari oleh HKBP melalui SG tahun 1951, sehingga diputuskan/ditetapkanlah: “dipahot synode Godang ma Panindangion haporseaon i, alai molo tung adong dope sihurangan manang sitambaan tusi na so domu tu Bibel, boi do padengganon i tu pudian ni ari”.  Dari keputusan ini, dapat dilihat bahwa HKBP tidak mau terkondisi hingga hal yang esensial dan terlupakan. Konfessi yang dibentuk harus merupakan jawaban yang sempurna akan firman Allah yang harus diterima. Itulah sebabnya, tujuan utama HKBP membentuk konfessi 1951, yaitu: “memperkenalkan dirinya sebagaimana dia telah ditempa oleh penghayatannya akan firman Allah sejak firman itu diberitakan dan diterima oleh umat Kristen Batak”. 

      Eksistensi kedua pentingnya konfessi 1951 dirumuskan adalah sebagai “jawaban kepada manusia” artinya konfessi harus mampu menjawab berbagai tantangan dan pergumulan yang dihgadapi gereja pada waktunya. Demikian pergumulan mendasar penetapan konfessi ini untuk menjawab dan menghadapi tantangan dari berbagai sekte secara khusus dari gereja Katolik Roma ketika itu. Dalam pendahulun konfessi 1951 sangat jelas dicantumkan, bahwa ajaran-ajaran yang telah masuk dari luar dan juga yang tumbuh dari dalam, yakni: “Roma Katholik, Adventis, Pinkster, Agama Kemasukan roh, Sirajabatak, Kumpulan Bibelkering, Kekristenan Nasionalisme, Sinkritisme, Ajaran-ajaran yang berasal dari Theosopie Komunis dan Kapitalis, Kumpulan-kumpulan orang-orang yang memisahkan diri dari HKBP, Animisme dan Islam, juga pengakuan terhadap adat dan kebudayaan dari bangsa kita”. Begitu mendesak dan pentingnya penbetapan konfessi 1951 ini dilakukan, terhadap pergumulan yang dihadapi oleh HKBP, sehingga Ephorus HKBP J. Sihombing memasukkannya dalam barita jujur taon (laporan pertanggungjawaban HKBP 1949/1950), beliau mengatakan: “…marsak do roha marnida, na sai lohot dope hasipelebeguon di roha ni deba dongan Kristen …”. Tantangan ini harus dijawab dengan jelas dan tegas/benar serta konsisten dalam dan melalui konfessi.

      Dalam upaya pengembangan hubungan oikumenis gereja HKBP dengan lembaga oikumenis sedunia, HKBP melalui sinode Godang 1949 memutuskan: “satorang-torang na jala sabagas-bagas na do patedehon  tu utusan ni rapot India i, dogma kultus (ruhut parduru) dohot organisasi ni HKBP tu LWF. Molo boi do masuk HKBP tu LWF di na songon i dogma, kultus dohot organisasi na”.  Pernyataan ini menekankan keinginan HKBP masuk menjadi anggota LWF (Lutheran World Federation) namun keberadaan HKBP dengan segala cirri khasnya tidak boleh diganggu gugat. Hal ini ditekankan sehubungan dengan persyaratan konfessional yang dituntut LWF. Untuk tujuan ini, yakni memenuhi tuntutan persyaratan LWF, HKBP pada sinode Godang 1950 membentuk tim konfessi yakni: Pdt. Dr. J. Sihombing, Pdt. K. sirait, Ds. K. Sitompul, Ds. T.S. Sihombing, Ds. G.H.M Siahaan, Pdt. C. Simanjuntak, Demang Renatus Hutabarat, Prof. Mr. Dr. Sutan  Gunung Mulia. Pada synode Godang HKBP 1951, konfessi yang mereka susun kemudian disyahkan. Isi gambaran umum konfessi 1951 adalah bahwa konfessi ini terdiri dari 18 fasal yang diawali dari semacam pengantar (pengantar) dan patujolo (pamungkaan).

Gambaran umum isi konfessi ini dapat dibagi pada lima bagian besar, yakni: a. Fsl 1-4 : Pemahamantentang Allah dan firman Allah  ;  b. Fsl 5-7  : Pemahaman tentang dosa ; c. Fsl 8-11 : pemahaman tentang gereja dan Sakramen : d. Fsl 12-15 : Pemahaman tentangkedudukan orang Kristen di dalam dunia :  e. Fsl 16-18 : Pemahaman tentang orang mati, Malaikat dan hukuman pada hari kiamat.

9.  Terhadap konfessi 1996, konfessi ini juga dirumuskan tuntutan eksistensinya adalah untuk menjawab firman  Allah. “Pembentukan suatu konfessi sangat diperlukan untuk menguatkan iman kita dan merupakan pegangan untuk melawan bidat-bidat. Oleh karena itu, gereja tidak boleh berhenti dan terikat kepada konfessi-konfessi yang lama, tetapi konfessi harus dipertimbangkan dan diperbaharui setiap jaman. Demikian pengakuan iman harus dikaji ulang dan diperbaharui dari masa ke masa (lih, J.A. Scherer, dalam J.R. Hutauruk(ed): Konferensi Teologia…hl. 14). Dari ungkapan ini dapat diartikan bahwa gereja perlu menginterpretasi ulang jawabanya akan firman Allah dan dalam menuangkan hasil interpretasi ulang inilah lahir konfessi 1996. Melalu katapengantar (hata huhuasi) konsep konfessi ini Ephorus HKBP memaparkan: “na mangalangka do hurianta mamongoti jaman na hatop muba-uba, na digoari era globalisasi. Hombar tu perkembangan ni partingkian dohot hamajuon na binoan ni IPTEK,  maruba do nang angka tantangan dohot mara na boi tohap tu huria i, porlu ma adong Panindangion Haporseaon na mura antusanta dohot antusan ni na humaliang hita”(lih. Konfessi HKBP tahun 1996). Pernyataan ini sangat menjelaskan latarbelakang proses dirumuskannya konfessi 1996 yakni: kemajuan jaman yang disebuts ebagai era globalisasi dan Iptek Senada dengan pemaparan uraian di atas, Ketua Rapat Pendeta HKBP juga mengatakan: “nungnga dapot muse sada tingki di ngolu ni HKBP  laho padasiphon rumang ni konfessina i asa talup pangkeon maml;ous partingkian na mubaubai, tingki na tatanda nuaeng songon era Globalisasi, sada tingki naung manesa angka batas-batas parbangsoon na adongi, laos songon I nang batas-batas ni angka kebudayaan i. Apala di tingki na songon ima dipatuduhon HKBP sada rumang na imbartu di konfessi HKBP” (lih. Konfessi HKBP 1996, hl. 5-6). Jadi latarbelakang yang sangat jelas mempengaruhi dirumuskannya konfessi HKBP  1967 adalah “era globalisasi dan perubahan yang serba cepat”. Untuk merealisasikan tujuan inilah HKBP menjalani proses pembentukan konfessi ini, yakni Sinode Godang HKBP ke-49 tahun 1988, menetapkan pembentukan komisi konfessi HKBP. Komisi Inilah yang bekerja, setelah mengalami proses panjang hingga terbentuknya konfessi yang disyahkan pada sinode Godang HKBP tahun 1996.

Dari sudut gambaran umum, konfessi 1996 dikelompokkan sesuai dengan isinya pada tujuh bagian, yakni:
a. Fsl 1-2 : Teologi
b. Fsl 3-5 :  Manusia dengan lingkungan
c. Fsl 6-10 : Tentang keselamatan
d. Fsl 11-15 : Tentang Etika
g.    Fsl 16 : tentang eskatologi
h.    Fsl 17 : tentang Malaikat.

10.    Perbandingan Keduanya. Dalam kata pengantar konfessi 1996 (lih. hl. 9), dipaparkan: ”konfessi HKBP 1996 ini bukanlah merevisi konfessi HKBP 1951. Suatu konfessi tidaklah bisa direvisi, karena konfessi merupakan dokumen sejarah dan juga dokumen orang-orang beriman. Itulah sebabnya judul konfessi ini bernama: Panindangion Haporseaon HKBP 1996. Konfessi ini bukanlah juga namanya sebagai Konfessi Jilid II, artinya konfessi ini berlaku bagi HKBP hanya dewasa ini”. Merupjuk pada pemaparan di atas, kalau bukan merevisi berarti  kedua konfessi itu “secara substansi” adalah sama. Berarti kehadiran konfessi 1996, bukanlah membatalkan konfessi 1951, tetapi keduanya saling melengkapi. Sejajar dengan ini, kata pengantar konfessi 1996 menyebutkan: “marojahan tupangantusion na sisongon ima dipabangkit hurianta do team laho manusun panindangion haporseaon na imbaru “songon udut” ni Panindangion Haporseaon naung adong hian”. Yang menjadi penekanan adalah: “songon udut ni”, istilah ini dapat berarti: kesinambungan. Konfessi 1951 disempurnakan sesuai dengan perkembangan atau perubahan jaman. Juga dengan kata: “laho padasiphon rumang ni konfessi na”. Padasiphon berarti: “menyesuaikan” artinya disesuaikan dengan perkembangan jaman. Dari sudut perbedaan, secara substansial konfessi 1951 dan konfessi 1996 adalah sama, namun yang  pasti pada konfessi 1996 muncul hal yang baru. Yang sekaligus sebagai identifikasi bahwa di dalam keduanya ada perbedaan.

Perbedaan keduanya dapat dikategorikan dalam dua hal, yakni:
a. Penambahan dan penyempurnaan rumusan. Sepintas perbedaan dalam kategori ini hanya masalah redaksi, tetapi sebenarnya lebih jauh dari itu, yakni masalah isi, kata-katanya diredaksi kembali agar isinya sesuai dengan tuntutan jaman.
b. Penyesuaian. Perbedaan dalam kategori ini adlaah dengan jalan membuang fasal yang tidak relevan lagi agar secara keseluruhan konfessi sesuai dengan tuntutan jaman.
c.  Perumusan baru. Perbedaan dalam kategori ini adalah menambah isi dalam fasal baru yang sesuai dengan tuntutan jaman.

Dalam usaha memberi masukan terhadap konfessi HBP, F.H. Sianipar mengusulkan (lih. F.H. Sianipar, Suati Problema … hl. 22-23) : “seharusnya ada suatu bab tersendiri tentangmanusia, sebagaimana ada bab khusus tentang Allah. Dalam perkembangan kemajuan  manusia dewasaini, pandangan tentang apa da siapa manusia semakin memiliki corak dan ragamnya”. Demikian dalam bimbingan loka karya konfessi yang dilakukan STT-HKBP, Nababan mengusulkan: “pentingnya perumusan baru, umpamanya sikap terhadap adat dan budaya, sikap terhadap pembangunan dan tentang pernikahan dan keluarga”. Bila dibandingkan pendahuluan kedua konfessi ini maka akan nampak bahwa pergumulan mendasar munculnya konfessi 1951 yaitu: tantangan dari pengaruh sekte-sekte tidak ada lagi pada pendahuluan konfessi 1996. Ini dapat dipahami bahwapada maa tahun-tahun ini (dasawarsa 1990 ke depan) antisipasi gereja bukan lagi terfokus kepada masalah pengaruh sekte-sekte, tetapi yangpaling mendasar adalah “dialog antar umat beragama”. Tidak masanya lagi saling menyerang dan saling bermusuhan bagi ahama-agama, demikian halnya dengan gereja dlaam persekutuan oikumenis. Melainkan membuka jalan yang selebar-lebarnya bagi dialog dan kerjasama demi kesejahteraan dan kerukunan bersama. Pernyataan ini sejalan dengan ungkapan Hans Kung, “pada masa kini, tidak ada lagi usaha dari suatu agama untuk menyingkirkan agama-agama lain dengan strategi ang agressif dan tidak ada lagi arogansi dan kemenangan yang menguasai dari suatu agama atas agama lain. Yang ada ialah, terwujudnya kehidupan yang saling berdampingan dan beriringan penuh rasa saling menghormati dalam dialog dan kerjasama” (lih. Pusat Literatur Euanggelion, Tantangan Gereja di Indonesia, hl. 127-128).

11.  Sebuah analisis terhadap keduanya. Samapi tahun 1996, HKBP telah melampaui tiga jaman peradaban manusia, yaitu jaman/era tradisionil, era industrianliasasi dan era informasi/komunikasi. Dua aera yang sangat menantang pelayanan HKBP adalah era industrialisasi dan era informasi yang disebut sebagai era globalisasi. Jaman ini adalah jaman ilmu pengetahuan dan teknologi canggih.

Berhubung dengan ini, setidaknya ada enam tantangan yang harus di hadapi oleh gereja dalam pelayanannya rterhadap jaman ini. Ke enam tantangan itu adalah:
a.   Masalah hak azasi manusia yang merupakan masalah yang rawan di dunia ini.
b.  Masalah perlombaan senjarta khususnya nuklir.
c.  Masalah jurang antara si kaya dan si miskin.
d.  Masalah energi dan lingkungan hidup.
e.   Masalah teknologi baru/tinggi yang menimbulkan dampak-dampak yang luar biasa.
f.    Masalah kekuasaan dan demokrasi. 

Secara negatif dampak dari semua tantangan ini yang timbul dari jaman moderniasasi dan globalisasi adalah:
a.  Hadirnya robot yang menggantikan peranan manusia (bidang social).
b.  Penyalahgunaan nuklir
c. Inovasi budaya asing yang negatif, yang dapat merusak kebudayaan pribumi (bidang kebudayaan).
d. Mesin dapat mengganti tenaga manusia dan ini menciptakan pengangguran (unemployment-bidang ekonomi).

Terhadap berbagai tantangan di atas, merujuk pada isi konfessi HKBP 1996, yakni fsl 3: tentang manusia, fsl 4: tentang masyarakat dan fsl 5: tentang kebudayaan dan lingkungan hidup, masing-masing fsl ini dapat anda baca dan hafalkan sebagai jawaban kongkrit gereja terhadap ragam tantang seperti disebutkan di atas. Terhadap konfessi HKBP dalam menghadapi tantangan berbagai sekte, dapat dikatakan bahwa: jaman sekarang ini dikenal sebagai jaman berlangsungnya tantangan pelayanan gereja yang berasal dari gerakan pentakoste baru (kharismatik). Ciri gerakan ini memasuki suatu gereja yang mapan melalui menanamkan ajarannya. Mereka menanamkan glosolalia yaitu gerakan pelayanan dengan bahasa roh dan kebangunan rohani. Akan tetapi pada awalnya system pelayanan mereka menghindari bentuk organisasi formal tetapi akhirnya system organisas formal  sangat mengikat mereka dan sangat dipentingklan. Dengan demikian, gerakan ini menantang dan mengganggu bagi gaerakan pelayanan gereja mapan. Tantangan inisangat dirasakan oleh HKBP dalam penayannya, dengan banyaknya anggota jemaatnya sekranfg “jajan” dari pelaytanan gerakan ini. Artinya, keanggotaan jemaat tetap[ ada di HKBP tetapi masihmengikuti kebanktian kebangunan rohani yang dilayani oleh sekte ini dan banyak sekte yangs ejenisnya.

Melalui keadaan ini,  jalan keluar yang bisa ditemukan dari isi uraian konfessi adalah:
a.   Konfessi 1951 cukup relevan menjawab tantangan dalam “penetuan sikap” dimana padapendahuluannya sangat jelas hal ini dipaparkan.
b.   Jawaban teologis yang diberikan oleh konfessi HKBP 1996, di mana perumusan ulang fsl 1 tentang Allah Bapa dengan menjelaskan sejelas mungkin tentang Trinitas memberikan jawaban dogmatis. Dalam hal ini, Kritologis dan Pneumatologis ditekankan. 

12.   Kesimpulan sub bab ini. Dapat dikatakan bahwa:
a.  Konfessi adalah jawaban gereja dalam dua hal yakni: jawaban terhadap firman Allah dan jawaban terhadap manusia dan jamannya. Jawaban ini harus diberikan sebab telah merupakan tuntutan eksistensial. Oleh karnea itu, gereja harus memiliki konfessi, entah itu konfessi tua yang ditambah dengan konfessi sendiri yang kontekstual dan tekstual.
b.  HKBP dalam perjalanan sejarahnya telah memiliki dua konfessi. Dengan dua konfessi ini HKBP dapat berteologi secara kontekstual dogmatis dan misiologis serta apologetis.
c.  Konfessi HKBP 1951, lahir dengan latarbelakang yakni: untuk menjawab firman Allah dan untuk menjawab tantangan dunia sekitarnya, serta sebagai persyaratan HKBP memasuki anggota lembaga oikumenis LWF.
d. Melalui konfessinya, HKBP mampu menjawab berbagai tantangan, baik tantangan perkembangan jaman maupun tantangan sekte-sekte.









KEPEMIMPINAN PENDETA
BATAK DALAM GEREJA

1. Pendahuluan (1-2). Tema ini adalah suatu studi analisis historis praksis terhadap corak (model/gaya) kepemimpinan para Pendeta Batak dalam gereja HKBP selama periode 1940-2004 khususnya dalam mensikapi kekuasaan di dalam dan di luar dirinya. Artinya, tema ini adalah satu usaha yang mencoba untuk memahami secara historis beberapa peristiwa pernah terjadi di HKBP pada umumnya dan pada kepemimpinan para pendeta serta orang Kristen Batak khususnya di dalam gereja. Melalui tema ini akan ditekankan beberapa keadaan yang menyangkut kehidupan gereja HKBP sebagai sebuah lembaga historis, yang bersama dengan lembaga-lembaga historis lainnya (desa/adat, kota, suku bangsa, negara) hidup secara berdampingan. Dalam hidupnya sepanjang sejarah, sebagai sebuah lembaga HKBP harus mempertanggungjawabkan tugas dan panggilannya kepada Tuhan Allah Raja gereja, karena Dialah melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus telah memanggil dan mengutus orang-orang percaya kepadaNya untuk memberitakan Injil kerajaanNya sampai ke Tapanuli di mana tugas ini masih dan sedang menuju kepada kesempurnaannya sampai kedatangan Tuhan Yesus Kristus keduakalinya. Orang Kristen Batak sebagai hasil pemberitaan Injil dari orang-orang yang telah dipilih, dipanggil dan diutus oleh Tuhan Allah melalui Yesus Kristus, mereka telah menghuni wilayah-wilayah yang lebih luas tidak hanya di wilayah negara Indonesia bahkan telah menghuni hingga belahan yang lebih luas dari bumi ini. Sudah merupakan hal yang pasti bahwa HKBP sebagai sebuah lembaga gereja, ia hidup bersama dengan lembaga-lembaga historis lainnya seperti lembaga desa, kota, negara dan lain-lain, bukan terisolasi atau terasing. Dengan demikian mau tidak mau, HKBP harus hidup berdampingan, berinteraksi, berselisih, bertengkar bahkan saling bermusuhan dalam merealisasikan kekuasaan yang masing-masing mereka menganggap, itu adalah milik dan wewenangnya.

2. Fokus perhatian tema ini saya mengarahkannya pada bentuk-bentuk hubungan gereja HKBP sebagai lembaga ketika ia berhadapan dengan lembaga negara dan lembaga masyarakat lainnya. Dalam hal ini, HKBP harus mempertanggungjawabkan kehadirannya, khususnya kepemimpinannya kepada Tuhan yang adalah kepala gereja itu: saat ia bertemu, saling berangkulan, kemudian saling bermusuhan dengan lembaga negara, adat, dan lembaga masyarakat lainnya yang berkuasa di dunia ini. Dalam hal ini, ilmu sejarah gereja hendak menolong orang Kristen Batak umumnya dan warga HKBP khususnya untuk mempertanggungjawabkan masa lampau gereja melalui penelitian terhadap akar-akar imannya serta tradisi-tradisi yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu tema ini difokuskan pada perhatian: bagaimana gereja HKBP yang melalui kepemimpinan para pendeta dan orang Kristen Batak dapat menjalankan kepemimpinannya sepanjang sejarahnya saat ia bertemu dengan lembaga negara dan lembaga masyarakat lainnya di Tapanuli-Sumatera Utara khususnya serta di Indonesia umumnya.  Mungkin focus diskusi kita akan dapat meliput: “kisah tentang pergumulan antara Injil dengan bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan Injil itu” (Th. Van den End, 1986, hl.7). Artinya, kita akan akan memfokuskan diri terhadap bagaimana Gereja HKBP mampu menempatkan dirinya di tengah kehadiran dan tuntutan lembaga negara Indonesia sehingga HKBP dapat melakukan tugas pemberitaan firman Allah tanpa menolak kehadiran Tuhan Allah sebagai Raja, sebagai pemimpin dunia ini sebagaimana disaksikan oleh orang-orang percaya kepadaNya (misalnya kesaksian Paulus di Efesus Ef. 1:19-13). 

3.  Pengalaman Awal HKBP (3-4). Melalui uraian dua poin di atas, diskusi ini akan mengawali tugasnya dari periode tahun 1940.  Penentuan sikap ini sangat didasarkan pada alasan bahwa sejak disyahkannya gereja Batak tahun 1930 memiliki badan hukum sendiri (lih. Paul B.Pedersen, 1975, hl. 78), keadaan ini sebenarnya telah mengindikasikan status Gereja Batak (HKBP) sebagai sebuah Gereja yang “mandiri”. Jika sampai tahun 940 gereja Batak masih dipimpin oleh J. Warneck, ada kesan nampaknya para misionaris Eropa (RMG) masih memperlambat realisasi kemandirian pendeta Batak (bumiputera) untuk memimpin Gereja hingga tahun 1940 (Andar Lumban Tobing, 1996, hl. 146-147). Berhubung dengan hikmat ini, dapat dikatakan bahwa masa periode tahun 1930-1940 merupakan periode yang sangat menentukan bagi para pendeta Batak untuk menegaskan sikapnya terhadap kepemimpinannya dalam Gereja. Akhirnya, ketika ketegangan politik dunia mengalami puncak krisisnya pada  tanggal 10 Mei 1940, segera Gereja Batak sepenuhnya sudah diasuh (dipimpin) oleh para pendeta (pelayan-pelayan) Batak sendiri. Ada dua ketegangan politik dunia berlangsung dan sangat mewarnai/mempengaruhi kepemimpinan pendeta Batak dalam Gereja ketika itu. Dua keadaan itu adalah (J.R. Hutauruk, 1993, hl. 185): pertama, berlangsungnya pendudukan Jerman terhadap Belanda (Nederland) bulan Mei 1940 di mana pendudukan ini mempengaruhi berakhirnya pekerjaan RMG (Rheinischen Missions Gesellschaft- Jerman) di Sumatera Utara sebab hingga tahun ini Belanda masih berkuasa di Indonesia. Kedua, berkuasanya Jepang (Maret 1942) di Indonesia menggantikan pendudukan Belanda. Pendudukan Jepang ini menandai berakhirnya kegiatan lembaga BNZ (Batak Nias Zending) yang sebelumnya dibentuk Belanda di Tapanuli menggantikan pekerjaan misi RMG. Di tengah keadaan ini, perselisihan sengit antara orang Kristen Batak dengan pemerintah kolonial Belanda berlangsung. Perselisihan  ini secara langsung mempengaruhi orang Kristen Batak mendapatkan kesadaran teologis dan politisnya di dalam Gereja dan Negara. Bila di satu pihak pemerintah kolonial Belanda menangkap, mengusir serta mengungsikan semua orang Jerman dari Tapanuli (Indonesia) terutama para zendeling utusan RMG.  Di pihak lain pengusiran ini memaksa sikap para pendeta dan orang Kristen Batak lainnya memikirkan masalah kesinambungan dan kepemimpinan HKBP. Artinya, pendeta Batak (orang Kristen lainnya) harus menduduki jabatan-jabatan tertinggi di dalam gereja dan di semua unit/bidang pelayanan lainnya (misalnya pendidikan dan kesehatan) dan pendeta Batak bersedia untuk menerima tanggungjawab itu.  Untuk mengatasi masa transisi ini, awalnya pemerintah kolonial Belanda tidak bermaksud hendak memimpin dan mengurus kepemimpinan HKBP secara langsung, namun mereka hendak mengurus lembaga-lembaga yang didirikan atas nama RMG. Pertimbangan inilah yang mendorong pemerintah kolonial Belanda mendirikan BNZ bulan Mei 1940 sekaligus yang mempengaruhi berlangsungnya Sinode Godang HKBP (istimewa) tanggal 10-11 Juli 1940. Inti pokok persoalan yang sangat penting dijelaskan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda kepada para utusan pendeta dan orang Kristen Batak lainnya melalui Sinode Godang itu: “bagaimana hakekat menyeluruh hubungan BNZ dengan HKBP dengan segala untung ruginya bagi HKBP”. Melalui dasar tuntutan ini, sebenarnya nampak sikap kritis para pendeta Batak terhadap pemerintah kolonial Belanda, secara khusus terhadap masalah kepemimpinan dalam Gereja. Para pendeta Batak terus memperjuangkan tuntutan: “untuk seterusnya kepemimpinan dan soal pengurusan HKBP di berbagai unit pelayanannya harus dipegang oleh orang-orang Batak”. Bagi para pendeta Batak, tuntutan inilah yang menjadi tujuan utama pelaksanaan pemilihan ketua HKBP dalam Sinode itu. Bila hingga berlangsungnya Sinode ini, kepemimpinan tertinggi di HKBP masih dipegang oleh H.F. de Kleine (seorang zendeling RMG berkebangsaan Belanda-dua orang lainnya dengan latarbelakang yang sama masih tinggal di HKBP yakni J. Karelse dan D. Rijkhoek), de Kleine setelah meletakkan jabatannya saat Sinode itu berlangsung, melalui proses rapat yang sangat alot akhirnya Pdt. K. Sirait kemudian terpilih menjadi Ephorus pertama dari pendeta Batak memimpin HKBP. Seperti dikatakan oleh J.R. Hutauruk (Kemandirian Gereja, hl. 194), tahun 1940 merupakan saat menentukan bagi Gereja Batak merampungkan langkah pertama yang menuju kemandiriannya yang sepenuhnya. Sama halnya dengan pernyataan para utusan RMG ketika Sinode itu belangsung mengatakan: “biarlah HKBP puas, karena di Tanah Batak pekerjaan misi boleh dikatakan sudah seluruhnya berada di tangan putra-putra suku Batak”.

4.  Setelah Pdt. K. Sirait terpilih menjadi Ephorus, hingga tahun 1942 agaknya para utusan zendeling Belanda (misalnya S.C. Van Randwicjk) masih berusaha menduduki jabatan tertinggi ini. Bersama pemerintah kolonial Belanda, utusan Zendeling ini masih mencari akal agar menjatuhkan “kepemimpinan yang salah” oleh Pdt. K. Sirait dengan jalan merusak wibawa kepemimpinannya di lingkungan orang Kristen Batak. Boleh dikatakan bahwa usaha ini hampir berhasil, sebab tahun 1942 perpecahan hampir terjadi di tubuh HKBP. Pada masanya, utusan zendeling Belanda sangat memahami bahwa pola gerakan kemerdekaan gerejawi di kalangan orang Batak sangat kuat berlangsung melalui garis kesukuan dan bahasa. Hal ini sudah dibuktikan  oleh Sinode Godang istimewa 1940, di mana oleh pengaruh/desakan para zendeling Belanda, Sinode sepakat akan membentuk distrik Simalungun dan menempatkan utusan zendeling Belanda bernama Muylwijk menjadi praeses di sana. Demikian kasusnya dengan orang Batak Angkola di Tapanuli Selatan, para utusan zending Belanda berhasil menghasut mereka agar menunut otonomi distrik gereja Angkola. Terlepas dari perkembangan gereja selanjutnya, melalui usaha-usaha ini para zendeling Belanda sebenarnya mengharapkan dapat menjalankan gagasan mereka sendiri mengenai struktur gereja melalui memegang jabatan tertinggi di HKBP. Untuk tujuan ini, para zendeling Belanda terus berupaya merebut puncak kekuasaan HKBP bahkan untuk tujuan ini mereka meminta bantuan pemerintahan kolonial. Terhadap hubungannya dengan masalah kepemimpinan ini di gereja HKBP dalam sejarah (J.R. Hutauruk, 1993. hl. 207) dapat disimpulkan bahwa ternyata: “baik adat Toba, Simalungun, juga Angkola ini tidak boleh menjadi kaidah mutlak terhadap masalah praksisnya kemimpinan gereja HKBP”. Pernyataan ini dipertegas lagi oleh Andar Lumban Tobing melalui penelitiannya (Andar Tobing, 1996) mengatakan bahwa unsur: “Dalihan Na Tolu” sangat tidak mengorientasikan makna kepemimpinan bagi gereja Batak. Unsur ini mengorientasikan kehidupan bersosialisasi, posisi dan fungsi, kewajiban serta hak orang Batak sebagai: “hula-hula, dongan tubu dan boru”.  Ternyata karakter ini mewaris hingga ke masa akhir pimpinan HKBP periode 1968-1974. Dikatakan demikian sebab melalui SG 1974, keadaan HKBP digambarkan sedang menghadapi angin puting beliung. Persoalan utama terletak pada laporan DKU (Dewan Keuangan Umum) HKBP terhadap penyaluran dana CORIA (Committee on Reconstruction Interchurch Aid of HKBP). Badan ini adalah badan kerjasama VEM (Verenigte Evangelische Mission) dengan LWF (Lutheran World Federation) yang menyalurkan dana bantuan untuk pembangunan HKBP baik fisik dan non fisik. Ephorus HKBP yang dianggap sebagai paling bertanggungjawab terhadap penyaluran bantuan ini, mosi tidak percaya akhirnya melahirkan berbagai kelompok yang dilatarbelakangi oleh emosi cultural (perpecahan di kalangan orang Batak berdasarkan enografi atau daerah marga-marga tertentu – luatisme) Batak.

5. Masa Pendudukan Jepang dan Gerakan Kemerdekaan Indonesia (5-6). Setelah gereja sepenuhnya dipimpin para pendeta Batak, bulan Maret 1942 tahun ini merupakan  babak baru terhadap warna sekaligus tantangan kepemimpinan pendeta Batak di HKBP. Sebab tahun ini merupakan saat datangnya orang Jepang yang sekaligus mengakhiri zaman zending Eropa di Indonesia. Untuk kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang khusus di Tapanuli yang segera mengambil alih kekuasaan pemerintahan Belanda, secepatnya gereja diingatkan untuk tidak mencampuri urusan politik Jepang yang dianggap mengurangi kekuasaan mereka di Tapanuli. Untuk maksud ini Jepang menciptakan kerenggangan hubungan gereja dengan sekolah, rumah sakit, pemuda Kristen Batak, pendeta, dan penghasilan masyarakat dirampas.  Paul. B. Pedersen (P.B. Pedersen, 1975, hl. 96) mengatakan bahwa, “sejak masuknya agama Kristen di Tapanuli orang-orang Kristen Batak telah mewarisi banyak tanggungjawab dalam soal kepemimpinan di tanah Batak”. Sesuai dengan pengamatannya, Pedersen menemukan hikmat bahwa sesuai dengan pengalaman para misionaris Eropa di gereja Batak, bagi mereka adalah seringkali merasakan lebih mudah melayani orang Batak daripada berbagi dengan mereka kekuasaannya membuat keputusan. Adalah masa sulitnya bagi masyarakat dan gereja saat pendudukan Jepang berlangsung di Tapanuli. Namun di tengah keadaan itu, kepemimpinan Dr. J. Sihombing  merupakan contoh kepemimpinan yang berani dan modern. Dr. J. Sihombing terpilih sebagai Voorzitter (Ephorus) di HKBP yang kepemimpinannya di HKBP selama 20 tahun (1942-1962) ia telah menunjukkan kepemimpinan yang khusus dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara golongan-golongan yang berlainan. Selama masa-masa sulit dilalui (masa perang dan revolusi) semua kebijaksanaan yang dibawakannya seakan merupakan dongeng bagi orang Kristen Batak sekarang. Pernyataan ini didukung oleh J.R. Hutauruk  (Lih. Jubileum 125 Tahun HKBP, hl. 88) mengatakan: “dalam masa 50 tahun pelayanan Ephorus Dr. J. Sihombing sebagai Guru, Pendeta, Praeses, anggota Majelis Pusat dan Ephorus pelayanannya telah memberi corak kepemimpinan tertentu dalam sejarah HKBP”. Seterusnya menurut Hutauruk, dalam kepemimpinannya sebagai Ephorus, Pdt. Dr. J. Sihombing sadar akan pergantian jaman yang baginya sulit untuk memamfaatkannya buat pembangunan HKBP”. Implikasi dua penilaian ini (Pedersen dan Hutauruk) bagi corak kepemimpinan HKBP ke depan, tentunya gereja harus terus menerus mendapat kemajuan yang sangat menonjol lepas dari campur tangan kepemimpinan orang dan pihak asing (misionaris) dalam gereja.

6. Bila semakin dicermati lebih dalam sampai tahun 1950, nampaknya corak praksis kepemimpinan HKBP sangat dipengaruhi oleh berlangsungnya perubahan-perubahan (silih-bergantinya) keadaan politik dunia. Dari penguasaan Belanda ke Jepang, kemudian berlangsungnya revolusi sosial di Tapanuli hingga ke Simalungun selanjutnya oleh penguasaan militer Belanda (Agressi I-II, 1947-1949), semuanya memunculkan kesadaran khususnya bagi diri pimpinan HKBP untuk menyelamatkan warga/jemaatnya dari kehancuran pelayanannya di berbagai bidang (pendidikan dan kesehatan) termasuk pelayanan bidang kerohanian (Hutauruk, Jubileum 125 tahun HKBP, hl. 47). Untuk keadaan ini, Hutauruk (Kemandirian Gereja, hl. 221) memberi penilaian bahwa bila kemerdekaan Indonesia di bidang politis sebagai syarat kemandirian ekonomis terhadap kuasa-kuasa kolonial, maka dapat dikatakan bahwa kemandirian HKBP secara organisatoris dapat dinilai sebagai syarat sekaligus sebagai tantangan bagi pimpinan HKBP untuk pembebasan orang Kristen Batak dan gerejanya, dari pada agama Kristen yang ditentukan oleh sikap Eropa sentris. Walau orang Kristen Batak tidak memahami makna sesungguhnya dari kesadaran ini, namun (nyatanya) pergantian-pergantian kekuasaan yang mempengaruhi HKBP, pergantian-pergantian itu tidak disertai dengan perubahan dalam hal paham orang Kristen Batak tentang diri mereka sendiri.

7. Masalah Kepemimpinan HKBP Terhadap Hubungannya Dengan Kesadaran Politik Dan Hubungan Oikumenis (7-8). Sebenarnya dapat dikatakan bahwa kemerdekaan gereja Batak adalah sebagai hasil dari gerakan pengembangan kesadaran politik yang menghendaki kebebasan nasional dari pengaruh dan kuasa orang lain. Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya (1945), partai-partai politik banyak bermunculan di mana-mana. Situasi ini merupakan fenomena yang berhubungan langsung dengan perkembangan dan kepemimpinan gereja. Hubungannya fenomena ini nampak jelas pada menguatnya perjuangan jemaat terhadap dua hal di dalam gereja, yakni (Andar Lumbantobing, hl. 101): menguatnya perjuangan terhadap kepentingan lokal jemaat daripada memikirkan kepentingan gereja HKBP pada umumnya. Kedua, menguatnya pandangan sebagian besar orang Kristen Batak mempersamakan demokrasi di negara dengan asas presbyterial-synodal di gereja. Pada akhirnya, mungkin Tata Gereja 1950 dirumuskan karena pengaruh paham demokrasi ini menurut asas presbyterial synodal walau keputusan tertinggi di tingkat “pimpinan pusat” didasarkan pada watak episkopal. Melalui TG 1950 inilah pertama sekali HKBP menggandengkan jabatan “Sekretaris Jenderal” bersama dengan Ephorus menjadi ketua dan wakil ketua pada Synode Godang-nya sekaligus sebagai ketua dan wakil ketua pada majelis pimpinan pusat gereja. Bila tugas utama keduanya menurut TG 1950: “merekalah yang menetapkan cara kerja untuk semua pejabat HKBP dan memutuskan segala persoalan yang diajukan kepada pimpinan gereja setelah mendengar pendapat para praeses dan anggota-anggota majelis pusat”. Uraian tugas ini jelas memberi pengertian bahwa kepada Ephorus dan Sekretaris dipercayakan hak dan kekuasaan yang sangat besar soal-soal kepemimpinan. Bila pola ini dicermati dalam hubungannya terhadap TG 2002 yang menghasilkan bentuk kepemimpinan gereja hasil Sinode 2004, maka munculnya tiga jabatan lain yang setara kekuasaannya dengan Sekretaris Jenderal: maka hikmat yang dapat dipetik melalui TG 1950, TG ini jelas sebagai satu jalan keluar yang sangat baik terhadap peristiwa jaman yang mempengaruhi gereja. Alasannya adalah bahwa bahaya “demokratisme” perlu dihambat/cegah agar tidak terlalu jauh berpengaruh memasuki peraturan gereja. Sama halnya terhadap konstitusi negara Indonesia (kelima sila Pancasila) khususnya sila pertama dari lima sila Pancasila itu. Uraian sila pertama ini telah membimbing kesadaran politik HKBP hinga ke masa selanjutnya. Artinya, bila Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa  disebut dalam konfessi HKBP 1951, sila ini ditafsirkan HKBP dalam makna bahwa kebebasan beragama di Indonesia dijamin. Ketika itu pimpinan HKBP sadar akan keadaan bahaya: “jika nasionalisme menjadi suatu agama, bagaimana pun juga gereja harus melakukan tugas kenabiannya”. Sampai tahun 1956 di bawah kepemimpinan Pdt. J. Sihombing, HKBP mengutuk komunisme dan kapitalisme sebagai: “anak-anak setan materialisme”. Dengan menolak bahaya komunisme, gereja menegaskan sikapnya bahwa tidak ada keselamatan kecuali hanya melalui Kristus.

8. Terhadap hubungannya dengan persekutuan Oikumenis Gereja sedunia dan nasional Indonesia, nampaknya kepemimpinan para pendeta Batak sangat menetapkan identitas teologisnya secara tegas. Sikap ini nampak pada dua peristiwa, yakni: pertama, munculnya ide awal akan pembentukan Dewan Gereja di Indonesia (DGI) tahun 1950. Kedua, persiapan masuknya HKBP menjadi anggota Lutheran World Federation (LWF) tahun 1952. Paul B. Pedersen (Darah Batak Dan Jiwa Protestan, hl. 159) mengatakan bahwa terhadap kasus pertama, pengaruh HKBP nampak lebih besar sebagai anggota DGI daripada jika HKBP menjadi anggota dari suatu gereja yang disatukan. Artinya tanpa dukungan HKBP, rencana-rencana DGI untuk peleburan agaknya tidak berhasil. Terhadap kasus kedua, HKBP melalui Sinode Godang 1949 memutuskan: “satorang-torangna jala sabagas-bagas na do patedehon utusan ni rapot India i, dogma kultus (ruhut parduru) dohot organisasi ni HKBP tu LWF. Molo boi do masuk HKBP tu LWF di na songon i dogma, kultus dohot organisasi ni HKBP”. Artinya, HKBP ingin masuk menjadi anggota LWF namun keberadaan HKBP dengan segala ciri khasnya tidak boleh diganggu. Hal ini ditekankan sehubungan dengan persyaratan konfesional yang dituntut LWF. Dan untuk tujuan ini (memenuhi syarat LWF) HKBP melalui Sinode Godang 1950 membentuk team konfessi, dan dalam Sinode Godang 1951 hasil team ini disyahkan. Yang hendak ditekankan melalui pernyataan ini terhadap masalah kepemimpinan gereja bahwa terlepas dari keinginan HKBP menjadi anggota LWF juga usaha HKBP menjawab tantangan sekitar/jamannya, namun melalui Konfessi 1951, HKBP ingin: “memperkenalkan dirinya sebagaimana ia telah ditempa oleh penghayatannya akan  firman Allah sejak firman itu diberitakan dan diterima oleh orang Kristen Batak” (Lih. Notulen SG, 1950-1951, hl. 39 + 6-7).

9. Penyakit perselisihan (9-11). Dr. Justin Sihombing (kotbah pengkuhkan Ephorus baru Ds. T.S. Sihombing tanggal 7 Oktober 1962 di Gereja HKBP Pearaja) telah membayangkan warna pasti kepemimpinan HKBP berlangsung masa awal (penulis: bahkan hingga pertengahan) abad ke-2 sejarah HKBP. Untuk itu, Dr. Justin Sihombing mengharapkan: “setiap pelayanan dan kepemimpinan Ephorus hendaknya menerima dari Tuhan roh keberanian, roh kasih dan roh pengendalian diri”. Sejak dari awal Ds. T.S. Sihombing memegang kepemimpinan HKBP (J.R. Hutauruk, Jubileum 125 Tahun) telah ada kesadaran bahwa tidaklah mudah bagi setiap Ephorus HKBP yang baru untuk melanjutkan pola kepemimpinan yang terdahulu dan memang tidak mungkin, sebab perkembangan HKBP sangat membutuhkan pola-pola kepemimpinan yang baru pula. Pola-pola kepemimpinan ini sangat berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang terpendam dalam gaya hidup orang Kristen Batak (warga HKBP). Dalam konteks inilah peristiwa HKBP tahun 1962 digambarkan sebagai situasi, ibarat laksana bumi yang ditutup oleh awan tebal menghitam yang segera akan ditimpa oleh hujan deras dan badai. Bila tahun 1940 merupakan saat yang menentukan bagi gereja Batak (HKBP) merampungkan langkah pertamanya menuju kemandirian (kepemimpinannya) yang sepenuhnya (lih. Poin 3 di atas), hingga masa akhir kepemimpinan Dr. J. Sihombing (1962) gereja HKBP masih belum mewarnai sejarahnya dengan konflik intern terhadap soal pergantian jabatan Ephorus dan Sekretaris Jenderal. Dan bila tahun 1942, para utusan zendeling Belanda masih berusaha menduduki/merebut jabatan tertinggi di dalam gereja, melaluinya mereka masih mengharapkan dapat menjalankan gagasan mereka sendiri mengenai struktur dalam gereja (lih. Poin 4 di atas). Dari hikmat ini dapat disimpulkan bahwa seteru konflik pendeta Batak terhadap kekuasaan adalah para pendeta di luar orang Batak sendiri. Ada indikasi nampaknya perseteruan dan konflik awal di kalangan para pendeta serta orang Kristen Batak tentang kekuasaan gereja, ini sangat dipengaruhi oleh rumusan TG 1962-1972 (konseptor utamanya ialah Sekretaris Jenderal HKBP Ds. T.S. Sihombing) yang faktanya TG ini adalah “hasil konsep dan rumusan pertama pendeta Batak itu sendiri”.  Sampai tahun 1962, HKBP masih memakai TG 1920-1932 yang diperpanjang masa berlakunya walau kemudian  menyebutnya sebagai TG 1940-1950 dan seterusnya berlaku sampai tahun 1962. TG 1920-1932 ini adalah warisan dan rumusan dari Ephorus HKBP Dr. Johannes Warneck (1920-1932) yang di dalamnya ia melibatkan partisipasi maksimal warga jemaat untuk ikut mengurus urusan jemaat lokal dan gereja HKBP pada umumnya. Jika awalnya peran warga jemaat ini berlangsung baik, hingga tahun 1950 nampak pergeseran pemahaman mereka terhadap partisipasi ini menjadi: “mengutamakan fungsinya sebagai pelayanan menyeluruh” (penulis: termasuk mengatur bahkan kuasa yang paling menentukan terhadap  mutasi pendeta). Dikatakan berlangsung baik sebab Johannes Warneck menetapkan persyaratannya: mereka adalah tokoh masyarakat yang wibawa, pengaruh, kejujuran serta kesalehan mereka menentukan di tengah masyarakat. Nama resmi bagi peran warga jemaat ini terhadap soal pengelolaan gereja oleh Warneck menyebutnya sebagai: “Kerkbestur” yang kemudian diartikan sebagai “Majelis Pusat HKBP”. Tugas khusus mereka dalam gereja menurut TG 1930 adalah: “mengatur soal-soal keuangan dan harta jemaat dan mengatur soal-soal kerukunan anggota jemaat dalam bidang kerohanian”. Sebagai acuan penyelenggaraan SG HKBP 1962, TG 1962-1972 (TG ini ditetapkan pada bulan Juni 1962) merubah dan mengurangi di sana-sini peran kasbestur dan penatua dalam jemaat. Sebagai konseptor utama TG 1962 (entah kebetulan atau tidak) Ds. T.S. Sihombing terpilih menjadi Ephorus HKBP dan Ds. G.H.M.Siahan terpilih menjadi Sekretaris Jenderal memimpin HKBP periode 1962 – 1968. Ketegangan HKBP melalui SG 1962 ternyata tidak berakhir hanya pada saat itu. Sementara ketegangan dalam gereja terus berlanjut, SK mutasi beberapa orang pendeta nyata mempertajam konflik intern dalam gereja. Ketika sebagian besar pedeta yang dimutasikan memilih tidak mentaati SK Ephorus sebagai pimpinan, pemecatan para pendeta (17 Maret 1963) menjadi babak dan warna baru bagi corak kepemimpinan itu. Akibat dari keadaan ini, konflik berkepanjangan terus berlangsung di dalam tubuh HKBP (Darwin Tobing, Biografi Ds. G.H.M. Siahaan).

10.Dapat dikatakan bahwa tahun 1962 juga merupakan corak baru bagi realisasi kepemimpinan pendeta Batak di dalam gereja. Dikatakan demikian, sebab pada tahun ini nampak keterlibatan pihak pemerintah mengurusi soal pengelolaan HKBP sebagai institusi gereja. Konflik internal HKBP tahun 1962 ternyata berdampak langsung ke lembaga pendidikan HKBP. Mengingat lembaga pendidikan HKBP menganyomi kepentingan masyarakat umum, maka pemerintah Sumatera Utara mengambil alih tanggungjawab pelaksanaan pendidikan di Universitas HKBP Nomensen yang didirikanoleh gereja tahun 1954. Sebenarnya pengambil-alihan tanggungjawab pengelolaan ini tidaklah berlangsung lama, sebab  ketika konflik intern HKBP mulai mereda (para pendeta yang menolak SK mutasi  1962, akhirnya mereka sepakat memisah dari HKBP dengan mendirikan gereja yang baru: GKPI dan GKLI) pemerintah mengembalikan pengelolaan dan kepemilikan ini kepada gereja. Hanya, masalah lain yang muncul adalah diperhadapkannya pimpinan HKBP kepada alternatif lain bagi pemecahan soal di dalam gereja dengan apa yang disebut sebagai “jalur hukum”. Artinya ketika para pendeta yang tidak mematuhi SK mutasi sepakat mendirikan gereja baru: soal pemakaian, kepemilikan gedung dan harta benda gereja HKBP di jemaat yang bergejolak, hukum legalistic negara menjadi jalan keluar terhadap pemecahan banyak masalah di gereja-gereja lokal. Terhadap hubungannya dengan penelitian ini, tentu menarik bila diperhatikan jika diperhadapkan ke arah bagaimana soal-soal system dan mekanisme pelayanan serta proses pengambilan keputusan masalah di HKBP dilakukan. Oleh karena itu, sangat tepat ungkapan Ds. G.H.M. Siahaan mengatakan: “adalah tugas utama pucuk pimpinan HKBP untuk menjaga dan memelihara proses pelaksanaan system pelayanan dan mekanisme pengambilan keputusan HKBP secara konsekwen dan konsisten. Bila pimpinan melakukan pelayanan dan pengambilan keputusan di luar system dan mekanisme yang berlaku, sikap ini tentu akan merongrong wibawa pemimpin itu sendiri” (Darwin Tobing, Tegar Dalam Badai, hl. 106). Sesuai dengan ungkapan Ds. G.H.M. Siahaan ini, tentunya merupakan perhatian yang sangat menarik bila diurai secara kronologis dan historis sikap para pendeta dan orang Kristen Batak (lebih khusus sikap Ephorus) menjaga dan memelihara pelaksanaan system pengambilan keputusan di HKBP. Sesuai dengan pengalaman ini, persoalan-persoalan intern HKBP jelas tidak mungkin diselesaikan dengan demonstrasi sebab penyelesaian terhadap masalah intern HKBP hendaknya tidak sebagai pengingkaran terhadap AP HKBP. Artinya setiap tindakan yang tidak sesuai dengan kehidupan bergereja, dengan sendirinya akan menyeret persoalan ke luar dari jalur kehidupan gerejawi yang melaluinya penyelesaian masalah pun akan semakin sulit karena sudah berada di luar kehidupan bergereja. 

11. Setelah Ds. G.H.M Siahan terpilih menjadi Ephorus melalui SG HKBP 1974, tahun 1976 ia menginformasikan kepada sidang SG keadaan kepemimpinan HKBP di aras pusat. Melalui laporan tahunannya (Barita Jujur Taon Ephorus 1976), Ds. G.H.M.Siahaan mengatakan: “ndang hulehon be diringku manguluhon rapot Parhalado Pusat, ia so adong hamubaon huida – saya tidak akan bersedia lagi memimpin Rapat Majelis Pusat, bila tidak ada perubahan saya lihat”.  Pernyataan ini semakin diperjelas oleh pernyataan Siahaan lainnya mengatakan: “…na so sada tondi na manggomgomi ahu dohot Parhalado Pusat-roh yang mendiami saya tidak satu dengan Majelis Pusat” (Darwin Tobing, hl. 127). Melalui ungkapan ini, penyakit perselisihan semakin mewaris/terungkap di HKBP. Bila tidak bersedianya Ds. G.H.M. memimpin rapat Majelis Pusat dan sikap ini didorong oleh dua alasan: pertama, secara organisasi Majelis Pusat merupakan supir ke dua dalam kepemimpinan HKBP, ini berarti banyak rapat dan keputusan Majelis Pusat yang tidak diketahui Ds. G.H.M Siahaan sebagai Ephorus yang menurut para angota Majelis Pusat ketika itu, Ephorus jangan mengacaukan keputusan-keputusan mereka. Kedua, penghayatan iman Ds. G.H.M Siahan memahami tidak berada di dalam satu roh  yang sama (…ndang sa tondi) dengan Majelis Pusat. Pada akhirnya, pernyataan Ds. G.H.M Siahaan ini merangsang munculnya percapakan, diskusi-diskusi serta seminar-seminar di HKBP untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan: “hamaolon-kemelut HKBP dan apa artinya Roh dan pelayanan dalam HKBP”. Jadi dapat dikatakan bahwa uraian ini hendak memaparkan bentuk dan corak kepemimpinan HKBP menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diembankan kepadanya dalam menciptakan suasana yang kondusif bagi pelayanan, ibadah dan persekutuan dengan sesama juga dengan Tuhan ke masa selanjutnya HKBP.

12. Keadaan HKBP Masa Dasawarsa Penutup Abad 20 (12-15). Agaknya tidaklah mudah untuk mewujudkan kuasa kepemimpinan yang ideal dalam gereja HKBP jika cita-cita itu berhubungan dengan permasalahan dan konflik seperti yang dicita-citakan para pemimpin HKBP memasuki dasawarsa penutup abad 20. Masa periode akhir kepemimpinannya sebagai Ephorus, Ds. G.H.M. Siahaan (Darwin Tobing, Tegar Dalam Badai, hl 156) mengatakan bahwa: “…saya tidak akan meninggalkan masalah di HKBP masa akhir periode ini..”. Ini berarti bahwa cita-cita luhur Ds. G.H.M. Siahaan yang terus harus berlangsung dalam gereja adalah bahwa konflik harus diakhiri dengan kerukunan, dan hendaknya konflik tidak sebagai sesuatu yang secara terus menerus bergejolak di tengah-tengah para pelayan, oleh karena itu kemelut harus diselesaikan dengan damai. Untuk cita-cita ini, sebagai persiapan perayaan 125 tahun HKBP, semua tema yang ditetapkan di setiap SG masa akhir periode kepemimpinannya itu difokuskan pada konsolidasi, pembinaan dan rekonsiliasi HKBP khususnya di dalam diri semua pelayan. Melaluinya makna tahun Jobel sebagai pemulihan dan pembebasan menjadi penekanan menyeluruh pelayanan HKBP di periode akhir kepemimpinan ini. Namun ketika fungsionaris HKBP periode 1986-1982 hasil SG tanggal 27-21 Januari 1987 terpilih dengan suka cita (Pdt. Dr. S.A.E. Nababan sebagai Ephorus dan Pdt. O.P.T. Simorangkir, SmTh sebagai Sekretaris Jenderal) di tengah periode kepemimpinan ini cita-cita terhadap tidak berlangsungnya konflik kepemimpinan gereja nampaknya tidaklah terwujud. Untuk mengidentifikasi persoalan gereja masa periode 1986-1992, ceramah tema dan sub tema Pejabat Ephorus HKBP 1992, Pdt. Dr. S.M. Siahaan mengatakan: “…kita menyadari bahwa dalam perjalanan gereja HKBP memasuki usia 132 tahun, banyak masalah dan kemelut yang cukup rumit terutama terutama di 6 tahun terakhir kepemimpinan HKBP. Permasalahan yang menonjol adalah kurang sehatnya hubungan di antara para pejabat gereja mulai dari tingkat pimpinan sampai kepada warga jemaat. Penataran-penataran para Pendeta, Guru Jemaat, Bibelvrouw dan Diakones yang telah berlangsung beberapa angkatan, produknya menghasilkan semakin jauhnya rasa persaudaraan dan kesatuan di antara kita. Inilah masalah dan pergumulan kita bersama, …walau itu diakibatkan oleh kepemimpinan periode (1986-1982) masa yang lampau …(Notulen SAI HKBP tanggal 11-13 Pebruari 1993, hl. 45). S.M. Siahaan melanjutkan: “…sebenarnya wibawa kepemimpinan yang diharapkan oleh orang Kristen Batak memasuki Era Baru yang dimaksudkan adalah seorang yang cakap dalam bidang kerohanian seperti yang tercantum dalam AP HKBP. Pemimpin yang ideal adalah ia harus mempunyai spesifik orang yang “di-tua-kan” (mempunyai wibawa kharisma yang unggul) yang mampu memberi petunjuk, nasehat dan berwawasan cukup luas sebagai mana sebutan “Ompui” (warisan sebutan yang dikenakan orang Kristen Batak kepada I.L. Nomensen sebagai Ephorus pertama gereja Batak) dikenakan kepadanya”. Dapat dikatakan bahwa akumulasi perselisihan masa periode ini diawali dari tidak diterimanya oleh Ds. P.M. Sihombing kekalahannya untuk memimpin HKBP (sebagai Ephorus) periode 1986-1992. Nyatanya, sikap ini sangat memperngaruhi dirinya membentuk kelompok sendiri dan menolak kepemimpinan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan. Gerakan dan aksi kelompok ini semakin menguat ketika kelompok lain yang menamakan diri  parretreat” muncul (Darwin Tobing, hl. 170). Menurut laporan pelayanan tahunan Ephorus HKBP pada SG 1988  Pdt. Dr. S.A.E. Nababan, kelompok ini lahir saat sebagian pendeta HKBP mengadakan retreat di Parapat tanggal 16 Maret 1988 di mana retreat ini berlangsung tanpa sepengetahuan dan persetujuan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan sebagai Ephorus HKBP(Notulen SG HKBP 1988, hl. 344). Bagi Ephorus Pdt. S.A.E. Nababan kegiatan dan aksi kelompok ini (parretreat) telah mempermalukan wibawa dam kuasa kepemimpinan gereja melalui disebarkannya brosur berisi surat agong (surat kaleng) ke berbagai mas media. Pada hal gereja sudah memiliki system dan dinamika sendiri untuk mencari dan mengambil keputusan terhadap penyelesaian setiap permasalahannya. Pada akhirnya jalan keluar yang ditempuh SG HKBP 1988 (lih. Notulen SG 1988. hl. 20) untuk menyelesaikan masalah “parretreat”, ini ditempuh dengan dua cara. Bagi mereka yang bersedia meminta maaf (5 orang pdt, 1 orang sintua) diterima kembali sebagai pelayan di dalam gereja, namun bagi mereka yang tidak bersedia meminta maaf (21 orang pdt, 9 orang sintua) “tohonan hapindaton” (jabatan kependetaan) ditarik dan dikeluarkan (dipecat) dari pelayanan gereja. Selanjutnya, ternyata keputusan pemecatan itu dinilai masih berlangsung di luar system dinamika dan pengambilan keputusan HKBP. Oleh karena itu, yang seogianya SG HKBP tanggal 1-7 Agustus 1990 diadakan, SG ini ditangguhkan pelaksanaanNya sebab  Majelis Pusat HKBP belum mendapat jawaban yang tegas mengapa Pemerintah tidak memberi ijin penyelenggaraan diadakannya SG itu (Notulen Panorangion, LAKSDA PURN. F.M. PARAPAT Ph.D, Taringot tu Penangguhan SG HKBP 1990, hl. 5). Pada akhirnya SG HKBP ke-51 tanggal 23-28 November 1992 diadakan, namun SG ini “gagal” memilih fungsionaris HKBP untuk periode 1992-1998. Gagalnya SG ini sangat berdampak pada semakin tajamnya konflik dan pro kontra di tengah jemaat dan para pelayan khusus pada aras kepemimpinan (kekuasaan) dalam gereja.

13.Melalui konfessi 1951, HKBP sudah menegaskan kesaksian imannya terhadap Pancasila sebagai dasar pengakuan bersama untuk hidup bersama dengan warga lainnya di wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia. Namun di tengah perjuangan pemimpin HKBP agar konsisten berpijak pada system dan dynamikanya sendiri mencari dan menemukan jawaban terhadap permasalahannya dalam sejarah, nampak bahwa campur tangan kekuasaan negara semakin menguat berlangsung terhadap kepemimpinan gereja masa akhir dasawarsa abad 20. Memang, partisipasi kekuasaan negara ini oleh jemaat, para pelayan dan pimpinan sikap teologis mereka sangat diperkuat dengan dasar pengertian bahwa pemerintah adalah alat tersendiri di tangan Tuhan untuk merealisasikan kehendakNya di bumi juga bagi gerejaNya (Kis. 5,29 ; Rom 12:11 ; 13,1). Adalah fakta sejarah HKBP bahwa Surat Keterangan ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. Pol: SKET/PMB-4/227/II/93/DIT IPP perihal: pengangkatan Pdt. Dr. S.M. Siahaan menjadi “Pejabat Ephorus HKBP”, pengangkatan ini sangat mempertajam konflik kekuasaan dan kepemimpinan dalam gereja hingga tahun 1998. Di tengah perdebatan jemaat yang sangat tajam atas penyelenggaraan SG HKBP 1993, HKBP tetap memilih fungsionarisnya periode 1992-1998 dengan Pdt. Dr. P.W.T Simanjuntak menjadi Ephorus dan Pdt. Dr. S.M. Siahaan menjadi Sekretaris Jenderal.

14.Peristiwa konflik demi konflik yang dialami oleh HKBP khusus tentang kepemimpinan dan kekuasaan, nyatanya peristiwa ini sangat memperlemah kedudukan HKBP sebagai institusi gereja di dunia ini di tengah munculnya kekuatan baru yaitu munculnya gerakan fundamentalisme agama dan arus reformasi negara yang menuntut pembaharuan di berbagai bidang termasuk munculnya semangat kerohanian jemaat dalam pengembangan gereja selanjutnya. Maka untuk mengatisipasi ini HKBP sadar akan keadaan dirinya di tengah perseteruannya yang semakin tajam. Synode Agung HKBP akhirnya diselenggarakan tanggal; 18-20 Desember 1998 di Kompleks Universitas HKBP Nomensen dan STT-HKBP Pematangsiantar dengan tema: “Kristus mendamaikan kita supaya menjadi satu”  (2 Kor. 5:8 ; Joh. 17:21). SAG ini adalah upaya bersama seluruh komponen HKBP untuk mengakhiri krisis yang dialami sejak tahun 1992 dan untuk memelihara kesatuan dan keutuhan HKBP (Kata Pengantar, Ephorus HKBP Pdt. Dr. J.R. Hutauruk, Notulen SAG, 1998, hl. 96-97). Pada saat yang sama S.A.E. Nababan menghimbau agar semua utusan/peserta SAG 1998 dapat secara bersama bertekad memperbaiki komitmen kita sebagai gereja di tengah kehidupan bangsa kita yang juga berada dalam krisis.
15. Penutup/Kesimpulan
      Merupakan alasan yang sangat kuat bagi penulis menegaskan periode akhir penelitian ini tahun 2004. Sebab, melalui penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberi gambaran terhadap gereja agar hendaknya dapat menekankan strategi dan kebijakannya mengacu pada sasaran masa depan. Untuk ini ada dua pergumulan yang sangat penting ditekankan oleh HKBP ke depan. Kedua pergumulan ini dibagai ke pada dua aspek, di mana aspek pertama lebih berhubungan ke dalam diri HKBP sendiri menyangkut:

Pertama: Factor potensial apa yang mendorong selalu timbulnya perpecahan/krisis di HKBP (1962-1980 ; 1986-1998) ? Sebagai organisasi gereja, siapa yang seharusnya yang berkuasa (memegang kedaulatan) di HKBP ? Jemaat atau “partohonan” ? Sejauh mana implikasi teologis Rom. 12:11 , 13:1 ; Kis. 5:29 (hubungan kekuasaan gereja dengan negara) dianut dan dipedomani oleh jemaat serta pelayan HKBP dalam sejarahnya ? Di mana dan bagaimana posisi jemaat dapat ditempatkan di dalam organisasi gereja HKBP ? Bagaimana peranan kekuasaan (Ephorus sebagai pimpinan) ditempatkan dalam konteks krisis HKBP ?

Kedua: Berhubungan dengan ke luar diri HKBP, melihat munculnya kekuatan-kekuatan yang berlangsung di dalam masyarakat secara luas (termasuk fundamentalisme agama dan budaya serta kekuasaan negara) apakah jawaban dan sikap HKBP terhadap ancaman dan tantangan ini ? Mengingat gereja-gereja di Indonesia pada umumnya masih selalu terancam oleh sikap Negara/Pemerintah yang mengurangi kebebasan beragama dan mengintervensi masalah-masalah kegerejaan, kekuatan apa yang dapat ditarik dari pengalaman masa lampau gereja HKBP terhadap kondisi ini ?  Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas hendaknya sebagai pokok perhatian untuk memahami sikap HKBP agar tetap mengabdi kepada yang adalah Tuhan bagi gereja itu sendiri, dan bukan kepada dua tuan. 














PLURALITAS GEREJA-GEREJA BATAK

      Sebagaimana bertambahnya minat dan rasa antusiasnya orang Batak terhadap kekristenan, demikian dengan banyaknya badan misonaris yang bekerja di tanah Batak: keadaan ini sangat mempengaruhi dan menentukan pluralitas gereja-gereja Batak. Unsur pluralitas ini juga sangat didukung oleh perbedaan-perbedan kulturil budaya antara suku-suku (etnis) Batak itu sendiri. Di bawah ini diuraikan aspek pluralitas gereja-gereja Batak. 

A

GEREJA KRISTEN PROTESTAN INDONESIA (GKPI)

Latarbelakang lahirnya GKPI. Setidaknya ada dua versi dapat menjelaskan tentang lahirnya GKPI sebagai salah satu denominasi dalam gereja Batak. Versi pertama: versi menurut HKBP (sebagai gereja induk pemisahan jemaat ini). Versi kedua, adalah versi menurut GKPI (setidaknya menurut pendiri gereja ini lahir pada awalnya yang diwariskan hingga ke para elit tokoh gereja ini masa sekarang) sendiri.

Lahirnya GKPI Menurut Versi HKBP

1. Denominasi ini lahir adalah sebagai hasil dari terjadinya konflik intern HKBP tanggal 30 Agustus 1964. Konflik intern itu terutama dipicu oleh pergantian pimpinan dan kepengurusan pusat HKBP tahun 1962, di mana Synode Agung (SA) HKBP tanggal 16-23 tahun 1962 telah mensyahkan berlakunya TG HKBP untuk tahun 1962-1972, di mana TG ini disusun oleh Sekretaris Jenderal HKBP waktu itu yakni Ds. T.S. Sihombing dan oleh T.S. Sihombing, susunan TG ini telah mengalami banyak perubahan dari TG tahun sebelumnya (1950).  Satu yang sangat mendasar dari perubahan itu adalah menyangkut system pemilihan pimpinan dan seluruh fungsionaris HKBP. Dalam TG yang lama, yang mencalonkan Ephorus dan Sekjend untuk ditetapkan oleh SA adalah Rapat Pendeta HKBP. Yang memilih anggota Majelis Pusat adalah Synode Distrik, keadaan ini didukung oleh system yang sudah sejak lama masing-masing Distrik memiliki utusan menjadi anggota majelis pusat. Demikian halnya dengan pemilihan terhadap Praeses dipilih oleh synode Distrik masing-masing. Namun oleh TG tahun 1962 hasil konsep Ds. T.S. Sihombing, seluruh unsur pimpinan dan fungsionaris, termasuk para Pareses ini dipilih langsung oleh SA HKBP dengan masa jabatan selama enam tahun. Selanjutnya, SA HKBP 1962 berhasil memilih fungsionarisnya yang baru periode 1962-1972 dengan formasi: Ephorus Ds. T.S. Sihombing serta sekretaris Jenderal adalah Ds. G.H.M. Siahaan, yang pada akhirnya hasil keputusan ini menjadi polemik yang sangat berkepanjangan di dalam gereja waktu itu.  Polemik (masalah yang tidak terselesaikan) ini diperkuat oleh kebijakan mutasi pertama fungsionaris HKBP ketika telah terpilih menjadi Ephorus dan Sekjend.  Mutasi ini menyangkut kepada jumlah 50 orang pendeta yang pada akhirnya sebagian besar mereka tidak mengindahkan SK mutasi ini. Konsistensi keadaan ini sangat mempengaruhi banyaknya masalah intern timbul di jemaat-jemaat di mana pokok yang dipersoalkan bahwa sebagian jemaat mendukung pendeta lama untuk tetap bertahan di tempat pelayanan sebelumnya dan sebagian mendukung SK mutasi pendeta yang baru ditempatkan. Konflik ini sangat berpengaruh  terhadap munculnya dua kali kebaktian minggu di satu-satu jemaat yang berkaitan dengan SK mutasi pendetanya.  Untuk menyelesaikan masalah local jemaat yang bermasalah ketika itu, pimpinan HKBP terpilih tahun 1962 menerapkan kebijakan memberhentikan pendeta yang tidak mau patuh kepada realisasi SK mutasinya. Namun justru cara ini bukanlah merupakan jalan keluar yang baik bahkan sangat memperuncing persoalan di dalam gereja. Sikap yang pro dan kontra akhirnya menjadi sangat tajam berlangsung, jemaat yang mendukung tidak patuh terhadap realisasi mutasi pendeta akhirnya memutuskan sikap putus hubungan dengan pucuk pimpinan HKBP. Ketika itu masih dicoba berbagai usaha agar mempertahankan supaya skisma tidak berlangsung di dalam gereja HKBP, namun dari banyaknya usaha dilakukan semuanya tidak mengarah pada kesatuan gereja.

2. Penetrasi (Perkembangan) Konflik selanjutnya. Persoalan gereja akibat konflik di atas, pada akhirnya semakin meluas dan semakin didukung oleh berlangsungnya konflik lain di lembaga Universitas HKBP Nomensen. Bulan September 1963, Pdt. Dr. Andar Lumbantobing (menjabat sebagai Rektor) dan Drs. H.M.T Ompusunggu (wakil Rektor) diberhentikan oleh St. T.D. Pardede yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Yayasan Universtas HKBP Nomensen, di mana pemberhentian ini dilakukan sebab keduanya dinilai menentang kebijaksanaan yayasan Universitas. Pada saat itu, Andar Tobing dan H.M.T. Oppusunggu notabene adalah dua orang Majelis Pusat HKBP di mana sikap mereka terhadap yayasan Universitas dianggap sebagai ketidak patuhan kepada pimpinan Pusat HKBP. Melalui alasan ini, tanggal 15 Oktober 1963 dengan didahului oleh pernyataan dua orang tokoh ini menyatakan putus hubungan dengan HKBP maka rapat Majelis Pusat HKBP memutuskan untuk memberhentikan mereka dari jabatan rektorat dan kedudukan mereka dicela oleh Majelis Pusat ketika itu.  Bersamaan dengan masalah mutasi beberapa orang pendeta ditambah dengan masalah Universitas HBP Nomensen, keadaan ini mempengaruhi banyaknya muncul pihak-pihak oposisi kepada pucuk Pimpinan HKBP di luar jemaat. Dua di antaranya adalah pertama, “Panitia Penghubung Hasadaon HKBP” (PPH-HKBP), badan ini dipimpin oleh  Abner Situmorang yang ketika itu ia menjabat sebagai Bupati Simalungun. Kedua, “Panitia Panindangi Reformasi (PPR-HKBP)” diketuai oleh mantan anggota Majelis Pusat yakni J.B. Simatupang dan Pdt. M. Hutauruk. Awalnya, gagasan mereka sangat baik untuk membantu pucuk Pimpinan HKBP menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam gereja. Namun, hasilnya tidaklah memuaskan sebab menurut Pimpinan HKBP ketika itu, kedua badan ini sangat memaksakan kehendak masing-masing kepada Pimpinan HKBP dengan menyatakan diri sebagai badan yang setingkat dengan Pimpinan HKBP dalam hal mengambil keputusan bersama untuk penyelesaian masalah yang terjadi. Atas sikap seperti ini, Pimpinan HKBP tidak mengakui badan ini dan tanggal 19 Oktober 1963 setiap pendeta yang masuk ke badan ini dikeluarkan dari HKBP. Reaksi jemaat kemudian sangat meluas melalui kebijakan pucuk Pimpinan ini.  Guna memperkecil resiko atas persoalan demi persoalan terjadi, maka tanggal 10 Nopember 1963 disyahkanlah lembaga baru di dalam gereja sebagai mana dinamakan “Dewan Keutuhan HKBP”, di mana tujuan lembaga ini merubah personalia Majelis Pusat termasuk Pimpinan HKBP. Dewan ini mengusulkan agar segera diadakan SAI tanggal 13 Januari 1964. Oleh pimpinan HKBP, mereka melihat gagasan ini sangat mengarah pada perpecahan gereja.  Melaluinya tanggal 19 Nopember 1963, pucuk pimpinan mengeluarkan surat penggembalaan   kepada setiap jemaat, isinya: “menghimbau seluruh warga HKBP  agar segala pikiran dan usul untuk menggalang kesatuan HKBP sebaikanya disampaikan melalui mejelis-majelis jemaat HKBP”. Usul dewan keutuhan HKBP untuk mengadakan Sai ini tidak diterima oleh pimpinan HKBP.

3.  Embrio GKPI. Sebagaimana dijelaskan di atas, dengan tidak dicapainya jalan damai di dalam gereja dan dalam hubungannya dengan konflik yang terjadi di HKBP, maka tanggal 19 April 1964 lembaga-lembaga ini kemudian mempersatukan diri dalam wadah: “Dewan Koordinasi HKBP 1950”.  Wadah ini ditokohi Pdt. Dr. Andar Lumbantobing bersama Pdt. Dr. S.M. Hutagalung. Sikap dua pimpinan lembaga ini, mereka berusaha sebagai pucuk Pimpinan tandingan di dalam gereja dan menyatakan diri bahwa gereja kembali ke system TG 1950. Alasannya sebab, TG yang baru (1962-1972) telah menimbulkan kegawatan besar di dalam tubuh HKBP. Melalui terbentuknya “Dewan Koordinasi HKBP 1950” ini dengan dipimpin oleh Pdt, Dr. S.M.  Hutagalung, maka ini berarti bahwa lembaga gereja lain yang setara dengan organisasi HKBP telah lahir di dalam organisasi HKBP. Tanggal 2 Juli 1964, “Dewan Koordinasi HKBP 1950” ini bersama dengan anggota-anggotanya, mereka mengadakan “musyawarah besar” dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang isinya sebagai berikut:
a.   Tidak menerima Majelis Pusat HKBP yang sekarang (periode 1962-1972) sebagai langkah ke arah kembalinya keutuhan seluruh HKBP, dan wadah ini menuntut mereka supaya segera diganti.
b.  TG supaya jiwanya kembali ke TG 1950
c.   Susunan dan cara pembentukan Majelis Pusat HKBP yang baru, supaya disesuaikan dengan jiwa TG HKBP 1950.
d.   Sebelum terbentuk Majelis Pusat HKBP yang dimaksud dalam poin c, maka “Dewan Koordinasi Patotahon HKBP” melanjutkan pelayanan terhadap semua jemaat yang telah tergabung dalam dan yang akan menggabungkan diri pada “Dewan Koordinasi Patotahon HKBP” tersebut.

      Segala tindakan oposisi “Dewan Koordinasi HKBP 1950”, selanjutnya dibicarakan pada SA HKBP 19-25 Juli 1964 di Parapat. SA ini dihadiri oleh utusan mereka yang diwakili oleh Pdt. H.P. Pakpahan. Pandangan golongan opisisi ini dituangkan dalam sebuah keputusan Synode yang kemudian mengangkat sebuah panitia yang bernama: “Panitia Khusus SA HKBP 1964 (PKC)”.  Anggota PKC ini terdiri dari 8 orang dari HKBP, orang dari pihak Dawan Koordinasi HKBP 1950, mereka dilantik oleh Ephorus HKBP tanggal 23 Juli 1964. Dengan  terbtnuknya PKC ini, maka seluruh golongan oposisi setelah SA tersebut semakin tidak mungkin. Ini berarti mereka harus mengambil keputusan: apakah tetap berada di dalam HKBP atau keluar dari HKBP ? Dampak dan pengaruh oposisi sebelumnya di dalam gereja semakin dibatasi pengaruhnya setelah pengumuman Gubernur SUMUT ketika itu (Kol. Ulung Sitepu) membatasi dan melarang segala polemik HKBP baik umum, tulisan maupun lisan.  Pengumuman ini mempertegas sikap HKBP ketika itu untuk membicarakan bahwa setiap masalah HKBP harus diselesaikan di dalam wadah PKC ini, mereka yang tidak patuh akan ditindak berdasarkan peraturan pemerintah yang ada.  Tanggal 19 Agustus 1964, golongan opsisi yang menjadi anggota PKC ini ternyata mengundurkan diri. Bersamaan dengan pengunduran diri ini, PKC mengumumkan agar setiap jemaat HKBP yang mengadakan kebaktian terpisah mulai tanggal 23 Agustus 1964 melakukan kebaktian sesuai aturan HKBP. Pengumuan ini dinilai menguatkan keputusan Gubernur SUMUT  ketika itu, namun akhirnya keputusan ini juga tidak terlalu ampuh bagi penyelesaian masalah. Tanggal 30 Agustus  1964, Dewan  Koordinasi Patotahon HKBP melangsungkan kebaktian minggu  di pekarangan rumah Dr. Luhut Lumbantobing di Pematangsiantar. Setelah kebaktian ini, diadakanlah rapat yangmemutuskan membentuk gereja baru yang mereka namakan sebagai “Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI)”.  Pimpinan gereja yang baru ini ditetapkan: Pdt. Dr. Andar Lumbantobing sebagai Bishop yang pertama dan Pdt. S.M. Hutagalung sebagai Sekretaris Jenderalnya.

      Satu hal yang sangat penting diketahui bahwa: seluruh golongan oposisi yang sebelumnya ada di dalam PKC (GKPI) tidaklah terhimpun dalam satu kesepakatan. Sebab tanggal 25 Juli 1965, sebagian dari mereka juga membentuk sebuah gereja yanglain yang mereka beri nama sebagai: “HKBP Luther (HKBP-L)” dan basis jemaat mereka ada di Lumbansiagian Tarutung. Kelompok ini diketuai oleh Pdt. J. Sinaga. Perkembangan populasi gereja ini tidaklah begitu berarti hingga sekarang. Selanjutnya “HKBP-L” ini, berubah menjadi “Gereja Kristen Lutheran Indonesia (GKLI)” yang sampai sekarang masih diketuai oleh Pdt. J. Sinaga.    

Lahirnya GKPI Menurut Versi GKPI Sendiri

4. Oleh para pelopor/pendiri gereja ini, GKPI  dideklarasikan berdiri sebagai salah satu denominasi gereja Batak di SUMUT, ini terjadi tanggal 30 Agustus 1964.  Menurut mereka, lahirnya GKPI adalah sebagai akibat dari berbagai masalah yang terjadi  di seputar organisasi gereja HKBP: dalam hal ini konflik demi konflik sangat berkaitan dengan adanya perubahan AP HKBP 1962-1972. Pada satu pihak, ada keinginan akan pembaharuan pada AP HKBP, pelayanan dan keinginan akan pembaharuan kepengurusan dalam kepemimpinan HKBP. Namun, pada sisi lain adanya sebagian orang yang berkeinginan untuk tetap mempertahankan dan menekankan supaya HKBP kembali kepada AP-HKBP 1940-1950. Dengan demikian dapat dipahami bahwa lahirnya GKPI adalah karena HKBP mengalami konflik internal yang telah merebak sejak tahun 1962 yang tidak terselesaikan melalui forum-forum perdamaian dan hal itu berdampak luas pada aspek persekutuan, kepemimpinan dan pelayanan gereja.

5.   Menurut S.M. Hutagalung (lih. S.M. Hutagalung, Kata Sambutan Sinode Am Islam GKPI, 1966): “adanya badan-badan/Panitia, anggota dalam gereja yang telah kita tinggalkan yang secara keyakinan dan berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah menghendaki suatu pembaharuan aturan huria/gereja, pelayanan rohani yang berdasarkan kasih, pengurus yang perteliti (cermat) dan diperbaharui. Dan keputusan SG HKBP (Juli 1964) di Parapat yang menentang adanya badan-badan panitia  tersebut”. Selanjutnya dikatakan oleh S.M. Hutagalung bahwa keputusan Pantja Tunggal I SUMUT tanggal 14 Agustus 1964 yang ditanda tangani oleh GUBSU/Kep. Daerah SUMUT (pada waktu itu: Ulung Sitepu) yang melarang Organisasi atau lembaga-lembaga dalam lingkungan HKBP yang bertentangan dengan peraturan HKBP yang berlaku”. Bila pernyataan ini disimak selanjutnya, bahwa berdirinya GKPI adalah merupakan bagian dari masih berlangsungnya semangat gerakan kemandirian dalam gereja Batak, dan peristiwa tahun 1962 sebagai peristiwa yang cukup penting bagi lartarbelakang berdirinya GKPI sebab sangat membawa perubahan bagi HKBP, perubahan-perubahan itu termasuk bidang organisasi. Hal ini ditandai dengan disetujuinya AP HKBP yang baru oleh SA HKBP 16 – 23 Juni 1962, bahwa berbagai hal dalam TG HKBP mengalami perubahan dari TG HKBP yang lama (1940-1950) termasuk perubahan berbagai jabatan dan kepemimpinan di HKBP.

      Perubahan dalam AP HKBP antara lain ada tiga hal yakni:

Pertama, menyangkut jabatan kerk bestuur diganti menjadi jabatan penatua. Pada tahun 1920, Ephorus J. Warneck pernah mengundang warga gereja, tokoh masyarakat tradisi dan pejabat pemerintah yang mempunyai pengaruh, jujur dan saleh untuk turut dilibatkan dan ambil bagian dalam berbagai kegiatan pelayanan gereja dan memberikan tugas dan jabatan kerk bestuur dan sintua yang juga duduk sebagai anggota majelis pusat.

Kedua, perubahan AP HKBP yang berhubungan dengan synode distrik. Peranan synode distrik dalam AP yang baru dilimpahkan atau dialihkan kepada rapat resort, khususnya mengenai pemilihan utusan ke SG. Sebelumnya (sejak tahun 1911) wilayah pelayanan di HKBP dibagi atas beberapa distrik dan juga adanya synode distrik. Peranan distrik sangat penting dalam hubungannya dengan SA.

Ketiga, anggota Majelis Pusat dalam AP HKBP dipilih oleh SA. Sejak tahun 1929, anggota Mejelis Pusat, merupakan perwakilan dari tiap-tiap distrik yang dipilih leh synode distrik. Perubahan itu dimaksudkan untuk menghindari dualisme  kepemimpinan antara Praeses dan anggota Majelis Pusat dalam satu-satu Distrik.

Keempat, perubahan tentang SA dalam AP HKBP, dari satu tahun menjadi sekali dalam dua tahun. Sejak tahun 1881,  telah dikenal adanya pertemuan tahunan dari seluruh wakil jemaat. Sejak tahun 1929 dengan terbentuknya majelis pusat, maka synode tahunan ditingkatkan menjadi synode untuk pengambilan keputusan gerejani. Perubahan itu dimaksudkan untuk memberikan lebih banyak kesempatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kerja masing-masing. Perubahan sebagaimana dipaparkan di atas mendapat tantangan dari sebagian warga dan tokoh HKBP sebab perubahan AP itu dianggap belum saatnya bagi HKBP. Konsep AP tersebut sebelumnya telah pernah ditolak oleh sidang dewan pendeta di Parapat dan SG HKBP tahun 1961, masyarakat dan tokoh tokoh gereja.

Berdasarkan paparan di atas, memperlihatkan bahwa era kemandirian HKBP diwarnai oleh berbagai konflik internal HKBP  yang telah mengganggu dan mempengaruhi kehidupan persekutuannya.

6.  Konflik di tubuh HKBP diawali dengan perubahan AP HKBP yang diputuskan pada SG HKBP 1962. Lahirnya GKPI disebabkan oleh dua hal, yakni: kasus penolakan perubahan anggaran dasar dan anggaran RT, AP HKBP yang diputuskan dalam SA bulan Juni 1962 dan perubahan fungsi, istilah dan jabatan kerk bestuur ke jabatan sintua. Konflik dalam HKBP sebagaimana disinggung di atas disebabkan perubahan dalam AP HKBP antara lain: jabatan kerk bestuur menjadi sintua biasa. Perubahan itu dinilai belum saatnya, dan dianggap merugikan kerk bestuur. Penghapusan synode distrik dan synode resort. Perubahan penentuan utusan ke SA dari distrik dilimpahkan secara langsung ke rapat resort. Perubahan ini dianggap telah mengurangi kekuasaan pendeta distrik. Demikian juga disebabkan oleh masalah pemutasian pendeta yang dianggap tidak berdasarkan pada peraturan yang sah dan pemutasian itu dilihat sebagai tindakan sentimen dari Epohorus yang berkuasa. Sehingga terjhadi sikap perlawanan dari 22 orang pendeta yang berakibat terjadinya tindakan pemecatan. Alasan terhadap adanya tindakan pemecatan yang dilakukan oleh pimpinan pusat HKBP adalah disebabkan atau sebagai akibat pembangkangan (indispliner) terhadap keputusan pimpinan. Demikian juga dengan masalah yang berkaitan dengan pemilihan petinggi HKBP dan pertentangan antara rektor UHN dengan pimpinan Yayasan UHN, telah mengakibatkan pemecatan rektor dan wakilnya. Selain daripada pemecatan tersebut, TD Pardede yang juga ketua pengurus Yayasan UHN diangkat menjadi tugas rangkap sebagai Presiden UHN. 
     
      Masuknya tokoh awam yang menjadi unsur pimpinan dalam gereja dalam struktur fungsional parhalado pusat kekuasaan Ephorus yang semakin luas memberi makna pengumpulan dan penumpukan kekuasaan atau kepemimpinan yang mengarah kepada absolutisme dan bersifat proteksionisme adalah suatu kenyataan dari keadaan gereja yang primordial. Penumpukan dan penggunaan kekuasaan menimbulkan adanya situasi krisis dan sikap ketidakpuasan yang dimanipestasikan dalam bentuk  kelompok perlawanan seperti: Panitia Panindangi Reformasi (PPR), Panitia Penghubung Hasadaon (PPH) HKBP, Deaan Keutuhan (DK), Dewan Koordinasi Patotahon (DKP) HKBP. Dimensi kekuasaan menjadi sangat penting untuk melegalisasi berbagai kebijakan yang dimungkinkan berdasarkan AP yang baru. Kep[emimpinan gereja seperti penumpukan kekuyasaan Ephorus merupakan pengaruh Hierarki Zending yang Patriarkhal di dalam jabatan gereja Batak. Konflik yang terjadi di tubuh HKBP adalah karena adanya sikap ketidakpuasan yang terjelma dalam tiga kelompok yakni kelompok pendeta, kelompok kaum awam yang menuntut reformasi (pembaharuan) dalam tubuh HKBP dan kelompok mahaguru UHN. Ketiga kelompok ini menyatu sebagai kelompok oposisi di HKBP yang dikenal sebagai sebutan Dewan Kehormatan. Modernisasi manajemen berkaitan dengan sistem pemusatan kekuatan Ephorus yang lebih luas, hubungan antara pendeta yang lebih luas, hubungan antara pendeta dengan pemimpinnya yang mirip dengan pola pengelolaan pemerintahan serta disebabkan  faktor tradisional genealogik kemargaan. Penyelesaian konflik mengalami kebuntuan dan pada puncaknya, pemerintah berada pada pihak pemegang kekuasaan (power holder) HKBP dengan membuat larangan kepada kelompok tersisih. Tidak diperbolehkannya kelompok tersisih melakukan kegiatan dengan mengatasnamakan HKBP, telah mendorong kelompok tersebut untuk membentuk organisasi gereja yang baru, yang diberi nama GKPI. Lahirnya GKLPI adalah disebabkan oleh sikap ketidakpuasan dari anggota setempat atas pelayanan gereja, khususnya dalam bidang kerohanian. Tetapi juga dan terutama disebabkan oleh gagalnya panitia kerja khusus bentukan SG Istimewa HKBP bulan Juli 1964 di Parapat untuk mengupayakan perdamaian dan keutuhan. Pembentukan panitia kerja khusus oleh SG Istimewa HKBP mengindikasikan adanya persoalan intern yang berkaitan dengan masalah organisasi yang bertitik pangkal pada AP HKBP. Keluarnya  SK Pantja Tunggal SUMUT No. 13911/II/8 tanggal 14 Agustus 1964 yang antara lain mengacu pada Keputusan SG HKBP tanggal 23 Juli 1964 di Parapat dan gagalnya Panitia Kerja Khusus menjalankan tugas yang diembankan oleh Synode atasnya, menjadi dorongan lahirnya GKPI. Sebelumnya kebaktian minggu atau pun kebaktian Evanggelisasi (Kebaktian Malam) dalam tubuh HKBP telah terpisah di berbagai tempat. Pemisahan itu disebabkan konflik yang berkepanjangan dan telah merebak dengan melibatkan warga jemaat. Tanggal 23 Agustus 1964, kelompok yang memisahkan diri dalam kebaktian ini mengadakan kebaktian yang pertama bagi organisasi gereja yang baru, yaitu atas nama GKPI di gedung kebaktian gereja Bala Keselamatan, Jln Merdeka Pematangsiantar. Tanggal 30 Agustus 1964 adalah kebaktian kedua yang berlangsung di pekarangan rumah Dr. Luhut Lumbantobing Jln. Simarito No. 6 Pematangsiantar. Pada saat itulah GKPI resmi memilih kepengurusannya. Bulan Oktober 1964, berkaitan dengan momentum hari Reformasi Martin Luther disusunlah konsep TG GKPI dan konsep itu diterima sebagai TG GKPI yang pertama. Tahun 1966, diadakanlah Synode Am GKPI yang pertama.

7. Alasan Teologis Berdirinya GKPI. Tentang pokok ini menarik mengutip pernyataan J.R. Hutauruk  mengatakan: “HKBP pecah bukan karena perbedaan bahasa, suku atau dialek, karena HKBP secara etnis, identik dengan Batak Toba. Mungkinkan karena usaha mencari kebenaran ajaran yang relevan buat kehidupan gerejani seperti terjadi dulu di tengah-tengah umat Kristen di benua Eropa Kuno ? Tetapi harus ada penyebabnya. Mencari dan menemukan penyebabnya perlu dilakukan bersama oleh seluruh umat Kristen Batak demi pembaharuan identitas gereja-gereja Batak. Dengan berangkat dari pertanyaan itu, dan gagasan untuk mencari jawaban sebagaimana di atas, akan membawa kita untuk memahami kembali konsepsi tentang gereja yang kudus. Salah satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam bagian ini adalah apa yang dikemukakan oleh F.H. Sianipar: “satu-satunya faktor yang dapat mentransformir pengertian kolektifisme dengan isi yang baru yang benar menyehatkan dan menghidupan hanyalah pengertian persekutuan di dalam Tuhan yaitu yang hampir tidak ada di dalam pietisme dan moralisme. Pada hal, pengertian inilah merupakan salah satu faktor yang turut menentukan relevannya dari metode (bahkan isi) dari teologi bagi masyarakat Batak”.

Sebelum berdirinya GKPI, Dr. A. Lumbantobing dan Dr. S.M. Hutagalung memberikan pandangannya ketika dimintai pendapatnya sehubungan dengan adanya gagasan dan banyaknya dorongan dari warga dan tokoh-tokoh gereja untuk memisahkan  diri dari HKBP, untuk membentuk satu organisasi gereja yang baru. Pandangan kedua tokoh tersebut dapat dikutip sebagai berikut:      

Dr. A. Lumbantobing:
      Tidak sependapat dengan pendirian utusan-utusan itu. Menurut pendapat beliau, pemisahan diri dari satu gereja untuk mendirikan suatu gereja yang baru, tidak sesuai dengan dogma dan hukum teologi: badan Kristus adalah tunggal (satu). Dan tidak dapat dipecah-pecah. Dalam penjelasan itu beliau menerangkan tentang perpecahan gereja di negeri Belanda pada permulaan abad 19 yang dipimpinpin oleh dua  orang ahli teologi Prof. Dr. Abraham Kuyper dan Prof. Dr. Hoedemaker. Penjelasan beliau itu diakhiri dengan keterangan bahwa bagi beliau belum ada alasan yang kuat untuk memisah diri dari HKBP.

      Dr. S.M. Hutagalung:
      Sebelum mengemukakan pendirian, terlebih dahulu menekankan: bahwa jemaat Kristus adalah satu di dalam Kristus, akan tetapi di dalam perkembangan organisasi-organisasi gereja menurut sejarah maka semua organisasi gereja yang ada sekarang adalah perkembangan/perpecahan dari gereja. Setertusnya beliau mengatakan kalau di suatu huria (gereja) kepercayaanmu dan imanmu untuk mendekati Tuhan terhalang oleh perbuatan-perbuatan peraturan-peraturan dan  ancaman-ancaman dari pengurus huria itu, kalau saudara tidak berhasil dalam usaha tersebut dan kepercayaanmu terus menerus terhalang dan tidak beroleh damai dan kegembiraan lagi di dalam jemaat tersebut, maka saudara harus meninggalkan gereja sedemikian sesuai dengan keyakinan pada saat ini. Saya sendiri  belum melihat suatu alasan yang dapat saya pakai untuk mempertanggungjawabkan pengunduran dri saya dari HKBP secara mutlak.

B

GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA – GKPA

1. Gambaran Umum. Denominasi ini merupakan gereja yang resmi dimandirikan oleh HKBP, oleh karena itu sejarah gereja GKPA tidaklah terpisahkan dengan sejarah HKBP sejak awalnya. Untuk mendukung pernyataan ini, anda masih ingat di awal pertemuan tentang diskusi tema: perintisan lembaga misi RMG di Prau Sorat demikian dengan Rapat Koordinasi Misi para (empat orang) Misionaris tanggal 7 Oktober 1861 di Sipirok, juga dalam hubungan tibanya Nomensen pertama sekali di Sipirok tahun 1962. Hanya, kesimpulan yang nyata dapat dikatakan bahwa perkembangan misi kekristenan (gereja) di daerah Silindung (Tapanuli Utara umumnya) jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan di daerah Angkola (Tapanuli Selatan umumnya). Hingga pada akhirnya, jemaat-jemaat Kristen Batak yang berdiam di daerah Angkola (Tapanuli Selatan) mereka dihimpun dalam satu Distrik yang disebut sebagai Distrik Angkola yang berpusat di Sipirok yang kemudian berkembangan menjadi distrik Tapanuli Selatan yang berpusat di Padang Sidempuan.

2.  Dipengaruhi oleh latarbelakang budaya dan bahasa yang sedikit berbeda, dari masyarakat Kristen Batak Toba, maka tahun 1970-an jemaat-jemaat HKBP yang berbahasa Angkola bermohon kepada HKBP agar mereka dihimpun dalam suatu gereja yang berdiri sendiri. Permohonan ini dikabulkan oleh HKBP melalui SA tahun 1972, sehingga mereka dihimpun dalam satu wadah gereja yang berdiri sendiri. Dalam pemberian kemandirian itu, seluruh jemaat yang berada di daerah Angkola dan Tapanuli Selatan dengan latarbelakang etnis Angkola diijinkan masuk menjadi bagian dari gereja ini. Tetapi tidak semua jemaat HKBP yang berada di daerah Angkola masuk menjadi bagian dari gereja yang baru ini, sebab jemaat-jemaat yang berlatarbelakang Toba tidak bersedia bergabung dengan HKBP Angkola, tetapi tetap mempertahankan dirinya sebagai HKBP. Awalnya HKBP berpusat di Sipirok, tetapi kemudian dipindahkan ke ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan dan namanya pun diganti menjadi: “Gereja Kristen Protestan Angkola(GKPA).  Jemaat gereja ini tidak hanya berdiri di daerah Angkola Tapanuli Selatan, tetapi juga ada yang berdiri di daerah-daerah lain kalau orang-orang Kristen Batak yang berlatarbelakang Angkola dijumpai di daerah itu seperti di Pematangsiantar, Medan dan Jakarta.

C

GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN (GKPS)

1. Pendahuluan. Jauh sebelum kekristenan mempengaruhi Simalungun, sebagian besar wilayah ini sudah dipengaruhi oleh Islam (1850) terutama di daerah Simalungun Bawah (daerah Simalungun yang berbatasan dengan Kabupaten Sergai sekarang dengan kabupaten Asahan). Misalnya Raja Siantar telah menjadi Islam sebelum kekristenan memasuki daerah ini, tetapi sebagian besar orang-orang Simalungun itu masih menganut agama suku Simalungun yakni kepercayaan kepada Dewata Tertinggi (Naibata Iatas), Dewata Dunia Tengah (Naibata Itongah) dan Dewata Dunia Bawah (Naibata Itoruh), selain itu raja-raja Simalungun juga dipercayai sebagai “Naibata Nataridah” (dewata yang kelihatan). Sejarah GKPS sebenarnya tidak terlepas dari sejarah HKBP, karena seperti diterangkan di atas GKPS adalah suatu gereja yang berasal dari HKBP dan pemisahannya bukanlah karena suatu pertikaian atau jalan yang tidak  baik melainkan melalui persetujuan bersama. Pemisahan ini dibaratkan sama seperti orang tua yang memandirikan (pajaehon) anaknya yang sudah berkeluarga karena anaknya itu dianggap sudah cukup mampu untuk membina keluarganya sendiri, demikianlah halnya HKBP “pajaehon” GKPS karena dengan berdiri sendiri gereja itu sudah dianggap mampu membangun dan mengembangkan gereja itu.

Apabila dikaji lebih dalam sejarah GKPS, periodesasinya dapat dibuat sebagai berikut:
      a. 1903 – 1928:   Jaman permulaan dan pergumulan.
      b. 1908 – 1940:   Masa perkembangan gereja Simalungun
      c.  1940 – 1952: Terbentuknya HKBP Distrik Simalungun
d.                                    1963 - …  : Terbentuknya GKPS seagai salah satu gereja yang berdiri sendiri.

2. Jaman Permulaan dan Pergumulan (Periode I: 1903-1928).  Pada tanggal 2 September 1903, tiga orang penginjil pertama dari orang Jerman yang diutus oleh I.L. Nomensen dari Tapanuli telah tiba di daerah Simalungun yakni: A. Theis, Guillaume dan Simon. Oleh GKPS, tanggal inilah kemudian ditetapkan sebagai tanggal permulaan dari gereja ini. Sejak awalnya, A. Theis ditempatlan di Pematang Raya, Guillaume mula-mula ditempatkan di Haranggaol, tetapi kemudian dipindahkan ke Saribu Dolok dan Simon di tempatkan di Pematang Bandar (Simalungun Bawah). Simon terkenal sebagai ahli dalam bidang agama Islam dan selain itu ia terkenal juga karena sejak semula Simonlah yang mengusulkan supaya penginjilan di daerah Simalungun dilakukan dalam bahasa Simalungun itu sendiri baik di jemaat maupun di sekolah-sekolah yang diasuh oleh sending. Ketiga orang ini segera dibantu oleh tenaga-tenaga evanggelis dan guru-guru orang Batak Toba.

Pada periode permulaan ini, para penginjil dalam upaya PI–nya, mereka menghadapi banyak kesulitan, a.l:
a. Soal pemakaian bahasa. Di kalangan para misionaris terdapat perbedaan pendapat mengenai bahasa yang akan dipergunakan.  Para penginjil yang dari Batak Toba hanya memahami bahasa Batak Toba, mereka menginginkan supaya bahasa Batak Tobalah yang dipakai sebagai bahasa pengantar, mereka enggan mempelajari bahasa Simalungun sehingga bahasa Batak Toba itulah yang dipakai sebagai bahasa pengantar. Soal pemakaian bahasa Batak Toba ini sebagai bahasa pengantar, ini tidak dikehendaki oleh umumnya msayarakat Simalungun. 4Walaupun banyak persamaan  di antara bahasa Simalungun dengan bahasa Toba namun banyak kata-kata dalam bahasa Batak Toba yang tidak enak didengar bersifat kasar yang bagi terminology Simalungun ada beberapa kata maknanya dirasakan tidak sopan bagi orang Simalungun.
b. Penduduk yang berjauhan dari satu tempat ke tempat lain, sedangkan hubungan dari satu kampung ke kampung lainnya sangatlah sulit karena daerah-daerah itu masih dipenuhi hutan-hutan yang sangat lebat.
c. Pengaruh dari “datu” (dukun) yang cukup besar. Para datu ini sangat ditakui oleh masyarakat oleh karena mereka mempunyai daya magis yang dipercayai dapat menyakiti atau menyusahkan mereka.
d. Pengaruh kuasa raja-raja yang sangat besar. Demikian besarnya pengaruh raja-raja di Simalungun, para raja itu dianggap sebagai dewa dengan berkuasa atas harta rakyatnya. Apa yang dikatakan oleh raja harus diikuti dan tidak seorang pun bisa menentangnya dan kekuasaan raja-raja itu berlangsung secara turun temurun.

Karena banyaknya tantangan dihadapi, maka selama 25 tahun periode pertama ini jumlah  orang Simalungun yang berhasil dibaptis menjadi Kristen baru mencapai 900 orang dalam 31 jemaat.

3. Masa perkembangan gereja Simalungun (1928-1940).  Pada periode ini, mulai nampak perkembangan kekristenan di daerah Simalungun. Terutama setelah adanya putera-putera daerah ini yang sudah tamat dari sekolah guru Injil, antara lain: dari Seminari Depok Jawa Barat, dari Seminari Sipoholon serta dari Narumonda. Mulai tahun 1929, sudah ada putera daerah Simalungun yang menjadi pendeta yakni Pdt. J.W. Saragih, ia adalah tamatan Semianri Sipoholon. Dengan adanya putera-putera Simalungun yang menjadi penginjil dan pendeta, maka usaha ppenginjilan di daerah Simalungun semakin bertumbuh dan berkembang cepat. Pdt. J.W. Saragih dalam usaha penginjilannnya, juga memperhatikan metode PI empat dimensi yang dikembangkan oleh Nomensen (metode PI melalui pendidikan, kesehatan, perekonomian dan politik). Masalah pemakaian bahasa telah di atasi dengan menetapkan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar. Perkembangan pada periode ini juga tidak terlepas dari adanya “Komite Na Rah Marpoda” (Komite yang ingin belajar) yang didirikan oleh orang-orang Kristen Simalungun tahun 1928. Komite ini menekankan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar dengan menerbitkan buku-buku bacaan Kristen dalam bahasa Simalungun dan juga menerbitkan sebuah majalah yang cukup besar artinya dalam usaha penginjilan, yakni majalah: “Sinalsal” (cahaya). Di dalam majalah itu banyak dibicarakan mengenai masalah agama, pertanian, peternakan, pendidikan dan lain-lain.  Pada periode ini, terbentuk juga satu kongsi penginjilan yang bernama “Laita” (artinya: beta ma hita) yakni suatu perkumpulan yang giat mengajak orang-orang Simalungun menjadi Kristen.

 4. Terbentuknya HKBP Distrik Simalungun (1940-1952). Sebelum tahun 1940 jemaat-jemaat Kristen Simalungun dimasukkan kepada lingkungan HKBP Distrik Sumatera Timur. Tetapi sejak tahun 1940, mereka meminta supaya jemaat-jemaat Simalungun dijadikan menjadi sebuah Distrik yang tersendiri dalam tubuh HKBP, yakni HKBP Distrik Simalungun. Ini dimaksudkan supaya pelayanan PI kepada masyarakat Simalungun makin diintensifkan. Praeses Distrik ini juga telah dipegang oleh putera daerah Simalungun itu sendiri, yakni: Pdt. Kerpanus Purba.  Sedangkan anggota  Majelis Pusat dari Distrik ini adalah Pdt. J.W. Saragih.

Beberapa hal yang mendapat perhatian pada periode ini ialah:
a.  Pengaruh Jepang pada kehidupan para pemuda sangat membaahayakan, karena banyak pemuda tertarik menjadi Heiho, yang dibawakan oleh pemerintah militer Jepang mempertahankan kekuasaannya dan ekspansinya di banyak bangsa di Asia. Karena keadaan ini, dilihat dapat membahayakan kehidupan gereja maka  Pdt. J.W. Saragih tahun 1942 mendirikan sebuah badan yang bernama: “parguru saksi ni Kristus”. Badan ini dimaksudkan untuk menampung pemuda/i Simalungun dilatih menjadi penginjil-penginjil sukarela. Pengaruh dari badan ini ternyata lebih besar dari pengaruh kongsi Laita  yang sudah didirikan sebelumnya. Para pendeta dan guru Injil yang bertugas di daerah Simalungun bersama-sama dengan parguru saksi ni Kristus pergi ke kampung-kampung (pelosok) untuk memberitakan Injil. Majelis sangat merasakan kagum melihat kerajinan  dan semangat mereka yang sangat besar yang setelah tamat, mereka disebut sebagai saksi ni Kristus. Mereka mempunyai prinsip: “sedapat mungkin seorang saksi ni Kristus” akan membawa seorang yang masih kafir menjadi Kristen.
b. Tahun 1945 didirikan kongsi Bibel. Kongsi ini bertugas menterjemahkan Bibel (Alkitab) ke bahasa Simalungun. Dari antara kitab itu, yang pertama diterjemahkan adalah kitab Injil  Lukas.
c. Tahun 1946, terjadi revolusi sosial terhadap raja-raja di Simalungun. Di mana pada waktu itu, banyak orang Kristen yang menderita serta  banyak rumah pendeta, rumah guru jemaat, gedung gereja dan sekolah-sekolah dibakar. Karena orang-orang Kristen dianggap sebagai pendukung  Belanda yang berusaha kembali menguasai Indonesia setelah memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945, oleh situasi ini banyak pendeta yang mengungsi ke hutan-hutan dan mereka mengadakan kebaktian di sana. Keadaan ini telah dimamfaatkan oleh para pendeta dan misionaris untuk mengajarkan Injil kepada masyarakat Simalungun yang tinggal di pedalaman. Sikap orang-orang Kristen yang baik, rendah hati dan menaruh kasih yang besar, mereka telah menjadi pendorong yang sangat besar bagi orang-orang yang masih parbegu untuk menjadi Kristen.
e.    Tahun 1950, kursus  pendeta didirikan di Pematang Raya yang mendidik orang-orang Simalungun menjadi pendeta gereja Simalungun itu sendiri. Kursus ini hanya menamatkan siswanya satu kalia yakni tahun 1952. Pendidikan pendeta di kalangan HKBP pada waktu itu termasuk untuk orang-orang Simalungun adalah di pusat Seminari Sipoholon.

5. Terbentuknya HKBP Simalungun Yang Otonom (1952-1963). Satus HKBP Simalungun yang otonom ini memang masih bernaung di bawah pimpinan Ephorus HKBP walau kepada mereka telah diberikan kebebasan organisatoris dan pengelolaan keuangan sendiri. Mereka juga sudah diberi hak untuk mengadakan synode sendiri yang dipimpin oleh seorang wakil Ephorus, wakil Ephorus pertama yang memimpin HKBPS ialah Pdt. J.W. Saragih. Pembentukan HKBPS tahun 1952 didasaari oleh pergumulan teologis praktis oleh beberapa tokoh yang berlatarbelakang Simalungun, yang melihat bahwa usaha PI di Simalungun akan lebih berhasil apabila strategi dan metode diatur oleh orang-orang Simalungun itu sendiri bukan campuran antara Simalungun dan Toba. SA HKBP 1953, telah menerima pemberitahuan berdirinya HKBPS sejak 5 Oktober 1952. Dengan demikian organisasi HKBPS adalah sebagai bagian dari HKBP di daerah-daerah yang berbahasa Simalungun dapat diharapkan lebih cepat bergerak dan mendekatkan dirinya kepada tata hidup social,  rohani budaya dan bahasa Simalungun. Pada SA 1953, HKBPS telah mencanangkan “Plan 10 tahun” (rencana sepuluh tahun) yang bertekad bahwa pada tahun 1963 seluruh orang Simalungun yang masih “parbegu” akan menjadi anggota GKPS. Tahun 1959, kongsi Bibel telah menterjemahkan Alkitab PL sampai kitab Ulangan, di mana tiap-tiap jemaat mendirikan gereja masing-masing, dan menjelang tahun 1963, HKBPS sudah siap menjadi gereja yang bedriri sendiri.

6.  Berdirinya GKPS menjadi sebuah gereja yang mandiri (1963- Sekarang). HKBPS ditetapkan menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri dengan nama baru “Gereja Kristen Protestan Simalungun” (GKPS) yang tanggal 2 September 1963, gereja ini telah berumur 60 tahun. Pada waktu itu  anggoita gereja berjumlah 61.147 orang, 177 jemaat, 22 pendeta, 16 resort,  dan tiga Distrik. Setelah kemandirinya itu, GKPS berkembang terus, hingga sekarang ini boleh dikatakan hampir semua orang Simalungun yang dulunya “parbegu” sudah menjadi Kristen. Dan seperti HKBP, gereja ini juga didirikan bukan hanya di daerah Simalungun tetapi juga di daerah-daerah perantauan seperti di Medan dan Jakarta.






SEJARAH MASUK DAN BERKEMBANGNYA
KEKRISTENAN DI NIAS

Pendahuluan
1. Sejarah masuk dan berkembangnya kekristenan di Nias,  hampir sama dengan sejarah masuk dan berkembangnya kekristenan di tanah Batak. Demikian dengan badan zending yang bekerja di Nias, juga di motori oleh badan zending RMG yang saat masuknya badan zending ini mendahului masuk dan berpengaruhnya Belanda sebagai kekuasaan kolonial di sana.  Misionaris RMG pertama yang diutus dan bekerja di Nias adalah Denninger  setelah ia bersama dengan rekannya yang lain di usir dari Kalimantan akibat dari perang Hidayat (1859) yang berkecamuk di sana. Denninger kemudian datang ke Padang bersama-sama dengan temannya yang berhasil selamat, yakni: Klammer. Rencana semula, mereka akan diutus oleh RMG untuk mengabarkan Injil ke Tapanuli, tetapi  Denninger tidak bisa sampai ke Tapanuli karena di Padang isterinya jatuh sakit. Akhirnya di Padang, Denninger bertemu dengan sejumlah orqang-orang Nias yang merantau ke sana, dan tertarik untuk mengabarkan Injil kepada mereka. Penduduk setempat, yakni orang-orang  Minang itu sendiri sudah sulit untuk dikristenkan, karena mereka sudah lebih dahulu menganut agama Islam. Di Padang Denninger mempelajari bahasa Nias dan berencana mendirikan satu gereja untuk orang-orang Nias perantau tersebut. Tetapi rencana itu tidak jadi dilakukan karena ia berpikir bahwa pembangunan gereja  tidak ada artinya, karena orang-orang Nias tidak menetap tinggal di sana. Lalu Denninger memutuskan untuk pergi langsung ke daerah Nias itu sendiri. Ia tiba di pulau Nias tanggal 27 September 1865. Tanggal ini oleh BNKP ditetapkan sebagai tanggal kelahiran gereja ini. Di  Nias, Denninger berusaha sekuat tenaga untuk memberitakan Injil, namun ia menghadapi banyak kesulitan sehingga perkembangan usaha PI di sana agak lambat.

Ada beberapa hambatan dihadapi Denninger dalam memberhasilkan UPI-nya DI Nias, yakni:
a.    Di daerah Nias banyak bersarang penyakit malaria.
b.    Suku-suku di daerah Nias terbagi ke dalam keluarga-keluarga yang hampir tidak berhubungan satu sama lain. Mereka hidup sendiri-sendiri di kmapung mereka.
c.    Keadaan geografis yang sangat menyulitkan, karena di sana belum ada jalan yang baik dan masih banyak hutan dan pegunungan. Selain itu, perhubungan melalui laut juga sering mengalami gangguan karena ombak yang besar.
d.    DI daerah ini masih banyak dijumpai suku-suku pengayu (pemenggal kepala).
e.    Kehidupan social budaya yang masih kolot sekali, terutama dalam hal yang menyangkut perkawinan dengan besarnya “borvo” (mas kawin) yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak  perempuan. Kalau “borvo” tidak lunas dibayarkan, pihak perempuan juga akan menuntut ini dari keturunan menantunya itu. Sampai sekarang, masalah “borvo” ini belum bisa diatasi secara sepenuhnya, walau pelaksanaannya tidak seketat jaman dahulu. Tetapi masalah “borvo” telah menimbulkan dampak social yangkurang baik, karena banyak orang yang sampai lanjut usia tidak bisa kawin karena orangtuanya miskin.

Pembaptisan pertama dilakukan  kepada orang-orang Nias terjadi pada hari raya Paskah tahun 1874, yakni atas 25 orang Nias. Ini berarti bahwa pembaptisan pertama ini  terjadi setelah  UPI berlangsung di Nias selama sembilan tahun lamanya. Dan dalam waktu 25 tahun setelah kedatangan Denninger (1890), orang-orang Nias yang beerhasil dibaptis menjadi Kristen baru tercatat sebanyak 706 orang yang terhimpun dalam tiga jemaat.

Namun dalam kurun waktu 25 tahun pertama itu, di sana telah diciptakan oleh para misionaris sarana-sarana yang memungkinkan perluasan di kemudian hari, yakni:
a. Orang Kristen Nias sendiri telah belajar untuk ikut aktif mengabarkan Injil. Salah seorang tokoh  Nias yang berkemauan besar dalam UPI  ialah kepala kampung yang bergelar Ama Mandranga.
b.  Sejumlah guru-guru serta penatua telah diangkat oleh para misionaris untuk membantu mereka. Untuk ini, tahun 1882, telah didirikan sebuah lembaga pendidikan guru.
c.  Usaha-usaha untuk membina jemaat agar mereka mampu membiayai diri sendiri sudah dimulai pada masa ini.
d.  Penterjemahan Alkitab dan buku-buku Krisrten ke dalam bahasa Nias oleh misioanaris Sundermann, dengan bantuan Ama Mandranga dan orang-orang Nias lainnya.

Masa perkembangan Kekristenan di Nias
2.   Tahun 1915, setelah 50 tahun UPI di Nias jumlah orang-orang Kristen di sana  telah naik menjadi 20.000 orang dan pada waktuitu daerah zending sudah meliputi daerah nIas Barat dan Nias tengah. Tetapi perkembangan kekristenan yang lebih pesat baru mulai sejak tahun 1916. Sejak saat ini, sering terjadi pembaptisan secara massal. Pertobatan massal ini mula-mula dilakukan oleh seorang evanggelis dari orang Nias itu sendiri yang bernama Filemo (Philemon) di Humene. Dia seorang evanggelis yang sangat teguh dalam iman dan menjadi gembala yang baik, sehingga ia menjadi suri teladan dalam hidup kekristenan di Nias. Dalam UPI-nya,  Philemon menekankan pertobatan yang sungguh-sungguh, pengampunan dosa, dan pergi  ke tempat-tempat sunyi seperti yang dilakukan oleh Johanes pembaptis. Philemon mengadakan penggembalaan di antara empat mata dan ia mendoakan setiap orang yang datang kepadanya. Dengan cara ini, berduyun-duyunlah orang-orang Nias menemuinya di tempatnya. Dalam setiap  pembeicaraan penggembalaan yang dilakukan sering terjadi bahwa orang-orang yang digembalakannya itu sampai mencucurkan air mata, setelah menyadari akan dosa-dosanya. Penggembalaan yang dilakukannya juga sering mendorong terjadinya pertobatan yang sepenuh hati yang dalam bahasa Nias disebut sebagai “fangesa dodo”. Tetapi ada juga orang-orang Nias yang mencoba meniru-niru cara yang dilakukan oleh Filemo untuk tujuan yang tidak baik.  Mereka kemudian sering dijuluki sebagai “tukang fangesa dodo”, menyelewengkan kepercayaan orang banyak kepada mereka untuk mencari keuntungan diri sendiri. Tukang-tukang “fangesa dodo” ini mengarah kepada praktek-praktek dukun yang mengutip bayaran dari orang-orang yang datang kepada mereka dan  ada juga yang melanggar hukum yang ketujuh. Tetapi niat jahat “evanggelis-evanggelis”  palsu seperti itu juga ketahuan kepada orang banyak, sehingga mereka pun ditinggalkan oleh orang Nias. Dengan adanya gerakan pertobatan massal pada kurun waktu ini, maka dengan cepat bertambahlah jumlah orang-orang Kristen Nias. Dalam perhitungan tahun 1929, jumlah mereka yang telah di baptis menjadi Kristen tercatat sebanyak 85.000 orang.

Terbentuknya Synode BNKP (Banua Niha Keriso Protestan)
3. Synode BNKP pertama yang terbentuk adalah tahun 1936, yang sekaligus menjadikan gereja ini sebagai gereja yang mandiri. Walau dikatakan sebagai gereja yang mandiri, kepemimpinan BNKP masih tetap dipegang oleh para misionaris Jerman sebagaimana halnya yang terjadi di HKBP. BNKP juga mengalami akibat peristiwa 10 Mei 1940, di mana terjadinya orang antara Jerman dengan Belanda, maka seluruh tenaga misionaris Jerman yang bekerja di Nias ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Belanda di Indonesua. Gereja di Nias juga mengalami ujian yang sangat berat dengan hadirnya BNZ yang berusaha untuk menggantikan kedudukan RMG dan mencoba mengambil kepemimpinan BNKP. Tetapi orang-orang Kristen Nias tidak mau menyerahkan kepemimpinan gereja itu kepada pendeta-pendeta  Belanda dalam naungan BNZ ini. Mereka ingin berdiri sendiri dengan dipimpin oleh putera Nias sendiri. Pada waktu inilah terpilih Ephorus BNKP yang pertama dari kalangan pendeta Nias, yakni: Pdt. Atefona Harefa ia memegang jabatan Ephorus dari tahun 1940-1955. Struktur gereja BNKP hampir sama dengan struktur gereja HKBP, hanya jenjangnya sedikit berbeda dari HKBP. Resort bagi HKBP, adalah sama dengan Distrik bagi BNKP, dan sebaliknya: distrik bagi HKBP adalah  resort bagi BNKP.  Gereja ini juga banyak menghadapi tantangan, baik yang muncul dari dalam maupun yang datang dari luar.  Yangmuncul dari dalam ialah  adanya beberapa gereja yang terpecah dari BNKP. Perpecahan pertama dalam tubuh gereja BNKP terjadi tahun 1946 yang dilakukan oleh satu kelompok orang Kristen Nias di daerah Humene. Mereka membentuk gereja mereka sendiri dengan nama: “Angowuloa Masehi Idanoi Niha” (AMIN) atau disebut juga sebagai “Agama Masehi Indonesia Nias”.  Perpecahan kedua terjadi tahun 1950 di daerah Nias Barat. Orang-orang Nias yang memisah ini membentuk gereja yang diberi nama: “Orahua Niha Keriso Protestan” (ONKP). Kedua perpecahan  ini bukan karena persoalan teologis dogmatis (perbedaan ajaran), tetapi karena masalah kepemimpinan atau organisasi gereja itu. Tantangan adari luar adalah dengan masuknya beberapa gereja dan agama lain ke daerah Nias. Gereja RK mulai berusaha masuk ke Nias tahun 1939 yangmula-mula bekerja di daerah Nias bagian Selatan. Perkembangan gereja RK  terlihat lebih pesat setelah PD II berakhir. Selain dari gereja RK, gereja Adventist juga bekerja di daerah Nias bagian  Selatan. Selain gereja-gereja tersebut di atas, agama Islam berusaha mengembangkan pengaruhnya di daerah Nias, tetapi pengaruh Islam ini tidak begitu berkembang di Nias karena latarbelakang budaya Nias (makan daging babi) yang dipantangkan oleh Islam. Kebiasaan ini tidak terpisahkan dari budaya dan adat kebiasaan masyarakatnya. Pusat pendidikan pelayan gereja (seminari) yang mendidik calon guru-guru  jemaat dan calon pendeta Nias mula-mula didirikan di Omblata tetapi kemudian dipindahkan ke Gunung Sitoli.  Tamatan pertama sekolah pendeta di Omblata, terjadi  tahun 1906. Sebuah Rumah Sakit didirikan di Hilisimaetano yang diberi nama RS Lukas. Pada akhir tahun 1980-an, keadaan jumlah orang Krosten  di daerah Nias adalah sebagai berikut: “BNKP beranggota kira-kira 250.000 orang ; AMIN beranggota 14.000 orang ; ONKP beranggota 35.000 orang dan RK beranggota + 50.000 orang. Hampir seluruh masyarakat Nias adalah penganut  agama Kristen.

Kekristenan di Pulau-Pulau Batu
4. Pulau-pulau Batu terletak di sebelah selatan kepulauan Nias. Yang meberitakan Injil ke pulau-pulau ini bukanlah penginjil RMG, melainkan para misionaris Belanda yang beraliran Lutheran.  Mereka diutus oleh “lembaga PI Lutheri” dari negeri Belanda. Usaha PI di Pulau-pulau Batu di mulai tahun 1889 – 1940. DI pulau-pulau ini sudah terbentuk 15 jemaat yang kecil. Masa PD  II gereja ini berdiri sendiri di bawah pimpinan seorang kepala suku yang sudah menjadi Kristen. Tetapi setelah perang berakhir, gereja ini telah bergabung dengan gereja BNKP. Pendeta pertama putera daerah adalah Pdt. Wao, lulusan dari seminari sekolah  pendeta Sipoholon.

SEJARAH GEREJA KRISTEN
PROTESTAN MENTAWAI (GKPM)

Permulaan Kekristenan di Mentawai
1.  Kepulauan Mentawai adalah terletak di sebelah Barat daerah Sumatrera Barat, dan terdiri dari beberapa pulau dan pulau-pulaunya yang terbesar ialah: Siberut, Sipora dan Page. Bahasa daerah di Pulau Page adalah berbeda dari bahasa daerah di Pulau Siberut. Tetapi bahasa yang dipergunakan dalam gereja adalah bahasa Page. Hal ini menunjukkan bahwa kekristenan di pulau Page lebih maju dari kekristenan di Pulau Siberut. Bagaimana kekristenan di Pulau Mentawai ini ? Menjelang tahun 1900, pimpinan RMG di Barmen mendapat sebuah kiriman berupa sebilah tombak yang disertai dengan sepucuk surat dari Syah Bandar Padang seorang Belanda. Dalam surat itu, ia menyebutkan: “dengan tombak ini orang Mentawai telah membunuh seorang awak kapal dagang. Penduduk pulau itu masih orang-orang kafir yang buas semua. Masih berapa lama lagi mereka baru sempat mendengar Injil ?” Surat inilah yang mendorong RMG mengirim misionarisnya ke Mentawai. Misionaris pertama yang diutus oleh RMG ialah, August Lett,  yang tiba di Mentawai tahun 1901. Namun sebelum adanya orang-orang Mentawai yang dibaptis, August Lett dibunuh oleh orang-orang Mentawai sendiri tahun 1909, karena ia berusaha menjadi pengantara masyarakat setempat dengan pemerintah Belanda. Pekerjaan August Lett diteruskan oleh Pdt. F. Berger yang mulai bekerja di sana tahun 1907, yang dibantu oleh seorang guru Injil yang diutus oleh Zending Batak bernama: Gr. Manase Simanjuntak.
Namun, dalam UPI itu, mereka mengadapi banyak kesulitan, a.l:
a.    Daerah ini juga merupakan  sarang penyakit malaria.
b.    Keadaan geografis, dan hubungan lalu lintas yang sulit. Hubungan lalu lintas masih lebih banyak melalui laut dan sungai, karena perkampungan pada umumnya berada di tepi laut  atau sungai.
c.    Pengaruh kekafiran dan kuasa dukun sangat besar. Bagi masyarakat Mentawai: “datu” (Sikerei bahasa Mentawai) lebih dihargai daripada seorang raja atau “rimata”. “Sikerei” sangat dihormati karena dia dianggap sebagai perantara antara Tuhan dengan mereka. Sikerei juga dianggap mengetahui segala-galanya, karena ia sering berhubungan dengan roh-roh atau “sanitu-sanitu”.
d.    Tantangan dari pihak orang-orang Minang yang tidak menghendaki orang-orang Mentawai mengalami kemajuan. Orang-orang Mentawai diharapkan oleh orang-orang Minang yang datang berdagang ke Mentawai sebagai sumber penghasilan yang cukup besar. Karena orang-orang Metawai masih bodoh, sering mereka menyerahkan begitu saja hasil bumi mereka berupa cengkeh hanya dengan imbalan sedikit tembakau.

Setelah bergumul hampir 15 tahun, maka pembaptisan pertama baru terjadi tanggal 9 Juni 1916 yakni atas empat orang (dua pasangan suami isteri) yakni: Pomanyang dan isterinya dan Jago Mandi dan isterinya. Saat pembatisan yang pertama inilah yang ditetapkan sebagai hari lahir dari GKPM.

Dalam upaya menyebarkan Injil itu, hal-hal yang mendapat perhatian dari zending ialah:
a.   Pembinaan rohani. Pembinaan ini dimaksudkan untuk memperdalam iman dan pemahaman mereka akan nilai-nilai kekristenan itu. Tetapi pekerjaan ini sangat sulit dilakukan karena kepercayaan yang lama, yakni agama Sabulungan yang menganut paham animisme telah sangat sangat sulit dilepaskan dari kehidupan mereka.
b.   Usaha Pendidikan. Usaha ini dilakukan dengan mendirikan Sekolah-sekolah Dasar. Usaha pendidikan di sana sangatlah lambat sekali jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah sangat kurang memberi perhatian kepada usaha pendidikan di sana. Sampai tahun 1957, sekolah SD yang didirikan oleh pemerintah hanya satu dalam satu kecamatan, dan sampai tahun 1970 satu-satunya sekolah tingkat  lanjutan yang ada hanya SMP yang dibuka oleh sending HKBP mulai tahun 1957.
c.   Usaha dibidang kesehatan. Bidang ini juga merupakan perhatian zending, sehingga sending membangun sebuah RS di pulau Sikakap, dan sebuah poliklinik masing-masing di pulau Sipora dan di Muara Siberut.
d.   Mengenai kehidupan social ekonomi. Tingkat kehidupan social ekonomi sehari-hari sangat rendah, walau daerah ini mempunyai hasil yang cukup banyak seperti: kopra, rotan, cengkeh, dll. Namun yang memperoleh keuntungan yang besar dari hasil bumi mereka adalah pedagang-pedagang yang datang dari luar terutama   orang-orang Minang. Sampai tahun 1957, system perdagangan di sana masih system tukar menukar barang. Mereka sering memberikan hasil bumi mereka kepada orang-orang luar hanya dengan memperoleh imbalan tembakau. Orang-orang  Mentawai menganggap mereka kaya, karena di sana mereka tidak kekurangan bahan makanan berupa sagu, ketela pohon, keladi, pisang dll.

Tantangan Terhadap Gereja Mentawai
2.  Gereja Mentawai juga menghadapi banyak tantangan yang datang dari luar dirinya antara lain dari gereja RK, dari agama Islam dan agama Baha’i.  Gereja RK mulai bekerja di sana sesudah PD II, mereka mendatangkan kesulitan bagi zending HKBP karena “pada umumnya orang-orang yang sudah Kristen itulah yang diambil oleh RK menjadi anggotanya”. Gereka RK mempengaruhi warga Kristen ini dengan berbagai cara yang menarik antara lain, dengan membangun gereja yang besar dan bagus walau di tempat itu belum ada anggota jemaatnya. Sebelumnya, apabila zending mau membangun gedung gereja, partisipasi warga gereja dituntut misalnya dalam bentuk iuran, bantuan gotongroyong mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan seperti kayu, batu, pasir dll. Agama Islam juga dicoba dimasukkan di tengah-tenagah masyarakat Mentawai melalu orang-orang Minang yang datang ke sana. Tetapi agama Islam sulit diterima oleh orang Mentawai karena: “kebiasaan orang Mentawai yang suka makan daging babi”. Cara-cara sembahyang Islam yang sulit diikuti oleh orang-orang Mentawai itu. Adat kebiasaan mereka yang banyak bertentangan dengan kebiasaan Islam. Misalnya, ketika seorang meninggal dunia, bagi orang Islam pakaian orang yang meninggal itu tidak boleh ikut dikuburkan bersama mayatnya, sedangkan menurut kebiasaan orang Mentawai semua pakaian orang yang meninggal itu  harus ikut dikuburkan, tidak boleh ada yang tertinggal, karena menurut kepecayaan mereka, roh atau hantu  orang yang meninggal itu bisa tertinggal dalam pakaiannya. Suatu agama yang baru, yang bersifat sinkritisme pernah masuk ke Mentawai tahun 1953 yang dibawa oleh seorang Dokter asal Iran yang bekerja untuk pemerintah RI dan ditugaskan di daerah Mentawai, dan ia tinggal di daerah Muara Siberut. Agama yang diajarkannya disebut sebagai agama Baha’i  atau Babisme. Agama ini mulai didirikan tahun 1843 di Iran oleh pendirinya yang bernama Mirza Ali Muhammad dari Shiras. Tetapi karena pengikut agama ini mengadakan pemberontakan (1848), pemerintah Iran membasmi agama ini dari negeri itu dan sang pendiri yang bergelar “Bab-ed-Din” yang memperkenalkan diri sebagai Nabi yang dipercayai oleh orang-orang Jahudi, Kristen dan Islam dihukum mati. Babisme kemudian dilanjutkan oleh pemimpin yang baru yang bergelar Baha Ullah (nabi utusan Allah).  Ia adalah seorang Iran yang bernama Mirza Hussein Ali dan mengumumkan dirinya sebagai pengganti Bab-ed-Din. Kaum Baha’i mengimani hidup sederhana, pendidikan umum kesatuan semua agama, perdamaian dunia, persamaan kaum pria dan kaum wanita. Agama ini meluas ke seluruh dunia pada abad 20, dan berpusat di Willmette – AS.  Hingga sekarang, banyak pemeluk agama  Baha’i yang sukses di AS dan kaya raya sehingga mereka dapat membangun sebuah tempat ibadah mereka yang besar dan berlapis emas di Haifa Israel. Dan kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat agama Baha’i.  Sekitar tahun 1953, agama ini mulai masuk ke Indonesia dan sempat berkembang di wilayah Jakarta, Mentawai dan Jawa Timur. Tetapi karena ada segi-segi kegiatan mereka tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan sering melawan hukum yang  ada maka pemerintah Indonesia melarangnya tahun 1962. Dari sudut ajaran agama ini, dapat dikatakan bersifat sinkritis. Mereka yakin tidak ada satu pun  agama yang sudah ada sebelumnya, yang bisa memonopoli kebenaran seratus persen. Mereka menolak pendapat yang mengatakan “agamaku yang paling benar”. Sebaliknya, mereka percaya tiga agama yakni :Islam, Kristen dan Jahudi” serta percaya kepada semua nabi yang dikenal oleh ketiga agama itu sejak nabi Musa, Isa (Yesus Kristus) dan nabi Muhammd SAW. Setelah agama ini dilarang oleh pemerintah Indonesia, maka agama ini menjadi hilang dari bumi Indonesia termasuk juga dari daerah Mentawai. 

GKPM Sebagai gereja yang bediri sendiri
3. Tahun 1978, HKBP mengubah status gereja ini dari gereja sending menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri. Pada waktu itu, namanya yang lama “Paamian Kristen Protestan Mentawai” (PKPM) diganti menjadi “Gereja Kristen Protestan Mentawai” (GKPM). Setelah kemandiriannya itu, maka gereja ini dipimpin langsung oleh putera itu sendiri dengan Ephorus yang pertama: Pdt. Melki Tatubetet, STh, ia  seorang alumni Fakultas theology Universitas HKBP Nomensen. Tetapi walau gereja ini dikatakan sudah berdiri sendiri, gereja ini masih bergumul pada soal dana dan sumber daya manusia. Sampai sekarang gereja ini masih tetap dibanrtu oleh HKBP dan badan-badan gereja lain dari luar negeri.













SEJARAH GEREJA BATAK
KARO PROTESTAN (GBKP)

1.  Pendahuluan. Denominasi ini adalah jemaat Kristen di Sumatera Utara yang bertumbuh bukan sebagai hasil misi PI badan zending RMG (Jerman), tetapi dihasilkan oleh badan misi zending NZG (Nederland Zending Genotschaft) Belanda. Latarbelakang masuknya NZG di tanah Karo, sangat berhubungan dengan dibukannya perusahaan-perusahaan perkebunan (khususnya tembakau) melalui badan perdagangan (VOC) pemerintah Belanda tahun 1860) daerah Sumatera bagian Timur. Perusahaan-perusahaan perkenunan ini kemudian semakin berkembang ketika tahun 1890 perusahaan minyak bumi kemudian ditemukan di Brandan (Langkat). Hingga tahun 1890, daerah Sumatera bagian Timur (Deli) penduduknya dominan dihuni oleh suku Melayu (sebagai penduduk asli), suku Jawa (mereka khusus didatangkan sebagai tenaga kerja di berbagai perkebunan dan pabrik-pabrik yang didirikan oleh Belanda) dan orang Tionghoa yang datang untung tujuan perdagangan mereka. Fenomena ini, mempengaruhi berkembangnya beberapa kota di daerah Sumatera bagian Timur seperti misalnya, Binjai, Medan dan Tebing Tinggi di mana kehidupan social masyarakat di kota-kota ini tidak lagi dipengaruhi oleh hubungan daerah seperti halnya di daerah suku yang masih murni. Daerah pedalaman sebelah Utara Danau Toba yang didiami oleh suku Batak Karo (masih serumpun dengan Batak Toba) penduduknya secara langsung mendapat pengaruh kuat dari pendirian perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda ini. Akhrinya mereka semakin terdesak, dan makin jauh masuk ke pedalaman yang melaluinya msayarakat Karo sadar terhadap penyerobotan tanah mereka oleh perusahaan perkebunan Belanda. Awalnya masyarakat Karo sangat tegas menolak kehadiran perusahaan-perusahaan Belanda ini, dan aksi yang mereka lakukan menolak perusahaan-perusahaan ini adalah melalui membakar gedung-gedung perkebunan Belanda.

2.  Latarbelakang GBKP sebagai gereja hasil misi PI NZG. Sejak awalnya, tajamnya penolakan masyarakat Karo terhadap pendirian perusahaan-perusahaan Belanda di daerah mereka (Sumatera bagian Timur - daerah Langkat sekarang) merupakan alasan kuat bagi pemerintah kolonial untuk mendatangkan para misionaris melalui badan misi NZG dari Belanda untuk “merngkristenkan” masyarakat Karo. Ini dapat dikatakan bahwa inisiatif pertama pengkristenan Karo, ini diprakarsai oleh perusahaan perkebunan Belanda bukan badan zending. Akibat gangguan yang dialami oleh perusahaan perkebunan itu, maka pimpinan perusahaan Belanda meminta NZG mengutus para misonaris kepada orang Karo dengan satu-satunya harapan agar masyarakat Karo dapat di “jinakkan” atas peristiwa gangguan itu. Tawaran perusahaan perkebunan itu kepada pihak badan zending RMG adalah, bahwa mereka akan menanggung semua biaya misi kepada masyarakat Karo. Awalnya, pimpinan NZG di Belanda tidak menerima permintaan ini, alasannya misi PI tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan perdagangan (kapitalisme). Namun, sadar akan rencana pertama yang tertunda oleh pihak NZG untuk mengabarkan Injil di Karo (karena ketiadaan biaya) maka tawaran ini dianggap sebagai peluang dan kesempatan baik walau di kemudian hari setelah perjanjian ini dilaksanakan pihak perusahaan tidak melanjutkan biaya misi NZG itu karena ketiadaan biaya sebab krisis ekonomi ketika itu. Dengan keadaan seperti itu, NZG tetap melanjutkan pekerjaan misi di Karo.

3.    Sejak awal perjanjian ini, misionaris pertama yang di utus ke tanah karo ialah H. C. Kruyt yang tiba di sana tanggal 18 April 1890. Tanggal inilah kemudian ditetapkan oleh GBKP sebagai hari lahir Gereja itu. H.C.Kruyt adalah anak dari J.Kruyt, seorang penginjil yang pernah bekerja di Majowarno-Jawa Timur dan abang dari A.C.Kruyt (seorang etnologi ternama) misionaris Ordo Yesuit di Sulawesi Tengah. Sebelumnya, H.C. Kruyt bekerja sebagi kepala sekolah Guru di Tomohon, Minahasa. Dari Minahasa dia membawa empat orang guru yang diharapkan akan bisa membantu dirinya memberitakan Injil tanah Karo. Setibanya di Tanah Karo, mereka kemudian menetap di Buluh Hawar (dekat Sibolangit), sebab pemerintah Belanda belum mengijinkan mereka masuk lebih jauh ke daerah yang waktu itu belum dikuasai oleh Belanda. Tetapi Kruyt bekerja di tanah Karo hanya dua tahun, lalu ia pulang ke Negeri Belanda. Karena itu yang menjadi tokoh penginjil yang paling terkenal di tanah Karo bukanlah dirinya, melainkan J.H.Newmann yang bekerja di daerah itu dari tahun 1900 – 1949, yang oleh orang Karo menganggap Newmann sebagai rasul mereka.  Setelah H.C.Kruyt pulang, ia diganti oleh Van Wijngaarden (1892), inilah misionaris pertama yang melakukan pembaptisan pertama di Tanah Karo di mana peristiwa itu berlangsung tanggal: 20 Agustus 1893, atas 6 orang Karo dan sampai tahun 1900 tidak lebih dari 25 orang yang di baptis menjadi Kristen. Baru setelah kedatangan Newmann penginjilan di daerah Karo mengalami perkembangan  yang lebih cepat. Jika dibandingkan dengan penginjilan yang dilakukan Nommensen di Tapanuli Utara, hasil yang dicapai di Tanah Karo sangatlah lambat. Pada tahun 1926, jumlah orang Krsiten yang di baptis di Karo masih 1500 orang, dan setelah 50 tahun penginjilan itu orang Kristen karo masih berjumlah 5000 orang.

Beberapa factor yang membuat penginjilan itu kurang maju di sana ialah:  
-          Orang Karo melihat Zending itu sebagai sahabat perusahaan perkebunan yang mereka musuhi, karena makin mendesak mereka.
-          Orang Karo tidak terdesak oleh Islam yang militan seperti halnya di Tanah Batak bagian Selatan sehingga para misionaris kurang berpacu melakukan penginjilan itu.
-          Orang-orang Karo pada waktu itu belum membutuhkan zending sebagai sarana untuk menampung modernisasi.
-          Orang-orang karo kurang diberi kesempatan untuk menanggung sendiri karya pekabaran Injil di daerahnya. Zending memang terus berusaha mendirikan sekolah penginjil agar dari orang Karo itu ada tenaga yang ikut membantu pekabar-pekabar Injil yang diutus oleh NZG. Kemudian dari antara mereka tahun 1938 dipilih dua orang untuk di sekolahkan mengikuti pendidikan kependetaan di Seminari Sipoholon, Tarutung. Kedua orang itu tammat dan ditahbiskan menjadi pendeta, tahun 1941. jadi sampai Gereja itu berumur 50 tahunn yakni tahun 1940, belum ada satu orangpun pendeta Karo ditahbiskan.

Tetapi peranan Zending sangat besar dalam mendidik masyarakat Karo menyesuaikan diri dengan ekonomi modern dengan jalan menanam kentang, sayur-sayuran, buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan kota-kota besar di Sumatera Utara bahkan dikemudian hari hasil tanaman sayur-sayuran tanah Karo telah ada di ekspor ke luar negeri. Dari sudut inilah diketahui partisipasi besar misionaris terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi masyarakat Karo hingga sekarang.

4.    Terbentuknya Sinode GBKP yang pertama (1941). Sinode “Gereja Batak Karo Protestan” (GBKP) yang pertama dilangsungkan di Sibolangit tanggal 21 Juli 1941, saat sinode ini berlangsung, mereka menetapkan sebuah tata Gereja dan tata kebaktian yangbaru dan berlaku bagi Gereja itu. Pada tahun itu dua orang pendeta Karo yang pertama telah ditahbiskan, yakni Thomas Sibero dan Palen Sitepu, namun pimpinan gereja masih tetap dipengang utusan NZG. Masa bergejolaknya PDI, para pendeta Belanda itu ditawan oleh pemerintah militer Jepang tahun (1942), atas keadaan ini barulah kemandirian Gereja Karo berlangsung secara penuh. Masa perang kemerdekaan (1945-1949), ini mempengaruhi terjadinya perjuangan yang sengit khususnya di daerah Karo. Masa keadaan ini orang Kristen Karo mendapatkan tantangan sengit dari suku Melayu yang berdekatan langsung dengan mereka. Sebab baik orang Karo yang belum Kristen, maupun orang Melayu yang eusdah menjadi Islam, mereka menganggap orang-orang Kristen Karo yang dihasilkan oleh Zending NZG (Belanda) mereka dianggap (juga oleh pejuang kemerdekaan Indonesia) sebagi kaki tangan Belanda, namun dalam situasi sulit seperti itu warga jemaat GBKP tetap mampu dan berhasil mempertahankan dirinya. Perkembangan kekristenan yang lebih pesat di tanah Karo baru terjadi mulai tahun 1950-an. Pada waktu itu banyak tentara dari suku Karo yang masuk Kristen. Misalnya tahun 1953, semua anggota satu batalyon TNI masuk menjadi Kristen. Dalam masa lima tahun anggota GBKP berlipat empat kali jumlahnya. Pertambahan yang lebih besar lagi terjadi sejak peristiwa G30SPKI tahun 1965, pada waktu itu banyak orang Karo belum beragama dan mereka beranggapan bahwa jika tidak memasuki agama Kristen mereka akan dituduh sebagai komunis. Karena itu secara beramai-ramai masuklah orang-orang yang masih pelbegu itu menjadi Kristen, yang membuat sering terjadi pembaptisan massal. Untuk melayani pembaptisan massal itu GBKP terpaksa meminta beberapa tenaga beberapa pendeta dari HKBP, HKI, GMI, GKPS, dll. Tahun 1965 itu, ketika GBKP berusia 75 tahun, jumlah anggotanya mencapai 35 ribu orang. Kemudian gerakan penginjilan yang lebih intensif mulai dilakukan oleh GBKP menjelang tahun 1980, ketika gereja itu sudah beranggotakan 110 ribu orang. Misalnya tahun 1979, gereja itu  telah menyusun suatu Pengakuan Iman yang memberi patokan iman dan anjuran bagi warga gereja di GBKP.      

PERKEMBANGAN GEREJA METHODIST
 INDONESIA DI SUMATERA UTARA

1. Pendahuluan. Berbicara mengenai sejarah GMI, perlu diketahui terlebih dahului mengenai sejarah permulaan dari gereja Methodist itu. Sebagaimana diketahui bahwa gereja Methodist muncul di Inggris tahun 1738 sebagai hasil dari gerakan kebangunan rohani yang telah dic etuskan oleh Jhon Wesley. Aliran Methodisme ditandai oleh tekanan atas kehidupan suci dan displin gereja yang sangat ketat. Gereja ini kemudian berkembang di Amerika yang dibawakan oleh kaum imigran Inggris ke Amerika. Dan pada tahun 1784, penganut-penganut gereja Methodist di Amerika telah memisahkan diri dari gerakan di Inggris, dengan mendirikan gereja yang tersendiri  yang dipimpin oleh uskup-uskup (episkopal Methodist Church). Tahun 1818, gereja ini membentuk sebuah badan penginjilan yang bernama: “Board of Mission and Church Extention of The Methodist Church” atau “Dewan Pekabaran Injil dan Perluasan Gereja Methodist”. Tahun 1855, badan penginjilan ini mulai bekerja di Malaka dan Singapura dan dari sana mengembangkan usaha penginjilannya sampai ke Kalimantan, Jawa dan Sumatera. Karena tidak cukup tenaga dan dana untuk membiayai lapangan penginjilan yang seluas itu, maka tahun 1928 zending Methodist membatasi diri pada pulau Sumatera saja. Di Sumatera pun zending Methodist dapat menempuh pekerjaan yang intensif hanya di Sumatera Utara dan di Palembang. Mereka bekerja terutama di kalangan orang Cina yang tinggal di kota-kota dan orang Batak perantauan. Karya penginjilan di Sumatera Utara, khususnya di Medan di mulai tahun 1905, yang dirintsi oleh sejumlah bekas murid sekolah Methodist di Penang yang dipimpin oleh seorang guru tamatan sekolah Penang itu yang bernama Salomo Pakianathan (orang Tamil). Mereka mulai mengadakan kebaktian Methodist dan mendirikan sekolah sekolah khususnya bagi orang-orang Cina yang ada di tempat itu.

2.  Perkembangan Selanjutnya Methodist Hingga Ke Sumatera Utara. Pada tahun 1912, seorang pendeta utusan dari Amerika tiba di Medan. Misionaris Methodist inilah yang pertama sekali melakukan perjanjian kerjasama dengan zending RMG (gereja Batak) untuk melayani sebagian orang-orang Kristen Batak yang pindah dari Tapanuli ke Sumatera Timur dan yang untuk bekerja di perkebunan-perkebunan, pegawai pemerintah dan juga membuka lahan-lahan pertanian yang baru. Tenaga RMG dan pendeta Batak tidak cukup untuk ditempatkan untuk melayani mereka yang berserak di beberapa tempat, sehingga RMG (gereja Batak) meminta bantuan dari misionaris Methodist ketika itu. Pelayanan Ini didanai oleh uskup gereja Methodist dari Singapura dengan mengirimkan beberapa pendeta dari evangelist Methodist ke daerah Sumatera Timur. Dan untuk menghindari adanya salah paham dan perselisihan di antara ke dua belah pihak, maka tahun 1912 ditetapkalah perjajian ini yang isinya terutama menyangkut pembagian daerah pelayanan: “gereja Methodist diberi kesempatan untuk melayani di daerah Asahan, Labuhan Batu sampai ke daerah Bengkalis” sedangkan gereja Batak (pimpinan RMG) akan melayani di daerah Deli Serdang dan Langkat. Sedangkan daerah Simalungun sudah lebih dulu dilayani oleh misionaris yang diutus oleh RMG (gereja Batak) dan khususnya mengenai daerah-daerah perkebunan jika di sana sudah ada pendeta dari Tapanuli, maka kepada orang-orang Kristen Batak yang ada di sana diberi kebebasan apakah memilih pelayanan Methodist atau memilih pelayanan pendeta dari Tapanuli itu (gereja Kristen Batak atau HKBP).

3. Tindaklanjut Realisasi Perjanjian Methodist dan RMG (gereja Batak).  Kerjasama antara gereja Methodist untuk seterusnya berjalan dengan baik, termasuk dalam pendidikan kependetaan. Gereja Methodist juga menyekolahkan putera-puteranya di Sekolah Seminari Sipoholon. Tenaga pengejar dari Methodist pun pernah di utus ke Seminari Sipoholon yakni: Pdt. Klaus. Demikian juga setelah berdirinya Fakultas theology di Pematangsiantar, gereja Methodist pernah mengutus tenaga pengajar seperti Rev. Alm dan Rev. H. Parkin. Di kemudian hari, pernah terjadi perselisihan di antara kedua gereja ini yang disebabkan oleh pemahaman dan penafsiran yang berbeda mengenai isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya tahun 1912. Setelah semakin banyak orang-orang Kristen Tapanuli (warga HKBP) yang pindah ke daerah Asahan dan mereka tetap menginginkan agar dilayani dan menjadi warga HKBP, maka mereka mendirikan gereja HKBP di sana seperti di Tanjung Balai misalnya. Tindakan ini, dianggap oleh gereja Methodist sebagai pelanggaran terhadap perjanjian yang pernah dimufakati. Karena itu, gereja Methodist pun akhirnya melanggar kesepakanan itu dengan mendirikan beberapa gereja Methodist di Tapauli Utara untuk menanmpung warga HKBP yang sedang bergelak seperti yang pernah terjadi di Sigumpar. Pada mulanya, secara organisatoris, zending Methodist dan gereja-gereja yang dihasilkannya dibawahi uskup di Singapura yang merupakan warga negara Amerika Serikat. Pada masa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, hal ini menimbulkan persoalan. Maka pada tahun 1964, dimulailah proses menuju otonomi yang selesai tahun 1969 dengan pengangkatan seorang warga negara Indonesia menjadi uskup  yang berkedudukan di Medan. Gereja Methodist Indonesia sesuai dengan pola Methodist terdiri dari dua “konferensi” (sinode wilayah).  Yakni, konferensi sumatera Utara dan konferensi Sumatera Selatan. Kedua konferensi ini dipersatukan dalam sinode Am-nya yang disebut sebagai “konferensi agung”. Konferensi agung inilah yang memilih uskup gereja itu.

4. Penutup. Belakangan ini, gereja Methoist mengalami perkembangan yang sangat pesat di kalangan orang-orang Tionghoa. Hingga sekarang, gereja ini sangat aktif dan maju melalui usahaa-usaha pendidikan mulai dari sekolah taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Di kota Medan sendiri, gereja in telah memiliki satu Universitas yang cukup besar dan ternama. Hingga sekarang juga, gereja ini tidak luput dari persoalan-persoalan yang menimbulkan perpecahan. Tahun 1964, gereja Methodist telah mengalami perpecahan, yaitu dengan berdirinya sebuah gereja yang memisah yakni: “gereja Methodist merdeka, yang persoalannya hampir sama dengan persoalan yang menyebabkan perpecahan GKPI dari HKBP yang juga terjadi tahun 1964.”


BIBIT-BIBIT KONFLIK DALAM GEREJA
BATAK  DALAM SEJARAH

Pendahuluan
1.  Dalam pelayanan jemaat, terdapat berbagai kelompok yang sering menjadi pemicu dan pencetus/penggerak conflik. Mereka disebut sebagai musuh-musuh dalam jemaat yang kalau tidak ditangani sedemikian rupa bisa mengakibatkan masalah bahkan konflik yang besar. Mereka sering melancarkan serangan kepada para pelayan dan kepemimpinan di jemaat dengan mempergunakan kekuatan dan pengaruh mereka. Tanpa bukti yang jelas dan substansial, mereka mau menyampaikan tuntutan dan serangan kepada para pelayan. Musuh-musuh utama ini sering menolak bahkan tidak mau mendengar apa yang masuk akal. Tujuan utama mereka hanyalah menimbulkan kekacauan. Sebenarnya, tidak semua konflik itu tidak sehat artinya: ada konflik yang sehat. Sangat alamiah jika ada perbedaan-perbedaan pendapat tentang pengelolaan jemaat, tentang tafsiran Alkitab dan lain-lain.  Gereja adalah persekutuan orang berdosa bukan persekutuan orang yang sudah sempurna. Jika demikian, kehadiran konflik dalam persekutuan yang demikian sangatlah masuk akal. Namun yang menjadi masalah adalah jika konflik tersebut melumpuhkan dan merusak pelayanan.

Berhubungan dengan ini, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam mengatasi konflik, antara lain:
      a.  Menciptakan suasana yang kondusif
b. Melakukan klarifikasi persepsi dari masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik
c. Memfokuskan analisa pada kebutuhan masing-masing individu dan kebutuhan bersama.
d.    Membangun kekuatan yang positif. Di sini ajaran dan kepercayaan kita orang Kristen dipraktekkan
e.    Memandang dan berharap akan masa depan yang lebih baik dan belajar dari masa lalu
f.     Memunculkan beberapa opsi atau alternatif pemecahan maalah
g.    Mengembangkan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan
h.    Melihat dan memformulasikan kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan semua pihak. Untuk sampai ke tahap ini harus disepakati juga bahwa masing-masing pihak harus mau dan mampu mengalah.

2. Dalam hubungannya dengan tema ini, ada lima hal keadaan yang menjadi pokok perhatian, jika hendak ditelusuri sejarah perjalanan gereja Batak saat jatuh bangun akibat konflik yang terjadi di dalam dirinya, yakni:
a.  Bibit-bibit konflik sudah bersemi sejak berdirinya jemaat di kalangan orang Batak, yakni sejak tahun 1860-an pada jaman zending RMG. Hal ini terjadi karena gereja Batak lahir dan bertumbuh di atas realitas hidup orang Batak, bukan di atas tanah yang kosong (hampa).
b.  Para pelayan jemaat-terutama para pelayan penuh waktu, yakni: pendeta, guru huria, bibelvrouw, diakones, evangelist, dan sintua tidak pernah luput dari bahaya konflik yang terjadi di tengah-tengah kehidupan mereka sebagai komunitas kristiani.
c.  Beberapa hal dapat dianggap sebagai titik-titik rawan dari berbagai konflik itu.
i.      Apa yang harus kita lakukan agar gereja Batak (HKBP) dapat keluar dari konflik itu. Jalan terbaik bukanlah mencari siapa  yang menang dan kalah tetapi supaya semangat saling memaafkan dan bersama mencari solusi “sama-sama menang” (win win solution) saat muncul konflik itu.
j.      Bagaimana kita melihat diri kita sebagai pelayan yang punya power (sederhananya: kuasa) dari segi teologis-pastoral ?
Beberapa segi inilah yang merupakan lingkaran pemikiran (pelayan HKBP sekarang secara umum) yang perlu dijalani secara spritual saat ini.

Bibit-Bibit Konflik Dalam Organisasi Gereja Batak
Dan Warga Jemaat Sejak Awal
3. Terdapat berbagai bibit konflik di dalam organisasi dan warga jemaat. Sehubungan dengan kehadiran para tokoh misionaris di tengah-tengah masyarakat Batak, di sekitar para calon baptisan muncul rasa cemburu satu sama lain. Mereka mencari posisi siapa yang terdekat pada sang misionaris, contoh klasik tentang hal ini adalah: dari masa I.L. Nomensen di Silindung adalah persaingan antara Raja Pontas Lumbamntobing dan Raja Amandari Lumbantobing. Bibit konflik juga muncul ketika tokoh misionaris mencari, memilih dan menggunakan sebidang tanah untuk dijadikan pertapakan pargodungan, pendidikan, kesehatan atau bidang diakoni sosial. Hal ini menyangkut masalah asset jemaat/gereja. Dalam beberapa kasus, ada semacam perjanjian bahwa lahan itu bisa dipakai atau dimiliki oleh  badan zending sejauh dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan zending tetapi ada juga yang tanpa perjanjian, artinya sepenuhnya dihibahkan kepada zending. Ketika zending RMG harus keluar dari Hindia Belanda (Indonesia) terjadilah kemelut yang mengakibatkan banyaknya asset zending yang pindah tangan bukan kepada HKBP tetapi kepada orang atau kelompok yang mengambilnya. Sampai saat ini HKBP masih harus sibuk menyelesaikannya melalui jalur hukum dan jalur menang-menang (berbagai cara). Seiring dengan perkembangan waktu, jemaat itupun mempunyai satu pedoman hidup kristiani yang tertuang dalam apa yang dikenal dengan ruhut paminsongon (yang kemudian diperbaharui menjadi RPP: Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon). Dalam menjalankannya, selalu muncul pro dan kontra karena di antara mereka ada yang merasa bahwa keputusan itu tidak benar/tidak adil, pilih kasih dan lain-lain. Apa benar tidak adil ? Kalau benar bagaimana memperbaikinya ? Kalau tidak benar, bagaimana cara untuk memberi penjelasan sehingga kesalahpahaman dapat terselesaikan ?  Bibit konflik yang lain, muncul karena dipicu oleh konflik social di luar jemaat. Seiring waktu konflik eksternal itu merasuki kehidupan jemaat sehingga menjadi konflik internal jemaat. Munculnya tokoh yang mengajak warga jemaat memisahkan diri dari zending RMG juga melahirkan konflik. Kasus Sutan Malu Panggabean misalnya muncul di Pematangsiantar yang melahirkan Huria Chisten Batak (HChB yang kemudian menjadi HKI). Ajakan pemisahan dari tokoh-tokoh lain melahirkan Mission Batak di Medan dan Punguan Kristen Batak (PKB di Jakarta). Sementara tokoh-tokoh Simalungun juga melakukan gerakan serupa karena masalah pemakaian bahasa Simalungun untuk warga asal Simalungun di Jemaat Pematangsiantar, Kampung Kristen dan lain-lain. Pemikiran dan pemahaman baru tentang peranan gereja/zending dalam gerakan kebangsaan tahun 1917 juga melahirkan organisasi baru. Tokoh Kristen Batak yang harus dicatat di sini adalah Hesekiel Manullang yang melahirkan Hatopan Kristen Batak (HKB). Pdt. Herkules Marbun dan kawan-kawan muncul dengan semangat keandirian dengan menuntut tempat pelayanan bagi pribumi di bidang kepemimpinan, hal ini terjadi tahun 1920-an. Kemunculan yayasan pengelola pendidikan di kalangan warga jemaat juga memicu konflik. Tahun 1930-an misalnya muncul kasus Nomensen Shcoolvereeniging (Yayasan Sekolah Nomensen di Sigompulon Tarutung). Konflik yang sering muncul adalah konflik kepemimpinan Synodal (Hatopan). Konflik ini berlangsung sejak tahun 1960-an hingga tahun 1990-an. Akibatnya, tahun 1960-an, muncul perpecahan gereja yang melahirkan GKPI. Perpecahan di kalangan pelayan penuh waktu terjadi tahun 1970-an. Sementara konflik tahun 1990-an mengakibatkan korban banyak materi dan juga korban jiwa.

Bibit Konflik Dalam Kehidupan Pelayan
4.  Beberapa titik rawan dalam kehidupan pelayan adalah:
      a.   Mutasi: sikap tidak menerima karena berbagai alasan
b.  Kompleks pargodungan: Konflik di antara anggota keluarga  (sang isteri, anak-anak, bahkan kerabat).
c.    Pembaian tugas antara pendeta resort dengan pelayan lainnya: hal ini biasanya melahirkan konflik antara pendeta resort dengan pendeta diperbantukan, guru huria, bibelvrouw, diakones dan sintua
d.    Hamauliateon (uang ucapan syukur): Ucapan syukur dalam bentuk uang yang diberikan warga jemaat dan biasanya dicatat dalam warta jemaat mingguan menjadi titik rawan munculnya konflik karena pembagiannya bisa menimbulkan masalah.
e.    Penatalayanan harta/uang/administrasi gereja; hal ini juga menjadi titik rawan konflik petugas tertentu, biasanya mengelola aset gereja, misalnya bendahara huria/resort, petugas keuangan dalam berbagai bidang, lembaga atau kepanitiaan, misalnya dalam pembangunan gedung gereja atau rumah inventaris gereja (jabu huria, jabu resort).
f.     Pengambilan keputusan dalam rapat jemaat/rapat resort
g.    Hubungan dengan pemerintah (pilkada tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten, juga partai politik). Titik rawan ini juga menyangkut masalah-masalah social yang menyangkut ketidakadilan, korupsi, HAM, judi/togel (dulu), lingkungan hidup, adat/kebudayaan dan lain-lain. Contoh kasusnya adalah Indorayon (kini PT. TPL–Toba Pulp Lestari).
h.    Geraka sectarian dan kharismatik.
i.      Gerakan-gerakan yang berbau sara, fundamentalisme, kekerasan fisik, fsikologis, ideologis dan teologis. Hal ini menyangkut juga kehidupan antar  umat beragama.
j.      Pemilihan pimpinan gereja dalam tingkat Synodal (hatopan).

Ambiguitas (Sikap Menduahati/Dualisme) Kekuasaan/Power Pelayan Gereja
5.  Secara teoritis setiap pelayan memiliki tiga corak power/kekuasaan di dalam jemaat, yakni:
a.  Kekuasaan yang mendominasi karena keahliannya dari segi pendidikan atau materi yang diraih. Contoh: Daud ketika masih junior….!
b.   Kekuasaan kharismatis yang ada di dalam diri sendiri. Contoh: Goliat …!
e.    Kekuasan karena keahlian mempengaruhi orang lain. Contoh: Delila (negatif), (contoh Positif: Paulus, I.L. Nomensen), dan lain-lain …!

Ketiga kekuasaan ini bisa menumpuk dalam diri seseorang pelayan, bisa hanya satu atau dua. Sebagai seorang pemimpin, seorang pelayan dapat berperan sebagai penguasa dari atas (bos), bisa sebagai kepala keluarga (orangtua) dan biasa sebagai birokrat mewakili sebuah pranata, lembaga atau institusi. Artinya, power itu bisa tampak dalam ketiga penampilan itu. Sebagai pemimpin, pelayan dapat mempergunakannya untuk mencapai berkat bagi pranata yang dia pimpin tetapi bisa menjadi bencana bahkan kutukan bagi pranata yang dilayani.  Masalahnya, bagaimana menyikapi ambiguitas power pelayan ini, dia dapat menjadi berkat kalau digunakan untuk mencari apa yang dibutuhkan oleh pranata (jemaat/gereja) tetaspi sebaliknya akan menjadi bencana kalau dipakai untuk kepentingan pribadi (kelompok). Sebagai pemimpin, seorang pelayan diberi kebebasan untuk apa ia menggunakan power yang ada di dalam dirinya. Jika punya kuasa sebagai atasan terhadap bawahan, kekuasan itu bisa digunakan sebagai alat yang  menjalin hubungan alamiah yang baik seperti hubungan ayah-anak, pelayan  jauga bisa mengandalkan kuasa birokratis yang tersedia dalam struktur atau system organisasi yang tersedia. Ketiga macam bentuk itu, bisa dipakai menjadi kebaikan, tetapi bisa juga menjadi bencana. Seorang pelayan harus siap memilih yang terbaik untuk jemaat/gereja jika benar-benar ia seorang pelayan yang melayani dan bukan pelayan yang menguasai, mendominasi bahkan meneror orang yang kebetulan adalah “bawahan”. Kalau pelayan ingin dan komit memakai power itu untuk menjadi berkat bagi warga jemaat/gereja, maka ia akan selalu bersikap arif dan bijaksana dalam mengelola konflik yang terjadi dalam jemaat yang dipimpin dengan solusi “sama sama menang”. Sebagai  teolog pelayan dapat membenarkan sikap otoriternya dengan mengambil gambar Allah yang  pemarah, hakim, tuan. Contohnya banyak bisa ditemukan dalam cerita-cerita PL. Kalau pelayan cenderung bersikap kebapaan, keibuan dalam kepemimpinan hendaknya seorang pelayan dapat mengambil gambar Allah sebagai Bapak atau Ibu. Contohnya juga banyak dalam cerita-cerita PB. Kalau ingin bersikap sebagai juru damai, mediator di antara orang yang bertikai di tengah jemaat gerejawi yang dipimpin, lihatlah Tuhan Allah dalam diri Yesus Kristus yang telah mengosongkan dirinya itu (kenosis: lih. Fil. 2:5-11). Allah itu adalah penguasa, Tuhan, hakim, yang telah mengosongkan keilahian diriNya supaya menjadi manusia di tengah-tengah manusia yang bertikai itu. Dia menjadi hamba, pelayan, orang hukuman. Inilah gambaran yang paling mulia dan paling khas tentang bagaimana Allah menggunakan Power yang di atas para bawahan. Gambaran Allah yang ber-kenosis itu, sangat berlawanan dengan gambaran para penguasa dunia ini yang memakai power itu menjadi sumber segala macam perang, tirani atau birokrasi yang korup.  Makna yang sering digunakan seperti empowerment (pemberdayaan/menyemangati), sebenarnya ungkapan ini menyimpan makna dari gambaran Tuhan Allah  yang ber-kenosis sekalipun hal itu tidak memperlihatkan semua arti sesungguhnya kenosis itu. Alasannya, kalau kita menerima power-kuasa dari Tuhan Allah maka kita diberdayakan dan disanggupkan olehNya, sekaligus Allah meminta atau menuntut sesuatu dari kita. Kita dipanggil menjadi muridNya, menjadi pengikutNya untuk menjalani proses kenosis dalam perjalanan hidup leyanan kita itu. Dalam hal ini kita harus menjaga diri supaya jangan mengambil tempat Tuhan Allah dan Yesus Kristus. Jangan kita mengangkat diri menjadi seperti Tuhan Allah, atau menjadi ilah-ilah yang harus dipuja-dipuji oleh para jemaat. Melalui istilah pemberdayaan (empowerment) ini, kita diingatkan supaya melihat Tuhan Yesus yang menderita. Allah yang menderita tampak dalam peristiwa penyaliban, peristiwa penyaliban yang mempertontonkan titik nadir dari power/kuasa yang sudah korup, baik di kalangan pemimpin Jahudi maupun di kalangan pemimpin sekuler yang diwakili oleh para petinggi kekaisaran Romawi. Entah itu kaisar Agustus atau pun petinggi di Palestina yang bernama Herodes atau Filatus. Di tengah kekacauan itulah terjadi peristiwa penyaliban Tuhan Yesus Kristus yang menggunakan Power yang ada padaNya untuk tidak bersekongkol dengan power/kuasa yang disalahgunakan oleh para penguasa tersebut di atas. Tuhan Allah solider dengan orang-orang yang menderita atas penindasan dan ketidak adilan dari mereka yang telah menyalahgunakan power atau kuasa yang mereka raih. Tuhan Allah ikut menderita di tengah-tengah manusia yang menderita itu. Apa artinya ini, di dalam hal mengelola konflik di dalam jemaat/gereja ? Sebagai pemegang kuasa, pelayan jangan ikut-ikutan menyalibkan Yesus ketika terjadi konflik di tengah pelayanan kelak. Ikutlah jejak Yesus yang rela menahan penyalahgunaan power/kuasa itu demi pepentingan pribadi dan kelompok. Konflik dalam jemaat tidak sama makna dan artinya dengan konflik yang terjadi di dalam masyarakat atau negara, karena jemaat atau gereja adalah rumah Allah. Sepatutnyalah keluarga Allah harus seiring dengan teladan Yesus Kristus, bukan sebaliknya. Tugas dan tanggungjawab kita sangatlah mulia dan agung, karena sebagai pelayan kita berada pada jalan menuju perdamaian (rekonsiliasi) yang dari Tuhan Allah.

Dua Kepentingan: Pranata (jemaat/gereja) dan Manusia
6. Secara teoritis sebagai pemimpin, pelayan harus menggumuli masalah bagaimana cara memuaskan kebutuhan lembaga pelayanan tanpa membahayakan citraanya sebagai mana murid Yesus Kristus. Ingatlah apa yang dituntut oleh Yesus dari muridNya, yaitu ikut ber-kenosis sangat menggunakan power/kuasa itu di tengah konflik yang mengarah pada penyalahgunaan power/kuasa itu. Anda punya pengikut yang anda raih karena keunggulan anda mempengaruhi mereka untuk tujuan yang benar dan baik/kebutuhan pelayanan. Anda juga dipengaruhi oleh mereka yang punya berbagai kepentingan dan kebutuhan. Anda mungkin sudah pernah merasa terjepit dalam dua kepentingan, yaitu kepentingan  jemaat/gereja dan kepentingan pribadi-pribadi anggota jemaat yang mengikut anda. Apakah anda sudah merasakan bahwa dalam ketergantungan sedemikian rupa itu, kehidupan anda dan mereka yang anda pimpin itu diuji supaya sama-sama bertumbuh secara rohani dan spritual ? Inilah tandanya anda sebagai pemimpin (gembala) yang mengasihi. Anda pasti merasakan  bahwa jemaat mempunyai struktur atau system yang kadang-kadang lebih kaku, lebih lamban daripada anda sendiri sebagai manusia. Kita merasakan juga bahwa kita terjepit antara kebutuhan kita/keluarga sendiri dan tuntutan institusional dari jemaat. Kenaliah situasi jemaat di mana anda menggunakan power (kuasa) melayani. Karena terdapat jemaat/gereja yang baik maupun yang buruk seperti ada pemimpin yang baik dan ada pemimpin yang jahat/jelek. Dan tidak semuanya pemimpin itu adalah gembala. Jangan heran kalau anda pernah merasakan tekanan jemaat atau tekanan system sebagai “gejala kejahatan” seperti pernah diingatkan oleh oleh para ahli sejarah dalam gereja. Artinya, kita harus sampai pada suatu arah pemahaman bahwa ketika kita merasakan tekanan jemaat (system) sebagai tekanan seseorang yang berada di atas kita maka pada saat itu kita mengalami bahwa power/kuasa yang tersimpan dalam system/struktur tersebut dirasakan menindas kita. Artinya, system yang berlaku tidak luput dari kejahatan atau kecurangan. Dengan kata lain sesungguhnya yang pertama kali dirasuki oleh kejahatan itu adalah jemaat/gereja lalu pindah kepada individu-individu yang berada pada lembaga itu. Dalam proses demikian tidak mustahil pula bahwa kejahatan lembaga itu dapat mengubah gembala menjadi dictator atau tiran yang dikuasai oleh gairah kejahatan dan keserakahan. Gereja sebagai satu lembaga pranata di dunia ini juga tidak luput dari bahaya ini bahkan sering menjadi sasaran kejahatan system atau pranata. Dari pengalaman banyak orang pelayan di HKBP, dapat ditambahkan bahwa para pelayan ke depan harus sadar, “sebaik apapun struktur jemaat gereja, kalau perilaku pelayan/budaya berorganisasi HKBP korupt/jahat maka hasilnya akan membawa bencana bahkan kehancuran pada gereja HKBP”. Artinya, yang paling penting adalah mempersiapkan diri agar mampau berorganisasi secara sehat dan bukan secara sakit. Intinya, konflik yang terjadi sesaat atau berkepanjangan dalam sejarah HKBP menandakan bahwa alangkah lemahnya dan rapuhnya budaya berorganisasi gereja HKBP. Seolah-olah setiap pribadi pendetalah yang menjadi biang masalah, seolah-olah segala sesuatunya terletak dalam pikiran dan keputusan pribadi pendeta sehingga tidak perlu lagi membaca dan memberlakukan aturan/pedoman kerja yang berlaku. Sikap korupt yang seperti inilah bibit konflik yang paling mudah muncul dalam jemaat HKBP sepanjang sejarahnya.

Penutup: Sebagai mediator
7. Teoritis pelayanan yang menghadapi dua kelompok yang berseteru dalam jemaat, akan melihat  hadirnya  dua power/kuasa yang saling beradu tenaga untuk mencapai kemenangan sepihak. Pertanyaan yang muncul adalah: apa yang kemudian membuat konflik ini dapat bersifat kristiani dan  konstrukltif/membangun ? Jawabannya adalah: “sikap yang mampu mengendalikan diri, kedua belah pihak yang berkonflik harus mau saling mendengarkan dengan penuh hormat”. Mereka yang bertikai ingin memahami dan menghargai kepentingan yang berbeda-beda. Mereka akhirnya memperoleh perspektif-perspektif baru yang menjadi modal dasar untuk mengembangkan solusi sama-sama menang (win-win solution). Penting juga, bahwa menyikapi konflik sebagai pergumulan kekuasaan atas berbagai perbedaan: informasi atau keyakinan yang berbeda, kepentingan, keinginan atau nilai-nilai yang  berbeda, kemampuan yang berbeda dalam memperoleh sumber-sumber yang dibutuhkan. Kelompok-kelompok yang bertikai itu sama-sama menggunakan power/kuasa. “Mereka menggunakan kekuasaan mereka baik untuk saling menaklukkan  (pertarungan curang) atau untuk saling bekerjasama (pertarungan secara jujur)”. Sebagai mediator, kita mengharapkan dan mengarahkan mereka supaya melakukan “pertarungan jujur untuk mencapai solusi-sama sama menang-melalui cara mediasi, tak perlu membawanya ke depan pengadilan negara. Mereka yang sudah menemukan jalan menuju pertarungan yang jujur itu, pasti didasarkan pada iman kristiani artinya kalau mereka yang bertikai itu berangkat dari dasar iman yang sama maka mereka menyadari keterbatasan diri mereka sehingga tidak mengklaim diri sebagai yang terbaik, paling benar, paling penting, dan lain-lain. Mereka melihat bahwa pertikaian mereka bukan melulu/sekedar menyangkut masalah perbedaan keyakinan, tetapi lebih dari itu yaitu: menjadi masalah pengungkapan iman mereka. Mereka melihat secara bersama visi kristiani tentang Syalom (perdamaian) Allah yang mencakup kasih, keadilan, penebusan, pembebasan, kebenaran dan belaskasih Allah. Untuk itulah mereka dipanggil oleh Tuhan Allah dan sekaligus punya tugas untuk menyampaikan Syalom Allah itu kepada sesama dan lingkungan hidup.


VISI DAN MISI HKBP

1.    Visi dan Misi HKBP sebagai upaya
untuk mempertahankan identitasnya.
Gereja-gereja Protestan di Indonesia sebagian besar merupakan produk (berdiri sebagai hasil) dari penginjilan badan-badan PI (Pekabaran Injil) yang datang dari Eropa. Misalnya badan misi RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) yang mengutus Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918), dan kemudian bekerja di tanah Batak.[69] Strategi dan metode kerja Nommensen sangat luar biasa untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Batak baik dari segi iman maupun kehidupan sosial orang Batak. Para missionaris dari semula telah memberikan sumbangan besar terhadap kesehatan, pendidikan (mendirikan sekolah), menebus budak, memperkenalkan cara bercocok tanam yang baru, meminjamkan uang dengan bunga rendah. Semua upaya ini dilakukan tidak hanya agar orang yang bukan Kristen tertarik olehnya pada injil, lebih dari itu supaya orang yang sudah menerima Injil dapat hidup dalam suasana yang sesuai dengan Kabar Kesukaan itu.

Para missionaris di tanah Batak juga berusaha memberi makna baru terhadap adat Batak melalui Firman Tuhan dengan upaya menyusun suatu: “hukum adat Kristen” yang lengkap.[70] Para missionaris juga mempersiapkan dan memampukan jemaat (gereja) supaya mandiri dan tidak selamanya berada di dalam asuhan lembaga misi PI Eropa. Para pendeta pribumi dipersiapkan agar kelak menajadi pemimpin gereja sekaligus menjauhkan gereja dari unsur kepercayaan tradisional Batak yang bertentangan dengan Firman Tuhan (hasipelebeguon). Namun demikian, cita-cita misi belumlah berjalan dan berhasil sebagaimana diharapkan. Masih banyak unsur-unsur tradisi lama (adat) kuat terpatri dalam kehidupan jemaat, sementara hal itu bertentangan dengan Firman Tuhan. dari kondisi ini, perjalanan sejarah gereja nyata sangat sulit dilepaskan dari bingkai perjumpaan Adat dan Injil di tanah Batak. Bahkan perjalanan gereja HKBP dalam sejarah erat berkaitan dengan perjalanan suku Batak sebagai konteks dominan jemaat HKBP. HKBP sebagai gereja yang menggunakan kata “Batak” sebagai identitas dirinya, nyata selanjutnya bahwa HKBP sangat terikat (cukup kental) dengan unsur-unsur budaya Batak dan memang hal itu tidak dapat dipisahkan.

Etnisitas adalah nyata sebagai kodrat manusia yang diciptakan Tuhan dengan suku yang berbeda-beda. Terdapat banyak suku (etnis) dan budaya yang berbeda namun dipersatukan Allah dalam satu negara kesatuan Republik Indonesia. Berhubungan dengan ini, gereja bertanggungjawab untuk mengkampanyekan keberagaman etnisitas dalam bingkai tanggungjawab baru yang terus diperbaharui agar di dalam masyarakat secara terus-menerus dapat tercipta sikap yang terbuka kepada keberadaan orang lain, tanpa mengurangi keunikan dan identitas budaya sendiri.

Banyak cap dan stempel negatif dikesankan oleh gereja-gereja yang tampak sebagai gereja suku terkesan sangat eksklusif, tertutup serta mengasingkan diri. Prinsip dan sikap eksklusif inilah yang digunakan sebagai tembok penghalang untuk mempertahankan identitas dan kesiapannya. Namun apakah karena budaya dan penanaman tersebut, seperti halnya HKBP tidak terbuka atau inklusif dalam masyarakat majemuk. Bahkan bisa saja latar belakang eksklusifisme itu bukan dalam kerangka suku bangsa yang melatar belakanginya, tetapi lebih kepada pekabaran Injil yang melatar belakanginya. Gomar Gultom, menjelaskan bahwa tidak lah mengherankan kalau HKBP selama ini sangat eksklusif, karena ini merupakan akibat logis dari kesetiaan kepada para “bapa-bapa rohani” yang meletakkan “dasar-dasar beriman” warga gereja-gereja Batak, yakni para missionar yang memang memiliki pemahaman yang eksklusif.[71]

Identitas merupakan hal yang tidak terlepas dari budaya masyarakat. Dengan adanya identitas suatu masyarakat, hal itulah yang membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lain. Pada umumnya orang menilai budaya sendiri lebih sempurna dari budaya lain bahkan tidak tertutup kemungkinan terhadap pemujaan budaya sendiri. Pemujaan terhadap budaya sendiri mempengaruhi sikap negatif terhadap budaya lain. Ancaman yang paling berat dari pemahaman ini adalah bahwa orang (budaya) lain merupakan musuh yang harus ditaklukkan. Atau paling tidak anti tehadap orang lain.[72] Sikap yang anti terhadap orang lain merupakan sikap yang tidak relevan dalam suatu masyarakat atau suatu bangsa pada masa sekarang ini. Bila hal ini masih melekat pada dunia masa kini maka akan terjadi pengucilan dan perpecahan dalam masyarakat. Demikian juga halnya dengan gereja HKBP sebagai salah satu gereja suku yang terbesar di Indonesia. HKBP harus mampu mempertahankan identitasnya dengan melihat kenyataan sekitarnya. Artinya HKBP bukanlah mempertahankan identitasnya dengan cara merugikan orang lain, atau bahkan menganggap gereja atau agama lain adalah musuh yang harus dilenyapkan. Tetapi bagaimana HKBP berdiri teguh di tengah masyarakat plural tanpa kehilangan identitas yang sebenarnya.

Dalam upaya mengatasi hal inilah maka HKBP berusaha keluar dari tuduhan-tuduhan negatif terhadap gereja suku seperti di atas. HKBP yang walaupun salah satu gereja suku terbesar di Indonesia, HKBP tidak menganut paham eksklusivisme tersebut. Di samping penetapan visi dan misinya sebagai gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka, (bnd. Aturan dan Peraturan HKBP tahun 2002) sangat ditekankan bahwa:
“goar, inganan dohot parjongjongna (Ponggol Paduahon, bindu 2.2) tertulis: “Huria Kristen Batak Protestan i ma pardomuan ni halak Kristen sian sude marga dohot houm ni bangso Indonesia, dohot nasa bangso di sandok portibi on, na tardidi tu bagasan goar ni Debata Ama, Anak dohot Tondi Parbadia. Sada hapataran ni pamatang ni Kristus do HKBP, namanghamham na porsea na marpanindangion di sandok portibi on”. (Huria Kristen Batak Protestan adalah persekutuan orang Kristen dari segala suku dan golongan bangsa Indonesia dan segala bangsa di seluruh dunia yang dibaptis ke dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. HKBP adalah satu wujud nyata tubuh Kristus yang mencakup segenap orang percaya dan bersaksi di seluruh dunia).[73]

Dari uraian ini, jelaslah bahwa identitas HKBP adalah gereja yang terbuka, universal (am) dan inklusif.

2.    Visi dan Misi HKBP sebagai upaya dalam
menyikapi perkembangan zaman.
Manusia sekarang sedang terlibat dalam suatu proses yang tidak terelakkan, yaitu proses globalisasi. Walaupun proses itu bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru dalam sejarah umat manusia, namun karena pengaruh informasi dan intensitasnya yang sedemikian rupa, maka proses ini menjadi makin cepat. Dunia sungguh-sungguh menjadi satu dengan berbagai akibatnya, baik yang positif maupun yang negatif.[74] Globalisasi telah menempatkan gereja pada suasana keterbukaan yang luar biasa dengan berbagai dampaknya. Di satu pihak tentu hal ini baik, karena dengan itu gereja-gereja pun makin dibebaskan dari keterisolasiannya secara fisik dan teologis. Tetapi di pihak lain, gereja-gereja seperti halnya masyarakat akan bertemu dengan nilai-nilai baru yang mungkin belum pernah dipikirkan sebelumnya. Sebagai contoh, dalam pola kehidupan rumah tangga yang berubah sebagai akibat dari keterbukaan itu, sehingga seseorang harus memulai membiasakan diri dan menerima pola “bapa rumah tangga”, dan bukan “ibu rumah tangga”. Bagaimana menangani kemungkinan ini, apalagi kalau dikonfrontasikan dengan kecenderungan Alkitab yang memandang suami sebagai: “kepala rumah tangga”.[75]

Dalam keadaan demikian, bagaimana gereja bersikap terhadap hal ini. Bagaimana gereja-gereja menangani kemajuan teknologi informasi yang begitu cepat yang dalam sekejap mata dapat mengakses berita dari dalam maupun luar negeri? Bagaimana gereja-gereja dapat mengatasi dampaknya, misalnya dengan sistem ini segala bentuk kerahasiaan hampir-hampir tidak dimungkinkan lagi. Atau yang lebih parah jika jemaat tidak mau lagi datang bersekutu ke gereja karena di berbagai saluran televisi sudah menyajikan acara-acara ibadah yang siap sedia mereka nikmati?
Manusia tidak memilih dunia atau konteks di mana ia hidup, bekerja dan melayani setiap saat. Konteks selalu berobah-obah dan panggilan pelayanan selalu ditantang, diperhadapkan dan dibentuk oleh keadaan sosial-ekonomi, politik, dan kekuatan budaya pada waktu tertentu. Dengan demikian konteks hidup tersebut mempengaruhi juga kepada pengertian akan Allah dan pengungkapan iman. Sekarang ini banyak pemikiran-pemikiran yang memunculkan pemahaman baru dalam hubungannya dengan masalah sosial. Misalnya masalah gender (kesetaraan perempuan dan laki-laki) dan masalah kekerasan terhadap anak-anak. Tidak lupa bahwa pendidikan juga merupakan masalah konkrit yang marak dewasa ini. Apa yang terjadi sekarang adalah tidak adanya satu hari pun dapat terlewatkan tanpa kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, persoalan-persoalan perempuan dan anak-anak sering disepelekan.[76] Perempuan selalu dinomor-duakan di dalam rumah tangga seperti yang terjadi pada keluarga orang Batak dulu. Inilah fenomena yang harus disikapi oleh gereja. Bagaimana gereja hidup dan berada di tengah-tengah dunia yang penuh dengan kekerasan. Sudah seharusnya gereja berpartisipasi dalam mengatasi kekerasan tanpa kekerasan. Atau setidaknya gereja berperan mengurangi kekerasan tersebut. Gereja ikut serta dalam perjuangan untuk mempertahankan hak-hak asasi manusia.

Di tengah perkembangan yang seperti inilah gereja-gereja di Indonesia hidup dan melayani. Maka salah satu topik penting yang sangat hangat dibicarakan dan didiskusikan akhir-akhir ini adalah mengenai kehadiran dan peran gereja di tengah kepelbagaian agama, khususnya dalam konteks Indonesia. Perlu disadari bahwa keberadaan dan kehadiran suatu agama tidak terlepas dari keberadaan dan kehadiran agama lain. Kepelbagaian itu disadari sebagai hasil atau produk dari globalisasi tersebut. Arus globalisasi menimbulkan perubahan yang sangat cepat, bukan lagi hanya dalam lingkup budaya masyarakat tetapi lebih jauh kepada perkembangan agama-agama. Pergeseran dan perpindahan nilai dan tatanan hidup pun mulai terjadi. masyarakat yang dulunya hidup secara homogen, akhirnya berobah menjadi masyarakat yang heterogen. Masyarakat agama yang dulunya mengenal tolok ukur nilai-nilai moral dan spiritual berdasarkan doktrin agamanya, akhirnya mengenal nilai-nilai dan kebenaran lain dari berbagai agama, aliran kepercayaan, faham dan ideologi yang hidup dan berkembang di sekitar kehidupannya.

Realitas dari kondisi kehidupan yang serba majemuk dan pluralistis tersebut turut mempengaruhi gereja dan kehidupan orang Kristen masa kini. Sebab pada kenyataannya, di mana gereja dan orang Kristen berada, di situ ia hidup berdampingan, bersentuhan dan berhubungan dengan agama dan penganut agama lain. Dengan demikian, gereja dan orang Kristen sudah harus memberi perhatian tentang bagaimana hidup ditengah-tengah kepelbagaian agama. Pada satu pihak, gereja harus memberikan dasar-dasar teologis-dogmatis tentang paham dan sikapnya terhadap agama dan penganut agama lain. Sedangkan pada pihak lain, gereja harus dapat memahami dan mengerti tentang keberadaan, dasar-dasar kehidupan penganut agama lain, dan sedapat mungkin mengenal ajaran agamanya. Atas dasar itulah gereja dan orang Kristen dapat mengambil sikap praksis, bagaimana hidup bersekutu, melayani dan bersaksi di tengah-tengah kepelbagaian agama dan penganut agama lain. Melalui pemahaman dan pengenalan itulah gereja melakukan tugas dan panggilannya, sebagai garam dan terang dunia, di tengah-tengah kehidupan yang berdampingan, bersentuhan dan berhubungan dengan agama dan penganut agama lain.

Gereja HKBP sebagai salah satu gereja yang berpijak di Indonesia, diperhadapkan dengan situasi ini. Secara sosiologis, HKBP dirangkul oleh satu etnis, yakni suku Batak. Sebagai gereja suku, HKBP akhirnya akan sering dikritik dan disalah mengerti sebagai gereja yang tertutup atau gereja yang eksklusif. Padahal Indonesia adalah negara pluralistik yang mengakui keberagaman agama, suku dan budaya masyaraakat. Mungkin sudah menjadi kodrat bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini masih terikat dengan tradisi budaya nenek moyang yang kental dalam berbagai segi kehidupannya walaupun mereka telah menerima berlapis-lapis nilai-nilai budaya lain. Keanekaragaman itu merupakan kekayaan tersendiri bagi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Oleh karena itulah, setiap orang atau kelompok termasuk gereja di dalamnya harus menemukan strategi pelayanan yang tepat. Dalam kerangka itu, strategi pewartaan dan pelayanan gereja dalam konteks masyarakat majemuk acap kali membutuhkan pengkajian ulang dari waktu ke waktu. Bagaimana pun, pewartaan harus tetap dijalankan, Firman Tuhan harus selalu disebarkan, jika gereja mau tetap setia dalam tugas panggilannya di dunia ini, termasuk di tengah ketegangan sosial bernuansa SARA yang semakin memuncak dewasa ini. Termasuk HKBP harus menemukan rumusan dan sikap yang tepat dalam menghadapi kenyataan ini sehingga HKBP dapat mempertahankan keberadaannya sebagai wakil Allah dalam mewujudkan damaiNya di dunia ini. Berdasarkan fenomena inilah Ephorus Emeritus HKBP Pdt. DR. J.R. Hutauruk pada Sinode Godang HKBP 2000, mencetuskan harapannya agar warga beserta pelayan HKBP dapat menumbuhkembangkan sikap yang inklusif dan dialogis. Dalam berbagai pertemuan, khususnya dalam proses penyusunan konsep Aturan dan Peraturan HKBP, beliau mengajukan istilah inklusif dan dialogis tersebut.[77] Dalam AP HKBP 2002, nyata dicantumkan visi dan misinya.

Dikatakan bahwa:

Misi HKBP adalah:
“HKBP berusaha menjadi gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka, serta mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus, bersama-sama dengan semua orang di dalam masyarakat global, terutama masyarakat Kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang Mahakuasa”.

Misi HKBP adalah:

“HKBP berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga HKBP, melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu agar mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan bersama segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan global dalam menghadapi tantangan abad ke-21”.

Prinsip HKBP adalah:

“Untuk melaksanakan missi menuju visi tersebut di atas, HKBP berpegang teguh pada prinsip di bawah ini:
a.    Melayani, bukan dilayani (Mark. 10:45)
b.    Menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14)
c.    Menegakkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (Mark. 16:15; Luk. 4:18-19).[78]

Tentu uraian visi[79] dan misi[80] ini sangat menegaskan seruan, ajakan ataupun kerinduan agar HKBP sebagai lembaga agama dan masyarakat lebih dapat terbuka dalam melaksanakan tugas, fungsi dan peranannya. Dengan konsep ini, HKBP telah melihat kenyataan dan keberadaannya di tengah dunia ini. Semakin HKBP sadar akan situasi nasional maupun internasional, HKBP aakan semakin sadar untuk melakukan visi dan misi Tuhan Allah, yaitu membawa kasih yang mendamaikan atau rekonsiliasi, menebarkan kasih yang mementingkan diri orang lain terutama bagi kalangan yang sangat mengalami ketertindasan, ketidakadilan dan keserakahan para penguasa dunia ini. Dalam kaitan itu, HKBP harus lebih sadar diri untuk melepaskan diri dari sikap-sikap dan pikiran yang tertutup, yang eksklusif dan monologis.

Istilah inklusif dan dialogis populer di HKBP adalah sebagai wacana dalam upaya menyikapi realitas konteks kehidupan bersama. Karena sebenarnya makna kedua istilah itu secara implisit berpadanan dengan visi dan misi Allah di dunia ini yaitu aagar semua umat manusia mengasihi Tuhan Allah dan sekaligus mengasihi sesama manusia. Visi dan misi Allah ini tidak berubah hingga kini ayaitu kasihNya yang nyata dengan mengutus Tuhan Yesus Kristus ke dunia ini serta mengutus Roh Kudus yang tetap bekerja dalam diri setiap orang Kristen. Roh Kudus memberi pendampingan, peneguran dan peneguhan supaya setiap orang Kristen, yang terhimpun dalam jemaat setempat atau kelompok kristiani hidup dalam visi dan misi pelayanan Allah di dunia ini. Dan sesungguhnya, setiap orang Kristen telah berjanji kepada Tuhan Allah Yang Maha Pengasih itu bahwa dia hidup di dunia ini untuk visi dan misi pelayanan Allah.[81]

Sejarah perkembangan agama Kristen beberapa dekade terakhir ini menyaksikan terjadinya pembakaran gereja-gereaja, sulitnya mendirikan gedung gereja, dan sebagainya adalah sebagian pengalaman pahit yang dialami warga HKBP. Dalam menghadapi situasi ini, HKBP berupaya mendekatkan diri dengan saudara-saudara warga negara Indonesia yang berjiwa terbuka, inklusif dan dialogis. Sehingga di berbagai daerah, di antara umat beragama terjalin persaudaraan yang saling tolong-menolong dan bersama-sama mencermati upaya-upaya yang sengaja mempertentangkan sentimen-sentimen etnis dan agama.[82] Dengan demikian diharapkan bahwaHKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka serta mampu mengembangkan kehidupan yang bermutu dalam kasih Tuhan Yesus Kristus bersama-sama dengan masyarakat global, khususnya masyarakat Kristen untuk kemuliaan Allah Bapa Yang Maha Kuasa. Terhadap unsur persekutuan dengan sesama manusia, gereja yang terpanggil untuk bersifat inklusif, terbuka dan dialogis. Gereja yang inklusif, terbuka dan dialogis hendaknya belajar dari anjuran Rasul Paulus kepada jemaat Roma: “Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Rom. 15:7).[83]

Sebagaimana ditekankan oleh DR. J.R. Hutauruk, maka ada beberapa program yang harus diprioritaskan HKBP guna mewujudkan citranya sebagai gereja yang inklusif dan dialogis serta terbuka, yakni:

Pertama: adalah belajar dan melatih diri supaya semakin menjiwai sikap yang terbuka, inklusif, dan dialogis. Ini dimaksudkan agar rumusan visi dan misi HKBP bukan hanya formulasi tetapi menjadi komitmen setiap warga HKBP dalam kehidupan bertetangga di tengah-tengah masyarakat majemuk. Kedua: mendorong para pelayan HKBP untuk memberdayakan setiap warga HKBP supaya semakin mampu hidup bertetangga dengan baik. Setiap pelayan (parhalado) pada segenap jajaran HKBP seharusnya memfokuskan program dan kegiatannya untuk memampukan warga HKBP menjadi tetangga yang baik, yang pandai menjauhkan hal-hal yang mencurigakan pihak lain. Ketiga: juga menjadi program prioritas HKBP untuk melengkapi dirinya dari dalam yaitu dengan memberdayakan para pelayan: pendeta, guru huria, bibelvoruw, diakones, evangelis, dan sintua dalam berbagai bidang keterampilan sesuai dengan cakupan tugasnya masing-masing.[84]

Titik tolak penyusunan program pelayanan yang seperti ini menunjuk bahwa HKBP telah memegang prinsipnya, yaitu tidak untuk dilayani tetapi untuk melayani, menjadi garam dan terang dunia, menegakkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Dengan demikian pelayanan HKBP akan dapat menjawab berbagai tantangan dan pergumulan hidup manusia. Berdasarkan itu pula pelayanan HKBP menjadi aktual dan relevan dalam kehidupan jemaat dan masyarakat, baik untuk dirinya maupun bagi orang lain.

Sehubungan dengan visi dan misi HKBP tersebut, beberapa teolog besar juga menekankan sikap keterbukaan gereja terhadap orang lain maupun terhadap dunia. Salah seorang di antaranya adalah Jürgen Moltmann, yang dalam beberapa tulisannya menyerukan supaya gereja hadir bagi orang lain.

3.    Analisa Teologi Terhadap Visi dan Misi HKBP
Sesuai dengan visi dan misi HKBP sebagai gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka, maka perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam atas makna yang terkandung dalam setiap pernyataan itu. Ada beberapa hal yang perlu diteliti sehubungan dengan sikap teologis HKBP tersebut. Sikap inklusif yang bagaimana yang dipahami oleh HKBP di tengah-tengah perkembangan agama-agama sekarang ini. Sikap dialogis yang seperti apa yang akan dikembangkan dan didukung oleh HKBP sebagai sarana untuk memahami orang lain itu. Di tengah-tengah perkembangan pemahaman teologi baru sekarang ini yang terkadang membingungkan jemaat, misalnya ajaran “Teologi Sukses” yang mengajarkan hidup berkelimpahan dan kemakmuran.[85] Jika demikian, sejauhmana keterbukaan HKBP dalam bidang pemahaman teologinya dalam menanggapi perkembangan tersebut. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan pengkajian teologi-dogmatis sehingga makna dari visi dan misi HKBP tersebut benar-benar berdasarkan prinsip Alkitabiah.

Ada tiga sikap hidup yang ditemukan dalam masyarakat saat ini dalam hubungannya dengan hidup beragama. Alan Race mengelompokkannya berdasarkan sikap teologis terhadap agama-agama lain. Ia menjelaskan bahwa sikap hidup itu adalah eksklusif, inklusif, dan pluralis.[86] Pandangan tersebut akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
Pertama sikap eksklusif,[87] yaitu sikap yang menganggap dirinya lebih benar dari orang lain, selalu merasa lebih mampu, bahkan pada akhirnya akan menganggap rendah orang lain. Apabila sikap seperti ini melekat di dalam kehidupan berbangsa, bernegara, beragama, baik secara pribadi maupun kelompok maka bangsa, agama, dan orang lain akan dianggap lebih rendah dari dirinya. Ia akan menganggap dirinya lebih superior (mempunyai kemampuan lebih), sedangkan orang lain dianggap inferior (kemampuan sangat terbatas). Akibatnya, ia (bangsa, agama, atau pribadi) tidak terbuka kepada yang lain, bahkan tidak mau bekerjasama dengan orang lain. Sikap seperti ini muncul dalam hidup beragama karena respons terhadap kepercayaan bahwa keselamatan dan kebenaran hany ada dalam ajaran agamanya saja. Sikap ini juga timbul sebagai akibat dari penafsiran yang terlalu dangkal dan sempit terhadap ajaran agamanya.[88]

Kedua sikap inklusif,[89] yaitu sikap yang menganggap diri benar, tetapi yang lain (bangsa, agama atau pribadi) juga mempunyai kebenaran. Merasa memiliki kemampuan, daya dan tenaga, tetapi sekaligus menyadari adanya kekurangan, keterbatasan, kelemahannya. Atas dasar kesadaran inilah, ia akan terbuka dan mau berdiskusi dan berdialog dengan orang lain untuk mencari jalan terbaik demi kepentingan bersama. Dalam menjalani tugas dan tanggungjawabnya, ia akan lebih bersedia menjalin kerjasama dengan orang lain daripada bekerja sendiri. Sikap seperti ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan dalam kepelbagaian.[90] Ketiga sikap pluralis,[91] yaitu sikap yang mengakui dan menghargai dan mengakui kepelbagaian yang beraneka ragam. Dalam hidup beragama, setiap agama diharapkan untuk menghargai setiap kebenaran orang lain yang sifatnya relatif dengan dasar bahwa Allah dipahami mewujudkan diriNya dalam iman dan kebaikan orang lain, bukan hanya di pihak-pihak tertentu.[92] Dalam kadar tertentu sikap ini sangat membantu pemahaman agama-agama untuk mengembangkan potensinya memahami orang lain. Tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan orang lain yang ada di luar dirinya. Sikap toleransi, pelayanan dan perhatian terhadap pelayanan sosial semakin terbuka. Perbedaan dan kepelbagaian tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi justru sebagai kekayaan pengalaman manusia yang berguna bagi setiap pemahaman, penghayatan dan refleksi iman. Tetapi di lain pihak, sikap ini juga akan meruntuhkan pemahaman teologis yang sudah diwarisi oleh agama-agama selama ini. Dengan demikian perlu membangun pemahaman yang baru, karena pemahaman yang lama sudah dipertanyakan kebenarannya.[93]

Sehubungan dengan visi dan misi HKBP, maka uraian di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk menjelaskan lebih luas terhadap makna teologivisi dan misi HKBP tersebut. Sebenarnya, seruan kepada gereja untuk bersikap inklusif, dialogis dan terbuka, bukanlah suatu formula yang baru dalam dunia keberagaman. Jauh sebelum penetapan visi dan misi HKBP tersebut, sudah banyak pandangan yang menekankan hal itu. uraian dibawah ini akan menunjukkan bahwa di beberapa teks Alkitab, doktrin gereja, maupun pandangan para teolog telah membicarakan pemahaman yang berhubungan dengan formula tersebut. Sehingga melalui uraian itu dapat dijadikan sebagai tolok ukur atau landasan teolog dari visi dan misi HKBP.

3.1. Gambaran Gereja yang Inklusif berdasarkan Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama, para nabi Israel misalnya Elia dan Hosea di utara dan Yesaya dan Yeremia di selatan, menekankan ibadat eksklusif kepada Allah yang satu-satunya, yaitu הזהי (Yhwh).[94] Pemberitaan mereka menekankan kasih Allah kepada umatNya pada masa lampau, keinginanNya yang khusus tentang berkat pada masa yang akan datang. Bangsa Israel sebaliknya harus mempertahankan kepercayaan yang murni dengan setia beribadat kepada satu Allah saja. Bahkan para nabi juga memperingatkan akan terjadinya hukuman yang dahsyat, termasuk hancurnya kerajaan tersebut bila Israel tidak setia dalam menjalankan ibadah mereka.[95] Para nabi tidak mentolerir agama lain, khususnya ibadah kepada Baal dan Asyera, ilah-ilah kesuburan yang disembah bangsa-bangsa Kanaan. Peristiwa pembunuhan para imam Baal yang diceritakan secara hidup dan dramatik dalam 1 Raja-raja 18, mewakili pendirian semua kitab yang ditulis pada zaman kerajaan dan sesudahnya. Para nabi dan para penulis kitab-kitab tersebut tidak mau mentolerir dewa-dewa lain di Israel. Bagi mereka hanya Yhwh yang boleh disembah; setiap ibadah yang asing di Israel harus dikecam. Orang diminta untuk berpaling dari ibadat dan pemujaan terhadap dea-dewa dan melawan politeisme rakyat. Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam melawan agama-agama lain, para nabi biasanya berkhotbah atau menggunakan bentuk-bentuk propaganda yang bersifat simbolis, misalnya mujizat-mujizat yang dilakukan Elisa (2 Raj. 3-6) dan perkawinan Hosea (Hos. 1 dan 3). Mereka tidak menggunakan kekerasan dan paksaan, kecuali bila mereka dan orang-orang yang setia kepada Yhwh lebih dahullu diperlakukan secara bebas. Orang tidak diizinkan membunuh atau bertindak kejam dalam melawan penyembahan Baal dan agama-agama lain. Dengan demikian, Perjanjian Lama memberi kesan bahwa di tengah-tengah keanekaragaman agama, orang yang percaya kepada Yhwh sebagai Allah yang satu-satunya dan berpegang pads perjanjianNya tidak berkompromi dengan agama-agama lain. Dalam mempertahankan kepercayaan yang murni terhadap Allah, bangsa Israel harus mewujudkan keadilan serta belas kasihan, sehingga setiap orang menunjukkan sikap tersebut dengan penuh kemurahan hati kepada sesamanya tanpa memandang bulu.[96]

Dengan demikian, uraian Hess di atas pada akhirnya bermuara kepada seruan kepada suatu pelayanan terhadap orang lain. Orang percaya (gereja) harus mengasihi orang lain sebagai konsekuensi ibadah dan imannya kepada Allah (Yhwh). Hal ini jugalah yang mendorong HKBP dalam menetapkan visi dan misinya sebagai upaya untuk menciptakan kerukunan bersama dengan agama lain. Selanjutnya, John E. Goldingay dan Christopher J.H. Wright menjelaskan bahwa teks penciptaan dapat dijadikan sebagai dasar dari toleransi hidup beragam dalam konteks pluralitas.[97] Mereka menjelaskan bahwa teks Kej. 1-11, secara tidak langsung memperlihatkan adanya kesadaran keagamaan pada manusia. Kesadaran itu terlihat dalam pemakaian nama Allah dengan Yhwh, yang pada masa prasejarah nama itu bukan nama Allah yang dipakai oleh manusia (bnd. Kel. 6), melainkan merupakan tafsiran teologis oleh penyunting pada kemudian hari. Walaupun belum mengenal dengan jelas nama Yhwh tersebut, namun mereka sungguh-sungguh menyembah Dia. Yhwh dikenal sebagai pencipta dunia, pemberi berkat, hakim dan pelindung, yang pada akhirnya direspons dalam bentuk persembahan, permohonan dan pemberitaan. Hal ini menunjukkan bahwa Allah memerintah seluruh dunia dan campur tangan dalam perkara-perkaranya (bnd. Amos 9:7). Menurut Perjanjian Lama dijelaskan bahwa, hikmat Allah turut berperan dalam penciptaan dan tercermin dalam apa yang diciptakan (Imago Dei). Nafas Allah yang Mahakuasa berada di dalam manusia karena ia diciptakan. Hal ini merupakan alasan teologis untuk menganggap kebenaran Allah dicerminkan dalam pengalaman, kebudayaan, pemikiran dan budaya manusia. Dengan demikian, imam Israel kepada Yhwh mengambil alih hal-hal yang baik dari kebudayaan lain: nilai-nilainya diakui sambil dibersihkan dari unsur-unsur pemujaan berhala atau politeisme.[98] Melalui pemahaman akan penciptaan tersebut, maka dalam setiap diri manusia tercermin gambar dan rupa Allah, yang mempunyai kesamaan satu dengan yang lain.

Dengan demikian, imam Perjanjian Lama menunjukkan bahwa umat Israel sebagai umat pilihan Allah, telah hidup dan berdampingan dengan bangsa-bangsa dan agama-agama dan kepercayaan lain. Pemilihan itu bukanlah atas dasar kemampuan yang dimiliki orang-orang Israel, melainkan berdasarkan kasih Allah semata (Ul. 7:7). Maksud pemilihan itu adalah untuk menunjukkan kepada bangsa dan kepercayaan lain bahwa Yhwh adalah Tuhan yang menciptakan, melindungi dan memelihara setiap ciptaanNya. Allah tetap mengasihi bangsa Israel sebagai umat pilihanNya dan sekaligus mengasihi seluruh dunia sebagai ciptaanNya. Oleh karena itulah, dalam konteks hidup beragama masa kini, orang percaya (gereja) harus bersikap terbuka dan tidak menutup diri. Walaupun sebenarnya dalam beberapa bagian dalam Perjanjian Lama, misalnya kitab Daniel yang bersifat sangat eksklusif dan menutup diri, namun dalam suasana demikian ia sangat kreatif. Konteks kehidupan Israel yang pluralistik menyediakan berapa contoh tentang cara berhubungan dengan agama-agama lain.[99] Demikian halnya dengan konteks hidup beragama di Indonesia, HKBP melalui penetapan visi dan misinya merupakan salah satu contoh tentang cara berhubungan dengan agama-agama lain, bahkan dalam hal tanggungjawabnya di tengah-tengah perkembangan zaman tempat di mana ia berada. Sebagai umat Allah yang hidup berdampingan dengan bangsa, agama dan kepercayaan lain, maka HKBP telah sadar akan kasih Allah yang diberikan kepada seluruh dunia.

3.2. Gambaran Gereja yang Inklusif Berdasarkan Perjanjian Baru
Perjanjian Baru, menyaksikan bahwa Yesus semasa hidupNya, secara historis di dunia ini, menunjukkan sikap yang inklusif, dialogis dan terbuka (Yoh. 3:16). Dengan sikap demikian, Yesus telah menyelesaikan tugas pelayananNya secara sempurna di Bukit Golgota. Melalui penderitaan, kematian, dan kebangkitanNya, darahNya telah tercurah untuk menebus dosa-dosa manusia dan untuk pendamaian antara manusia dengan Allah, nyawaNya sebagai ganti kebinasaan seluruh dunia. Dalam diri Yesus Kristus, Allah mewujudkan visi dan misiNya kepada seluruh dunia, tidak terbatas pada individu atau kelompok tertentu. Jadi bukan untuk sebagian bumi atau bangsa, tetapi untuk tebusan banyak orang tanpa membedakan suku, bangsa, ras, dan agama. Dalam menyempurnakan tugas pelayananNya, Yesus merangkul semuanya tanpa mengucilkan pihak-pihak tertentu. Tuhan Allah telah memperlihatkan kepedulian, keterbukaan, dan dialog dengan manusia melalui para nabi dan rasulNya kepada dunia yang sering tidak menerima kasihNya itu. Penolakan akan kasih Allah itu nyata melalui sikap dan perbuatan yang ingin mengumpulkan kekuatan dan kekuasaan untuk dirinya sendiri, untuk kelompoknya sendiri, untuk suku atau bangsanya sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain, kelompok alain, bangsa atau agama lain. Pada saat menjelang kenaikan Yesus ke sorga setelah bangkit dari kematian, Dia menyampaikan perintah kepada para murid agar pergi ke seluruh dunia untuk menjadikan semua bangsa muridNya, membaptiskan mereka serta mengajarkan semua yang diperintahkanNya (Mat. 28:18-20).[100] Perintah yang universal inilah yang menjadi tugas utama orang percaya (gereja) sejak turunnya Roh Kudus. Dari tugas inilah dapat dilihat, betapa tugas gereja sejak semula mencerminkan warna inklusif, dialogis dan terbuka.

Imam Perjanjian Baru dalam teologi Paulus, juga menunjukkan sikap bagaimana orang Kristen harus hidup dalam dunia yang mengenal pluralisme. Paulus dalam suratnya ke jemaat di Korintus, menjelaskan bahwa pertama-tama jemaat jangan menimbulkan keraguan dalam hati karena pluralisme agama itu. Paulus mengecam orang yang mempengaruhi orang Kristen untuk mengikuti pesta-pesta kafir karena tindakan seperti itu adalah dosa terhadap Kristus (1 Kor. 8:12). Paulus telah mengambil keputusan untuk mencari penyesuaian dengan budaya-budaya lain, dengan tujuan mencari cara-cara baru untuk memberitakan Injil kepada golongan-golongan sosial dan etnis yang berbeda-beda (1 Kor. 9). Dengan demikian, dalam hal ini Paulus mengharapkan bahwa orang-orang Kristen dalam dunia pluralisme agama tetap melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Allah dengan cara menyenangkan hati semua orang dengan tidak mencari keuntungan sendiri; dan semuanya itu demi keselamatan orang lain oleh Yesus Kristus.[101] Lebih jauh, Robert Jewett menjelaskan bahwa inti pendekatan Paulus tentang pluralisme ditemukan dalam suratnya ke jemaat Roma. Dalam surat tersebut, Paulus menawarkan suatu sumber yang meyakinkan sebagai formula doktrin tentang toleransi orang-orang Kristen. Surat Roma tersebut menunjukkan suatu hubungan antara sikap etis dalam misi dan hubungannya dengan pola hidup jemaat (Rom. 15:7).[102] Beberapa teks Alkitab tersebut hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak yang mengajarkan cara hidup praktis di tengah-tengah dunia pluralis. Namun demikian, melalui uraian tersebut, maka makna teologis dari visi dan misi HKBP tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara biblika dalam dunia akademis.

3.3. Gambaran Gereja yang Inklusif Berdasarkan Ajaran Gereja
Pada awalnya, gereja dalam memandang agama sekitarnya sangatlah bersikap eksklusif. Sikap seperti ini dianut oleh gereja (Roma Katolik) pra-Konsili Vatikan II. Dalam memandang orang lain itu, gereja Roma Katolik tidak mengakui adanya keselamatan di luar gereja. Dengan kata lain, keselamatan hanya ada dalam ruang lingkup gereja Roma Katolik, tidak ditemukan dalam agama-agama lain. Dasarnya adalah bahwa Allah hendak menyelamatkan semua orang dengan perantaraan Kristus, Penyelamat satu-satunya (Yoh. 14:6; 1 Yoh. 5:11-12). Pemahaman ini dirumuskan dalam pernyataan: extra ecclesiam nulla salust (di luar gereja orang tidak mungkin diselamatkan).[103] Sikap seperti ini sangat mempengaruhi metode-metode penginjilan sampai bertahun-tahun lamanya pada Abad Pertengahan. Tetapi sikap eksklusif ini bergeser menjadi sikap inklusif setelah dicetuskannya Konsil Vatikan II (1962-1965). Salah satu dokumen konsili itu adalah deklarasi “Nostra Aetate”, yaitu suatu pernyataan tentang hubungan gereja dengan agama yang bukan Kristen.[104] Dalam pernyataan itu dikatakan bahwa gereja-gereja bukan Katolik dengan jelas diakui sebagai gereja Kristus, warna inklusif betapa dihargai. Mereka diakui dan dihormati dalam segala keaslian pengalaman religiusnya di luar wahyu kristiani.[105]

Dalam dokumen Konsili Vatikan II dijelaskan bahwa:

Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.[106]

Pernyataan ini menunjukkan bahwa gereja Roma Katolik menerima ajaran orang lain yang memantulkan sinar kebenaran. Artinya, bukan hanya gereja Roma Katolik yang benar, tetapi juga agama-agama lain. Tetapi pada kepemimpinan Paus Johanes Paulus II, sikap inklusif ini bergeser ke arah eksklusifisme. Suatu kemunduran sikap Roma Katolik dalam menyikapi ajaran agama lain. Pada Bulla Paus ayang dikeluarkan pada tanggal 17 April 2003 berjudul: Encyclical Letter “Ecclesia de Eucharistia” of His Holiness Pope John Paul II to the Bishops, Priests and Deacons, Men and Women in the Consecrated Life, and all the Lay Faithful: On the Eucharist in Its Relationship to the Church (April 17, 2003), menyatakan bahwa di luar Roma Katolik, Pastor tidak bisa menjalankan Perjamuan Kudus (eucaristi). Dalam enklisik (Bulla Paulus) tersebut dinyatakan bahwa: “…..it is not possible to celebrate together the same Eucharistic liturgy until those bonds are fully re-established”.[107] Semangat dalam menanggapi kemajemukan bangsa sudah sejak lama menggema dalam lingkungan HKBP. Dalam menyikapi pluralitas bangsa Indonesia, maka HKBP melalui pengakuannya (konfesi) sudah menunjukkan pergeseran dari sikap eksklusif ke arah keterbukaan yang kreatif-positif. Dalam Konfesi HKBP tahun 1996 tidak dicantumkan lagi mengenai gereja dan aliran kepercayaan seperti Katolik, Advent, Pinkster dan lain-lain yang tadinya dipahami sebagai sumber ajaran sesat dan ancaman bagi HKBP sebagaimana dijelaskan dalam bagian Pendahuluan Konfesi HKBP tahun 1951.[108]

Berdasarkan Konfesi HKBP tahun 1996 tersebut, maka ada beberapa hal yang ditemukan secara eksplisit dan implisit yang berkaitan dengan kemajemukan agama, antara lain:
-    Pasal 1 menyatakan, “hanya ada satu Allah yang memerintah seluruh umat manusia.” Pernyataan ini mengandung makna sebuah panggilan untuk melihat dan memperlakukan sesama manusia (tanpa membedakan latar belakang agama dan ras) dari sudut Allah.
-    Pasal 4 berbunyi, “HKBP memahami keberadaannya yang hidup dalam konteks pluralitas agama”. Meski tidak diuraikan secara detail, namun pemahaman seperti itu menunjukkan kesadaran akan kebersamaan dengan penganut agama lain.
-    Pasal 13 secara tegas mengakui fungsi Apncasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Memang wacana sekitar tinjauan teologis terhadap Pancasila terus berlangsung, akan tetapi pernyataan Konfesi tersebut menunjukkan kesediaan HKBP menerima kenyataan bahwa Pancasila dapat mempersatukan warga bangsa yang beraneka ragam latar belakang.[109]

Demikian juga panggilan dan usaha untuk melakukan pemahaman terhadap agama lain di dalam gereja oikumenis telah dikumandangkan oleh lembaga-lembaga gereja. Misalnya, Konferensi Pekabaran Injil sedunia di Edinburg atahun 1910, Yerusalem tahun 1928 dan di Tambaran 1938, telah bergumul keras untuk memahami makna dari kepercayaan-kepercayaan lain di dalam hubungannya dengan Injil. Usaha dan panggilan itu telah diwujudnyatakan dalam beberapa dialog multilateral (yang melibatkan orang-orang dari berbagai agama) di Ajaltoun (1970), Colombo (1974) dan Mauritus (1983).[110]
4.    Analisa Teologi Terhadap Pandangan Jürgen Moltmann
5.    Permasalahan Iman Dalam Hubungannya Dengan Keselamatan Universal
6.    Tipe Kepemimpinan yang Inklusif, Dialogis serta Terbuka
7.    Visi dan Misi HKBP Menjadikan Jemaat Missioner










SEBUAH REFLEKSI HISTORIS
TENTANG SEJARAH GEREJA BATAK


1. Selama beberapa abad masyarakat Batak telah mendiami wilayah pedalaman Sumatera Utara yang secara umum mereka hidup terpencil dan terbelakang. Adalah fakta bahwa sejak awalnya, masyarakat Batak telah melakukan hubungan dan komunikasi antara satu dengan yang lain. Sebagai masyarakat yang hidup di dalam keadaan demikian tentu kehidupannya juga terbelakang pada berbagai aspek. Hal yang sangat penting diperhatikan bahwa: “metode kerja para misionaris menerapkan Injil ke dalam kehidupan orang Batak dalam sejarah misi”. Bila para misionaris menyesuaikan konsep-konsep kekristenan kepada perbendaharaan bahasa dan struktur social serta budaya masyarakat Batak tradisionil, selanjutnya (kini) nyata bahwa kebudayaan Batak telah membuktikan kekuatannya dengan mendapatkan pengaruh pengaruh asing masuk ke dalam unsur kehidupan Batak. Melalui hikmat pernyataan ini, barangkali merupakan tenaga pendorong bagi anda sebagai (calon) pelayan di mana melalui ungkapan ini hendak menegaskan bahwa “metode kerja pelayan sangat menentukan keberhasilannya menerapkan Injil ke dalam kehidupan orang yang kepadanya keselamatan yang sesungguhnya diberitakan”. Bila bercermin dari pengalaman sejarah, dapat dipetik hikmat bahwa “agama Kristen hadir di Tapanuli (bagi masyarakat Batak), sangat tepat di tengah situasi kekacauan social di seluruh tanah Batak berlangsung sekaligus melalui metode kerja para misionaris, Injil (kekristenan) sangat membuktikan “keunggulan”-nya bagi perubahan yang pasti bagi masyarakat Batak. Sekali lagi hikmat pernyataan ini hendaknya dapat memotivasi anda sebagai mahasiswa teologi (calon pelayan) terhadap kehadiran anda di tengah pelayanan jemaat kelak. 


2. Barangkali adalah teladan yang sangat baik masa kini bagi misi dan pelayanan jemaat, yakni: “sikap dan kepribadian serta dedikasi para misionaris melayani”. Jika awalnya unsur ini merupakan kekuatan bagi misi kekristenan - melaluinya perlawanan (tantangan) misi dapat dipatahkan: maka sikap yang sangat simpatik dari pelayan akan menghasilkan komunitas yang unggul di tengah jemaat (perkampungan Huta Dame) sekaligus sebagai kekuatan yang membawa perubahan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, adalah hal yang tidak dapat disangkal bahwa jemaat masa kini sangat menantikan: keramahan, kearifan, kepribadian (sikap), keahlian, keteguhan iman seorang pelayan melaluinya jurang komunikasi antara Injil (berita keselamatan) itu dengan dunia yang dilayani hendaknya dapat dijembatani. Wibawa, kecerdasan, ketangkasan dan ketajaman berpikir peayan terhadap soal-soal kemasyarakatan merupakan potensi yang sangat kuat bagi pelayanan masa kini guna dimamfaatkan bagi perkembangan gereja.  Bila Nomensen sudah melakukan teladan ini, di mana nasehatnya terhadap memutuskan persoalan adat, tata laksana kehidupan antar kampung, perselisihan antar keluarga, keadilan pertimbangannya mendamaikan perselisihan antar penganut agama suku, hendaknya ini juga menjadi corak kepemimpinan dan kepribadian pelayan masa kini memberhasilkan misi kekristenan. Potensi ini sangat tidak dapat dipisahkan dari kemampuan jemaat, artinya: bila refleksi histories terhadap perkembangan gereja Batak (misalnya HKBP) dilakukan maka antusiasme anggota jemaatnya demikian terhadap dedikasi yang tidak kenal takut menjadi factor paling menentukan bagi perkembangan itu ke berbagai wilayah (seluruh tanah Batak khususnya dan Indonesia Umumnya), maka kemampuan seperti ini agaknya tidak dapat dipisahkan (sangat mempengaruhi) dari teladan dan cerminan yang dinampakkan oleh gembalaNya yang mewaris kepada para hambaNya yang tidak lain adalah para pelayan. Inilah modal dasar bagi perkembangan gereja dan kekristenan di tengah dunia masa kini bahwa semangat dan dedikasi setiap orang Kristen sangat menentukan untuk memperkenalkan panggilan Tuhan kepada orang yang belum mengenal berita keselamatan itu.

3.   Bercermin dari pengalaman gereja, adalah hal yang penting untuk dihindarkan bahwa konflik nyata sangat memperlemah kedudukan gereja dan orang Kristen di tengah sekitarnya. Demikian apabila konflik ini dihubungkan dengan munculnya berbagai kekuatan di tengah masyarakat (fundamentalisme, globalisasi, dll) yang semuanya menuntut terjadinya pembaharuan di berbagai bidang termasuk bangkitnya semangat kerohanian berbagai agama masa kini. Maka sepatutnyalah kita sebagai pelayan (calon) mengantisipasi ini dan sadar akan keadaan diri di tengah perseteruan yang semakin tajam. Adalah fakta jaman masa kini bahwa melihat munculnya kekuatan-kekuatan yang berlangsung di dalam masyarakat secara luas nyatanya demi kelangsungannya ke depan gereja harus memberi jawaban dan jawaban ini hendaknya sebagai pokok perhatian untuk memahami sikap gereja agar tetap mengabdi kepada yang adalah Tuhan bagi gereja itu sendiri, dan bukan kepada dua tuan. Hubungan pernyataan ini bagi diskusi kita adalah: hendak ditekankan bahwa dari pengalaman banyak orang dan pelayan, bahwa para pelayan ke depan harus sadar: “sebaik apapun struktur jemaat gereja, kalau perilaku pelayan dan budaya berorganisasinya di dalam gereja adalah korup/jahat maka hasilnya akan membawa bencana bahkan kehancuran pada gereja itu sendiri” (ingat pertemuan terakhir sebelum diskusi ini). Artinya, bagi anda yang paling penting adalah: bagaimana anda mempersiapkan diri agar mampu berorganisasi secara sehat di dalam gereja dan bukan secara sakit. Intinya, konflik yang terjadi sesaat atau berkepanjangan dalam sejarah (gereja), ini menandakan bahwa alangkah lemah dan rapuhnya budaya berorganisasi gereja itu sendiri. Seolah-olah setiap pribadi pendetalah yang menjadi biang masalah, seolah-olah segala sesuatunya terletak dalam pikiran dan keputusan pribadi pendeta sehingga tidak perlu lagi membaca dan memberlakukan aturan (pedoman kerja) yang berlaku. Sikap korupt yang seperti inilah bibit konflik yang paling mudah muncul dalam jemaat sepanjang sejarahnya.



4.  Mungkin banyak hal yang tidak menyenangkan bagi anda selama proses kuliah SGB semester ini. Melalui kesempatan ini, ada baiknya bila dimohonkan maaf sebab semuanya berlangsung alamiah sebagai manusia alamiah. Semoga Tuhan memberkati dan selamat berminggu sunyi (mempersiapkan ujian).


[1] Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey Into The Nature Of Legitimate Power And Greatness  (New York: Paulist Press: 1991) hl. 32-36
[2]  Greenleaft., Ibid
[3]  Greenleaft, Ibid
[4]  Lih. Prof. Bungaran A Simanjutak, Struktur social dan Sistem Politik Batak Toba (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) hl. 66. Buku ini awalnya merupakan sebuah Tesis B. A. Simanjuntak untuk Instituut voor Culturele Atropologi di Leiden Belanda, yang bahan penelitian topicnya sebelumnya telah dilakukannya antara tahun 1975-1976 sebelum penulis kuliah di Post Graduate Anthropology Universitas Leiden Belanda (selesai 1978 ). Fokus perhatian penulis dalam buku ini adalah perkembangan social budaya yang sangat cepat dewasa ini telah menimbulkan banyak dampak terhadap pergaulan dan kehidupan social orang Batak Toba, terutama yang hidup di desa-desa dan kabupaten Tapanuli. Perkembangan itu sangat didasari sepenuhnya oleh pengaruh kemajuan pendidikan, hubungan masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar propinsi dan antar suku bangsa. Perubahan yang terjadi itu, pula sangat berpengaruh kepada sturktur dan system social masyarakat Batak Toba secara keseluruhan.
[5]  B.A. Simanjuntak, Ibid.
[6] Masyarakat Toba pra-kolonial, tidak memiliki (mengenal) konsep Negara dan organisasi politik dasarnya terdiri dari desa-desa kecil. Desa-desa kecil ini diperintah oleh masing-masing raja (pemimpin) yang sebenarnya merdeka, meski pun mereka merupakan bagian dari jaringan yang kompleks dengan desa-desa yang lain berdasarkan hubungan dan keanggotaan marga dalam komunitas-komunitas pemujaan yang lebih besar (bius). Lih. Johan Hasselgren, Batak Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak toba di Medan, 1912-1965 (Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2008) hl. 68
[7] J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1992) hl. 15. Dengan mengutip pendapat J. Tiedeman, mengakatakan bahwa: “kehadiran Raja na Opat tidak memberi/membawa perubahan yang nyata dalam tata tertib social suku bangsa Batak”. Seperti: a). Untuk Simalungun disebut: “Raja na Opat”, yaitu keempat raja (di Silo, Pane, Siantar, dan Tanah Jawa). b). Di kalangan suku Batak Toba di daerah Toba dan Silindung terdapat lembaga “Raja na Opat”, di mana Raja na Opat memperoleh gelarnya dari seorang pembesar adat di Barus, yang beragama Islam dan yang konon adalah keturunan Minangkabau. Raja na Opat di Silindung menyandang gelar: Rangkae Tua (yakni di tengah marga Sitompul, Panggabean, Hutabarat dan Sisangkal), Baginda Hulana (di tengah marga Hutabarat Partali dan Hutabarat Parbaju), Raja Ilamuda (di tengah marga Hutauruk, Situmeang dan Simanungkalit) dan Bagot Sinta (di tengah marga Hutapea, Lumbantobing dan Hutagalung). Ke empat Raja na Opat di Silindung merupakan “Raja  bawahan” dari raja-Imam Sisingamangaraja.
[8] Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli, 1915-1940 (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia: KPG, 2001) hl., 6. Penduduk tinggal di kampung-kampung yang disebut huta di mana huta dipimpin oleh yang disebut sebagai “raja ni huta” yang adalah pendiri kampung atau para keturunannya. Penghuni kampung tidak tunduk secara politis kepada otoritas yang lebih tinggi.
[9]     Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1996) hl., 1-2. Penjelasan ini didukung oleh J.R. Hutauruk, mengatakan: “suku-suku Batak yang temasuk rumpun Melayu-Purba, hingga sekitar tahun  1825 tidaklah beragama Hindu, Islam dan Kristen dan tidak tuntuk kepada suatu penguasa jajahan”. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan social budaya yang mereka alami setelah 1825 sangat ditentukan oleh kehadiran bangsa-bangsa tetangganya yang beragama Islam (suku-suku Aceh di Sumatera Utara, suku Melayu dari Sumatera Timur dan Minangkabau dari Sumatera Barat). Kemudian berlangsung pengaruh agama Kristen melalui ekspansi perekonomian dan pemerintahan Eropa. Lih. J.R. Hutauruk, Op.Cit.,   hl. 10-11
[10]    Lihat, Bisuk Siahaan, Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu (Jakarta: Kempala Foundation, 2005) hl. 43-44. Kesimpulan yang dibuat oleh Bisuk Siahaan terhadap pengaruh Hindu kepada masyarakat Batak tradisionil adalah “pengaruh Hindu hanya terbatas pada ilmu perbintangan, pengetahuan dukun, ilmu meramal, dan tulisan. Sedangkan mengenai kepercayaan, falsapah, pandangan hidup Batak” tidak lebih jauh dipengaruhi oleh Hindu.
[11]    Ibid., hl. 45
[12]    J.R. Hutauruk, Ibid., hl. 11
[13]  DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak (Medan: CV. Armada, 1992) hl. 422.
[14]   Lih. Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., 52-53. Arti harafiah “Dalihan Na Tolu”: Tungku Yang Tiga Batu-nya (tungku yang disanggah oleh tiga batu). Tungku adalah alat memasak. Orang Batak melambangkan  alat memasak makanan dalihan yang tiga batunya sebagai lambing struktur social masyarakatnya. Artinya ada tiga golongan penting dalam struktur social masyarakat Batak, yakni: hula-hula (kelompok marga pemberi isteri), boru (kelompok marga penerima isteri), dan dongan sabutuha/dongan tubu (kelompok marga yang satu asal perut/satu nenek moyang/satu marga). Lih. Juga: B. A. Simanjuntak, Op.cit., hl. 100
[15]  Op.Cit., 420. Orang Batak tradisionil yakin bahwa awalnya Siraja Batak berpusat di Pusuk Buhit yang kemudian pindah ke Bakkara pada Dynasti Raja Sisingamangaraja. Harajaon Batak tradisionil terbagi atas empat wilayah dan wilayah-wilayah inilah yang disebut sebagai Raja Maropat yang masing-masing wilayah meliputi: Raja Maropat Samosir dengan daerah Pulau Samosir dan sekitarnya. Raja Maropat Humbang dengan wilayah daerah Humbang hingga ke Samudera Hindia dan Aceh Selatan (Singkil). Raja Maropat Silindung dengan wilayah Silindung sekarang sampai Samudera Hindia dan perbatasan Pagaruyung. Raja maropat Toba dengan wilayah Toba sekarang hingga ke pantai Timur perbatasan dengan Riau (Kerajaan Johor).
[16]   Ibid., hl. 421. Jika pada uraian penelitian ini dibicarakan system pemerintahan Batak Toba, maksudnya adalah bahwa dalam system kemasayarakatan Batak Toba hal inilah yang terus hidup di dalam bentuk budaya. 
[17]   Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., hl. 453
[18]   Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 153.
[19]   B.A. Simanjuntak, Op.Cit.,  hal. 186
[20]  Keempat Raja Na Opat Bius ini dapat disebutkan yakni: Pertama, Raja Adat berfungsi merencanakan dan menata mengenai uhum/hukum dan adat. Kedua, Raja Parbaringin berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang social politik dan keamanan Bius. Ketiga, Raja Bondar berfungsi merencanakan dan menata mengenai perekonomian Bius. Keempat, Pimpinan Bius yang disebut “Ulu Bius” dipilih Raja-raja Bius. Ulu  Bius ini pada mulanya disebut Ihutan karena fungsinya serupa dengan Primus Interpares yang dituakan sesama mereka dan kemudian berkembang menjadi raja adat, pimpinan keagamaan dan pimpinan pemerintahan.
[21]    Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 159. Seorang Raja Doli biasanya adalah seorang yang paling kaya, paling pintar dan paling berani,mampu bertindak dan bijaksana. Jabatan Raja Doli bisa diwariskan. Ada kalanya seseorang bisa mengangkat diri sebagai Raja Doli, dia bersama pengikutnya menentang Raja Doli yang ada, sehinggaterjadi percekcokan hingga akhirnya dapat menyulut perang saudara. Tugas utama Raja Doli adalah mendamaikan perselisihan yang timbul dalam Bius,menjalankan ketentuan dan peraturan untuk pepentingan umum, misalnyamemasang saluran air, melakukan pengamanan bersama bahkan memaklumkan perang.
[22]   B.A. Simanjuntak., Op.Cit., hl. 180
[23]   Bisuk Siahaan., Op.Cit. hl. 154
[24]   Bisuk,., Ibid., 156-157 
[25]    Biasanya pesta jenis ini dilakukan adalah untuk memohon kepada leluhur supaya panen diberkati, menangkal penyakit menular yang sedang melanda  daerah horja  atau memohon kepada leluhur atau dewata supaya mengaruniakan keturunan kepada pasangan yang sudah lama menantinya.
[26]    Parbaringin berasal dari garis tertua marga cabang, jabatan ini dapat diwariskan. Cara mewariskan jabatan parbaringin dilakukan sebagai berikut: Raja Parjolo, Raja Huta, pengetua masyarakat dan Raja Na Mora berkumpul bermusyawarah untuk menunjuk dan menetapkan seorang dari turunan parbaringin  sebagai pewaris. Penunjukan ini diumumkan pada pesta pasampehon (menerima masuk ke dalam lingkungan parbaringin) yang dihadiri semua parbaringin. Pada acara tersebut parbaringin mengucapkan tonggo-tonggo kemudian melakukan tari wajib. Bisuk Siahaan, Op.cit., hl. 159
[27]    Lih. J.C. Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pusata Azet, 1985) hl. 119   
[28]    Lih. B. A. Simanjuntak, Op.Cit., hl. 165
[29]  I. Tampubolon, Adat mendirikan Huta/Kampung (Medan: Percetakan Philemon Siregar, 1968) hl. 7
[30]    Marmanuk ni ampang maksudnya: upacara magis, sesekor ayam dipotong dimasukkan ke dalam ampang kemudian dilihat ketak ayam mati tersebut di dalam denah peta  magis yang sudah disediakan.
[31]    Ibid.
[32]    Penting juga ditekankan bahwa pengertian raja bagi orang Batak sejak lama sangat mendasar pada realisasi pengembanan tanggungjawab (bukan sebagai kepala pemerintahan).
[33]   Vergouwen, Op.Cit., hl. 126
[34]  Ibid. Di Silindung, galur besar atau cabang-cabang marga mengelompok di sekeliling raja jungjungan yang kuat. Wewenangnya adalah ia sebagai seorang kepala yang berhasil membuat dirinya dihormati oleh kelompok silsilah yang lebih besar yang ke dalamnya ia terbilang. Ia menangani terutama soal soal yang berkaitan dengan keamanan dan perang dan juga dengan urusan “dalam negeri wilayah”. Dalam hal mempertimbangkan sesuatu dia dibantu oleh raja partahi (penasehat) yang biasanya kepala cabang-cabang yang menjadi komponennya. Tetapi jika seseorang yang tadinya merupakan tokoh kuat kehilangan pengaruh dalam urusan wilayah, atau jika pertumbuhan cabang yang ke dalamnya dia termasuk lebih kecil dari pada yang lain di dalam kelompok yang lebiih besar maka persaingan orang antara sesama dan pertandingan sesama galur yang lebih kecil akan segera muncul ke permukaan dan wilayah yang tadinya menjadi unit yang perkasa bisa terpecah ke dalam sempalan-sempalan marga yang saling cekcok. Di sini, kejadian historis dan pribadi memainkan peranan penting walaupun efeknya bisa agak diredakan oleh keinginan untuk memihak kepada cabang marga tertua (haha ni partubu juga disebut haha ni harajaon). Hal seperti ini tidak hanya tedapat di Silindung melainkan juga di Humbang Tengah dan Timur, atau di Muara, mungkin pula di daerah Sipaettua dekat Laguboti yang keadaannya tidak terlalu beberbeda.
[35]  B. A. Simanjuntak, Ibid., hl. 79-80
[36]  Togar Nainggolan, Op.Cit.,  hl. 78-79
[37]  Lance Castle, Op.Cit., hl. 36ff
[38]    Ibid., hl. 52
[39]    Johan Haselgreen. Op.cit., hl. 71 Setelah tanah Batak takluk dan dikuasai (diperintah) maka melalui propaganda-proganda kolonial seterusnya system pemerintahan berdasarkan pemerintahan colonial dijalankan dengan ketentuan bahwa katanya peranan Bius masih dihargai.
[40]  Hal ini dapat dijelaskan: Horja adalah wilayah kekuasaan pemerintahan, ugamo dan adat. Satu-satu Horja adalah gambaran kesatuan satu paradatan. Horja terdiri dari beberapa Lumban sebagai satu wilayah pemerintahan, ugamo dan adat dan didukung oleh marga. Lumban terdiri dari beberapa Huta Bolon yang juga didukung oleh marga. Huta Bolon terdiri dari Huta yaitu wilayah pemerintahan, ugamo dan adat yang menjadi wilayah pemerintahan, ugamo dan adat yang terendah dari struktur organisasi Harajaon Batak. Pembagian-pembagian wilayah seperti inilah yang menjadi kabur dengan munculnya pembagian wilayah oleh penjajahan Belanda .
[41]    Lance Castle, Op.Cit., hl. 10-11
[42]    Gultom Rajamarpodang, Ibid., hl. 422. Dijelaskan oleh Gultom Rajamarpodang bahwa system kemasyarakatan Batak Toba sekarang masih menggambarkan demikian sehingga dalam penetrapan kegiatan masyarakat, sulit dipadu antara kegiatan masyarakat dengan budyanya dengan system  pemerintahan yang dijalankan sekarang. 
[43]  Lih. Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta: Kontuinitas dan Perubahan Identitas (Medan: Penerbit Bina Media, 2006) hl. 53-54.  Togar Nainggolan menjelaskan dalam bukunya, penguasaan atas tanah Batak oleh Belanda merupakan tujuan utama kolonialisme. Demi efektifitas dan sentralisasi adalah alasan utama kolonialisme Belanda membagi-bagi daerah Batak menjadi beberapa daerah residen. Untuk ini, beberapa huta disatukan dalam beberapa regio pemerintahan, dengan demikian kemerdekaan huta dikurangi dan kekuasan pemerintahan diperbesar. Dewan pemerintahan pusat dibentuk yang terdiri dari raja-raja huta. Mereka ini bertugas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di huta sesuai dengan hukum adat, kemudian pemerintah colonial Belanda meneguhkan hukum adat. Pemerintah colonial (termasuk misi) sangat mempergunakan struktur hierarki masyarakat Batak Toba untuk mencapai tujuan mereka. Belanda membentuk pemerintahan regio yang terdiri dari raja-raja huta dan mereka ini disebut hundulan (dewan regio). Tujuan akhir pemerintah Belanda adalah untuk mengganti struktur huta  dengan system pemerintahan colonial untuk mengatur dan menjamin aturan dan hukum yang berlaku demi ketertiban masyarakat.
[44]    Lance Castle, Op.Cit., hl. 57-69
[45]   William Skidmore, Theoretical Thinking in Sociology (London: Cambridge University Press, 1975) hl. 175
[46]   Frans Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 2000) hl. 59.
[47] Lih. Carter Lindberg, The Third Reformation ? (Georgia: Mercer, University, 1983)      hl. 131
[48] Lih. Johan Hasselgren, Batak Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak  Toba di Medan, 1912-1965 (Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2008) hl. 76-77
[49] Ibid., hl. 78-84
[50]  Ibid., hl. 78-84
[51]  Ibid., 78-79
[52]  Ibid., hl. 80-81
[53]   Lih. Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja (Jakarta: BPK-GM,1996) hl. 96-98. R. Fabri datang ke Amsterdam menemui pemerintah Belanda guna membicarakan masalah misi selanjutnya di Kalimantan akibat bergejolaknya perang Hidayat tahun 1859 di sana. Akibat perang itu juga para misionaris RMG turut terbunuh sebab ketika itu Kalimantan juga merupakan wilayah kerja misi RMG yang dirintis sejak tahun 1835. Masa kunjungan inilah awalnya Fabri menemukan kesan yang sangat mendalam baginya terhadap awal pengenalannya kepada orang Batak sehingga merupakan inspirasi awal bagi masuknya RMG di tanah Batak.
[54]    Hasellgren, Ibid., hl 82-83
[55]    Ibid., 83-84
[56]     Lih. P.B. Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatera Utara (BPK, Jakarta, 1975)  hl. 52-54
[57]     Lih. P.B. Pedersen, Ibid., hl. 54-64 Lih. Juga: Lothar Scheiner, Telah Ku Dengar  Dari Ayahku, Perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK: 1978) Ia lahir di pulau Nordstand (daerah Schleswig-Holstein sebuah daerah antara Denmark dan Jerman) tanggal 6 Pebruari 1834 (pada tahun terbunuhnya Munson dan Lyman di Lobupining) dan bulan Oktober 1861 (setelah menjalani pendidikan teologi di bawah bimbingan RMG) ia ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Tiba di Padang tanggal 14 Mei 1862 (masa 142 hari pelayaran dari Jerman hingga ke Padang).
[58]     Di rumah seorang penduduk setempat bernama Bondannalotot Nasution di Prau Sorat-Sipirok. Tanggal rapat koordinasi kerja mereka inilah yang kemudian oleh badan zending RMG ditetapkan sebagai hari lahirnya gereja-gereja Batak (HKBP). Secara kebetulan, orang Kristen Batak melihat bahwa huruf pertama dari masing-masing nama ke empat misionaris ini (Heine, Klammer, Betz dan V(P)an Asselt) dianggap sebagai ilham dan nubuatan kemudian untuk nama gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Lih. Andar Tobing, hl. Op.Cit., 100   
[59]     Lih. J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja  (BPK, Jakarta, 1992) hl. 24-30. Realitas selanjutnya, wilayah bagian Selatan Tapanuli, Islam sudah sangat dominan bagi masyarakat setempat, sementara di bagian Utara agama tradisionil Batak juga masih sangat dominan (masih belum disentuh oleh pengaruh apapun) bagi masyarakatnya. Demi pengembangan misi selanjutnya, rapat koordinasi ke empat orang misionaris ini tetap memutuskan bahwa Van Asselt bersama Heine keduanya bekerja untuk wilayah Utara khususnya daerah Pahae sedangkan Klammer dan Betz bekerja untuk wilayah Selatan khususnya daerah Bungabondar (Sipirok).
[60] P.B. Pedersen, Ibid., hl. 64
[61]     Lih. J.R. Hutauruk (Koord), Tuhan Menyertai Umatnya, Sejarah 125 Tahun HKBP, Pearaja Tarutung, 1988. hl. 147 ff
[62]   Lih. Hutauruk, 125 tahun HKBP, Ibid., hl 148 Bidang Pendidikan Umum. Untuk membaca dan berhitung dibuka SD di Prau Sorat tahun 1893.  Selanjutnya, sekolah-sekolah sending di Tapanuli mendapat bantuan dari pemerintah Belanda sebab sekolah sending sangat berperan meningkatkan pengetahuan masyarakat, “Sekolah anak ni raja” didirikan di Narumaonda dan sekolah ini memakai bahasa Belanda. Di Narumonda juga didirikan sekolah Tukang yang dididik menjadi terampil/ahli bidang pandai besi dan kayu. Lama belajar adalah 2 tahun yang kemudian sekolah ini mendapat bantuan dari pemerintah. Hingga tahun 1961, oleh orang Kristen Batak melalui HKBP bersemangat mengembangkan lembaga pendidikan ini melalui pendirian perguruan teknik HKBP di P. Siantar (Jln. Medan sekarang). Bidang pendidikan teologia. Lembaga pendidikan guru pertama yaitu Seminari Prau Sorat sebagai sekolah Kateket) di dirikan di Prau Sorat Sipirok (Tapanuli Selata, 1868). Siswa sekolah ini direkrut dari tamatan SD sending terbaik ketika itu dengan kurikulum: “pengetahuan tafsiran Alkitab dan Sejarah Alkitab, Katekhismus, Ilmu Bumi, Sejarah (Kuno, Modern, dan Sejarah Gereja), Berhitung, Bernyanyi, Pengetahuan Alam dan bahasa Jerman dan Melayu”. Sekolah ini ditutup tahun 1872 (hanya menghasilkan 27orang guru dari tiga angkatan) karena hasil misi PI umumnya di TAPSEL sangatlah lambat di banding TAPUT dan akhirnya sekolah ini dipindahkan ke TAPUT. Hingga tahun 1934, pengembangan  pendidikan teologia terus dilakukan hingga berdirinya:”sekolah penginjil khusus wanita (Bibelvrouw) di Laguboti. Sekolah ini pertama sekali di bawah pimpinan Schwester Elfriede Harder. Mula-mula sekolah ini didirikan di Narumonda-Porsea (1934-1936) tetapi tahun 1837 dipindahkan ke Laguboti. Sejak awal, produk sekolah ini diharapkan mampu menjadi pelayan gereja khusus bagi pekerjaan wanita seperti: pembinaan wanita dalam gereja, mengajar anak-anak dan muda/i, pelayanan pastoral lainnya para wanita ke rumah-rumah. Masa pendudukan Jepang (1940-1945) sekolah ini ditutup, namun oleh Pdt. K. Sirait mantan Ephorus HKBP pertama, sekolah ini dibuka kembali.

[63]     Lih. J.R. Hutauruk, Nomensen dan Metode Pekabaran Injil dalam: Bagian Ilmu Sejarah dan Pekabaran Injil STT-HKBP, Benih Yang Bebruah (Pematangsiantar: STT-HKBP, 1984) hl. 37-39. Dalam sejarah gereja HKBP, personifikasi kesatuan itu berulang dalam diri almarhum Ephorus Dr. J. Sihombing yang dalam mengarungi masa-masa pencobaan pada waktu pendudukan Jepang, sangat terasa kegunanaannya. Type kepemimpinan yang demikian menjadi harapan setiap anggota jemaat masa kini sebab bagaimana pun baiknya metode kerja yang telah disepakati, hasilnya bergantung kepada orang yang bekerja, kepada kharisma kepemimpinan pribadi dari pemimpin gereja itu
[64]   Lih. Hutauruk, 125 tahun HKBP, Ibid. RS RMG pertama didirikan di Tarutung (1900) yang dipimpin oleh Dr. med. J. Schreiber. Hingga tahun 1940, pelayanan kesehatan telah berlangsung denganbaik melalui  berdirinya 14 RS penolong di: Ambarita; Butar; Dolok Sanggul; Nainggolan; Pakantan; Pakkat; Pangaribuan; Pangururan; Pargarutan; Parsoburan; Sayurmatinggi; Sihorbo; Sipirok; Sitorang. RS penolong ini kemudian didukung oleh berdirinya 12 Poliklinik, yakni di: Janjimatogu; Laguboti; Lintongnihuta; Lumban Julu; Onanhasang; Parsoburan; Porsea; Salak; Sarulla; Simarangkir; Sigumpar; Sipahutar.
[65]   Lih. Pedersen, Op.Cit., hl. 61 Dalam usaha memperbaiki sistem social masyarakat ini, para misionaris RMG menerapkan metode kerja misi sebagai berikut:  pertama, memberantas sistem “parhatobanon” (system budak) melalui menebus utang “hatoban” kepada para pemiutang (tuan-tuan/raja). Membasmi system utang-piutang (pinjam meminjam) dengan bunga yang sangat tinggi dengan menggiatkan system perkoperasian yang pengelolaannya dipercayakan kepada para guru sending yang sekaligus berfungsi sebagai guru jemaat setempat. Untuk pelayanan bidang ini, Nomensen memberi modal kepada jemaat untuk dipinjamkan dengan bunga sangat rendah. Ketiga, mengurangi beban kerja para wanita menumbuk padi dengan mengajari mereka membuat kincir air (losung aek) yang berfungsi sebagai gilingan padi. Keempat, mengajari para petani Batak dengan system pertanian modern. Sistem ini ditambah dengan pengefektipan lahan pekarangan rumah guna meningkatkan pendapatan dan giji keluarga seperti tanaman sayuran dan buah-buahan. Pola ini diterapkan pertama sekali dengan mengembangkan penataan pargodungan” (kompleks gereja sekaligus kompleks perumahan pelayan: Pdt dan guru sending/jemaat). Kelima, untuk membina system perekonomian masyarakat Batak yang lebih luas, I.L. Nomensen mengusulkan kepada pemerintah mengatur hari pekan (Onan) di tiap daerah di Tapanuli Utara. Tujuannya supaya hasil panen penduduk dapat dipasarkan dengan baik melalui lancarnya roda perputaran uang di tanah Batak (misalnya: Onan Senin - Laguboti ; Selasa-Narumonda ; Rabu – Porsea ; Kamis–Silaen ; Jumat–Balige ; Sabtu – Sigumpar ; Rabu – Siborongborong dan daerah daera lainnya di Silindung).
[66]    Walter Lempp, Benih Yang Bertumbuh XIII (Jakarta: LPS DGI, 1976 ) hl. 139
[67]  Lih. J.R. Hutauruk, Nomensen dan Metode Pekabar Injil, dalam: Bidang Penelitian dan Pengembangan  STT-HKBP Bagian Ilmu Sejarah Gereja dan Pekabar Injil, Benih Yang Berbuah (Hari Peringatan 150 Tahun Ompu I Ephorus Dr. Ingwer Ludwig Nomensen Almarhum (Pematangsiantar : STT-HKBP, 1984) hl. 37
[68]  Lih. Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli, 1915-1940 (Gramedia, Jakarta, 2001) hl. 31-33. Suatu hal dapat dikatakan bahwa keberhasilan misi di tanah Batak sangat ditentukan oleh cara pendekatan para misionaris yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat Batak pada masanya. Pernyataan inilah yang dilakukan secara khusus oleh Nomensen, dan nampak dalam hal: Pertama, ketika pertama sekali orang Batak memberi gelar “Ompui” kepadanya, pemberian gelar ini tidak semata-mata karena keberhasilannya membentuk dan membina sebuah perkampungan Huta Dame di lembah Silindung yang sekaligus ia memberi  pengajaran Alkitab dan pengetahuan agama Kristen kepada mereka. Lebih dari itu, nasehatnya dalam memutuskan persoalan adat, tata laksana kehidupan antar kampung, demikian perselisihan antara keluarga, keadilan pertimbangannya memperdamaikan perselisihan antar penganut agama suku semuanya menjadi corak kepemimpinan dan kepribadiannya yang sangat tanguh memberhasilkan misi di tanah Batak. Kedua, wibawa (sahala) dirinya yang ditunjukkannya ketika pertemuan para raja di setiap berlangsungnya Onan nampak kecerdasan, ketangkasan dan ketajamannya berpikir terhadap soal-soal hikmat ke-Batak-an dan melampaui raja-raja Batak sendiri. Sikap seperti inilah inilah dapat dijadikan sebagai teladan yang sangat kuat bagi pelayan dan pelayanan (kepemimpinan gereja Batak) masa kini guna dimanfaatkan bagi perkembangan gereja sebagaimana diharapkan ke depan.

[69] Th. Van den End & J. Weitjens, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm. 184-185.
[70] Ibid, hlm. 189-190.
[71] Gomar Gultom, Menggapai Gereja Inklusif; Bunga Rampai Penghargaan atas Pengabdian Pdt. DR. J.R. Hutauruk (Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2004), hlm. v-vi.
[72]   Nekson Simanjuntak, “HKBP Menuju Gereja Yang Inklusif dan Dialogis – Suatu Telaah Dari Pendekatan Budaya dan Teologi”, dalam Immanuel HKBP Vol. 115 No. 9 Sep. 2004, hlm. 40.
[73]   HKBP, Aturan dohot Paraturan (Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2002), hlm. 99-100. Penggunaan selanjutnya disingkat dengan AP HKBP 2002.
[74]   A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukuanan (Jakarta: BPK-GM, 2006), hlm. 127.
[75]   Ibid, hlm. 138.
[76] Robinson Rajagukguk, “Pendeta HKBP Menjadi pelayan yang Menghayati Pelayanan Koinonia, Marturia, Diakonia yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka”, dalam Buku Panduan Rapat Pendeta HKBP 01-05 Agustus 2005 (Unpublished), hlm. 138-140.
[77]  J.R. Hutauruk, “Gereja Yang Inklusif dan Dialogis, Merangkul Semua Tanpa Mengucilkan” dalam Immanuel HKBP Vol. 112, No. 7 Juli 2002, hlm. 38.
[78]   AP HKBP 2002, hlm. 95-95.
[79]  Visi adalah: kemampuan untuk melihat pada inti persoalan; pandangan luas; wawasan; penglihatan; pengamatan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hlm. 1004).
[80]  Misi adalah: tugas yang dirasakan orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi, patriotisme, dsb. (Ibid, hlm. 587).
[81]   Ibid, hlm. 38-39.
[82]   Ibid, hlm. 42.
[83]  Binsar Nainggolan, “HKBP Distrik X Medan-Aceh Terpanggil untuk Mewujudkan Gereja sebagai Tubuh Kristus yang Inklusif, Dialogis, dan Terbuka Mencapai Cita-cita menjadi Berkat bagi Sesamanya di tengah-tengah Masyarakat yang Pluralis”, dalam Arahan dan Laporan Praeses ke Sinode distrik, disunting oleh Midian KH Sirait (Medan: HKBP Distrik X Medan Aceh, 5-6 Desember 2006), hlm. 111.
[84]   J.R. Hutauruk, Op.cit, hlm. 42.
[85]  Herlianto, Teologi Sukses-Antara Allah dan Mamon (Jakarta: BPK-GM, 1993), hlm. 1. Teologi Sukses, lebih memberikan tekanan pada hidup kaya, dibekarti dan berkelimpahan. Ajaran tersebut juga menawarkan kepada manusia untuk menyembah Allah dan tetap mencintai Mamon, suatu bentuk pandangan hidup mendua yang praktis dan populer pada masa kini.
[86]  Alan Race, Christians and Religious Pluralism (Amrynoll-New York: Orbis Books, 1982). Dalam buku ini, ia menguraikan pengelompokan itu berdasarkan pandangan para teolog yang mengembangkan beberapa sikap dalam hidup keberagaman.
[87]  Eksklusif artinya: “terpisah dari orang lain; khusus”. Sedangkan eksklusivisme adalah paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat. (Bnd. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hlm. 221). Bnd. juga Alan Race, Op.cit, hlm. 10-37.
[88]   Bnd. Alan Race, Op.cit, hlm. 37.
[89]   Inklusif artinya: “termasuk; terhitung” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit, hlm. 332).
[90]   Bnd. Alan Race, Op.cit, hlm. 38.
[91]   Pluralis artinya: bersifat jamak (banyak), sedangkan pluralisme adalah hal yang mengatakan dan mengakui jamak atau tidak satu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit, hlm. 691).
[92]   Alan Race, Op.cit, hlm. 72-73.
[93]   Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, Op.cit, hlm. 276.
[94]   Nama tersebut dalam bahasa Ibrani terdiri dari empat konsonan (huruf mati). Vokalnya tidak diketahui lagi dengan apasti karena sejak zaman Perjanjian Lama, nama yang maha suci itu tidak diucapkan tetapi selalu diganti dalam pembacaan dengan kata ינדא-adonay (Tuhan). Bnd. Freedmann, “הוהי Yhwh”, dalam Theological Dictionary of The Old Testament Vol. V, disunting oleh G. Johannes Botterweck & Helmer Ringgren (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing, Co., 1986), hlm. 501.
[95]   Richard S. Hess, “Pluralisme Agama di Israel Kuno”, dalam Satu Allah Satu Tuhan-Tinjauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama, disunting oleh Andrew D. Clarke & Bruce W. Winter, diterjemahkan oleh Martin B. Dainton (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm. 16.
[96]  Ibid, hlm. 18.
[97] John E. Goldingay & Chistopher J.H. Wright, “Keesaan Allah Dalam Perjanjian Lama”, dalam Satu Allah Satu Tuhan-Tinjauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama, Ibid, hlm. 33.
[98] Ibid, hlm. 34.
[99] Ibid, hlm. 49.
[100]  Terdapat perbedaan penafsiran terhadap teks ini dalam hubungannya dengan tugas dan misi orang Kristen (gereja) masa kini. Satu sisi teks ini dapat dipahami dan diimplementasikan sebagai suatu pemahaman orang Kristen mula-mula, atau yang lebih khususnya dapat dipahami sebaga konteks Injil Matius ketika jemaat (Yahudi) keluar dari sinagoge. Pemahaman yang lain menyebutkan bahwa teks ini tidak asli sebagai ucapan Yesus, tetapi berasal dari proselitisme triumphalis jemaat abad pertama. Tetapi pada intinya bahwa interpretasi terhadap teks Mat. 28:18-20 merupakan salah satu contoh perbedaan pandangan di dalam umat Kristen. (Bnd. Martin Harun “Amanat Aguung dan Pluralitas Agama: Masalah Eksegetis dan Hermeneutis:, dalam DISKURSUS: Jurnal Filsafat dan Teologi: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Vol. 5, No. 2, Oktober 2006, hlm. 181).
[101]  Bruce. W. Winter, “Orang Kristen Mula-mula dan Pluralisme Agama” dalam Andrew D. Clarke & Bruce W. Winter (peny.), Op.cit, hlm. 95-97.
[102]  Robert Jewett, Christian Tolerance-Paul’s Message to The Modern Church (Philadelphia: The Westminster Press, 1982), hlm. 10-11.
[103]  Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja Jilid 1 A-Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), hlm. 315-316.
[104]  Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor, 2002), hlm. 309-315.
[105]  Bnd. Tom Jacobs, Gereja Menurut Vatikan II (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 27-28.
[106]  Dokumen Konsili Vatikan II, Op.cit, hlm. 311.
[107] http: // www.Vatican.Encyclical Letter ecclesia de eucharistia, diakses tanggal 12 Desember 2007.
[108]  HKBP, Konfesi HKBP 1955 dan Konfesi HKBP 1996 (Pematangsiantar,HKBP, ttp),hlm. 5-9.
[109]  Willem T.P. Simarmata, “Mewujudkan HKBP yang Terbuka dan Dialogis”, dalam Menggapai Gereja Inklusif; Bunga Rampai Penghargaan atas Pengabdian Pdt. Dr. J.R. Hutauruk, Op.cit, hlm. 328.
[110]   Iman Sesamaku dan Imanku, diterjemahkan oleh Eka Darmaputra (Jakarta: BPK-GM, 1994), hlm. viii.




No comments:

Post a Comment