SEJARAH GEREJA DI INDONESIA
Pendahuluan
1. Deskripsi
Mengenai: Agama dan masyarakat Indonesia
asli. Sebelum datangnya agama-agama besar
seperti Hindu, Budha, Islam dan Kristen ke bumi Indonesia,
masyarakat Indonesia
asli adalah penganut agama suku (agama primitif). Setiap suku yang ada di Indonesia
mempunyai agamanya yang tersendiri dan satu sama lain sangat berlainan menurut
corak dan bentuk serta karakter masing-masing (lain agama suku Batak, lain
agama suku Jawa, suku Dayak, Irian, dll). Walau berlainan satu sama lain, ada
kesamaan corak secara umum, kesamaan ini nantinya akan banyak memberi pengaruh
terhadap sejarah kekristenan di Indonesia, misalnya soal:
a. Agama-agama suku itu
menganut paham animisme, yakni: kepercayaan tentang adanya roh-roh atau
kekuatan-kekuatan yang menguasai alam ini. Setiap benda, baik itu pohon, binatang-binatang,
tempat-tempat, diyakini didiami oleh roh-roh tertentu.
b. Agama-agama suku itu mempunyai aturan hidup
atau adat yang mengatur segala aspek kehidupan, rohani dan jasmani. Adat itu
tidaklah merupakan aturan yang lepas dari agama dan menurut kepercayaan
suku-suku itu, adat tersebut diturunkan oleh dewa-dewa melalui nenek moyang
suku-suku atau marga-marga itu. Karena itu wibawa nenek moyang sangat dihormati
bahkan juga disembah bagaikan suatu dewa.
c. Apabila adat itu diikuti secara sempurna, dipercayai akan membawa
selamat atau berkat bagi masyarakat suku itu, tetapi sebaliknya apabila
dilanggar akan membawa kutuk atau malapetaka.
Secara umum semua suku di Indonesia
mempunyai masyarakat yang kolektif. Ini berarti tidak ada tempat bagi perorangan
untuk mengambil jalan sendiri. Dalam segala aspek kehidupannya, mereka dipimpin
oleh kepala-kepala suku yang mana mereka biasanya adalah para “datu” atau
orang-orang yang mempunyai kesaktian khusus, sehingga wibawa mereka sangat
besar dan kata-katanya dituruti oleh seluruh masyarakat suku itu. Susunan
masyarakat itu dapat dijelaskan dengan menggunakan pohon. Pohon itu
keseluruhannnya adalah masyaraakat suku itu. Pohon itu mempunyai batang, dahan,
cabang, ranting yang menggambarkan bagian-bagian atau cabang-cabang dari suku
itu yang tidak terlepas satu sama lain.
(Agama-agama dari luar yang
datang ke Indonesia) Mulai dari abad pertama Masehi sampai abad dua puluh ini
telah ada beberapa agama dari luar yang masuk ke Indonesia, yakni agama Hindu,
Budha, Islam dan Kristen. Mengenai agama-agama ini dapat dikatakan bahwa:
a. Agama Hindu dan agama
Budha telah masuk ke Indonesia
sejak abad pertama Masehi yakni melalui pedagang-pedagang yang datang dari India. Pada
waktu itu Indonesia memang
telah ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari berbagai negara di dunia,
antara lain dari Tiongkok, India, Persia dan Mesir. Dari India banyak pedagang-pedagang yang datang ke Indonesia
untuk membeli rempah-rempah dari saudagar-saudagar yang berasal dari Jawa dan
Sumatera. Kemudian dari antara pedagang-pedagang India
itu ada juga yang berhasil tinggal di Indonesia. Di Indonesia mereka
berusaha untuk mengembangkan pengaruh mereka yakni dengan menyebarkan agama dan
budaya mereka, dan juga dengan mendirikan beberapa kerajaan yang besar seperti
kerajaan Sriwijaya yang menganut agama Budha di Sumatera Selatan dan kerajaan
Mojopahit yang menganut agama Hindu di Jawa. Kehadiran agama Hindu dan agama
Budha itu memang tidak menghalau begitu saja agama-agama suku yang sudah ada. Malah
di beberapa tempat seperti di Tapanuli (Tanah Batak), pengaruh Hindu itu telah
memperkaya agama dan budaya suku setempat yakni suku Batak. Bagi masyarakat dan
kepercayaan suku Batak, pengaruh kebudayaan dan agama Hindu dan Budha sangat
nyata sekali. Hal ini telah diteliti oleh H. Parkin yang dituangkan dalam
sebuah disertasi mengambil Doktor Teologi yang berjudul “Batak Fruit of Hindu
Thought” (Buah Batak dari pemikiran Hindu), yang telah diterbitkan di Madras,
India, tahun 1978. Begitu besarnya pengaruh agama Hindu dan Budha atas
masyarakat Indonesia nampak
dari sejumlah peninggalan-peninggalan mereka di Indonesia, antara lain berupa
candi-candi dan kuil-kuil, seperti Candi Mendut dan Candi Borobudur. Sampai
sekarang penganut agama Hindu dan agama Budha masih banyak dijumpai di
Indonesia, seperti di Jawa dan Bali, dan bahkan kedua agama itu sudah merupakan
agama yang diakui secara resmi di Indonesia.
b. Agama Islam masuk di Indonesia sejakabad ke-13, yang
juga melalui jalur perdagangan. Pedagang-pedagang Gujarat dari India Barat,
yang datang berdagang ke Indonesia
menyebarkan agama itu di Indonesia.
Para pedagang-pedagang Gujarat yang membawa agama Islam itu sebelumnya mengenal
agama itu melalui para pedagang yang datang ke negeri mereka dari Arabia, dari
Mesir dan Persia, sejak abad 9. Di Indonesia, daerah yang pertama dimasuki oleh
agama Islam itu ialah Aceh, yang karena itu negeri tersebut masih digelari
“serambi Mekkah”. Kemudian setelah dari Aceh, agama Islam itu menyebar lagi ke
daerah-daerah Indonesia
yang lain. Cara penyiaran agama Islam itu ialah dengan memasuki kota-kota
pelabuhan dan mengikuti jalur-jalur perdagangan. Kemudian di tempat-tempat yang
telah dimasuki, penyebar-penyebar agama Islam itu berusaha menjalin hubungan
dengan raja-raja, sultan-sultan atau penguasa-penguasa setempat yakni dengan
mengawini putri-putri raja-raja tersebut atau sebaliknya. Dengan demikian
pengaruh raja-raja setempat tersebut bisa dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang
Islam tersebut dalam usaha penyebaran agama itu. Melalui raja-raja atau
sultan-sultan itu maka berdirilah kerajaan-kerajaan Islam yang berpusat di
kota-kota pelabuhan atau di pusat-pusat perdagangan, baik di Sumatera, Jawa
sampai ke Maluku. Dari antara pemimpin-pemimpin agama Islam yang kita kenal dari
sejarah Indonesia,
antara lain Maulana Malik Ibrahim dan Falatehan.
c. Agama Kristen yang kita kenal sekarang ini masuk ke
Indonesis melalui orang-orang Eropa (Barat) mulai pada abad 16 yang lalu.
Tetapi dalam penelitian sejarah belakangan ini, telah ditemukan suatu bukti
yang memberi petunjuk bahwa sekitar pertengahan abad ke tujuh (kira-kira tahun
645 M) yang lalu kekristenan telah pernah masuk di Indonesia yakni di daerah Barus,
Tapanuli Tengah. Hal ini diketahui dari sebuah dokumen sejarah kuno di Mesir
yang melaporkan bahwa di sebuah tempat bernama Pancur (dekat Barus) telah
pernah berdiri beberapa biara Kristen. Kekristenan yang dijumpai di Barus itu
dibawa oleh pedagang-pedagang Kristen Nestorian dari Mesopotamia atau Persia.
Pada waktu itu Barus sudah merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai
disinggahi oleh pedagang-pedagang dari banyak negara dan bahkan menjadi sebuah
kota perdagangan yang laris, karena daerah sekitar Barus itu banyak
menghasilkan kapur Barus yang pada waktu itu merupakan bahan perdagangan yang
sangat laris, terutama ke Mesopotamia dan Mesir. Tetapi tidak diketahui dengan
jelas sampai kapan kekristenan di sana
bisa berlangsung. Dan kekristenan yang pernah ada di sana itu tidak berkesinambungan, karena tidak
ada orang-orang Kristen di Indonesia sekarang yang berasal dari kalangan
Kristen Nestorian tersebut. Rupanya kekristenan yang di Barus itu sempat
menjadi hilang lenyap, setelah pedagang-pedagang Nestorian itu meninggalkan
tempat tersebut.
Kemudian kekristenan masuk
ke Indonesia pada abad 16,
ini sangat dimotori oleh datangnya orang-orang Portugis dari Eropa (mulai
datang ke Indonesia
tahun 1522). Ada tiga faktor yang mendorong
kedatangan orang-orang Portugis ke Indonesia
dan daerah-daerah Asia lainnya.
Faktor pertama ialah alasan
ekonomi. Mereka mau mencari keuntungan yang besar dengan berusaha menguasai
perdagangan sampai ke Indonesia,
di mana diperoleh banyak rempah-rempah sebagai bahan perdagangan yang sangat
laris di Eropa pada waktu itu.
Faktor kedua ialah alasan
politis. Mereka mau melumpuhkan kekuatan Turki (yang sudah beragama Islam),
yang sebelumnya telah menguasai perdagangan antara Asia
dan Eropa. Pada waktu itu dengan mengandalkan kekuatan ekonominya, bangsa Turki
telah mencoba memperluas pengaruh dan kekuasaannya sampai ke Eropa.
Faktor ketiga ialah alasan
agama. Sebagai penganut Kristen Roma Katolik (RK), mereaka merasa
bertanggungjawab untuk menyiarkan agama Kristen itu di negeri-negeri yang baru
mereka temukan di luar Eropa.
Adanya penemuan-penemuan
daerah-daerah baru ini oleh orang-orang Portugis sangat menyenangkan bagi
pimpinan gereja RK di Roma, sehingga Paus segera mendorong orang-orang Portugis
menyebarkan agama Kristen itu di daerah-daerah yang baru ditemukan tersebut.
Sebagai rangsangan untuk usaha ini, Paus memberi hak: “padroado” kepada
raja Portugis. Hak yang sama juga diberikan kepada raja Spanyol yang menemukan
Filipina dan Amerika Selatan. Padroado berarti raja sebagai majikan atau
pelindung gereja di wilayah yang dikuasainya. Itu berarti raja diberi hak atau
wewenang untuk mengurus gereja dan misi gereja di daerah kekuasaannya itu,
antara lain hak untuk mengangkat uskup, membangun gereja dan biara-biara, dan
mengurus keperluan ibadah dan belanja pengurus gereja. Dan juga diberi hak
untuk mengutus penginjil-penginjil ke tengah-tengah bangsa-bangsa yang dijumpai
di daerah baru itu. Bagi pemikiran Eropa, pemberian hak seperti itu adalah
lumrah, karena pada waktu itu di Eropa berlaku suatu semboyan yang mengatakan: “Cuuius
Regio, Illius Religio”, yang artinya siapa punyai negeri dia juga punya
agama. Artinya siapa yang berkuasa di satu-satu daerah, maka agama dari rajanya
itulah yang harus dipeluk oleh rakyatnya. Missionaris RK yang sangat terkenal
di Indonesia dan seluruh
Asia ialah Fransiscus Xaverius yang menginjili di Asia
dari tahun 1542 sampai kematiannya tahun 1552. Di Indonesia (Maluku) dia
bekerja dari tahun 1546-1547. Pada tahun 1622, gereja RK telah menetapkan
Xaverius sebagai salah seorang “santo” (orang kudus).
d. Agama Kristen Protestan mula-mula masuk ke Indonesia oleh orang-orang Belanda yang datang
ke Indonesia
mulai tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelius de Houtman. Alasan yang mendorong
kedatangan Belanda ke Indonesia
yang paling menonjol ialah untuk berdagang. Mereka ingin memonopoli perdagangan
antara Asia dan Eropa. Dengan kebijaksanaan
pemerintah Belanda, pedagang-pedagang Belanda itu dipersatukan dalam satu
kompeni (serikat) yang bernama: “Verenigde Oostindische Compagnie” (Persatuan
Maskapei di India Timur) yang disingkat dengan VOC, tahun 1602. VOC ini
kemudian menjadi pemerintah atau penguasa di Indonesia, karena kepadanya
pemerintah Belanda memberi hak dan kekuasaan untuk mengangkat militernya,
membuat mata uang, dan mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara
lain, dll. Dengan kekuasaan ini maka VOC bisa bertindak keras di Indonesia
demi memajukan usaha perdagangan mereka.
Sebagai pedagang,
orang-orang Belanda tidak begitu mengutamakan usaha penginjilan. Usaha
penyebaran Injil kepada orang-orang pribumi hanya dilakukan apabila usaha itu
diperkirakan membawa keuntungan bagi usaha dagangnya. Apabila ada suatu suku
tertentu mau dikristenkan, adalah dengan maksud supaya suku itu dapat dengan
mudah dikuasai dan bisa setia kepada penguasa Belanda. Untuk daerah-daerah yang
sudah Islam, VOC tidak mengusahakan pekabaran Injil, karena mereka takut akan
memperoleh perlawanan dari masyarakat Islam tersebut. Di wilayah-wilayah yang
sudah dikuasai oleh VOC gereja didirikan, semua pendetanya digaji oleh VOC. Dan
setelah VOC bubar tahun 1799, gereja-gereja yang didirikan oleh VOC itu
diambil-alih oleh pemerintah Belanda. Gereja-gereja yang berada di tangan
pemerintah Belanda ini disebut: Gereja Protestan di Indonesia (Indische
Kerk).
2. Periodisasi sejarah gereja Indonesia. Periodisasi
berarti usaha membagi-bagi masa sejarah gereja itu atas periode (batas-batas
waktu) tertentu. Cara pembagian periode itu ada bermacam-macam; ada yang
membaginya dari segi perkembangan atau perluasan gereja itu; ada yang
membaginya dari segi pertumbuhan organisasi atau kepemimpinan gereja itu
sendiri. Dr. Th. Mueller Krueger dalam bukunya: Sejarah Gereja di
Indonesia, membuat periodisasi sejarah gereja-gereja di Indonesia,
bertolak dari segi: siapa yang datang menyebarkan Injil itu. Dengan demikian
dia membuat periodisasi Sejarah Gereja di Indonesia, sbb:
1520-1605 :
Zaman misi Katolik Roma (yang mengabarkan Injil itu: Katolik, Portugis)
1605-1800 : Zaman zending VOC
1800-1940 : Zaman zending oleh lembaga-lembaga PI dari
Eropa
Pembagian periode yang lain
dibuat oleh peserta studi Institute Sejarah Gereja tahun 1977 di Jakarta, berdasarkan
perluasan dan perkembangan gereja itu, demikian:
1522-1570
: Zaman perluasan pertama,
berakhir dengan pembunuhan Sultan Hairun
di Ternate dan merosotnya kekuasaan Portugis di Nusantara.
1570-1815 : Zaman stagnasi; ada sedikit
perluasan pada masa pertama VOC, tetapi tidak begitu berarti.
1815-1870 : Zaman mulainya didirikan pangkalan-pangkalan
baru, tetapi belum terjadi pengkristenan secara besar-besaran, kecuali di
Minahasa.
1870-1950 : Zaman didirikannya gereaja-gereja suku.
1950-…
: Zaman penyebaran Injil di pulau
Jawa dan juga di daerah-daerah lain. Pengkristenan penganut-penganut agama suku
pada dasarnya sudah berakhir.
Th. Van den End, dalam bukunya Ragi
Carita 1, menggunakan periodisasi yang berdasarkan beberapa segi sejarah
gereja yang digabung, sehingga dengan demikian dia membagi sejarah gereja di
Indonesia atas dua zaman besar, yakni:
I. 1522-1800: Pada
periode ini negara (Portugis dan VOC) memainkan peranan penting dalam perluasan
dan pemerintahan gereja. Di pihak lain PI diselenggarakan oleh suatu lembaga
gereja dan membawa serta bentuk ibadah dan ajaran yang berlaku dalam gereja
itu. Pendekatan terhadap agama dan kebudayaan yang mereka temukan di Indonesia
bersifat negatif semata-mata. Dan orang-orang Indonesia tidak ikut serta dalam
kepemimpinan gereja; organisasi gereja bersifat hierarkis dan dipimpin oleh
orang-orang Barat.
II. 1800-1940-an: Yang dibagi atas beberapa sub-periode yakni:
1800-1860-an; 1860-1920-an; 1920-1940-an. Pembagian ini didasarkan atas faktor
perluasan, faktor pola berfikir para zendeling (missionar), faktor peranan
orang-orang Indonesia
dalam kehidupan gerejani dan faktor perkembangan di bidang politis.
Faktor-faktor ini berlaku bagi sejarah gereja di Indonesia dilihat sebagai satu
kesatuan.
GEREJA
DI INDONESIA
ZAMAN PORTUGIS SEBELUM VOC
1. Berhubung dengan keadaan
gereja-gereja di Indonesia zaman Portugis (sebelum zaman Belanda melalui VOC),
ada beberapa hal dapat dikatakan dalam hal ini (VOC), yakni:
A
Di
daerah Maluku
Seperti sudah disinggung
dalam uraian pendahuluan di atas bahwa sebelum adanya VOC di Indonesia,
orang-orang Portugis telah berhasil memasuki Indonesia terutama di daerah
Maluku, yakni dengan mendirikan benteng Portugis di Ternate tahun 1522.
Sebelumnya, tahun 1511, orang-orang Portugis juga telah berhasil membuat Malaka
di Malaysia sekarang sebagai benteng pertahanan mereka, yang sekaligus sebagai
pusat ekonomi, politik dan juga gerejani. Sedangkan di India yang menjadi
benteng pertahanan Portugis adalah di Goa,
India Barat. Dengan berdirinya Ternate sebagai salah satu benteng Portugis,
maka pada waktu itu telah ada tiga pusat kekuasaan Portugis di Asia yakni di Goa,
Malaka dan Ternate. Ternate adalah menjadi
pusat kekuasaan dan missi Portugis di Indonesia bagian Timur. Dari Ternate
inilah dilakukan usaha penyebaran Injil, yakni kepercayaan Katolik ke berbagai
tempat di sekitar daerah Maluku, antara lain ke Ambon, Halmahera
dan Morotai. Namun imam-imam Katolik yang bekerja di daerah itu tidak memandang
usaha penyiaran agama Kristen kepada penduduk asli sebagai tugas utama, tetapi
hanya merupakan tugas sampingan, karena tugas utamanya adalah untuk melayani
kerohanian orang-orang Portugis yang bekerja di sana. Penyebaran agama Katolik itu dilakukan
juga dalam rangka memudahkan penguasan penduduk setempat. Dan banyak penduduk
setempat yang ingin masuk menjadi Kristen bukan karena mereka sudah percaya
kepada Injil itu, tetatpi hanya untuk meminta perlindungan kepada orang-orang
Portugis, karena sebelumnya penduduk setempat sering mengalami tekanan-tekanan
dan serbuan-serbuan dari Kesultanan Ternate yang sudah beragama Islam. Seperti
halnya yang terjadi bagi penduduk Mamuya, suatutempat di sekitar Ternate itu.
Mereka datang kepada orang-orang Portugis dalam menghadapi tetangga-tetangga
yang menyusahkan mereka. Orang-orang Mamuya inilah yang pertama dibaptis
menjadi Kristen di sana,
yakni tahun 1534, setelah diberi sedikit pengajaran agama Kristen kepada
mereka. Pada mulanya orang-orang Kristen ini masih berada di bawah keuskupan
Goa di India, tetapi setelah Malaka ditetapkan menjadi satu keuskupan tahun
1558, maka gereja Katolik yang ada di Maluku itu ditetapkan berada di bawah
keuskupan Malaka. Dari sinilah dikirim beberapa orang imam Katolik untuk
melayani orang-orang Kristen yang baru itu dan juga untuk menjalankan misi ke
daerah lain. Namun pembinaan terhadap orang-orang Kristen yang baru itu belum
bisa dilakukan secara intensif. Demikian juga misi itu belum dilakukan secara
terarah dan sungguh-sungguh. Karena pembinaan yang tidak ada, maka orang-orang
Kristen yang baru dibaptis itu masih tetap mengikuti cara-cara kehidupan mereka
yang lama yang masih kafir. Arti hidup sebagai orang-orang Kristen belum bisa
dimengerti dan dihayati. Tetapi sejak tahun 1540an, pekerjaan misi Katolik di
Maluku mengalami perubahan. Pekerjaan misi itu mulailah dilakukan lebih terarah
dan intensif. Pada waktu itu mulailah berdatangan penginjil-penginjil yang
mempunyai semangat penginjilan yang besar dari Eropa. Munculnya
penginjil-penginjil yang bersemangat itu didorong oleh semangat
kontra-reformasi yang teradi dari pihak gereja RK terhadap golongan Protestan,
terutama setelah berdirinya “Serikat Yesus” sebagai salah satu perwujudan dari
kontra-reformasi itu. serikat Yesuit itu telah melatih dan mempersiapkan
sejumlah penginjil-penginjil RK yang sangat bersemangat. Penginjil-penginjil
Yesuit itu menjalankan metode-metode penginjilan yang baru, yang berbeda dari
imam-imam yang ditugaskan oleh pemerintah Portugis. Metode-metode penginjilan
yang dilakukan oleh penginjil-penginjil Yesuit itu antara lain:
·
Orang-orang
yang mau menjadi Kristen dari penduduk setempat tidak lagi asal dibaptiskan
begitu saja. Penginjil-penginjil Yesuit itu tidak mau lagi membaptiskan orang
begitu saja, apabila baptisan itu tidak bisa dilanjutkan dengan pembinaan yang
memadai.
·
Mengusahakan
pendidikan agama yang lebih mendalam kepada orang-orang yang sudah dibaptis.
Untuk ini beberapa orang-orang Kristen setempat dipersiapkan untuk bisa
membantu para missionar itu sebagai pengajar.
·
Baptisan
massal yang dilakukan sebelumnya, masih terus dipertahankan, tetapi dengan
ketentuan orang-orang yang sudah dibaptis tidak dibiarkan lagi begitu saja,
melainkan terus diusahakan untuk memperoleh pembinaan dari mereka. Tetapi untuk
menjalankan baptisan masal itu penginjil-penginjil Yesuit tersebut masih tetap
meminta bantuan dan perlindungan dari penguasa Portugis.
Seorang penginjil Yesuit
yang pertama dan juga terkemuka di Maluku ialah Fransiscus Xaverius. Dia lahir
tahun 1506 dari keluarga bangsawan di Spanyol. Tahun 1542 dia diutus
mengabarkan injil ke Asia. Dalam
penginjilannya di Asia, dia mula-mula bekerja di Goa, India Barat, membina jemaat-jemaat
terlantar yang didirikan orang-orang Portugis di sana. Kemudian tahun 1546-1547 dia bekerja di
Maluku, setelah lebih dulu belajar sedikit bahasa Melayu di Malaka. Setelah
dari Maluku, dia berangkat ke Jepang dan dia meninggal dalam perjalanan menuju
Tiongkok tahun 1552.
Beberapa Usaha Misi Fransiscus
Xaverius di Maluku yakni:
Walaupun dalam usaha yang
relatif singkat bekerja di Maluku, namun hasil pekerjaan Xaverius di sana telah cukup banyak,
a.l.:
·
Setiap
hari selama 2x1 jam dia menyelenggarakan pembinaan agama Kristen bagi
orang-orang-orang yang sudah dibaptis menjadi Kristen, anak-anak dan orang
dewasa. Pokok pengajarannya terutama dipusatkan kepada: Pengakuan Iman Rasuli,
Doa Bapa Kami, Salama Maria, Kesepuluh Perintah Allah, dll.
·
Pada
malam hari dia pergi keliling kota
dari rumah ke rumah mengajak setiap orang untuk berdoa.
·
Menulis
sebuah buku Katekhismus dalam bahasa Portugis dan bahasa Melayu. Buku ini
dipakai untuk menjadi bahan pengajaran agama Kristen itu sendiri.
·
Mengunjungi
orang-orang sakit di rumahnya.
·
Mengusahakan
hubungan yang akrab dengan orang Islam.
·
Berusaha
mengabarkan Injil kepada orang-orang yang masih menganut agama nenek moyang.
Dengan usaha yang dilakukan
pengnjil Yesuit seperti Xaverius, usaha pekabar Injil Katolik itu dapat dengan
cepat mengalami perkembangan baik ke Maluku Utara, maupun ke Maluku Selatan.
Maluku dijadikan oleh Serikat Yesuit tersebut sebagai daerah kerja mereka. Dan
ke sana
tenaga-tenaga penginjil Yesuit semakin banyak dikirimkan. Tetapi selama abad
16, gereja Kristen di Maluku banyak menderita terutama karena pergolakan
politis yang terus menerus di sana.
Salah satu rintangan berat
yang dihadapi Gereja pada waktu itu ialah dari pihak penguasa setempat,
terutama dari Sultan Hairun di Ternate, yang berkuasa dari tahun 1535-1570.
Sultan Hairun ini ingin mendirikan suatu kerajaan besar yang meliputi seluruh
Maluku dan daerah sekitarnya. Dalam usaha mewujudkan rencananya itu, kehadiran
orang-orang Portugis di sana
dilihat sebagai rintangan. Karena itu Sultan Hairun selalu berusaha untuk
menghempang pengaruh orang-orang Portugis dan sekaligus menghambat masyarakat
setempat untuk masuk menjadi Kristen. Tetapi karena di antara penguasa-penguasa
setempat yang beragama Islam itu juga tidak ada kesatuan, di mana mereka juga
saling berebut kuasa, maka jemaat Kristen bisa bertahan terus. Penguasa Islam
itu ada juga yang mencari perlindungan dan bersahabat dengan orang-orang
Portugis. Tahun 1557 Sultan Hairun memaksa banyak orang Kristen Halmahera masuk
Islam. Para missionaris banyak yang dibunuh
dan gereja banyak yang dirusak. Akibat dari tindakan ini, orang-orang Portugis
berusaha menangkap Sultan Hairun, dan dibunuh tahun 1570. tetapi tindakan ini
adalah tindakan yang kurang bijaksana. Karena akibat terbunuhnya Sultan Hairun
tersebut, masyarakat Islam yang ada di sana
menjadi marah. Dengan dipimpin oleh anak sultan yang terbunuh,
perkampungan-perkampungan Kristen dibakar dan benteng orang-orang Portugis
diserang. Akibatnya missi Kristen di sana
semakin surut. Orang-orang Kristen di sana
semakin berkurang karena murtad, dan kekuasaaan Portugis semakin surut dan
akhirnya runtuh. Gereja juga terpaksa menjadi hancur. Hanya di Bacan dan Tidore
ada sejumlah kecil yang bisa bertahan selama beberapa puluh tahun lagi. Dan
sejak tahun 1580, orang-orang Spanyol yang menjadi Sekutu Portugis dan
sebelumnya telah berkuasa di Filipina berhasil mengalahkan Ternate tahun 1606.
Berkat kemenangan ini maka missi Kristen bisa kembali dijalankan di Halmahera (1606-1613), dalam jumlah yang kecil. Namun
missionaris RK itu tahun 1613 terpaksa meninggalkan Halmahera
karena diusir oleh orang-orang Belanda yang telah berhasil menguasai daerah itu
sejak tahun 1613. Sedangkan orang-orang Belanda membiarkan orang-orang Kristen
yang kecil itu begitu saja, yang membuat kekristenan di sana sempat terlantar dan hilang lagi.
Penginjilan ke Halmahera baru dilanjutkan
kembali pada abad 19.
Keadaan orang-orang Kristen
di Halmahera pada zaman Portugis hampir sama dengan keadaan di Maluku Selatan (Ambon dan Lease). Di sini kekristenan juga sempat
berkembang dengan cepat setelah kehadiran penginjil-penginjil dari Serikat
Yesuit. Tahun 1558 di banyak tempat di daerah Maluku Selatan terjadilah perang
gerilya, antara penduduk setempat yang beragama Islam dengan orang-orang
Portugis. Akibatnya orang-orang Kristen hidup menderita. Karena tekanan-tekanan
dan penderitaan yang dialami banyak orang-orang Kristen itu yang murtad, tetapi
banyak juga yang harus mengungsi ke hutan-hutan untuk mempertahankan imannya.
Di sana orang-orang
Kristen yang mengungsi itu juga berusaha untuk mendirikan jemaat-jemaat. Tetapi
jemaat-jemaat di pedalaman itu sangat jarang dikunjungi oleh iman atau pastor.
Akibatnya terjadilah perbedaan cara kehidupan jemaat yang tinggal di pedalaman
dengan jemaat-jemaat yang tinggal di pusat. Di jemaat-jemaat pedalaman itu,
satu-satunya sakramen yang dijalankan hanyalah sakramen baptisan. Pengajaran
agama tidak diberikan kepada mereka dan tidak ada penggembalaan atau pastoral
dari seorang imam atau pelayan gereja. Akibatnya orang-orang Kristen itu tidak
mengetahui apa-apa mengenai agama Kristen yang dianutnya itu. Berbeda halnya
dengan jemaat yang ada di pusat pelayanan imam. Di sana pengajaran agama Kristen dijalankan oleh
para pater kepada anak-anak dan orang dewasa. Bagi orang-orang Kristen yang
dianggap sudah mempunyai pengertian yang secukupnya mengenai iman dan
kesusilaan Kristen, diberi kesempatan untuk menerima sakramen Pengakuan dosa
(biecht) dan selanjutnya berhak menerima sakramen Ekaristi (Perjamuan Kudus).
Dan orang-orang Kristen yang bisa sampai ke tingkat seperti itu sangat sedikit
jumlahnya. Jadi jelas ada tingkatan atau penggolongan orang-orang Kristen itu
sendiri.
B
Sulawesi Utara,
Sangir
dan Talaud
Pada zaman Portugis, usaha
penyebaran kekristenan ke Sulawesi Utara, Sangir dan Talaud juga telah
diusahakan. Tahun 1560an agama Kristen telah mulai diterima oleh masyarakat di sana. Tetapi alasan
penerimaan agama Kristen itu adalah sama dengan alasan penerimaannya di daerah
Maluku, yakni terutama dalam rangka meminta perlindungan kepada orang-orang
Portugis, dalam menghadapi tekanan dan serbuan tentara-tentara Sultan Hairun
dari Ternate yang juga berusaha untuk memperluas daerah kekuasaannya sampai ke
sana. Karena adanya serangan dari pasukan-pasukan Sultan Hairun itu, maka raja
setempat meminta bantuan dari tentara orang-orang Portugis di Maluku untuk
melindungi mereka. Dan sebagai imbalan dari bantuan perlindungan yang diberikan
itu, maka masyarakat tersebut bersedia untuk dibaptis menjadi Kristen.
Penginjil pertama yang
diutus oleh orang Portugis dari Maluku ke Sulawesi Utara ialah Diego Magelhaes,
tahun 1568. Dia disambut oleh penduduk daerah Manado dengan gembira. Setelah mengajar
mereka hanya selama lebih kurang dua minggu lamanya, maka dia membaptis raja
setempat bersama dengan sejumlah 1500 orang rakyatnya. Jadi merupakan
pembaptisan massal yang sangat sedikit persiapan pengajaran yang dilakukan.
Beberapa daerah lain juga dikunjungi Magelhaes, di mana juga diadakan
pembaptisan secara massal hanya dengan pengajaran yang sangat singkat. Misalnya
di Kaidipan (pantai Utara Gorontalo) dia membaptiskan sebanyak 2000 orang
secara massal setelah dia memberi pengajaran hanya selama delapan hari. Lima tahun kemudian
seorang missionaris yang lain membaptis seorang raja di pulau Sangir
bersama-sama dengan rakyatnya. Tetapi di kemudian hari cara pengkristenan
massal seperti itu makin disadari sebagai pekerjaan yang tidak
bertanggungjawab. Karena apa gunanya membaptis begitu banyak orang tanpa
persiapan pengajaran yang wajar dan tidak bisa dilanjutkan dengan usaha-usaha
pembinaan yang intensif. Ternyata orang-orang yang sudah dibaptis itu tetap
mengikuti kepercayaan dan cara kehidupan serta kebiasaan mereka yang lama yang
diturunkan oleh nenek moyang mereka. Dan karena pembinaan yang tidak ada,
kekristenan tersebut lama kelamaan menjadi hilang lenyap. Ketika seorang pater
RK mengunjungi daerah Manado tahun 1585, agama
Kristen dijumpai di sana
sudah hilang lenyap sama sekali. Semua orang Kristen yang sudah pernah ada di sana, sudah kembali
menjadi penganut agama suku mereka. Pater itu akhirnya pulang tanpa berbuat
apa-apa. Tahun 1606, orang-orang Spanyol dari Filipina memasuki Sulawesi Utara.
Orang-orang Spanyol itu berusaha menghidupkan kembali kekristenan yang sudah
sempat ada di sana dengan mengirimkan sejumlah
missionar RK ke sana.
Tetapi usaha mereka gagal, karena para missionaris itu banyak yang mati dan
juga karena mendapat perlawanan yang keras dari penduduk setempat.
C
Nusa
Tenggara Timur
Pada abad ke 16,
kekristenan juga telah masuk ke daerah Nusa Tenggara Timur, terutama di daerah
Solor, Flores dan Timor. Pekabar-pekabar Injil
Katolik yang bekerja di sana
adalah dari Ordo Dominikan. Orang-orang Portugis juga melakukan usaha
perdagangan ke sana
terutama perdagangan kayu cendana yang sangat berharga itu. Pada tahun 1556,
telah dibaptis sejumlah 5000 orang Timor oleh
Pater Taveira dari Ordo Dominikan. Pembaptisan juga dengan cepat sampai di
daerah Solor dan Flores, sehingga menjelang akhir abad 16, sudah ada sekitar
25000 orang yang dibaptis menjadi Kristen di sana. Namun gereaja untuk orang-orang
Portugis dan pribumi masih dibedakan sebagaimana juga halnya yang terjadi di
daerah Maluku. Tetapi usaha penginjilan itu tidak begitu berkembang karena
kurangnya tenaga untuk membina orang-orang Kristen itu. Dan missi RK itu juga
makin terpukul, setelah datangnya serangan dari Belanda ke sana mulai tahun 1613. Tetapi kendatipun
demikian, beberapa penginjil RK masih bisa tetap bertahan di Solor dan Ende.
Karena itu orang-orang Katolik bisa bertahan terus di sana.
D
Blambangan dan Panarukan
di ujung Timur Pulau Jawa
Sejumlah missionaris RK
dari Ordo Fransiskan pernah diutus ke daerah ini dari tahun 1569-1599. Pada
waktu itu penduduk daerah tersebut masih menganut agama Hindu, sehingga
sejumlah penduduk di sana
berhasil dibaptiskan termasuk beberapa anggota keluarga raja. Tetapi menjelang
tahun 1600 usaha pekabaran Injil itu terpaksa berakhir, karena kedua kerajaan
itu berhasil diruntuhkan dan dikuasai oleh kerajaan Islam. Orang-orang Kristen
di sana juga
pada akhirnya menjadi hilang.
GEREJA
DI INDONESIA
ZAMAN VOC (1695-1799)
A
ORGANISASI, AJARAN DAN KEHIDUPAN
GEREJA PADA JAMAN VOC
Ada beberapa hal dapat
dikatakan sebagai ciri-ciri umum
keberadaan gereja jaman VOC di Indonesia , yakni:
a. Pada zaman VOC, gereja-gereja di Indonesia semuanya
dikendalikan (berpusat) di Belanda. Atas keadaan ini, sebenarnya gereja tidak
berkewibawaan apa pun atas dirinya. Pemerintah VOC sama sekali tidak memberikan
suatu kebebasan yang sesungguhnya kepada Gereja-gereja di Indonesia. Mereka
juga tidak memperdulikan kritik serta peringatan-peringatan yang dikeluarkan
oleh synode-synode wilayah di Belanda, yang sekali-sekali mengeluarkan suara
tegasnya atas keadaan ini. Dapat ditambahkan, VOC menanggung segala ongkos
pengeluaran Gereja dan juga tak mengizinkan bahwa oleh pihak lain, misalnya
oleh "ibu-gereja", disediakan uang bagi Gereja di Indonesia.
Segala-galanya harus datang dari pihak pemerintah, sebenarnya gereja-gereja di
Indonesia ingin berkuasa atas segala hal.
b. Dari sudut pengaruh rohani
dari Gereja di Belanda, kepada gereja di Indonesia sangatlah besar.
Bentuk-bentuk organisasi gereja, dasar-dasar pengakuan iman,
ketentuan-ketentuan siasat gereja, corak-corak kehidupan geredja, dengan
sendirinya menjadi contoh dan ukuran bagi gereja-gereja di Indonesia.
Pengaruh ini berlaku sesuai dengan maksud-maksud pemerintah serta didalam
keadaan-keadaan yang memungkinkannya di Indonesia. Sebenarnya gereja-gereja
di Indonesia ingin dibangun "sesuai dengan aturan jemaat gereformeerd
(menurut ajaran Calvin)", sebagaimana dinyatakan oleh wakil pemerintah
pada sidang am pertama di Jakarta
tahun 1642. Dikatakan harus sesuai dengan bentuk Gereja-gereja Calvinis di
Belanda, ini harus dilaksanakan sesuai dengan tata-gereja presbyterial. Artinya, yang pertama harus adalah adalah
jemaat yang berdiri sendiri lengkap dengan majelis-majelis gerejanya yang
dipilih sendiri, berhak untuk memanggil serta meneguhkan pendeta-pendetanya
sendiri, memiliki kebebasan serta kemerdekaan untuk memimpin jemaat-jemaat
setempat. Dan selanjutnya, sama seperti di Belanda, jemaat-jemaat ini akan
digabungkan didalam klasis-klasis, dan klasis-klasis ini didalam suatu badan
synodal. Maksud ini gagal dilakukan di Indonesia.
c. Secara umum gereja gereja
di Indonesia sangat
tergantung kepada pendudukan orang-orang Eropa, seperti di Kupang, Ternate atau
pun Ambon dan tempat-tempat lain! Sangat sukar
bagi jemaat-jemaat di daerah-daerah ini untuk membentuk suatu kelompok yang
tetap didalam masyarakat yang selalu berubah. Jemaat tidak dibentuk tersendiri
disamping jemaat-jemaat Eropa, yang sudah barang tentu diadakan
kebaktian-kebaktian tersendiri menurut golongan-golongan bahasa. (di Jakarta
misalnya terdapat satu bagian jemaat khusus untuk orang-orang
"merdeka" yang berbahasa Portugis dan yang berbahasa Melayu. Di Ambon
terdapat satu jemaat, yang didalamnya termasuk juga jemaat-jemaat kampung dari
seluruh pulau itu, bahkan dari Saparua dan Haruku). Dengan sendirinya terdapat
lebih banyak penatua-penatua serta syamas-syamas bangsa Eropa. Bahkan di
Jakarta hanya terdapat orang-orang Eropa didalam majelis gereja. Akan tetapi
dimana ada orang-orang Indonesia
menjadi anggota, hampir-hampir mereka tidak bersuara apapun. Perbedaan tingkat
dan perbawa demikian besar didalam masyarakat kolonial, sehingga sukar untuk
bekerja-sama secara menguntungkan. Tambahan pula majelis-majelis gereja itu
seluruhnya berbahasa Belanda. Orang-orang Kristen Indonesia yang ribuan
banyaknya itu sebenarnya tidak bersuara didalamnya, bukannya pertama-tama oleh
sebab mereka disendirikan, melainkan oleh sebab dasar-dasar tata-gereja
presbyterial dari negeri Belanda tersebut kurang sesuai dalam masyarakat
kolonial ini untuk suatu perkembangan yang subur bagi orang-orang Kristen
Indonesia.
d. Soal lain ialah hak untuk
memanggil pendeta-pendeta. Dapat dikatakan, bahwa mengingat keadaan-keadaan
geografi maka perlu diadakan semacam pusat pimpinan Gereja. Artiny bahwa hak
jemaat untuk memanggil se-tidak-tidaknya harus ditempatkan pada suatu instansi
Geredja yang tertinggi. Sebenarnya pemerintah VOC telah merampas begitu saja
hak ini. Biarpun para pendeta dan juga "ibu-gereja" di Belanda
memajukan keberatan-keberatannya dengan tegas, namun para penguasa di Indonesia
tetap berpegang keras pada haknya untuk menempatkan serta memindahkan
pendeta-pendeta menurut kebidjaksanaan mereka. Hanja dalam satu hal Geredja di
Belanda dapat melaksanakan hak-gerejanja, yaitu bahwa synode-synode provinsi
dari Noord-ataupun Zuid-Holland ataupun Zeeland - artinya provinsi-provinsi
pantai yang banyak sangkut-pautnya dengan VOC - dapat memilih pejabat-pejabat
Gereja sendiri, meneguhkannya serta mengutusnya, biar pun memang hal itu
terjadi dengan persetujuan tuan-tuan XVII. Akan tetapi jelaslah, bahwa hal ini tidak
mempunjai arti apapun bagi pertumbuhan, serta kemerdekaan Gereja-gereja di
Indonesia. Ternyata bahwa suatu tata-gereja presbyterial tidak dapat dijalankan
begitu saja.
e. Mengenai pengakuan dan
ajaran Gereja. Ketiga pasal keesaan, yakni: pasal-pasal ajaran Synode
Dordrecht, pengakuan iman Belanda, dan Katekismus Heidelberg merupakan
dasar-dasar yang kuat bagi Gereja di Indonesia berlaku pada waktu itu. Baru
pada tahun 1745 Gubernur Jenderal Imhoff membolehkan didirikannya suatu jemaat
Lutheran di Jakarta. Itu pun disebabkan adanya pasukan sewaan Jerman. Ajaran
diawasi dengan tegas supaya tetap murni dan tidak boleh dinodai. Akan tetapi
rupa-rupanya jarang ada alasan untuk bertengkar tentang per-bedaan-bedaan
ajaran ataupun untuk menyelidiki ajaran-ajaran sesat. Djadi dalam hal ajaran
ada tercapai persesuaian dengan "ibu-geredja". Makanya sejak mulanya
diusahakan untuk memperoleh terjemahan-terjemahan dari Katekismus Heidelberg,
formulir-formulir tentang baptisan dan perjamuan kudus dsb. Juga terjemahan buku
pertanyaan karangan Marnix sejak permulaan memainkan peranan yang penting. VOC
telah menerbitkan dan menyiarkan beribu-ribu buku kecil ini.
f. Sudah barang tentu yang
terutama diperlukan ialah terdjemahan Alkitab. Dengan kagumnya kita melihat
terjadinya terjemahan-terjemahan Alkitab dalam jumlah yang banjak. Pada tahun
1629 keluarlah terjemahan Perjandjian Baru, pada tahun 1648 keempat kitab
Indjil, pada tahun 1668 seluruh Perjandjian Baru dan kitab Kejadian (Ds.
Brouwerius). Pada akhirnya seorang pendeta di Jakarta, yaitu Leydekker menyelesaikan seluruh terjemahan
Alkitab sesudah bekerja bertahun-tahun dengan rajinnya. Untuk tugas yang besar
dan berat itu ia telah dibebaskan dari pekerjaannya sebagai pendeta. Tetapi
pada tahun 1701 ia meninggal sebelum tugasnya selesai. Mulai dari Epesus 6:6
terjemahan iini diteruskan oleh penggantinya, yaitu Ds. P. van der Vorm. Lalu
seluruh terjemahan itu diperiksa sekali lagi oleh seorang pendeta Swis, namanya
Werndly. Pada tahun 1723 Alkitab ini siap di cetak, akan tetapi baru pada tahun
1733 keluar cetakan yang pertama. Sebenarnya lebih dari dua puluh tahun lamanya
naskah-naskah ini disimpan di dalam lemari tuan-tuan XVII. Sebabnya ialah
karena mereka menunggu berachirnya suatu pertikaian yang disebabkan oleh Ds.
Valentijn. Pendeta ini - disamping pekerjaannya sebagai
pendeta dan penulis dari 5 jilid buku: "Oud en Nieuw Oost Indië" -
telah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu Ambon dan mencoba supaya terjemahannya itu yang dicetak dan bukan terjemahan
Leydekker. Pendapatnya ialah bahwa bahasa tinggi dari Leydekker tidak akan
dimengerti oleh orang-orang Kristen di Indonesia bagian Timur. Akhirnya VOC
memberi putusan yang lain, dan justru terjemahan Leydekkerlah seakan-akan
memperoleh nilai pusaka di Timur Besar.
g.
Sebagaimana
"ibu-gereja", hendak menjadi suatu Gereja di bawah Alkitab, demikian
halnya dengan anaknya di Indonesia.
Meskipun begitu agak mengherankan, bahwa sesudah seabad berselang barulah
diberikan kepadanya segenap Alkitab. Akan tetapi hal itu tentu disebabkan oleh
kenyataan, bahwa untuk kebaktian-kebaktian Belanda setidak-tidaknya orang
memiliki Alkitab Belanda yang disebut "Statenvertaling". Dan
selanjutnya untuk dipergunakan oleh "para guru" ternyata cukup
buku-buku katekisasi dan terjemahan-terjemahan kitab-kitab Injil yag sudah
disebut tadi. Dalam hubungan ini patut disebutkan bahwa orang-orang Kristen
berbahasa Portugis memperoleh Alkitabnya di dalam bahasa Portugis. Malah
terdapat tiga terjemahan Perjanjian Baru dalam bahasa Portugis. Tetapi yang diterima
dan dicetak di Belanda pada tahun 1681, ialah terjemahan Ferreira (lih. hlm.
51), seorang keturunan Portugis. Terjemahan Perjanjian Lama yang pada tahun
1691 hampir selesai ketika Ferreira meninggal dunia, barulah di cetak pada
tahun 1753.
h.
Persesuaian
ini juga meliputi penggunaan nyanyian-nyanyian mazmur didalam
kebaktian-kebaktian. Pada permulaan abad ke-17, dijumpai sudah ada empat
nyanyian gereja yang pertama, yaitu: "Kesepuluh firman", "doa
Bapa Kami", "Mazmur 100" yang telah digubah dan sebuah "nyanjian
malam". Hingga 1652, terutama oleh Heurnius, selesai dikarang 150 nyanyian
mazmur. Kira-kira seabad kemudian yakni tahun 1735 terbit suatu terjemahan
serta gubahan baru oleh Ds. Werndly. Memang tidak mungkin untuk menyesuaikan
juga lagunya dengan "ibu-geredja". Sejak tahun 1624 sudah sering
diadakan surat-menyurat, bahwa hendaknya ditinggalkan saja "cara
Inggris" dalam menyanyikan mazmur-mazmur itu. Sebenarnya "cara
Inggris" ini tak ada sangkut pautnya dengan cara pembacaan mazmur di dalam
doa pagi dan malam di Gereja Anglikan, dimana seorang juru baca (liturgis) dan
jemaat berganti-ganti dalam mengucapkan ayat-ayat mazmur. Kesulitan terutama
untuk mengucapkan mazmur-mazmur itu sebaris demi sebaris sebelum jemaat
menyanyi ialah kurangnya buku-buku nyanyian mazmur dan tidak pandainya
kebanyakan orang-orang Kristen Indonesia membacanya.
i.
Khotbah
dengan sendirinya merupakan hal yang utama di dalam kebaktian. Memang hanya
pendeta-pendeta saja yang boleh mengadakan khotbah. Akan tetapi dalam hal
kekurangan pejabat-pejabat yang berwenang maka orang membutuhkan juga para
penghibur-orang-sakit dan para guru Indonesia, tetapi yang tidak berhak
untuk membuat khotbahnya sendiri. Mereka hanya boleh membacakan khotbah-khotbah
saja. Terutama kumpulan-kumpulan khotbah dalam bahasa Melayu karangan Wiltens,
Caron dan Molanus, yang beberapa kali dicetak-ulang, yang dipergunakan untuk
maksud itu. Malah doa-doa untuk kebaktian-kebaktian tidak diperbolehkan
diucapkan secara bebas. Oleh karena itulah diterbitkan dalam satu jilid buku
katekismus, pasal-pasal keesaan dan doa-doa.
j.
Gereja
di Belanda selalu mendesak, supaya "Gereja di Indonesia tidak menyimpang
dari cara-cara yang berlaku didalam Gereja Calvinis dinegeri Belanda." Dan
di dalam tata-gereja 1643 dengan tegas dikatakan: "Perlulah juga, bahwa
pengawasan terhadap orang-orang Kristen Indonesia diperkeras, agar supaya
merekapun didalam kebiasaan-kebiasaannya secara lahir sesuai dengan cara-cara
orang-orang Belanda." Hal ini dilaksanakan demikian keras sehingga
diharuskan memakai pakaian-gereja hitam yang diperuntukkan bagi para penatua
dan syamas-syamas. Bahkan sesuai dengan kebiasaan di Gereja Belanda maka
Katekismus juga dikhotbahkan, dan malahan jam Kebaktian Katekismus disesuaikan
dengan cara Belanda yaitu jam 3 sore.
k.
Dalam
soal-soal baptisan dan perjamuan kudus. Dalam soal baptisan misalnya, orang
segera menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh
"ibu-gereja". Pertama-tama orang menghadapi soal, apakah anak-anak
boleh dipermandikan jika mereka itu lahir diluar perkawinan yang sah antara
seorang Kristen Eropa dengan seorang wanita Indonesia, dan apakah
"anak-anak kafir" boleh dipermandikan jika mereka itu menjadi
anak-anak angkat dari orang-orang Kristen. Mengenai soal pertama baptisan itu
diperbolehkan, jika salah seorang dari orang tua adalah anggota jemaat. Soal
kedua lebih sukar jawabannya. Yang disebut anak-anak angkat ialah anak-anak
yang lahir dari hubungan antara seorang Eropa dengan seorang budak perempuan Indonesia.
Disebabkan oleh baptisan yang diterimanya maka mereka memperoleh hak untuk
menjadi warga-negara Belanda. Mengenai soal ini Synode Dordrecht memberi
nasehat, untuk membiarkan dulu anak-anak ini lanjut usianya dan mengajar mereka
sebaik-baiknya, sebelum mereka dibaptiskan. Akan tetapi kemudiannya menjadi
kebiasaan untuk toh membaptiskan anak-anak ini, jika dapat diunjukkan surat keterangan adopsi.
Mengenai baptisan untuk anak-anak Indonesia yang ibu bapanya masih
berada didalam kekafiran telah dicarikan jalan sendiri oleh "synode
am" pertama pada tahun 1620. Diusulkan supaya terhadap anak-anak
sedemikian diadakan upacara pemberkatan saja. Kelak apabila mereka sudah dewasa
mereka dapat meminta sendiri untuk dibaptiskan sesudah memperoleh didikan dalam
kepercayaan Kristen. Akan tetapi kebiasaan "penyerahan" dan
"pentahbisan" ini tidak diperbolehkan oleh ibu-gereja Belanda.
l.
Pertanyaan-pertanyaan
ini pada hakekatnya sudah menunjukkan kearah suatu persoalan, yang menjadi
sangat penting bagi Gereja di Indonesia dan yang akibat-akibatnya masih nampak
dibeberapa daerah. Persoalan itu ialah pemisahan sakramen-sakramen. Singkatnya
soal itu ialah kalau-kalau mereka yang sudah dibaptiskan langsung dapat
diperbolehkan ikut serta dalam perjamuan kudus ataukah sebelumnya mereka harus
dahulu mendapat pelajaran yang lebih dalam tentang kepercayaan Kristen. Dengan
kata lain: dapatkah sakramen Perjamuan Kudus dipisahkan daripada sakramen
Baptisan dengan menyelipkan lagi suatu pengajaran kateksasi diantara kedua
sakramen itu? Jadi sebenarnya yang menjadi persoalan ialah baptisan orang
dewasa, sedangkan baptisan anak-anak dengan sendirinya diikuti kemudian oleh
pelajaran katekisasi, sehingga menjadi sidi dan diperbolehkan duduk pada meja
perjamuan Tuhan. Rupa-rupanya persoalah ini sudah terdapat pada zaman Portugis.
Para padri memang merasakan betapa sukarnya
untuk memperbolehkan begitu saja beribu-ribu orang-orang Kristen, yang
kadang-kadang dibaptiskan tanpa memperoleh suatu pengajaran apapun, ikut serta
dalam sakramen komuni. Kecuali di Ambon sendiri, dimana oleh pemeliharaan
rohani dapat diadakan pengajaran seperlunya, maka pada umumnya seorang yang
baru dibaptiskan hampir-hampir tak diperbolehkan mengikuti komuni. Kira-kira
keadaan yang serupa itu kita dapati dimana saja ada segolongan bangsa Indonesia menjadi anggota Gereja oleh baptisan massa, tanpa persediaan
yang mendalam.
m.
Synode
Dordrecht dengan tegas telah menetapkan, bahwa orang-orang dewasa yang telah
menjadi anggota Gereja oleh baptisan dewasa, pada kesempatan pertama harus juga
duduk pada meja perjamuan. Akan tetapi bagaimanakah hal itu dapat dilaksanakan
pada orang banyak, yang pada suatu perkunjungan singkat sering dibaptiskan
tanpa diberi pengajaran yang mendalam? Sering juga dilakukan pembaptisan yang
serba cepat, sebab dengan demikian para pendeta menyangka dapat menghindarkan
orang-orang kafir dari pengaruh Islam. Bahkan untuk mengajak orang-orang lain
supaya menganut agama Kristen. "Juga untuk menyatakan betapa senangnya
kita, bahwa penduduk-penduduk kita yang beragama kafir dan Islam itu boleh
mencari keselamatannya pada Juru Selamat yang satu-satunya yakni Tuhan Jesus
Kristus", maka kepada "tiap-tiap orang bumiputera" yang minta
dibaptiskan, diberikan suatu hadiah. Pendeta yang membaptiskannya pun menerima
semacam "uang sekolah" dan bahkan sang raja, yang membawa orang-orang
kafir itu, mendapat upah. Bagaimanapun juga, cara pembaptisan serba cepat ini
terhadap "orang-orang Kristen nasi" itu kelak dapat
dipertanggungjawabkan, jika segera dapat dijamin suatu pengajaran dan pemeliharaan
rohani yang mencukupi bagi orang-orang yang baru dibaptiskan itu. Tetapi hal
ini tak pernah dilaksanakan. Satu-satunya hal yang dilihat oleh orang-orang
Kristen ini ialah perkunjungan-perkunjungan yang hanya sekali-sekali diadakan
oleh para pendeta dan para penghibur orang sakit, yang jumlahnya hanya sedikit,
itu pun juga sering ber-tahun-tahun sesudah baptisan. Karena itu tidaklah
mengherankan, bahwa misalnya Ds Brand pada tahun 1705 di Siau sama sekali tidak
melayani perjamuan kudus, malah merasa tidak perlu untuk berkotbah dihadapan
sekian banyak orang. "Diantara 3298 orang yang telah dibaptiskan agaknya
tidak ada seorangpun anggota jemaat"! Inilah salah satu akibat yang
menyedihkan dari praktek baptisan ini bahwa hampir-hampir tidak ada seorangpun
yang menjadi anggota tetap didalam jemaat.
n.
Dan
kehidupan rohani apakah dapat diharapkan dari suatu Gereja, jika rata-rata
hanya 3% dari orang-orang Kristen itu yang diperbolehkan turut serta dalam
perjamuan kudus?! Dalam hal ini timbul kesangsian bahwa mereka belum memutuskan
keadaannya dahulu yang bersifat kekafiran. Juga kita menaruh sangsi bahwa tidak
terjadi suatu perhubungan yang sesungguhnya dengan Tuhan Jesus Kristus, bahwa
mereka tidak menjadari bahwa mereka merupakan GerejaNya. Mereka hanyalah
"orang-orang Kristen mulut", "orang-orang Kristen tanpa
Kristus", orang-orang "Laodikea". Itulah sebutan-sebutan yang
sering terbaca didalam laporan-laporan para pendeta. Akan tetapi apa boleh buat
? "Didesak oleh ketakutan akan agama Islam, dan oleh pertimbangan bahwa
suatu pengkristenan secara cepat dan sekaligus adalah cara bekerja yang tepat,
baik ditinjau dari sudut pekabaran injil maupun politik", maka praktek
semacam itu diteruskan. Dan itu terjadi walaupun ada suara-suara yang
memperingatkan agar supaya lebih ber-hati-hati, seperti yang dapat dibaca
didalam tata gereja Ambon 1673 yang bunyinya
sebagai berikut: "juga orang-orang yang sudah dewasa baik yang merdeka
maupun yang budak, tidak boleh semudahnya dibawa kepada baptisan......".
Sebenarnya dengan cara bekerja seperti ini maka "pemisahan sakramen"
sudah menjadi kenyataan. Bagaimanapun aneh kedengarannya, tetapi didalam
keadaan-keadaan ini maka hal itulah satu-satunya jalan untuk toh masih dapat
mempertahankan sedikit taraf kerohanian Gereja. Sebab apakah yang akan terjadi
jika orang banyak yang baru dibaptiskan itu diperbolehkan duduk pada meja
Tuhan, tanpa kesadaran sedikitpun pada mereka apakah sebenarnya ini kepercayaan
mereka dan khusus artinya perjamuan kudus?
Jika demikian halnya maka agaknya agama kafir ini begitu saja
memperbolehkan kelandjutannya didalam agama Kristen.
1. Pemerintah VOC dan Gereja Kristen. Orang-orang
Belanda mulai masuk di Indonesia
tahun 1596 yang mula-mula dipimpin oleh Kornelis de Houtman. Tujuan mereka
datang ke Indonesia
sama dengan tujuan orang-orang Portugis, yakni melakukan usaha perdagangan dan
ingin memperoleh hak tunggal (monopoli) dalam perdagangan rempah-rempah di
Maluku. Untuk memajukan usaha perdagangan itu pemerintah Belanda membentuk
suatu maskapi besar tahun 1602 yang disebut: “Verenigde Oostindische Compagnie”
(VOC). Seluruh usaha perdagangan Belanda ke Asia
dimonopoli oleh badan ini.
Dalam usaha menjalankan
perdagangan itu VOC jauh lebih kuat dari orang-orang Portugis. Daerah Maluku
yang semula dikuasai oleh orang-orang Portugis dapat dengan mudah ditakhlukkan
oleh VOC. Sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang Portugis, di
daerah-daerah yang dikuasai oleh VOC itu, petugas-petugas gereja juga segera
ditempatkan. Tetapi tujuan utama dari penempatan petugas-petugas gereja ini
ialah untuk kepentingan pelayanan rohani orang-orang Belanda yang bekerja di sana. Sedangkan usaha
pekabaran Injil kepada penduduk setempat sangat kurang dilakukan. Pekabaran
Injil baru dilakukan oleh pendeta-pendeta VOC apabila pekerjaan itu dirasa
mendukung kepada usaha mempercepat penguasaan penduduk setempat. Apabila di
daerah-daerah itu masih dijumpai orang-orang Katolik yang masih bertahan,
mereka dipaksa oleh orang-orang Belanda menjadi Protestan dan seluruh
petugas-petugas gereja RK itu diusir. Dalam hal ini orang-orang Belanda atau
VOC tetap memegang semboyan: “cuius regio eius religio”. Artinya siapa punya
daerah atau negara dia punya agama. Selaku orang-orang yang beragama Protestan,
orang-orang Belanda yang telah berkuasa, menakhlukkan orang-orang Kristen yang
baru itu menjadi Protestan. Namun petugas-petugas gereja Katolik itu tidak
diganti oleh VOC dengan tenaga-tenaga Protestan, sebab VOC belum mempunyai
tenaga untuk memelihara orang-orang Kristen yang sudah ada ataupun mengabarkan
Injil kepada orang-orang yang bukan Kristen. Karena itu tidak ada lagi
pelayanan ibadah dan pembinaan rohani bagi orang-orang Kristen peninggalan
orang-orang Portugis itu.
Seperti sudah disinggung di
atas, VOC hanya merasa wajib untuk menyediakan tenaga-tenaga untuk
menyelenggarakan pemeliharaan rohani bagi orang-orang Belanda, baik yang
bekerja di lautmaupun yang bekerja di darat. Untuk ini selama kekuasaan VOC di
Indonesia (1602-1799), VOC telah mempekerjakan dan membelanjai sebanyak 254
orang pendeta dan kira-kira 800 orang “penghibur orang sakit” (zieketrooster).
Seluruh pekerjaan di dalam gereja serta sekolah-sekolah adalah tanggungan VOC,
termasuk juga pembangunan gedung-gedung gereja dan penerbitan buku-buku bacaan
yang diperlukan. Gereja-gereja yang diasuh oleh VOC ini sering juga disebut
“Gereja VOC” atau juga Gereja Negara. Seluruh jemaat Kristen peninggalan
orang-orang Portugis itu juga dialihkan menjadi Gereja VOC, yang sekaligus
menjadi tanggungan VOC.
Akan tetapi di kemudian
hari tugas dari pendeta VOC itu juga meluas sampai kepada penduduk yang dijajah
yang belum Kristen. Pemerintah Belanda juga “diwajibkan untuk memberantas dan
melawan segala penyembahan-penyemabahan berhala dan agama kafir”, atau dengan
kata lain mengkristenkan bangsa-bangsa yang ditahklukkan. Akan tetapi tugas ini
hanya sedikit dilakukan. Dan apabila ini dilakukan selalu dikaitkan dengan
pertimbangan ekonomis dan politis, yakni usaha pengkristenan itu diperhitungkan
bisa membantu usaha untuk memperlancar keuntungan ekonomis atau perdagangan
mereka dan memperlancar proses penguasaan atas masyarakat setempat. Dalam hal
ini pemerintah Belanda memang menghendaki rakyatnya agar menjadi orang-orang
Kristen. Karena dengan dikristenkannya rakyatnya itu, mereka dianggap telah
berada di bawah kekuasaan Belanda. Tetapi demi menjaga ketertiban dan keamanan
usaha perdagangan dan pemerintahannya, kewajiban untuk mengkristenkan itu tidak
banyak dilakukan. Dan bahkan hak-hak pendeta selalu dibatasi, dan selalu
disesuaikan dengan kebijaksanaan politik dari pemerintah. Segala kegiatan yang
dipikirkan oleh pendeta harus mendapat persetujuan lebih dulu dari pemerintah
Belanda. Termasuk surat-surat yang dikirimkan kepada gereja-gereja di negeri
Belanda, harus terlebih dahulu melalui penilaian gubernur jenderal Belanda di
Indonesia. Dengan demikian maka perkembangan gereja di Indonesia menjadi sulit diketahui
oleh Gereja Induk di negeri Belanda. Dengan kata lain bahwa pada zaman VOC,
gereja adalah benar-benar di bawah kekuasaan dan pengawasan pemerintah Belanda.
2. Penyebaran Gereja di
Indonesia Pada Abad 17 dan 18. Seperti sudah disinggung di atas, bahwa pada
zaman VOC boleh dikatakan hampir tidak ada usaha pekabaran Injil kepada
orang-orang pribumi dari pihak VOC itu sendiri, karena sebagai suatu serikat
dagang, VOC selalu mementingkan keuntungan dan kemajuan usaha perdagangannya.
Karena itu VOC hanya berusaha memelihara kerohanian orang-orang Kristen yang
sudah ada terutama orang-orang Belanda yang bekerja di Indonesia, baik sebagai tentara,
pegawai atau pedagang. Untuk memelihara mereka inilah dikirim tenaga-tenaga
pelayan gereja dari negeri Belanda. Tenaga-tenaga yang mula-mula dikirim adalah
penghibur-penghibur orang-orang sakit dan baru kemudian menyusul beberapa orang
pendeta. Pendeta pertama yang ditempatkan Belanda di Indonesia terjadi tahun
1612, yakni Ds Wiltenz. Dia ditempatkan di daerah Ambon.
Tahun 1615 dibentuklah majelis gereja Kristen Protestan yang pertama di Ambon. Majelis gereja inilah yang menyelenggarakan
pemeliharaan rohani atas orang-orang Kristen yang ada di daerah Ambon dan sekitarnya. Tetapi usaha untuk mengabarkan
Injil kepada penduduk pribumi setempat tidak dilakukan. Orang-orang pribumi itu
masih tetap sebagai kafir. Jadi pendeta dan majelis gereja yang ada di Ambon itu hanya memelihara yang sudah ditanam. Tidak ada
usaha mereka menanam Injil itu bagi mereka yang belum Kristen.
Selain di Ambon tahun 1621
berdirilah sebuah jemaat di daerah Banda. Dan jemaat inipun diperuntukkan untuk
orang-orang Belanda yang bekerja di sana.
Barulah di daerah Aru ada sekitar 100 orang yang dibaptis dari penduduk
setempat. Itupun tidak bertumbuh dengan baik karena pemeliharaan yang kurang.
Pada pertengahan abad 17, orang-orang Spanyol yang sempat menguasai daerah
Maluku Utara dan beberapa daerah Sulawesi Utara sampai Sangir dan Talaud
ditakhlukkan oleh orang-orang Belanda. Orang-orang Kristen yang dulu sempat
diasuh oleh orang-orang Spanyol itu, diambil alih oleh orang-orang Belanda.
Pendeta Belanda yang bertugas di Ternate sekitar tahun 1680-1689 berusaha
menghubungi orang-orang Kristen di sana.
Sekitar tahun 1700, diperkirakan ada sejumlah 2500 orang Kristen di sana. Tetapi jumlah ini
semakin merosot karena kurangnya pemeliharaan terhadap mereka. Bahkan
kekristenan yang ada di Halmahera menjadi lenyap, karena orang-orang Kristen di
sana tidak
pernah dikunjungi oleh pendeta VOC itu. orang-orang Kristen yang ada di pulau Timor mulai mendapat pemeliharaan dari pendeta VOC tahun
1670, karena raja setempat meminta perlindungan Belanda dan meminta dirinya
untuk dibaptis menjadi Kristen. Tetapi orang-orang Kristen di Solor dan Flores
hasil penginjilan Ordo Dominikan dari gereja RK dibiarkan hidup terus oleh
orang-orang Belanda, karena tidak ada kepentingan VOC di sana. Itulah sebabnya gereja RK bisa bertahan
hidup di sana
dengan kuat sampai sekarang.
Pada abad 17, pendeta VOC
di Jakarta ditugaskan juga untuk mengunjungi tempat-tempat yang sudah didiami
oleh orang-orang Belanda yang ada di daerah Jawa dan Sumatera Barat. Di Jakerta
itu sendiri telah berdiri sebuah jemaat VOC tahun 1619, dan di Surabaya berdiri sebuah
jemaat tahun 1669. Di Padang Sumatera Barat dan di Semarang masing-masing berdiri sebuah jemaat
tahun 1750. Jadi menjelang akhir abad 18, yakni menjelang akhir zaman VOC di
Indonesia, jemaat-jemaat Kristen yang ada di Indonesia ada sebanyak sepuluh
jemaat yakni: 6 jemaat di Indonesia bagian Timur, yaitu di Ambon, Banda,
Ternate, Makassar, Manado dan Kupang; 3 jemaat di Jawa yakni di Jakarta,
Surabaya dan Semarang, dan satu jemaat di Sumatera yakni di Padang. Di daerah
Jawa dan Sumatera, sama sekali tidak dilakukan usaha penginjilan kepada
orang-orang pribumi. Menurut catatan, jumlah orang-orang Indonesia yang
dibaptis selama zaman VOC itu sebanyak 43.000 orang, tetapi dari antaranya
hanya sebanyak 1205 orang yang diperbolehkan menerima sakramen Perjamuan Kudus.
Sedangkan yang ditinggalkan oleh Portugis sudah ada sebanyak 40.000 orang
Katolik.
3. Gereja Protestan di
Indonesia (GPI) dan Lembaga-lembaga PI. Setelah bubarnya VOC akhir tahun
1799 dan diganti dengan kekuasaan pemeriantah Kerajaan Belanda, maka
kegiatan-kegiatan kekristenan dan usaha-usaha Pekabaran Injil di Indonesia
dilakukan oleh dua wadah, yakni Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan
lembaga-lembaga PI. GPI merupakan wadah yang mengorganisir seluruh gereja yang
ditinggalkan oleh VOC itu. Lembaga-lembaga PI melakukan kegiatan-kegiatan
zending atau pekabaran Injil di daerah-daerah yang mendapat izin dari
pemerintah Belanda dan juga “meminjamkan” tenaga kepada GPI.
a.
Gereja
Protestan di Indonesia (Indische Kerk). Berbeda dengan pemerintahan VOC yang
hanya mengakui satu gereja yakni Gereja Protestan, pemerintah kerajaan Belanda
yang baru dipengaruhi oleh semangat “pencerahan” di Eropa, menjadi bersifat
netral. Di kerajaan itu kebebasan agama mulai diberlakukan. Karena itu tidak
ada lagi gereja negara, dan negara tidak akan memihak lagi kepada agama
Kristen. Tetapi ada dua kenyataan yang dihadapi di Indonesia oleh pemerintah kolonial
Belanda yang menghambat pelaksanaan dari azas itu secara penuh, yakni:
·
Adanya
sejumlah jemaat di Indonesia
bekas asuhan dari VOC. Pemerintah Belanda sebagai pewris VOC, tidak bisa
melepaskan jemaat-jemaat itu begitu saja. Ini mendorong pemerintah kolonial
Belanda untuk mendirikan Gereja Protestan di Indonesia yang dapat menampung dan
mengasuh seluruh jemaat bekas asuhan VOC itu.
·
Pemerintah
kolonial Belanda sadar bahwa orang-orang Islam di Indonesia rata-rata bersikap
lebih memusuhi pemerintah Belanda daripada orang-orang Kristen. Untuk mengatasi
keadaan ini, maka pemerintah kolonial Belanda mengambil kebijaksanaan bahwa
sebaiknya daerah-daerah yang masih beragama suku dikristenkan, sedangkan daerah
Islam jangan. Dalam usaha untuk mengkristenkan daerah-daerah yang masih
menganut agama suku itulah maka lembaga-lembaga PI diizinkan masuk ke Indonesia. Pada
zaman VOC, lembaga-lembaga PI belum diizinkan masuk ke Indonesia.
Pada permulaan abad 19,
atau pada permulaan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, keadaan
jemaat-jemaat Kristen yang diwariskan oleh VOC itu tidak menentu. Pendeta yang
bertugas untuk melayani jemaat-jemaat itu hanya ditinggalkan beberapa orang
saja. Daerah-daerah di luar pusat tidak dikunjungi lagi. Karena itu jumlah
anggota jemaat semakin mundur. Karena kesulitan ekonomi pemerintah Belanda pada
waktu itu yang diakibatkan keadaan perang yang terjadi di negeri itu, maka
gereja Belanda tidak sanggup membantu berupa uang dan tenaga. Pemerintah
Belanda berusaha mengatasi keadaan ini, barulah setelah Inggris mengembalikan Indonesia
yang sudah sempat dijajah beberapa tahun dari tahun 1811-1816. Raja Belanda
yang baru pada waktu itu yakni Willem Islam, berusaha menggabungkan seluruh
jemaat Protestan yang ada di Indonesia
menjadi satu badan, yakni Gereja Protestan di Indonesia. Dan gereja ini
langsung ditempatkan di bawah asuhan pemerintahan kolonial Belanda. Untuk
mengatur penyelenggaraan gereja ini, maka ditetapkanlah aturan-aturan dari
gereja tersebut.
Isi dari aturan-aturan dari
gereja itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
·
Yang
menjadi anggota GPI adalah semua jemaat dan orang-orang Kristen Protestan.
·
GPI
dipimpin oleh sebuah Dewan Pengurus yang diangkat oleh Gubernur Jenderal yang
berkedudukan di Batavia (Jakarta). Ketua Dewan Pengurus ini harus
seorang yang menjabat pangkat tinggi dalam pemerintahan atau negara. (baru pada
abad 20 ketua dari dewan pengurus itu ditetapkan dari kalangan pendeta).
Anggota dari Dewan Pengurus ini ialah pendeta-pendeta jemaat Protestan yang ada
di Batavia dan
tiga orang anggota jemaat yang terkemuka.
·
Jemaat
setempat dipimpin oleh sebuah Majelis Jemaat yang dipilih oleh jemaat setempat
itu sendiri, tetapi pengangkatannya harus disetujui oleh pemerintah setempat.
·
Para pendeta yang melayani di
gereaja itu adalah yang diangkat dan ditempatkan oleh Gubernur Jenderal setelah
ada usul dari Pengurus Pusat.
·
Tugas-tugas
gereja antara lain ialah:
a.
Memelihara
kepentingan agama Kristen pada umumnya dan kepentingan Gereja Protestan
khususnya.
b.
Menambah
pengetahuan keagamaan dan memajukan kesusilaan Kristen.
c.
Menegakkan
ketertiban serta kerukunan dan menumpuk cintah kepada pemerintah dan tanah air.
·
Hubungan
dengan gereaja di negeri Belanda akan berlangsung melalui sekelompok pendeta
yang ada di sana,
yang bertugas untuk menguji dan meneguhkan pendeta-pendeta dan pekerja-pekerja
gereja yang alain yang akan diutus ke daerah-daerah jajahan.
Kalau kita memperhatikan
isi dari peraturan tersebut di atas maka ada tiga hal yang perlu kita catat
yang berhubungan dengan keberadaan GPI, yakni:
·
Dari
peraturan-peraturan tersebut nampak bahwa walaupun secara teori pemerintah
telah menyatakan bersifat netral terhadap agama/gereja, namun dalam prakteknya
GPI itu masih berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan bahkan GPI yang diberi
tugas untuk “menegakkan ketertiban”, berarti GPI dijadikan sebagai alat negara
untuk menegakkan kekuasaannya di daerah jajahannya itu.
·
Pemerintah
mencampuri secara langsung urusan-urusan gereja. Akibat dari campur tangan
pemerintah itu ialah:
-
GPI
diberi struktur yang tidak sesuai dengan hakekat gereja. Menurut hakekatnya,
gereja harus dipimpin oleh wakil-wakil Kristen sebagai Kepala Gereaja, dan
berpedoman kepada Firman Tuhan. Tetapi GPI dipimpin oleh tokoh-tokoh
pemerintah, yang berpedoman kepada kepentingan negara Belanda di Indonesia.
-
Perbedaan
antara gereja dan negara menjadi kabur.
-
Gereja
itu tidak mempunyai pengakuan iman, dan tidak ada tugas PI dan pelayanan sesama
manusia. GPI hanya suatu “lembaga yang bertugas memenuhi kebutuhan-kebutuhan
religius masyaraakat Protestan di Indonesia”.
GPI itu hanya diurus oleh
orang-orang Belanda saja. Orang-orang
Indonesia
diabaikan sama sekali. Orang-orang yang menyusun peraturan itu seakan-akan
tidak mengetahui bahwa dalam gereaja itu juga terdapat orang-orang Indonesia bahkan mayoritas anggaotanya adalah
orang-orang Indonesia.
Dalam pengurus GPI tercipta juga pangkat-pangkat yang bersifat hierarkhis
yakni:
Pendeta: orang Belanda yang langsung ditetapkan oleh gubernur
jenderal
Pendeta Pembantu: pendeta
yang diutus oleh lembaga pekabaran Injil dipekerjakan sebagai pembantu di dalam
GPI.
Pendeta
Pribumi: yakni pendeta yang diangkat dari orang Indonesia yang
biasanya tidak bisa melayani sakramen.
Dari keterangan di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa GPI pada mulanya mempunyai tiga ciri yakni:
-
Ia
diikat dan diperalat negara.
-
Ia
tidak mempunyai tata gereja dan pengakuan iman sebagaimana selayaknya dimiliki
oleh suatu gereja.
-
Ia
tidak memberi suara kepada orang-orang Indonesia yang berada di dalamnya
dan secara resmi tidak mengaku bertanggungjawab kepada mereka yang masih di
luar.
-
Gereja-gereja
di Indonesia
yang ada sekarang yang berasal dari GPI atau Gereja Pemerintah itu, selain dari
GPI itu sendiri ialah:
a.
Gereja
Protestan Maluku (GPM) yang berpusat di Ambon.
b.
Gereja
Masehi Injili Minahasa (GMIM) yang berpusat di Manado.
c.
Gereja
Masehi Injili Timor (GMIT) yang berpusat di Kupang.
d.
Gereja
Protestan Indonesia bagian
Barat (GPIB) yang berpusat di Jakarta.
4. Munculnya beberapa
lembaga PI di Eropa. Mulai pada abad 18, di Eropa telah bermunculan banyak
lembaga-lembaga PI yang bukan diorganisir oleh gereja, tetapi diorganisir oleh
orang-orang Kristen perorangan atau kelompok yang mempunyai semangat
penginjilan yang besar. Munculnya lembaga-lembaga PI itu didorong oleh pengaruh
gerakan Pietisme atau Kebangunan Rohani (Revival) yang timbul di Eropa.
Pietisme adalah suatu aliran yang berusaha memperbaharui keadaan gereja di
Eropa pada waktu itu, dengan membina iman dan kesalehan orang-orang Kristen
perorangan. Kelompok yang menganut aliran ini mau mengamalkan imannya dengan
cara rajin membaca Alkitab, memupuk persaudaraan Kristen dan menyaksikan atau
memberitakan Injil itu kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus. Oleh
pengaruh gerakan Pietisme itu bermunculanlah pusat-pusat pembinaan PI dan
lembaga-lembaga PI di Eropa. Di Jerman, gerakan ini berpusat di Halle, di mana terbentuk kelompok Hernhut (saudara-saudara
dari Moravia)
yang didirikan oleh Zinzendorf. Orang-orang dari kelompok Hernhut ini dilatih
untuk siap diutus mengabarkan Injil ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.
Hanya pada masa VOC mereka tidak diizinkan masuk.
Di Inggris, sekitar tahun
1790an telah berdiri sejumlah lembaga PI. Misalnya tahun 1792 berdiri “Baptist
Missionary Society”, dan tahun 1795 berdiri “London Missionary Society”,
dll. Di negeri Belanda tahun 1797 berdiri “Nederlands Zendeling Genootschap
(NZG) atau lembaga utusan-utusan Injil Belanda. NZG ini berdiri, selain
didorong oleh kejadian-kejadian di Inggris di mana pada waktu itu telah berdiri
beberapa badan zending,juga didorong oleh orang-orang Hernhut dari Jerman yang
pengaruhnya sudah sampai di negeri Belanda dan telah mendirikan sebuah lembaga
PI atahun 1793. Pendiri NZG berasal dari anggoata gereaja Hervormd. Di samping
NZG ini muncul juga lembaga-lembaga lain di Belanda yang bekerja untuk Indonesia yakni:
Java Committee (1855), “Nederlands Zendings Vereeniging” (NZV) tahun 1858, dll.
Di Jerman tahun 1824 berdiri “Rheinische Missionsgesselschaft (RMG) yang
mengabarkan Injil di Indonesia
untuk daerah Kalimantan dan tanah Batak. Dan
di Indonesia, orang-orang Kristen yang tidak puas dengan keadaan GPI membentuk
lembaga-lembaga yang menunjang usaha penginjilan di Indonesia yaitu: lembaga
Alkitab (1814) serta lembaga-lembaga PI di Batavia (1815) dan Surabaya (1815),
dll.
5. Ciri-ciri dari
lembaga-lembaga PI. Lembaga-lembaga pekabaran Injil yang disebut di atas
pada umumnya mempunyai ciri-ciri sbb:
• Kebanyakan lembaga-lembaga PI itu tidak
mengikat diri kepada suatu gereja tertentu karena yang mendirikannya ialah
orang-orang Kristen perorangan yang berasal dari berbagai aliran kegerejaan.
Mereka tidak membawa bentuk gereja tertentu kepada orang-orang yang diinjili.
• Umumnya orang-orang yang
diutus oleh lembaga-lembaga PI ini ialah orang-orang yang bersahaja atau
orang-orang yang sederhana yang tidak memiliki gelar akademis tetapi mereka
mempunyai keterampilan untuk sanggup menghidupi diri sendiri di daerah-daerah
yang baru diinjili.
• Pengertian mereka tentang pertobatan ialah: Kepercayaan hati yang
sungguh-sungguh kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat yang telah
menanggung dosa-dosa manusia. Dan cinta kasih yang penuh rasa terimakasih
kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Dalam pengertian ini
ditekankan karya Kristus demi keselamatan orang perorangan, dan kurang melihat
Kristus sebagai Raja Dunia dan Kepala Gereja.
• Mereka bersikap lebih
terbuka kepada kebudayaan suku, tetapi pelaksanaan sikap ini di Indonesia masih
belum dapat dilakukan dengan sepenuhnya karena beberapa faktor, a.l.:
a.
Sifat
superioritas orang-orang Barat yang semakin kuat. Artinya mereka menganggap
diri dan budaya mereka jauh lebih tinggi dari diri dan budaya orang-orang Indonesia.
b.
Dalam
lapangan penginjilan yang dimasuki, mereka sulit membedakan mana unsur budaya
dan mana unsur keagamaan yang terdapat di tengah-tengah masyaraakat suku yang
diinjili. Dalam kehidupan suku-suku yang diinjili, faktor keagamaan memang
sulit dipisahkan dari budaya setempat, yang akibatnya hampir semua unsur budaya
itu dianggap bersifat kekafiran. Namun sikap ini kemudian berubah, karena sejak
tahun 1870an telah mulai ada usah untuk menampung unsur-unsur pribumi dalam
kehidupan jemaat.
6. Hubungan antara Zendeling dan pemerintah Belanda. Hubungan
itu secara hukum diatur dalam Aturan Pemerintah (Regeringsreglement) tahun
1854. Aturan ini pada dasarnya menegaskan kebebasan beragama, tetapi dalam
pasal terakhir dari Aturan ini (Pasal 123), ada berbunyi:
“Guru-guru Kristen,
Imam-imam serta pendeta-pendeta zending, harus memiliki izin khusus yang
diberikan oleh atau atas nama gubernur jenderal agar dapat menyelenggarakan
pekerjaan dinas mereka di suatu bagian Hindia Belanda tertentu…”
Dari peraturan itu nampak
bahwa pekabar Injil yang bekerja di Indonesia harus memperoleh izin
khusus dari pemerintah kolonial Belanda. Ketentuan ini sering dipakai oleh
pemerintah Belanda untuk mempersulit bahkan melarang usaha PI di daerah-daerah
tertentu. Jadi di sini kepentingan pemerintahan atau kepentingan politis masih
tetap diutamakan, sebagaimana halnya dulu diberlakukan oleh VOC. Kalau di
daerah tertentu, “keamanan dan ketertiban” nya akan terganggu oleh usaha PI
itu, maka daerah itu ditutup untuk PI. Artinya pekabar Injil dilarang masuk ke sana. Tetapi di pihak
lain, pemerintah sering juga mendukung pekerjaan zending. Khususnya di
daerah-daerah suku. Ini didasari oleh pertimbangan, kalau suku-suku tertentu
itu telah dikristenkan, diharapkan mereka akan dapat menunjang kekuasaan
Belanda. Untuk inilah diberi bantuan berupa subsidi kepada lembaga-lembaga PI
bagi usaha-usaha pekabaran Injil yang dijalankan. Jadi di sini zending
dipergunakan juga sebagai alat mempertahankan kekuasaan Belanda.
7. Sikap Zending terhadap Pemerintah. Bagi zending, Kerajaan
Allah tidak sama dengan Kerajaan Belanda. Mereka tetap menyadari bahwa mereka
bekerja demi perluasan Kerajaan Allah, bukan demi perluasan Kerajaan Belanda.
Tetapi kadang-kadang perluasan Kerajaan Belanda itu mereka anggap perlu, demi
perluasan Kerajaan Allah. Misalnya dalam mengadakan perubahan dan perbaikan
kehidupan/kebudayaan suku-suku yang diinjili. Para
petugas zending telah merasa kewalahan menyudahi kebiasaan perang antar suku,
dll, maka mereka sering meminta bantuan penguasa, karena mereka yakin bahwa
kebiasaan yang tidak baik itu hanya dapat diatasi oleh bangsa kuat pemerintah
kolonial. Ini bukan berarti bahwa petugas-petugas zending itu menghendaki
penjajahan yang dilakukan Belanda atas Indonesia. Mereka tidak menganut
ideologi imperialisme dan tetap bersikap kritis kalau pemerintah tidak melayani
kepentingan-kepentingan orang-orang Indonesia yang dijajah itu.
GEREJA GEREJA DI MALUKU DAN
IRIAN BARAT
1. Gereja-gereja di
Maluku. Di daerah Maluku, ada dua gereja yang tergolong besar, yakni: Gereja
Protestan Maluku (GPM), yang kadang-kadang juga disebut Gereja
Ambon, dan satu lagi Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH).
a.
Gereja
Protestan Maluku (GPM). GPM
mempunyai sejarah yang terbilang paling lama di Indonesia, karena seperti sudah
diterangkan di atas, daerah Maluku itulah awal Sejarah Gereja di Indonesia.
Sejarah Gereaja Maluku boleh dikatakan sebagai ringkasan dari sejarah gereja di
Indonesia.
Periodisasi dari sejarah gereja itu dapat dibagi sbb:
-
1522
– 1605: Usaha missi RK, serta pengkristenan yang pertama.
- 1605 – 1815: Gereja di Maluku di bawah
pemeliharaan VOC (sampai thn 1800), dan sesudah itu di bawah pemeliharaan
Pekabaran Injil dari Inggris (1811-1815).
- 1811 – 1864: Hidupnya kembali gereja di Maluku atas usaha PI dari NZG, yang
bekerjasama dengan Gereaja Protestan di Indonesia asuhan pemerintah.
- 1864–1935: Gereja Maluku
di bawah pimpinan gereja Protestan/ pemerintah.
- 1935–skrng: GPM
sebagai gereja yang berdiri sendiri.
2. Thn 1522
dijadikan titik permulaan kekristenan di Maluku karena pada tahun itulah
orang-orang Portugis mulai tinggal menetap di beberapa tempat di sana antara lain di Ternate, Ambon,
dll. Seperti sudah diterangkan juga, petugas-petugas gereja yang dikirim
pemerintah Portugis ke sana
pada mulanya hanya memelihara kerohanian orang-orang Portugis itu sendiri,
tetapi kemudian missi Kristen juga dilakukan kepada orang-orang penduduk setempat.
Namun usaha missi Kristen itu tidak begitu maju karena beberapa hal, yakni:
persaingan raja-raja setempat yang sudah beragama Islam. Adanya jumlah petugas
(imam) yang sangat sedikit. Dan karena orang-orang Portugis itu kurang
memperlihatkan kehidupan Kristen yang baik.
Baru setelah tahun 1540an
mulai terjadi kemajuan, yakni setelah datangnya orang-orang Yesuit di sana, seperti Fransiscus
Xaverius yang sudah disinggung pada bagian muka. Mereka ini telah mempersiapkan
calon-calon baptisan lebih baik dan juga melakukan pembinaan setelah
dibaptiskan. Tetapi di saat-saat kekristenan itu mulai mengalami kemajuan,
kekristenan di sana segera menghadapi rintangan
berat dari penguasa Islam yang ada di sana,
terutama dari Sultan Hainun. Sultan Hainun ini dibunuh tentara Portugis tahun
1570. Tetapi akibatnya orang Islam di sana
menjadi marah. Orang Kristen ditindas berat, perkampungan Kristen dibakar. Oleh
sebab itu orang-orang Kristen semakin berkurang karena banyak yang murtad, dan
akhirnya kekristenan semakin surut, sejalan dengan runtuhnya kekuasaan Portugis
di sana yang
diganti oleh Belanda.
3. Tahun 1605
orang-orang Belanda melalui badan VOC mulai menggantikan kedudukan Portugis di
Maluku. Pada masa ini pekabaran Injil tidak dilakukan. Beberapa jemaat Kristen
memang didirikan, seperti di Ternate, tetapi
anggota dari jemaat itu umumnya adalah orang-orang Belanda yang bekerja di
tempat itu, dan sejumlah kecil orang-orang pribumi yang diwarisi dari zaman
Portugis. Tetapi orang-orang pribumi itu akhirnya makin berkurang, karena
kurangnya perhatian dan pembinaan dari pendeta-pendeta Belanda yang melayani
jemaat itu.
4. Tahun 1815, NZG mengutus penginjil Josef Kam (1769-1833)
bekerja di Ambon untuk mengurus dan melayani gereja yang ada di sana bersama pemerintah kolonial
Belanda. Dia melakukan pekerjaan itu dengan penuh kesungguhan dan pengabdian.
Karena usahanya yang sungguh-sungguhn dan karena kemajuan besar yang diperoleh,
maka Josef Kam di kemudian hari mendapat gelar sebagai rasul orang Maluku atau
seorang Reformator Maluku. Sebelum datangnya Josef Kam, hidup kekristenan di sana masih sangat dangkal.
Kekristenan masih bercampur dengan tahyul dan perbuatan-perbuatan yang bersifat
magis. Selain itu pengaruh adat dan raja-raja kampung (regent) begitu besar
dalam kehidupan gereja. Raja-raja kampung itu beranggapan turut serta
menentukan segala sesuatu di dalam gereja. Tetapi kebiasaan-kebiasaan itu
sangat ditentang oleh Josef Kam dan pendeta-pendeta lainnya yang diutus oleh
NZG.
Usaha-usaha dari Josef Kam
di Maluku yang membuat gereja di sana
mengalami kemajuan dan pembaharuan antara lain ialah:
► Dia memilih pekerja-pekerja gereja dengan
memperhatikan bakat-bakatnya.
► Dia menerbitkan buku-buku
bacaan, majalah dan buku-buku Nyanyian
Kristen atau gereja.
► Dalam menunjang usaha
penerbitan buku-buku bacaan Kristen itu, maka dia mendirikan percetakan di Ambon.
► Dia mendirikan Sekolah
Guru Jemaat (1821), supaya memperoleh tenaga yang cukup untuk mengasuh
jemaat-jemaat itu. (Catatan: tahun 1885, Gereja Protestan Maluku yang diasuh
pemerintah mendirikan sebuah sekolah guru Injil yang disebut STOVIL – Schooltot
Opleidiing van Indlanse Leeraren), yang tamatannya diangkat sebagai pegawai
pemerintah atau guru-guru sekolah yang diasuh oleh pemerintah.
► Mendirikan biduan suling
sebagai alat musik di gereja. Sampai sekarang alat musik suling itu masih tetap
dipergunakan di Gereja Ambon.
► Dia mengusulkan supaya pekabar-pekabar Injil mendapat kuasa
pemerintahan di desa-desa. Tetapi usul ini tidak terlaksana, karena
bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah Belanda.
5. Tahun 1864-1935:
Gereja Maluku benar-benar di bawah pimpinan pemerintah Belanda. Pendetanya
diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda. Tenaga-tenaga NZG yang masih
bertahan melayani di gereja itu dijadikan sebagai pendeta pembantu, yang
dipekerjakan di daerah-daerah. Seluruh pendeta yang bertugas di gereja itu
digaji oleh pemerintah Belanda. Sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit
yang diasuh oleh NZG, diambil alih oleh pemerintah. Pada zaman usaha penginjilan
di daerah Ambon masih lemah. Sementara itu
petugas-petugas gereja Katolik sudah mulai masuk ke Kepulauan Ai dan Tanimbar.
Dan orang-orang Islam juga semakin berusaha mengembangkan sayapnya di sana.
7. Tanggal 6 September 1935, Gereja Maluku
ditetapkan menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri, dengan nama Gereja
Protestan Maluku. Tata gerejanya ditetapkan tahun 1936, yang dari Tata Gereja
itu nampak bahwa:
·
Gereja
itu memperlihatkan ciri sebuah gereaja bangsa. Anak yang lahir dari sebuah
psangan keluarga anggota gereja, secara otomatis menjadi anggota gereja.
Demikian juga anak yang disekolahkan di sekolah gereja, adalah menjadi warga
gereja tersebut.
·
Gereja
itu berbentuk “Presbyterial-Synodal”. Majelis gereja dipilih oleh warga jemaat
yang telah berumur 21 tahun ke atas dari antara penatua-penatua dan
syamas-syamas dalam gereja itu. anggota synode adaah utusan dari setiap klasis.
·
Daerah-daerah
gereaja-gereja di bagi-bagi menurut tingkat kedewasaan jemaat itu:
Klasis:
mempunyai hak penuh dalam sinode. Bagian (Afdeling): belum mempunyai hak penuh
dan belum mempunyai majelis yang penuh. Bidang (Terrein): merupakan lapangan
pekabaran Injil atau jemaat zending.
·
Sampai
tahun 1942, pimpinan gereja masih tetap dipegang oleh pendeta Belanda.
·
GPM
mempunyai beberapa badan zending, yakni: Ora et labora dan Sebiji Sesawi.
Setiap hari Reformasi 31 Oktober dirayakan sebagai “pesta zending”.
b.
Gereja
Masehi Injili Halmahera (GMIH). Keristenan yang pertama
masuk di Halmahera juga dibawakan oleh
orang-orang Portugis yang beragama RK. Tetapi setelah orang-orang Portugis
diusir oleh orang-orang Belanda dari sana tahun
1630, kekristenan di sana menjadi hilang lenyap
selama + 200 tahun, karena Belanda tidak berusaha untuk memelihara
kekristenan yang ada di sana
sama sekali. Barulah mulai tahun 1865, badan zending UZV (Utrechtsche Zendings
Vereeniging) mulai memberi perhatian untuk memberitakan Injil itu ke sana. Badan zending ini
sebelumnya juga telah bekerja di daerah Ambon setelah NZG mengundurkan diri di sana dan juga di Irian Barat.
Daerah Irian Barat mereka tinggalkan, karena pekerjaan mereka di sana tidak menghasilkan
buah. 19 juli 1866, tiga orang pekabar Injil UZV yang pertama tiba di Halmahera. Tetapi dalam usaha untuk menjalankan PI itu di
sana, mereka
segera menghadapi banyak kesulitan, yakni:
·
Kesulitan
di bidang politik.
·
Kesulitan
karena sikap pemerintah Belanda yang tidak mendukung usaha mereka.
·
Kesulitan
ekonomi.
Kesulitan politik yang
dimaksud ialah gangguan dari Kesultanan Ternate dan Tidore yang beragama Islam,
yang sama sekali tidak menghendaki masuknya kekristenan di daerah itu. Kedua
kesultanan itu berusaha terus untuk mengislamkan masyarakat Halmahera.
Bagi penguasa Islam tersebut, menjadi Kristen sama dengan menjadi Belanda.
Banyak orang-orang Kristen di daerah Halmahera
yang ditangkap dan dipenjarakan oleh serdadu-serdadu kesultanan itu. Kesulitan
yang kedua ialah sikap pemerintah Belanda di tempat itu yang tidak mendukung
usaha mereka. Residen Belanda di Halmahera tidak berani berbuat apa-apa untuk
membantu usaha pekabaran Injil itu, dengan alasan agar bisa mempertahankan
keamanan dan ketertiban di daerah itu. Malah penguasa Belanda itu mengusulkan
agar penginjil-penginjil UZV itu segera meninggalkan daerah Halmahera.
Jadi dengan demikian sikap pemerintah Belanda itu adalah merupakan rintangan
bagi usaha pekabaran Injil yang digiatkan di sana.
Kesulitan ekonomi.
Pedagang-pedagang Islam sering memberi pinjaman kepada penduduk setempat,
sebagi uang muka untuk hasil tanaman yang akan dibeli dari mereka. Perbuatan seperti
itu menjadi hutang budi bagi penduduk setempat sehingga mereka sering
mengiyakan begitu saja kemauan dari pedagang-pedagang Islam tersebut. Tetapi
pada akhir abad 19 penduduk memberontak kepada pedagang-pedagang Islam itu dan
juga kepada Sultan Ternate, karena mereka semakin menyadari sifat pedagang dan
penguasa Islam itu yang terlalu kejam. Seorang raja yang masih menganut agama
suku dari Tobelo bernama Sang Haji memimpin pemberontankan itu. Dan kemudian
dia dibaptis menjadi Kristen tahun 1898. Tetapi pembaptisan atas raja itu bukan
lagi merupakan pembaptisan yang pertama di negeri itu. Pembaptisan yang pertama
sudah terjadi tahun 1874, yakni atas 5 orang laki-laki dan 2 orang wanita.
Pembaptisan pertama itu terjadi setelah para penginjil itu menunggu hasil
pekerjaan mereka selama delapan tahun. Sampai tahun 1899 jumlah orang-orang
Kristen yang sudah dibaptis baru mencapai 179 orang. Orang-orang Kristen yang
pertama itu mula-mula ditampung dalam sebuah kampung yang didirikan oleh
penginjil-penginjil itu, yang diberi nama Duma. Untuk penghuni perkampungan itu
dibuat peraturan yang berbunyi: “barang siapa mau menetap di perkampungan itu,
ia harus berjanji untuk meninggalkan upacara-upacara kekafiran, tidak bekerja
pada hari Minggu, dan harus setia mengikuti kebaktian-kebaktian Kristen yang
diselenggarakan”.
Gerakan pengkristenan di
Tobelo baru terjadi setelah masuknya raja mereka itu menjadi Kristen. Tahun
1901 terjadilah pembaptisan massal atas 3200 orang Tobelo itu. Tetapi sayang
tenaga untuk memelihara dan membina iman mereka tidak cukup. Untunglah di sana telah banyak orang-orang Ambon
yang dipekerjakan sebagai guru-guru sekolah zending. Mereka inilah yang turut
membantu usaha pekabaran Injil itu dengan cara memberi pengajaran Kristen
terhadap orang-orang yang baru dibaptis itu. Dari antara orang-orang Halmahera itu sendiri pun ada juga yang ikut dipersiapkan
untuk bisa dipekerjakan sebagai guru dan penginjil. Dengan cara seperti itu
maka kekristenan sudah tersebar di seluruh kepulauan Halmahera,
dengan tujuh ressort, yakni: Tobelo, Morotai, Galela, Loloda, Kau (Doding),
Buli-Weda, dan Jailolo. Namun banyak juga penduduk di sana yang belum Kristen, terutama mereka yang
sudah menganut agama Islam. Tetapi kemudian hubungan antara Kristen dan Islam
di daerah itu adalah cukup baik. Toleransi beragama sangat terpelihara dengan
baik sekali.
Gereja Halmahera sudah
mulai mempersiapkan diri menjadi sebuah gereaja yang mandiri tahun 1917. Tetapi
karena pada waktu itu pengaruh pekabar-pekabar Injil dari Eropa masih kuat dan
tenaga pribumi belum ada yang mampu untuk memimpin gereja itu, kemandirian itu
baru bisa terwujud tahun 1947. Gereja itu diberi nama: Gereja Masehi Injili
Halmahera (GMIH). Pada dasawarsa berikutnya GMIH mengalami suatu goncangan yang
berat yang disebabkan oleh gerakan-gerakan yang datang dari luar seperti:
gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), PERMESTA, dan
PKI.
GEREJA
DI IRIAN JAYA / PAPUA
(Gereja
Kristen Injili di Irian Jaya/Papua)
1. Daerah Irian Jaya (Papua) agak lama baru mendapat perhatian dari
dunia luar. Pernah orang Portugis mencoba menduduki negeri ini setelah terlebih
diadakan penyelidikan tahun 1784. tetapi mereka segera meninggalkan tempat itu
karena diketahui pantainya kurang sehat untuk didiami. Tahun 1828 orang Belanda
juga mencoba memasuki daerah itu, tetapi mereka juga segera meninggalkannya
dengan alasan yang sama. Karena itu daerah Irian Jaya lama sekali menjadi
daerah kesultanan Tidore dari Maluku yang sudah mulai mengembangkan
kekuasaannya di sana
sejak abad 16. Tetapi orang Belanda kemudian juga berusaha lagi untuk berkuasa
di sana mulai
tahun 1898. Namun sebelum masuknya kekuasaan Belanda itu, tahun 1855
pekabar-pekabar Injil dari Eropa telah memulai usaha pekabaran Injil di Irian
Jaya. Adapun periodisasi sejarah gereja di Irian Jaya adalah sbb:
·
1855
– 1924 : Perintisan dan permulaan
Injil di Irian Jaya
·
1924
– 1942 : Masa pembinaan gereja oleh
badan zending UZV
·
1942
– 1946 : Masa penginjilan pada waktu
pendudukan Jepang dan perang dunia II.
·
1946
– 1956: Pembangunan kembali gereja itu
oleh badan zending UZV yang kemudian berubah menjadi ZNHK (Zending der
Nederlandsc Hervormde Kerk)
·
1956
– sekarang: Gereja Kristen Injili di
Irian Jaya yang berdiri sendiri
2. 1855-1924. Pada
thn 1855, ada 2 orang penginjil tukang (penginjil yang sambil bekerja sebagai
tukang) diutus dari Belanda, tiba di Irian Jaya yakni C.W. Ottow dan J.G.
Geissler. Keduanya adalah orang Jerman tetapi diutus dari Belanda. Mereka
memulai penginjilan itu di daerah Kwawi. Lalu kedua mereka disusul lagi tahun
1863 oleh 4 orang utusan zending UZV. Namun dalam waktu yang lama hasil
pekerjaan mereka tidak terus ada. Banyak kesuliatan mereka hadapi di daerah
itu, a.l.:
·
Daerah
itu sebagai sarang penyakit malaria.
·
Keadaan
geografis yang sangat sulit: daerah pegunungan, hutan yang lebat dan jalan yang
tidak ada.
·
Penduduk
yang sangat jarang sekali.
·
Adat
istiadat suku-suku setempat yang sangat keras.
·
Daerah
pantai yang pada umumnya sudah dikuasai oleh Islam.
Karena kesulitan-kesulitan
tersebut, maka dari antara 18 tenaga UZV yang dikirim ke Irian Jaya sampai
tahun 1900, 6 orang meninggal, 3 orang pindah karena sakit, 3 orang berhenti
karena tidak sanggup, 3 orang dipindahkan ke pulau lain, hingga hanya 3 orang
yang bisa bertahan. Orang Irian Jaya yang pertama dibaptis terjadi tanggal 1
Januari 1865, oleh Geissler, yakni dua orang wanita. Empat tahun berikutnya
bertambah tiga orang laki-laki dan satu orang wanita. Selama masa waktu 25
tahun pengbinjilan di sana (1855-1880), hanya 22 orang yang berhasil dibaptis,
dan dalam 20 tahun berikutnya sampai tahun 1900, bertambah lagi 209 orang, dan
pembaptisan itu hanya terjadi di Mansiman, Kwawi dan Andai. Sejak tahun 1907,
penginjilan diperluas sampai ke Sorong (Irian Barat), Pulau Biak dan Supiori di
bagian Utara, ke Fak-fak di bagian Selatan dan ke Senatani di bagian Timur.
Tahun 1917 Pdt. Van Hasselt membuka Sekolah Guru di pulau Mansiman yang diberi
subsidi dari pemerintah. Tahun 1924, di daerah ini sudah terbentuk 11 ressort,
yang masing-masing dipimpin oleh pendeta utusan UZV.
3. 1924-1942: Pada
masa-masa ini usaha-usaha zending di setiap wilayah kerjanya makin
diintesifkan. Tahun 1925, pusat pendidikan Guru di Mansiman dipindahkan ke Miei
di Teluk Wandamen di bawah pimpinan Ds. I.S. Kijne. Sejak tahun 1929, karena
zending UZV kekurangan biaya (karena zaman Malaise), daerah penginjilan di
Fak-fak dan Babo diserahkan menjadi daerah asuhan GPM. Di jemaat yang sudah
maju diangkatlah penatua-penatua dan syamas-syamas (diaken-diaken), yang
bersama guru jemaat membentuk majelis jemaat.
4. 1942-1946:
Masa penginjilan pada zaman pendudukan Jepang dan PD II (1942-1946). Pada masa
ini gereja di Irian sangat menderita karena seluruh pekerja-pekerja zending
dari Belanda ditangkap dan dibawa oleh tentara Jepang karena pada waktu itu
belum ada pendeta dari orang Irian itu, maka selama PD II tidak ada pelayanan
sakramen. Selain itu banyak juga guru-guru sekolah yang ditawan dan dibunuh
oleh tentara Jepang. Karena tidak tahan banyak guru-guru yang tidak tahan
sehingga banyak mencari kerja ke kota.
Sejak 24 April 1944, tentara sekutu (amerika) mendarat di Jayapura dan daerah
Irian Jaya dipergunakan sebagai basis melawan Jepang. Hal ini membuat kegiatan
jemaat sering terganggu. Dalam pendudukan Jepang itu, kepercayaan yang lama bangkit
kembali. Hubungan antar ressort terputus, dan hubungan dengan pusat UZV di
Belanda juga terputus.
5. 1946-1956:
Masa pembangunan kembali oleh zending UZV?ZNHK. Berbeda dengan daerah Indonesia,
Irian Jaya tidak mengalami perang/revolusi kemerdekaan. Setelah kekalahan
Jepang, Irian Jaya tidak ikut menduduki, karena Belanda bertahan menduduki
daerah itu sampai 1 Juli 1963. Sejak berhasilnya Belanda dan tentara sekutu
masuk kembali ke daerah ini badan zending UZV kembali berusaha membangun
kembali. Keadaan gereja di sana
yang telah sempat masuk dan hancur selama Jepang. Badan zending ini, yang sejak
tahun 1951 berubah nama menjadi Zending der Nederlandse Hervormde Kerk (ZNHK),
mengadakan usaha-usaha sbb:
·
Mempersiapkan
gereja di Irian Jaya menjadi satu gereja yang mandiri.
·
Mengkonsolidasikan
pekerjaan dan organisasi gereja (ressort, klasis dan jemaat). Untuk ini
didatangkanlah sejumlah tenaga pendeta dari Belanda.
·
Usaha
pengembangan pendidikan dan sekolah-sekolah dengan bantuan pemerintah.
·
Membuka
kembali Sekolah Penginjil di Miei.
·
Membuka
kursus guru jemaat di Serui (P. Yapen) yang tahun 1954 ditingkatkan menjadi
Sekolah Theologia.
·
1952,
menahbiskan pendeta yang pertama dari Irian Jaya, yakni Pdt. Rumainum, setelah
melalui kursus khusus.
·
Mempersiapkan
pembentukan tata gereja yang berdiri sendiri pada Sinode tahun 1954.
6. 1956 –
sekarang: Gereja Kristen Injili di Irian Jaya berdiri sendiri.
Kemandirian gereja itu mulai 26 Oktober 1956, dengan nama pada waktu itu:
Gereja Kristen Injili di Irian Barat. Tetapi sejak nama Irian Barat diganti
menjadi Irian Jaya tahun 1973. Nama gereja itu juga diganti menjadi: Gereja
Kristen Injili di Irian Jaya. Anggotanya pada permulaan kemandirian itu:
135.000 orang, yang terdiri dari 500 jemaat dan 200 bakal jemaat. Sampai tahun
1962, pimpinan gereja sebagian masih dipegang oleh Belanda, barulah sejak tahun
1962, semua unsur pimpinan sudah dipegang oleh orang Irian itu sendiri. Tahun
1959, Sekolah Tinggi di Serui dipindahkan ke Abepura (dekat Jayapura), yang
sejak 1968 ditingkatkan menjadi sebuah Sekolah Tinggi Theologia. Sejak tahun
1959 itu, gereja ini telah bekerja sama juga dengan RMG/VEM untuk mengadakan
usaha pekabaran Injil di Lembah Balicum di Wamena dan juga di Angguruh.
7. Badan-badan zending yang lain yang bekerja di Irian Jaya. Selain UZV?ZNHK, badan-badan zending yang lain yang pernah bekerja di Irian Jaya ialah:
·
Unevangelized
Fields Mission
(Amerika)
·
Region
Beyrod Missionary Union (Amerika)
·
Evangelical
Alliance Mission
(Amerika)
·
Christian
And Missionary (Amerika)
·
Mennonit
(Belanda)
·
VEM
(Verenigte Evangelische Mission) atau RMG
GEREJA-GEREJA DI SULAWESI
1. Ada
delapan yang tergolong gereja Protestan ayang tumbuh di daerah Sulawesi, yakni:
·
Gereja
Masehi Injili Minahasa (GMIM)
·
Gereja
Masehi Injili Sangir dan Talaud (GMIST)
·
Gereja
Masehi Injili Bolang Mongondow (GMIBM)
·
Gereja
Kristen Sulawesi Tengah (GKST)
·
Gereja
Kristen Toraja Makale Rantepao
·
Gereja
Toraja Mamasa
·
Gereja
Protestan Sulawesi Tenggara (Gepsultara)
·
Gereja
Kristen Sulawesi Selatan (GKSS)
Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM)
1. Permulaan Gereaja (1563-1823). PI yang pertama di daerah
Minahasa terjadi tahun 1563 oleh orang-orang Portugis. Namun kekristenan itu
tidak berakhir, karena kurangnya pembinaan. Mereka masuk Kristen, bukan karena
sudah memahami kekristenan itu, melainkan hanya untuk mendapat perlindungan
dari orang-orang Portugis dalam menghadapi serbuan kesultanan. Akibatnya
orang-orang Kristen itu kembali kepada kekafiran. Tahun 1606, orang-orang
Spanyol dari Filipina mencoba memasuki Sulawesi Utara menggantikan orang-orang
Portugis. Mereka berminat menumbuhkan kekristenan itu, dengan mengutus sejumlah
missionaris. Tetapi usaha mereka adalah gagal, karena pekerja banyak yang mati
dan mendapat tantangan berat dari penduduk setempat. Tahun 1663 VOC berhasil
memasuki daerah Minahasa, tetapi pada masa kekuasaan VOC ini kekristenan tidak
berkembang, karena tidak mendapat perhatian dari VOC. Pendeta tidak ada yang
ditempatkan di sana. Hanya sekali-kali ada kunjungan pendeta dari Ambon. Tahun 1817, Josep Kam dari Maluku (Ambon)
berkunjung ke daerah Minahasa dan pada waktu itu dilihatnya jemaat-jemaat di sana sangat terlantar.
Sesudah kunjungannya itu, maka dia mengajukan supaya penginjil NZG diutus ke sana. Dan itu terealisasi
tahun 1822.
2.
1822-1875: Pekabaran Injil di Minahasa oleh NZG. Utusan pekabaran Injil NZG yang
pertama ke Minahasa ialah Miller dan Lammers. Ahanya sayang keduanya meninggal
dalam waktu yang singkat (1824 dan 1826). Setelah itu NZG juga bekerjasama
dengan gereja pemerintah (Protestan), di mana pemerintah juga menempatkan
seorang pendeta di Manado,
yakni: Ds. Hellendoorn. Dia bekerja di sana
sampai akhir hayatnya tahun 1839. Sejak itu bantuan dana juga telah diperoleh
dari pemerintah untuk membina kehidupan Kristen itu. Penginjil yang sangat
terkenal di Manado
ialah Riedel dan Schwarz. Keduanya adalah orang Jerman yang mempunyai
pendidikan di pusat Pietisme Halle. Sesudah mereka tiba di Minahasa, mereka
bekerja dengan sangat aktif, sehingga kekristenan berkembang dengan cepat. Ada beberapa faktor yang
turut memperlancar usaha PI di Minahasa, yakni:
·
Daerah
Minahasa yang sudah dirintis lebih dahulu untuk menerima Injil pada zaman
Portugis dan zaman VOC.
·
Keadaan
geografis yang baik: penduduk rapat, dan hubungan lalu lintas baik.
·
Kontak
yang sudah lama dengan pemerintah Belanda. Banyak anak-anak Minahasa yang masuk
ketentaraan Belanda.
·
Kebijaksanaan
para pekabar Injil yang menempatkan tenaga dalam jumlah yang besar.
·
Adanya
pemeliharaan iman yang intensif: evangelisasi, khotbah, katekhisasi,
perkunjungan rumah tangga dan sekolah-sekolah yang diasuh zending.
·
Dipergunakannya
bahasa daerah sebagai pengantar.
·
Tenaga-tenaga
pribumi segera dipergunakan: guru sekolah, guru jemaat, evangelis, dan bahkan
pendeta (sejak tahun 1847).
·
Didirikannya
sekolah-sekolah, rumah sakit dan pelayanan sosial.
3. 1876-1934: Gereja Minahasa di bawah naungan
Gereja Protestan (Pemerintah). Adanya perkembangan kekristenan yang sangat pesat di
Minahasa pada periode II, mengakibatkan NZG tidak sanggup lagi membiayai
pekerjaan itu. Supaya pekerjaan itu dapat berkelanjutan, jalan satu-satunya
ialah menyerahkan pekerjaan itu kepada pemerintah. Pemerintah menerimanya,
dengan pertimbangan:
·
Pemerintah
merasa wajib untuk memelihara warisan yang asalnya dari VOC, walaupun jumlahnya
telah diperkembangkan NZG dari 3000 orang menjadi 80.000 orang.
·
Pemerintah
menyadari bahwa daerah Minahasa sangat penting artinya dalam politik
pemerintahannya.
·
Penyerahan
itu dilakukan tahun 1876. Sejak itu semua pekerja yang fulltimer adalah mendapat
gaji dari pemerintah, mulai dari pendeta, pendeta pembantu, guru-guru Injil dan
guru-guru jemaat. Sejak tahun 1886, RK berusaha kembali masuk di Minahasa.
Walaupun sebenarnya pada waktu itu ada larangan pekabaran Injil rangkap.
Kegiatan RK melalui sekolah-sekolah dan rumah sakit sangat banyak menarik
perhatian penduduk setempat.
4. 1934-sekarang:
Gereja dinamakan sebagai gereja yang berdiri sendiri dengan nama: Gereja
Masehi Injili Minahasa (GMIM). Artinya sejak tahun itu GMIM telah mempunyai tata
gereja sendiri. Tetapi walaupun sudah dikatakan berdiri sendiri, soal keuangan
masih tetap berhubungan dengan pemerintah di Jakarta. Anggaran belanjanya sebagian besar
masih dipikul oleh pemerintah Belanda. Hal itu masih terus berlaku sampai tahun
1949, yakni ketika penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda ke RI.
Belakangan ini telah ada beberapa gereja/sekte yang memisah dari GMIM, yakni:
- Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), memisah tahun 1933.
- Adventis
- Pentakosta
Gereja Masehi Injili Sangir dan Talaud
(GMIST)
1.
Permulaan kekristenan di Sangir dan Talaud. Permulaan masuknya kekristenan di
daerah ini adalah bersamaan dengan masuknya kekristenan di Minahasa, yakni
melalui orang Portugis, yang datang ke sana
untuk menghempang pengaruh Sultan Ternate. Pembaptisan pertama dimulai tahun
1563 kepada raja-raja setempat beserta dengan rakyatnya. Tetapi orang-orang
Kristen yang sudah dibaptis tidak dipelihara secara intesif. Orang-orang
Spanyol juga sempat masuk ke sana
tetapi hanya sebentar saja. Tahun 1677, VOC masuk ke sana
dan menguasai kepulauan itu, tetapi kekristenan di sana tidak diperhatikan, seperti keadaannya
juga di Minahasa. Pendeta hampir tidak pernah mengunjungi daerah itu. Tahun
1817, Josef Kam dari Ambon juga berusaha
mengunjungi daerah ini, tetapi tidak bisa memberi pertolongan karena NZG
kekurangan tenaga. Tahun 1855, seorang pendeta Belanda bernama Ds. Buddingh
memulai perkunjungan ke daerah ini. Pada waktu itu dia banyak membaptiskan
penduduk setempat. Dan dia mencatat pada waktu itu jumlah orang Kristen
seluruhnya di sana
ada sebanyak 20.000 orang dan 24 gedung gereja yang juga dipakai sebagai
ruangan sekolah.
2. Masuknya penginjil-penginjil tukang sejak
tahun 1855. Pemerintah Belanda merasa enggan mengambil alih bekas asuhan
VOC itu kepada gereja Protestan, karena pertimbangan biaya yang diperlukan.
Untunglah ada jumlah penginjil-penginjil tukang datang ke sana mulai tahun 1855. Mereka diutus dari
negeri Belanda, kendatipun kebanyakan mereka adalah orang-orang Jerman yang
beraliran pietis. Mereka datang ke sana
dipimpin oleh Ds. Heldring. Dalam usaha pekabaran Injil itu mereka juga bekerja
sebagai tukang. Namun pekabar-pekabar Injil itu juga mengalami kesulitan karena
subsidi yang diberikan pemerintah Belanda sangat sedikit. Dan walaupun
keterampilan bertukang ada pada mereka, tidak mungkin mereka melakukan
pekerjaan itu, karena luasnya pekerjaan mereka dan penduduk setempat tidak ada
yang membutuhkan hasil pertukangan mereka. Akhirnya penginjil-penginjil tukang
ini mengundurkan diri. Tetapi kemudian suatu badan zending yang bernama “komite
Jawa” bekerjasama dengan UZV dan NZV berusaha memelihara jemaat-jemaat
Protestan yang ada di sana dengan membentuk sebuah badan yang bernama “Komite
Sangir dan Talaud”.
3. Permulaan
abad 20. Sejak permulaan abad 20 ini kekristenan Sangir dan Talaud semakin
berkembang. Hal itu disebabkan antara lain oleh:
a. Jumlah subsidi dari
pemerintah Belanda makin ditingkatkan, yakni tiga perempat dari anggaran
belanaja dari gereja itu.
b. Dengan subsidi tersebut semakin
banyaklah Pelayan Firman Allah (Verbi Divini Minister) yang bisa
dibiayai.
c. Usaha pendidikan makin
ditingkatkan, termasuk kursus-kursus terhadap guru-guru dan
penginjil-penginjil.
Tahun 1934: Sejak tahun 1934 gereja ini telah dipersiapkan menjadi
sebuah gereja yang berdiri sendiri, tetapi pelaksanaannya baru bisa dilakukan
setelah Perang Dunia II tahun 1947 dengan nama: Gereja Masehi Injili Sangir dan
Talaud (GMIST).
Gereja Masehi Injili Bolang Mongondow
(GMIBM)
a. Gereja ini berdekatan dengan gereja
Minahasa di Sulawesi Utara. Pada zaman VOC sudah pernah ada sejumlah orang
Kristen di sana,
tetapi kemudian mereka murtad menjadi kafir dan Islam, karena tidak ada
pemeliharaan terhadap mereka. Pada abad 19 daerah ini sudah diislamkan oleh
orang-orang Gorontalo, sehingga daerah itu menjadi sulit dimasuki oleh Injil
itu.
b. Kekristenan
mulai kembali masuk ke daerah Bolang Mongondow baru pada permulaan abad 20 ini,
yakni melalui orang-orang Minahasa yang berpindah ke sana. Pada abad sebelumnya NZG sudah meminta
untuk bisa masuk ke sana,
tetapi izinnya ditolak oleh pemerintah Belanda. Baru pada abad 20 ini izin bisa
diberikan, yakni setelah adanya orang-orang Kristen Minahasa bermukim di sana.
c. Penginjil
NZG yang pertama masuk ke sana
ialah Dumnebier, tahun 1904. Dan tahun ini dianggap oleh gereja tersebut
sebagai tahun permulaan gereja di sana.
Tetapi masyarakat setempat yang pada umumnya sudah menjadi Islam sudah sulit
masuk menjadi Kristen. Anggota gereja di sana
mayoritas adalah orang-orang Kristen Minahasa yang berpindah ke sana. Tetapi keadaan ini
telah menimbulkan kesulitan bagi perkembangan gereja itu sendiri terutama dalam
hal yang menyangkut kesatuannya, karena sifat kedua sukku itu berbeda.
Orang-orang Kristen Minahasa sudah lama menjadi Kristen, sedangkan orang-orang
Bolang-Mongondow itu sendiri masih baru menjadi Kristen. Kesulitan yang lain
juga karena bahasa mereka yang berbeda. Orang-orang Kristen Minahasa itu sudah
biasa memakai bahasa Melayu yang menjadi bahasa persatuan dalam gereja,
sedangkan orang-orang Bolang-Mongondow itu sendiri berpegang kepada bahasa
daerah itu sendiri.
d. Sinode yang pertama dari gereja itu
terjadi tahun 1940, dan sekaligus sebagai penetapan gereja itu menjadi gereja
yang berdiri sendiri dengan nama: Gereja Masehi Injili Bolang Mongondow, yang
berpusat di Kotamobagu.
Gereja Kristen Sulawesi
Tengah (GKST)
1) Usaha PI di Sulawesi Tengah
dilakukan oleh NZG, mulai tahun 1893. Dua orang utusannya yang pertama ialah
Dr. A.C. Kruyt dan N. Adriani, seorang ahli bahasa dari Lembaga Alkitab
Belanda. A.C. Kruyt adalah anak dari J. Kruyt, yang pernah menjadi penginjil di
Mojowarno, Jawa Timur, dan adik dari H. Kruyt, penginjil pertama di Tanah Karo.
Semula mereka bermaksud bekerja di Gorontalo, karena di sana sudah ada sebuah jemaat kecil yang
anggotanya terdiri dari orang-orang Minahasa. Tetapi karena perkembangan
kekristenan di sana
dirasa sudah sangat sulit sekali karena penduduknya sudah beragama Islam, maka
mereka pindah ke Poso Sulawesi Tengah, di mana penduduknya masih banyak yang
beragama suku. Di Sulawesi Tengah, A.C. Kruyt berusaha menjadi kekristenan itu
berakar dalam kehidupan masyarakat setempat, janganlah agama Kristen itu
dianggap sebagai “agama Belanda”. Untuk itu metode yang dia lakukan ialah:
a. Mempelajari secara
mendalam bahasa dan adat-istiadat daerah setempat. Bahasa Melayu tidak
dipergunakan, karena pada waktu itu bahasa tersebut dianggap oleh masyarakat
setempat sebagai bahasa pemerintah kolonial Belanda. Untuk budaya dan
adat-istiadat bahkan dalam hal yang menyangkut kepercayaan suku setempat, A.C.
Kruyt bisa menjadi ahli, dan menulis beberapa buku. Salah satu buku yang
ditulisnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul: “Keluar
dari agama suku dan masuk menjadi Kristen”.
b. Kekristenan itu diusahakan
bisa diterima secara kolektif, sesuai dengan sifat-sifat suku itu, bukan secara
individual. Tetapi dia tidak amu kekristenan itu diterima secara dangkal
sekali. Karena itu dia lebih dulu melakukan pengajaran kekristenan yang memadai
kepada masyarakat itu sebelum mereka dibaptis menjadi Kristen. Agar kekristenan
itu bisa diterima secara kolektif, maka dia berusaha mendekati lebih dulu
kepala-kepala suku atau kepala-kepala kampung. Dan memang orang yang pertama
dibaptis menjadi Kristen di daerah itu ialah seorang kepala suku Topebato di
sebuah aampung dekat Poso, yang bernama Papa Islam Wunte, tahun 1909.
Pembaptisan yang pertama itu terjadi 16 tahun setelah mereka memulai pekerjaan
di sana. Itu
menunjukkan bahwa dia tidak terlalu tergesa-tergesa untuk melakukan pembaptisan
itu sebelum adanya persiapan pengajaran yang cukup. Kepala suku itu dibaptis
bersama istrinya, dan 167 orang anggota masyarakat sukunya. Sejak itu maka
seringlah terjadi pembaptisan secara berkelompok, sehingga tahun 1938, gereja
Kristen sudah berdiri di seluruh suku-suku yang ada di negeri itu.
c. Mengadakan pendidikan yang
intensif. Untuk ini dia mendatangkan sejumlah guru-guru sekolah dan guru-guru
Injil dari Minahasa.
d. Mengadakan kursus-kursus
pendidikan guru dan penginjil bagi penduduk setempat, yakni di Pendolo (1913)
dan Tentena, dibuka sebuah sekolah guru Injil tahun 1929. Sejak tahun 1940,
sekolah itu juga mendidik calon-calon pendeta bagi warga gereja setempat.
e. Mendirikan ressor-ressort
sebagai pusat pelayanan bagi jemaat-jemaat yang sudah berdiri.
2. Pada tahun 1947, gereja
ini diresmikan sebagai gereja yang berdiri sendiri. Bentuk gereja ini ialah
presbyterial-synodal, yang strukturnya mulai dari majelis jemaat – klasis –
synode. Jemaat diurus oleh majelis jemaat, klasis diurus oleh badan pekerja
klasis yang dipimpin oleh seorang pendeta yang dipilih oleh synode. Pusat dari
gereja ini ialah di Tentena Poso.
Gereja Kristen Toraja Makale Rantepao
3. Usaha PI yang pertama di daerah
Toraja Makale Rantepao, dilakukan oleh Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dari
Belanda. Pekabar Injil yang pertama ialah A.A. van de Loosdrecht, 7 Nopember
1913. Tetapi dia mati terbunuh pada waktu pemberontakan yang dilakukan penduduk
setempat melawan Belanda, 26 Juli 1917. Namun usaha PI di sana berjalan terus. Dengan dukungan Lembaga
Alkitab Belanda, sekolah-sekolah didirikan, pendidikan guru dan rumah sakit
dibuka. Tahun 1947, dalam usia yang masih muda gereja ini sudah berdiri sendiri
dengan nama Gereja Kristen Toraja Makale Rantepao. Suatu pergumulan dari gereja
ini dan gereja Toraja lainnya ialah pengaruh adat-istiadat masyarakat Toraja
yang masih sangat kuat.
Gereja Toraja Mamasa
4. Usaha PI yang pertama di daerah
Toraja Mamasa dilakukan oleh Gereja Protestan mulai tahun 1912. Tetapi karena
gereja itu tidak sanggup lagi meneruskannya, maka pekerjaan itu diserahkan
kepada Gereja Kristen Gereformeerd Belanda. Tahun 1927 gereja ini mengutus
untuk pertama kali pekabaran Injil yang bernama Bikker. Pada waktu itu dia
telah menjumpai di sana sejumlah orang-orang
Kristen dan beberapa sekolah yang dipimpin oleh guru-guru Kristen dari Ambon. Sepuluh tahun sesudah itu jumlah orang Kristen di sana bertambag menjadi
5000 orang dalam 30 jemaat. Perkembangan yang lebih cepat terjadi setelah
kemandirian gereja itu tahun 1948. Seperti halnya gereja-gereja lain di
Sulawesi Selatan, tahun 1950 gereja ini banyak mengalami penderitaan dari
gerombolan Darul Islam. Gereja ini berpusat di Mamasa Sulawesi Selatan.
Gereja Protestan Sulawesi
Tenggara (Gepsultara)
5. Pada permulaan abad 20 ini di kota
Kendari Sulawesi Tenggara sudah berdiri sebuah jemaat Kristen yang anggotanya
terdiri dari orang-orang Ambon dan Minahasa yang bekerja di sana. Tetapi pada waktu itu belum ada badan
zending yang bekerja di sana.
Badan zending yang pertama bekerja di daerah ini ialah Nederlansche
Zendingsvereniging (NZV), dengan mengutus penginjilnya yang pertama bernama Van
der Klift, tahun 1915. tetapi pembaptisan yang pertama dilakukan atas penduduk
setempat baru terjadi tahun 1929 di Sanggona, sebanyak 50 orang. Kira-kira
sepuluh tahun berikutnya jumlah itu bertambah menjadi 3000 orang. Penginjilan
di sana banyak
mengalami kesulitan dan hambatan karena pengaruh Islam yang sudah cukup kuat.
Orang-orang yang beragama suku hanya tinggal sedikit saja, dan merekalah yang
berhasil dikristenkan. Tahun 1950an, orang-orang Kristen di sana juga mengalami penderitaan dari
gerombolan Darul Islam. Kantor Pusat dari gereja itu di Lambuya habis dibakar.
Tetapi setelah itu pusatnya dipindahkan ke kota Kendari. Gereja ini mulai berdiri
sendiri tahun 1957.
Gereja Kristen Sulawesi
Selatan (GKSS)
6. Sejak VOC menduduki daerah
Sulawesi Selatan tahun 1667, di sana telah
berdiri beberapa jemaat VOC, antara alain di Makassar,
Bontain, Bulukumba dan Salayar. Tetapi usaha PI kepada penduduk setempat tidak
dilakukan sama sekali. Usaha PI di daerah itu mula-mula dipelopori oleh seorang
pendeta GPI yang bernama Toewater, tahun 1840 dan Dr. Matthes yang diutus oleh
Lembaga Alkitab Belanda untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa daerah
setempat. Dr. Matthes inilah yang mengusulkan supaya NZG memulai usaha PI di sana. Itu dilakukan oleh
NZG mulai tahun 1851 dengan mengutus beberapa orang penginjil ke sana. Tetapi selama 13
tahun usaha penginjilan itu dilakukan oleh NZG, hasilnya tidak ada, sehingga
pekerjaan itu terpaksa dihentikan. Kemudian sejak tahun 1895 badan zending NZV
mencoba usaha PI ke sana, tetapi setelah selama 10 tahun hasilnya juga tidak
ada, maka penginjil-penginjil NZV itu akhirnya dipindahkan ke Halmahera Maluku.
Usaha PI yang ketiga dimulai tahun 1933 yang dilakukan oleh GPI dan juga Gereja
Gereformeerd dari pulau Jawa. Gereja Protestan itu menempatkan seorang pendeta
dan sejumlah guru sekolah untuk bekerja di sana. Sedangkan gereja Gereformeerd membuka
sebuah rumah sakit di Labuang Baji, Sulawesi Selatan, beserta sebuah gereja,
sekolah dan rumah bacaan. Sesudah Perang Dunia II, usaha kedua gereja itu
dipersatukan dan mendirikan sebuah sekolah penginjil di Makassar.
Rumah sakit di Labuang Baji itu pun makin ditingkatkan. Tahun 1965, gereja ini
menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri, yang berpusat di kota
Ujung Pandang.
GEREJA GEREJA DI NUSA TENGGARA DAN BALI
A.
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)
1. Gereja di Timor memperlihatkan
gambaran dan latar belakang yang beraneka ragam. Ada jemaat yang sudah tua yang berasal dari
zaman VOC, ada jemaat-jemaat hasil PI NZG dan ada jemaat-jemaat baru hasil PI
yang dilakukan oleh Gereaja Timor itu sendiri. Gereja di sana telah melalui sejarah yang cukup panjang
ayang periodisasinya dapat dibagi sbb:
·
1556-1612 : permulaan kekristenan di zaman
Portugis.
·
1612-1800 : Gereja Timor pada masa VOC.
·
1800-1942 : Gereja Timor pada masa pemerintah
kolonial Belanda.
·
1942-1945 : Gereja Timor pada masa pendudukan Jepang.
·
1945-1947 : Masa persiapan pembentukan GMIT.
·
1947-sekarang: GMIT
sebagai gereja yang berdiri sendiri.
2.
Seperti yang sudah diuraikan di atas, bahwa pada zaman Portugis, penginjil-penginjil RK dari Ordo Dominikan
sudah pernah melakukan penginjilan di beberapa daerah di Timor, tetapi hasilnya
tidak seberapa banyak.
a.
Tahun 1612 pendeta Belanda yang pertama bekerja di Indonesia, yakni Ds. M. van den
Broek adalah bertempat di Kupang. Tetapi ketika pendeta-pendeta Belanda diminta
supaya menuruti segala kemauan penguasa VOC, ada juga dari antara
pendeta-pendeta itu yang tidak merasa senang menuruti kemauan itu begitu saja,
termasuklah Ds. M. van den Broek itu. Karena tidak mau tunduk begitu saja
kepada perintah VOC, dia terpaksa kembali ke negerinya tahun 1615. Sejak itu
daerah Timor hampir tidak mendapat perhatian
lagi. Dan penempatan pendeta di sana
tidak terus lagi dilakukan, hanyalah pada tahun 1670-1688 dan 1753-1758. Di
luar waktu tersebut jemaat-jemaat di Timor ditempatkan di bawah pengawasan
gereja VOC dari Jakarta.
Pulau Rote baru dimasuki Injil tahun 1730 dan pulau Sawu tahun 1750. Akan
tetapi pemeliharaan orang-orang Kristen di daerah itu tidak dilakukan, sehingga
ketika PI diusahakan kembali ke tempat itu tahun 1872 oleh NZG, di sana hampir tidak
dijumpai lagi adanya sisa-sisa penginjilan sebelumnya.
b. Setelah terjadi peralihan dari VOC
kepada pemerintah kolonial Belanda, maka pemerintah Belanda tidak sanggup
memelihara jemaat-jemaat peninggalan VOC itu. karena itu NZG turut membantu
dengan memberikan beberapa orang tenaga kepada pemerintah. Tenaga-tenaga yang
diberikan oleh badan zending itu biasanya lebih aktif dari pendeta-pendeta
Belanda yang ditempatkan oleh pemerintah. Namun tenaga-tenaga yang diberikan
oleh zending itu juga dibiayai oleh pemerintah, tentu dengan gaji yang jauh
lebih rendah dari pendeta yang ditempatkan oleh pemerintah. Pekerja NZG ayang
paling terkenal di daerah Timor ialah Ds. De
Bruyn, yang ditempatkan di Kupang tahun 1820. Dengan berbagai usaha dia mencoba
memperbaiki keadaan gereja yang di sana
yang sudah hampir kehilangan anggoatanya karena sudah berpuluh-puluh tahun
diabaikan.
Namun tahun 1854 NZG menarik diri
dari sana.
Alasannya antara lain ialah:
-
Banyak
utusan/penginjil itu yang meninggal karena sakit.
-
Di
daerah itu sering terjadi bencana alam.
-
Mereka
sulit menjalin hubungan dengan penduduk asli.
-
Sikap
pemerintah Belanda yang kurang mendukung usaha-usaha itu karena terlalu banyak
memakan biaya.
Setelah NZG mengundurkan diri, maka
GPI sempat memperkerjakan beberapa orang penginjil-penginjil tukang. Tetapi
mereka juga tidak berhasil, sehingga mereka juga mengundurkan diri dari sana. Baru pada tahun
1882, GPI memberi perhatian yang lebih banyak kepada usaha penginjilan di sana, dengan menempatkan
beberapa pendeta pembantu di beberapa jemaat seperti di Kupang, Babau, Kapan
dan Pulau Rote. Tahun 1901, jemaat-jemaat bekas asuhan NZG di pulau Sawu dan
Rote diambil alih oleh Gereja Protestan menjadi bagian dari Gereja timor.
Demikian juga jemaat-jemaat yang ada di pulau Alor dan Pantar, diambil tahun
1916. tahun 1902, STOVIL atausekolah pendidikan guru sekolah dan guru Injil
telah didirikan di Pulau Rote, yang kemudian dipindahkan ke Soe dekat Kapan di
Pulau Timor.
Sejak tahun 1930, terjadilah
pengkristenan secara massal di daerah Timor
dan sejak itulah Gereja Timor mengalami kemajuan. Kemajuan itu banyak ditunjang
oleh pemakaian bahasa daerah, dan perkembangan sekolah setelah pemerintah
menyerahkan sekolah-sekolah diurus oleh gereja sesuai dengan “peraturan Timor 1914”. Isi peraturan pemerintah itu ialah:
“pemerintah Belanda menyerahkan segala usaha pendidikan kepada pekabar-pekabar
Injil untuk diutus, sedangkan gaji dan keperluan sekolah-sekolah itu ditanggung
oleh pemerintah”.
c. Pada masa pendudukan Jepang, gereja
Timor sangat menderita sebagaimana juga dialami oleh gereja-gereja lainnya di Indonesia. Pada
waktu itu banyak pekerja gereja yang mati terbunuh, karena mempertahankan
soal-soal kegerejaan. Pekerja-pekerja Injil dari Belanda ditangkap dan dipenjarakan
dam bahkan banyak dibunuh. Guru-guru Injil banyakyang meninggalkan pekerjaannya
dan beralih menjadi guru pemerintah.
d. Sejak
tahun 1845, Gereja Timmor telah mempersiapkan diri menjadi sebuah gereja yang
berdiri sendiri, dan teralisasi tahun 1947. Pusat gereja itu ialah di Kupang.
Dalam pembentukan DGI atahun 1950, gereja ini ikut ambil bagian secara aktif
sebagai satu gereja pendiri. Tahun 1960, dari gereja inilah yang terpilih
menjaid Ketua Umum PGI, yakni Pdt. Dr. J.L.Ch. Abineno. Sekolah ini juga sudah
mempunyai sekolah theologia yang mendidik calon-calon pendeta untuk gereja itu
di Kupang.
B
Gereja Kristen Sumba
(GKS)
1.
Karena pulau ini agak terpencil, maka sampai pertengahan abad 19 yang
lalu, pulau ini tidak mempuanyai hubungan yang berarti dengan daerah-daerah
lain. VOC tidak mengadakan pemerintahan di sana, karena hasilnya kurang memuaskan. Dan
pemerintah Belanda juga merasa enggan masuk ke daerah itu karena banyaknya
perompak-perompak pantai di sana.
Baru pada tahun 1906 pemerintah Belanda mulai berkuasa di pulau itu. Tetapi
sebelum itu residen dari Timor telah mengambil kebijaksanaan untuk memindahkan
sebagian penduduk pulau Sawu ke pulau Sumba,
karena penduduk pulau Sawu sudah terlalu padat. Orang-orang yang dipindahkan
dari pulau Sawu itulah yang pertama membawa Injil ke pulau Sumba,
karena sebagian besar dari antara mereka sudah beragama Kristen. Mereka ini
mula-mula dibimbing oleh seorang guru Injil asal orang Ambon.
Ini terjadi di antara tahun 1870-1875. Kemudian atas dorongan residen Esser,
badan zending NGZV mengutus seorang pekabar Injil dari pulau Sumba
tahun 1881, yang bernama J.J. van Alphen. Kemudian seorang pekabar Injil dari
pulau Sawu di Sumba. Tetapi dalam usaha untuk mengabarkan Injil di
tengah-tengah suku Sumba itu, para penginjil
itu menghadapi banyak kesulitan antara lain:
·
Kuasa
raja-raja yang sangat besar dan sifatnya yang masih sangat kolot sehingga
menentang penduduk untuk masuk menjadi Kristen.
·
Masyarakat
di sana terbagi
atass tiga kasta yakni: kasta raja-raja, kasta orang-orang merdeka dan kasta
hamba-hamba.
·
Penduduknya
sangat jarang dan hidup berjauhan, sehingga mereka sulit ditemui.
·
Perhubungan
dengan pulau-pulau lain juga sulit, sehingga hubungan mereka dengan dunia luar
menjadi kurang.
·
Penduduk
yang masih kolot, dan tidak terbuka kepada kemajuan.
·
Kuasa
kekafiran yang besar.
2. Salah satu usaha yang dilakukan
oleh para penginjil itu untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut ialah
dengan mendirikan sekolah-sekolah rakyat mulai tahun 1910. sekolah-sekolah itu
semakin dapat menunjang kemajuan usaha penginjilan di sana
setelah pemerintah mengeluarkan: “Sumba Accaord” tahun 1913 seperti halnya yang
terjadi pulau Timor. Isi dari peraturan itu
ialah: Pemerintah menyerahkan segala usaha pendidikan di Sumba
ke tangan pekabar-pekabar Injil, dengan menerima subsidi dari pemerintah.
Pembaptisan yang pertama atas orang-orang Sumba
itu baru terjadi tahun 1915. Dan sejak itu jumlah orang-orang Kristen di sana
semakin bertambah, hingga tahun 1940 tercatatlah sebanyak 6500 orang yang
terkandung dalam 11 jemaat. Tetapi tahun 1939 telah terjadi perpecahan dalam
gereja di Sumba. Sebabnya ialah karena seorang
pekabar Injil pribumi dipecat dari jabatannya, oleh karena dia melakukan suatu
kesalahan yang menyangkut jabatannya. Tetapi yang dipecat itu tidak menerima
tindakan yang diberikan atas dirinya sehingga dia memisahkan diri dan memabawa
sebagian anggota jemaat pengikutnya. Mereka menggabungkan diri kepada salah
satu gereaja Gereformed yang baru berdiri di negeri Belanda. Sejak tahun 1947,
Gereja Kristen Sumba telah menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri yang
berpusat di Waingapu, Sumba. Pada waktu itu
jumlah anggotanya masih sekitar 5000 orang. Tetapi sekarang ini jumlah anggota
gereja tersebut diperkirakan telah ada sekitar 14000 orang.
GEREJA KRISTEN PROTESTAN BALI (GKPB)
1.
Perintis PI di Pulau Bali. Bali termasuk daerah paling
lama tertutup untuk usaha PI. Pulau itu sejak abad 15 merupakan benteng
pertahanan agama Hindu yang diusir dari Jawa, setelah kerajaan Islam menguasai
Jawa. Walaupun VOC sejak semula telah berkuasa di Bali,
namun usaha PI sama sekali tidak dilakukan di pulau itu. pada tahun 1630,
seorang pendeta VOC yang bernama Heurnius, sudah mengajak VOC supaya
memberitakan Injil di pulau Bali, namun ajakan itu tidak diacuhkan sama sekali
oleh VOC. Yang lebih dipentingkan oleh VOC ialah embeli budak-budak dari pulau
itu. Tahun 1866, masuklah UZV ke Bali, dengan mengutus dua orang pekabar Inil
ke sana. Tetapi
baru setelah tujuh tahun pekerjaaan itu dilakukan di sana,
ada seorang orang Bali yang dibaptis menjadi
Kristen yakni Gusti Wayan Karangasem, tahun 1873. Namun masuknya Karangasem
menjadi Kristen bukanlah merupakanawal dari perkembangan kekristenan di sana. Masyarakat Bali itu
sendiri sangat benci dengan masuknya Wayan Karangasem itu menjadi Kristen. Dia
dibuang dari keluarganya,dikucilkan dari masyarakat, dihina bahkan dianggap
sebagai orang asing, sehingga dia hidup terpencil. Sikap keluarga dan
masyarakat Bali yang sangat keras kepadanya,
membuat dia tidak bisa bertahan dalam kekristenan itu. Dan anehnya, dia menjadi
marah kepada pekabar Injil yang telah membaptiskannya, sehingga dia berusaha
membunuh pekabar-pekabar Injil itu. Hal itu berhasil dilakukan melalui
pelayan-pelayan pekabar Injil itu sendiri yang adalah orang-orang Bali juga. Jadilah kedua pekabar Injil itu mati terbunuh
atahun 1881. tetapi akibat dari perbuatannya itu Wayan Karangasem menjalani
hukuman mati, dan pulau Bali ditutup oleh
pemerintah Belanda untuk segala usaha pekabaran Injil.
2. Berdirinya gereja di Bali. Pada tahun 1929, seorang kolportir
(penjual buka) yang diutus oleh CAMA (kemah Injil) dari Makassar, bernama Tsang
Kam Fock (Tsang To Hang) mendapat izin memasuki pulau Bali untuk menjual
buku-buku kepada orang-orang Tionghoa yang ada di pulau itu. tetapi pada waktu
penjualan buku-buku itu, sambil lalu dia juga mengadakan penginjilan atau
evangelisasi. Oleh karena penginjilan yang dilakukan banyak orang Bali yang minta untuk dibaptis. Tanggal 11 Nopember 1931
ada sebanyak 12 orang Bali yang dibaptis. Dan
pada tahun 1931, ketua CAMA dari Makassar, yaitu Dr. Jaffray dimintakan datang
ke pulau Bali untuk membaptiskan sebanyak 113 orang Bali. Dengan demikian
berdirilah jemaat Kristen Bali yang pertama. Tetapi pemerintah koloniaal
Belanda tidak menghendaki kejadian itu dan perbuatan itu dianggap sebagai
pelanggaran atas peraturan yang sudah ditetapkan. Karena itu tahun 1933 izin
untuk menjual buku bagi sang kolportir tersbut dicabut kembali oleh pemerintah
Belanda, dan kolportir itu diusir dari sana.
Sebenarnya yang ditakutkan oleh pemerintah Belanda atas usaha penginjilan di sana ialah hilangnya kebudayaan Bali yang sangat unik itu
apabila kekristenan masuk ke sana.
Setelah kolportir dari CAMA itu diusir oleh pemerintah Belanda, maka
orang-orang Kristen yang baru dibaptis itu sempat menjadi terlantar. Hal itu
terdengar bagi Dr. Hendrik Kramer, seorang yang bekerja sebagai penasehat
penginjilan Belanda. Dia menganjurkan agar “Gereaja Kristen Jawi Wetan” (GKJW)
atau Gereaja Kristen Jawa Timur berusaha untuk menampung orang-orang Kristen
Bali yang pertama itu. GKJW mengikuti ajaran itu, sehngga tahun 1933, gereja
itu mengutus dua orang pendeta Jawa ke Bali,
yakni Mas Tartib Eprajim dan Mas Darmaadi. Mereka tidak memerlukan izin memasuki
Bali, karena mereka adalah orang-orang
pribumi. Mereka sangat giat berkeja di sana, dan
dengan bantuan H. Kraemer, mereka juga memperjuangkan agar pemerintah Belanda
memberi kebebasan bagi orang-orang Bali untuk
memilih agamanya. Kraemer juga berusaha agar di Bali
terwujud sebuah gereja yang berdiri sendiri. Namun dalam melakukan usaha
penginjilan di Bali, banyak kesulitan yang
dihadapi oleh pendeta-pendeta tersebut, antara lain:
·
Kesulitan
dari pihak pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda merasa khawatir, bahwa
apabila kekristenan memasuki Bali, tatanan kehidupan masyarakat Bali itu sendiri akan terganggu. Pemerintah Belanda
melihat bahwa tatanan masyarakat Bali itu
banyak bersangkut paut dengan agama setempat yakni agama Hindu dan Budha.
·
Orang-orang
Eropa pada umumnya sangat tertarik kepada kebudayaan Bali
itu. Mereka khawatir bahwa kebudayaan Bali
yang unik itu bisa hancur oleh kekristenan itu sendiri. Kebudayaan di sana, seperti seni tari,
pahat dan lain-lain, menjadi tidak berartai apa-apa lagi jika tidak berakar
dengan agama masyarakat setempat.
·
Kesulitan
dari pihak masyarakat Bali itu sendiri.
Masyarakat Bali merupakan satu kesatuan yang tidak mengizinkannya kemerdekaan
pribadi anggota-anggotanya. Raja-raja berkuasa dan berusaha untuk menjaga agar
kesatuan itu jangan terganggu oleh adanya orang-orang yang memilih jalannya
sendiri. Keagamaan mereka tidak terepas dari kehidupan mereka sehari-hari,
seperti kebiasaan gotong-royong untuk memperbaiki jalan, saluran air, dll.
3. Gereja
Kristen Protestan Bali menjadi gereja yang berdiri sendiri. Pada zaman
Jepang, gereja Bali yang masih muda itu sangat
menderita, tanpa adanya pertolongan dari lauar dan belum ada pendeta mereka
yang dapat melayani sakramen. Tetapi situasi itu telah memberanikan adanya
seorang dari antara waraga gereja itu yang bernama Made Rungu, pergi ke
Mojowarno (pusat GKJW), pada tahun 1943. Lalu di sana
dia menerima pendidikan istimewa untuk menjadi pendeta dan ditahbiskan menjadi
pendeta pertama orang Bali. Kemudian dia
kembali dan memimpin gereja itu sebagai gereja yang berdiri sendiri. Setelah
kemerdekaan Indonesia,
gereja Bali itu bisa merasa beruntung, karena sejak itu di seluruh Indonesia
sudah ada kebebasan beragama. Tetapi dari tahun 1950-1954, masyarakat di sana sempat tidak mengizinkan tenaga pekabar Injil dari
luar bekerja di sana.
Baru pada tahun 1954, seorang pekabar Injil diminta untuk membuka lagi
pendidikan pengiNjilan. Namun kekristenan itu tidak banyak meluas di
tengah-tengah masyarakat Bali. Tahun 1975,
jumlah anggota Gereja ini hanya 4700 orang. Belakangan selain GKPB, di Bali telah banyak berdiri gereja lain, seperti: GPIB,
HKBP dan anggota gereaja Katolik sendiri telah ada kira-kira 8000 orang. Gereja
GKPB berpusat di Balun, Denpasar-Bali.
GEREJA-GEREJA DI KALIMANTAN
1. Gereja Kalimantan
Evangelis (GKE). Periodisasi sejarah GKE: Dr. Fridolin Ukur dalam bukunya: Tantang
Jawab Suku Dayak, membuat periodisasi sejarah GKE, sbb:
·
1835-1920:
Masa pembukaan dan penggarapan yang pertama oleh Rheinische
Missionsgesselschaft (RMG).
·
1920-1935: UPI di Kalimantan dialihkan oleh RMG ke tangan
Basler Mission (BM).
·
1935-sekarang: Gereja Kalimantan menjadi gereja yang
berdiri sendiri.
·
Sebelum
abad 17, missi RK memang sudah pernah mencoba memasuki daerah Kalimantan
bagian Selatan, yaitu melalui orang-orang Portugis yang berusaha memperoleh
pangkalan-pangkalan perdagangan. Pada waktu itu, ada beberapa orang Dayak yang
sempat dibaptiskan, tetapi akhirnya mereka menjadi murtad, dan missioner RK
yang bernama Ventimiglia itu mati terbunuh tahun 1691. Jadi usaha itu gagal
sama sekali. Usaha PI Protestan di Kalimantan mulai tahun 1835, yang dilakukan
oleh pekabar-pekabar Injil RMG di Jerman. Masuknya PI RMG di Kalimantan adalah
berdasarkan lapaoran dari seorang pendeta Inggris yang bernama Medhurst, yang
bekerja di kalangan orang-orang Tionghoa di Batavia. Tahun 1829 dia pernah
mengunjungi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, dan memberi laporan
mengenai hasil kunjungannya itu kepada masyarakat Kristen Eropa. Tetapi
laporannya itu terlalu optimis, karena dalam laporan itu dia menggambarkan
daerah Kalimantan sebagai daerah yang sangat
subur untuk usaha penginjilan. Laporannya itu dipublikasikan di Eropa, sehingga
dengan membaca laporan itu pimpinan zending RMG tertarik untuk mengutus
penginjil-penginjilnya ke Kalimantan, walaupun pada waktu itu RMG telah
mempunyai lapangan penginjilan di Namibia, Afrika Selatan.
Pada tahun 1834, RMG mengutus dua
orang penginjilnya ke Kalimantan, tetapi di Jakarta mereka sempat ditahan oleh
pemerintah Belanda, tidak diberi izin untuk memasuki daerah Kalimantan, karena
dikhawatirkan kedatangan mereka di sana akan mengganggu keamanan dan ketertiban
di daerah itu. Tetapi setelah kedua penginjil itu berjanji tidak akan memberi
ajaran-ajaran yang memungkinkan timbulnya pemberontakan dari masyarakat
setempat kepada pemerintah Belanda, barulah mereka diizinkan memasuki Kalimantan. Mereka tiba di daerah itu tahun 1835. Salah
seorang di antara mereka bernama Barnstein. Di Kalimantan, mereka menetapkan Banjarmasin sebagai pangkalan
untuk usaha PI. Lalu tahun 1836, RMG menambah penginjil itu sebanyak empat
orang lagi ke Kalimantan. Dan dari tahun
1849-1850, selain utusan RMG, ada juga utusan penginjil dari Amerika ke Pontianak dan sekitarnya.
Sehingga sampai tahun 1857, telah ada sebanyak 20 orang penginjil yang bekerja
di Kalimantan, yang diutus oleh suatu badan
zending yang lain dari Amerika.
a. Setelah penginjil-penginjil itu mulai bekerja
di Kalimantan, ternyata apa yang dilaporkan
oleh Medhurst ternyata terlalu optimis. Ternyata usaha penginjilan itu sangat
sulit berkembang di sana,
yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
·
Orang-orang
Islam telah menguasai perdagangan di kota-kota dan daerah-daerah pantai. Dan
kehidupan orang-orang Dayak itu sering sangat tergantung kepda
pedagang-pedagang Islam itu.
·
Orang-orang
Dayak tersebut tidak merupakan petani yang menetap. Mereka sering
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga mereka sulit
didekati oleh penginjil-penginjil itu.
·
Orang-orang
Dayak itu terdiri dari berbagai suku yang tidak mempunyai hubungan satu sama
lain.
·
Bahasa
suku-suku itu berlainan, sehingga mereka tidak bisa mengerti satu sama lain.
Banyaknya bahasa di sana
menyulitkan para penginjil itu untuk mempelajarinya.
·
Keadaan
sosial sangat buruk; di tengah-tengah masyarakat itu sering terjadi pengayuan
(pemenggalan kepala) dan perbudakan yang sangat hebat.
·
Sulitnya
hubungan lalu lintas. Pada umumnya perjalanan di daerah pedalaman adalah
melalui sungai-sungai.
·
Usaha-usaha
yang dilakukan oleh penginjil-penginjil itu di Kalimantan
ialah:
o Memperbaiki keadaan sosial
di sana, dengan
menebus budak-budak yang ada. Dengan budak-budak yang ditebus itu, para
penginjil itu ingin mendirikan suatu golongan masyarakat Kristen. Sampai tahun
1859, ada sebanyak 1100 orang budak yang sempat ditebus oleh
penginjil-penginjil itu, tetapi tidak semuanya bersedia menjadi Kristen, hanya
sebanyak 261 orang yang bersedia.
o Mendirikan sekolah-sekolah
zending untuk mendidik anak-anak masyarakat Dayak itu sendiri. Untuk memajukan
usaha sekolah ini, zending meminta pengesahan dari pemerintahan untuk
mengadakan peraturan “wajib sekolah” bagi anak-anak pedalaman masyarakat Dayak
itu. Peraturan itu diperbuat oleh pemerintah Belanda, dan inilah merupakan
peraturan wajib sekolah yang pertama pada waktu itu di Nusantara. Zending juga
menerima subsidi dari pemerintah untuk menyelenggarakan sekolah-sekolah
tersebut.
o Mendirikan rumah-rumah
sakit dan balai-balai pengobatan sebagai sarana pelayanan kesehatan bagi
masyarakat.
o Mengadakan sekolah-sekolah
kursus keterampilan untuk anak-anak perempuan.
o Mendirikan sekolah-sekolah
tukang dan sekolah-sekolah penginjil.
o Menerbitkan buku-buku
pelajaran Kristen dalam bahasa Dayak Ngaju.
o Pada tahun 1859 terjadilah
suatu perang yang dipimpin oleh Sultan Hidayat untuk menetang kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda di Kalimantan. Perang itu telah menimbulkan banyak
korban. Dari pihak orang kulit putih yang paling banyak mengalami korban karena
perang itu, bukanlah orang-orang Belanda, melainkan pekabar-pekabar Injil
Jerman yang bertugas di pedalaman. Masyarakat Dayak itu tidak bisa membedakan
mana orang Belanda yang menjadi penjajah, mana orang-orang Jerman yang membawa
Injil bagi mereka. Semuanya adalah sama bagi mereka sebagai orang-orang asing.
Orang-orang Belanda hampir tidak ada yang menjadi korban karena mereka pada
umumnya berada di kota-kota dengan perlengkapan senjata dan pengawalan yang
kuat. Dalam peperangan ini empat orang penginjil RMG bersama tiga orang istri
dan dua orang anak mereka mati terbunuh. Salah seorang penginjil yang bernama
Hofmeister, sebelum dibunuh masih sempat berdoa sebagai berikut: “Tuhan yang
kekasih, Engkaulah Juru Selamat Saya. Kasihanilah suku yang malang ini. Janganlah ambil anugerahMu dari
mereka dan berikanlah kiranya FirmanMu yang mulia itu kepada mereka”. Sebagian
dari penginjil-penginjil RMG itu memang bisa selamat dengan melarikan diri dari
tempat itu. salah seorang penginjilnya yang pertama ke Tanah Batak.
c. Setelah perang Hidayat yang
telah menewaskan sejumlah pekabar Injil itu, maka untuk beberapa waktu lamanya
daerah pedalaman Kalimantan ditutup oleh
pemerintah Belanda untuk usaha PI. Baru pada tahun 1899, pemerintah Belanda
kembali mengizinkaan masuknya usaha PI dengan membuka pangkalan-pangkalan
penginjilan di pedalaman. Pada waktu itu keadaan masyarakat Dayak sudah
mengalami banyak perubahan. Orang-orang Dayak itu menyadari berkat dan
keuntungan yang dibawa oleh para missionar itu bagi masyarakat mereka. Karena
itu mereka semakin terbuka untuk menyuruh anak-anak mereka untuk memperoleh
pendidikan di sekolah-sekolah yang diasuh oleh zending itu demi kemajuan
mereka. Sejak tahun 1881, mulailah berdiri beberapa jemaat di daerah-daerah
sungai Kapuas dan Kahayan Ilir. Dan sejak itu
jumlah orang-orang Kristen di beberapa pusat penginjilan juga semakin
bertambah. Namun jumlah orang-orang Kristen itu belum sebanding dengan tenaga
dan usaha yang dikerahkan oleh zending RMG, khususnya dalam kurun waktu
1866-1904. Tahun 1885 jumlah orang-orang Kristen masih sebanyak 1000 orang, tahun
1901 sebanyak 2000 orang. Perkembangan yang lebih pesat baru mulai tahun 1911,
dengan jumlah orang Kristen pada waktu itu sebanyak 3000 orang dan tahun 1920
sebanyak 5000 orang.
d. Periode kedua. Sejak tahun
1920, RMG menyerahkan pekerjaan zending itu kepada Basler Mission atau Zending
Basel dari Swiss. Adapun alasan RMG menyerahkan pekerjaan itu kepada Basler
Mission ialah karena kesulitan keuangan yang dialami oleh RMG. Sejak kekalahan
Jerman dalam PD II, terjadilah kesulitan ekonomi di negeri itu yang pengaruhnya
juga sampai kepada keuangan RMG. Pada waktu itu daerah Tapanuli yang diasuh
oleh RMG sejak tahun 1861 mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam usaha
penginjilan yang digiatkan. Jadi agar RMG bisa lebih mengkonsentrasikan potensi
untuk makin menggiatkan penginjilan di Tanah Batak, maka RMG melepaskan usaha
penginjilan di Kalimantan dan menyerahkannya
ke Basler Mission (BM). BM menerima pekerjaan itu dengan senang hati, dengan
tidak melakukan perubahan yang luar biasa terhadap apa yang sudah dimulai oleh
RMG, walaupun latar belakang BM agak berbeda dari latar belakang RMG.
Penginjil-penginjil RMG lebih banyak berlatar belakang Lutheran sedang
penginjil-penginjil BM pada umumnya berlatar belakang Calvinis atau Reformed.
Dalam pengajaran kekristenan yang diberikan, BM masih tetap mempergunakan
Katekhismus Lutheran. Pada tahun 1932 untuk pertama sekali Sekolah Pendeta
dibuka di Banjarmasin, dan hasilnya tahun 1935, untuk pertama kali lima orang
pendeta Dayak yang pertama ditahbiskan. Sejak tahun 1953, sekolah pendeta ini
ditingkatkan menjadi Sekolah Theologia Menengah agar gereja itu bisa memperoleh
tenaga-tenaga pendeta yang mempunyai tingkat pendidikan theologia yang lebih
tinggi. Belakangan sekolah ini juga sudah ditingkatkan menjadi sebuah Sekolah
Tinggi Theologia yang menghasilkan pendeta-pendeta yang berprdeikat Sarjana
Theologia.
e. Periode ketiga. Mulai 4
April 1935 gereja ini mulai dinyatakan sebagai sebuah gereja yang berdiri
sendiri, dengan namanya pada waku itu: “Gereja Dayak Evangelis”. Tahun 1939,
jumlah anggota gereja itu tercatat sebanyak + 15000 orang, 16 orang
pendeta, 33 orang pambrita/pemberita, 158 orang guru, 26 orang pembantu
perawat, seorang kolportir dan seorang dokter. Di samping itu masih ada
sebanyak 40 orang lagi pekerja zending dari luar. Sejak tahun 1950 nama gereja
ini diubah menjadi: “Gereaja Kalimantan Evangelis” (GKE), dengan maksud supaya
wawasannya jangan hanya meliputi suku Dayak saja tetapi meliputi seluruh
masyarakat Kalimantan. Sampai sekarang
hubungan GKE dengan Basler masih tetap berjalan dengan baik. Misalnya dalam
soal pembangunan dan tenaga-tenaga pendidikan teheologi, GKE masih menerima
bantuan dari BM. Salah seorang tenaga pendidikan theologi yang pernah diberikan
oleh BM kepada gereja itu ialah Dr. Christof Barth, yang setelah dari
Banjarmasin juga pernah mengajar di STT Jakarta.
2. Gereja
Methodist di Kalimantan. Gereja Methodist
bekerja di daerah Kalimantan, khususnya di bagian Barat (Utara Pontianak), dan
di Kalimantan bagian Utara (Serawak, Brunei dan Sabah).
Usaha pekabaran Injil Methodist di Kalimantan (Pontianak Utara) dimulai tahun
1906, yaitu oleh sebuah badan yang bernama: “Board of Foreign Missions of the
Methodist Episcopal Chruch”, yang terutama bekerja di kalangan masyarakat
Tionghoa yang ada di sana.
Pada mulanya usaha ini juga mengalami rintangan dari pemerintahan Belanda.
Barulah setelah adanya orang-orang Tionghoa yang tamat dari Pendidikan
Methodist dari Singapura, barulah usaha PI Methodist ini bisa berhasil.
a. Beberapa badan zending yang lain yang pernah
bekerja di Kalimantan:
·
American
Board of Commisioners for Foreign Missions
·
Go
Ye Fellowship
·
World
Wide Evangelization Crusade
·
The
Borneo Faith Mission
·
CAMA
(Christian and Missionary Alliance) atau Kemah
Injil yang mula-mula berpusat di Makassar.
Badan ini banyak menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah. Badan ini mulai
bekerja di Kalimantan Timur tahun 1929 dan Kalimantan
Barat tahun 1933.
·
Gereja
Protestan Indonesia
bagian Barat (GPIB)
·
Zending
HKBP yang pernah bekerja di sekitar Pontianak, pada permulaan kemerdekaan
sampai tahun 1950-an, bekerjasama denganGKE.
GEREJA-GEREJA DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH
1. Pandangan
umum mengenai penginjilan di Jawa. Walaupun di zaman VOC sejak permulaan
abad 17 telah berdiri beberapa jemaat di pulau Jawa, seperti di Jakarta (1619),
di Semarang (1753), di Surabaya (1785), namun usaha penginjilan kepada
orang-orang Jawa dan penduduk pribumi lainnya tidak dilakukan sama sekali.
Jemaat tersebut hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dengan memakai
bahasa Belanda. Kalaupun ada beberapa “anak jemaat” di beberapa daerah seperti
di Depok dan Tugu yang berbahasa Melayu, jemaat itu hanya diperuntukkan bagi
orang-orang Indonesia
yang sudah Kristen dari daerah lain atau yang menjadi pegawai Belanda. Jadi
pada umumnya selama masa VOC di Indonesia + 20 tahun lamanya, usaha PI
diabaikan dengan pertimbangan ekonomis dan politis. VOC menganggap bahwa
penginjilan itu hanya merugikan usaha dagangnya semata-mata dan mengganggu
keamanan dan ketertiban daerah-daerah kekuasaannya. Barulah pada masa
pemerintahan sementara Inggris (1811-1815) usaha PI yang pertama dilakukan di
Jawa atas inisiatif dari Gubernur Jenderal Stamford Raffles, dengan
mengusahakan masuknya sejumlah pekabar Injil dari Inggris ke pulau Jawa. Hanya
hasilnya belum nyata, karena sejak tahun 1816, pemerintah kembali berkuasa di Indonesia.
Beberapa kesulitan atau persoalan yang dihadapi usaha PI di Jawa secara umum:
·
Kesulitan dari pemerintah Belanda. Sikap pemerintah
Belanda terhadap UPI di Jawa pada
mulanya sama dengan sikap VOC yakni kurang memperhatikan UPI itu malah
merintangi UPI dengan alasan ekonomis dan politiws. Pemerintah Belanda
mengkhawatirkan terjadi pemberontakan
dari pihak orang-orang Jawa jika PI dijalankan di daerah itu yang bisa mengganggu
keamanan pemerintahannya di daerah itu. Perang Diponegoro (1825-1930) yang
telah banyak menghabiskan dana dan tenaga dari pihak Belanda jangan terulang
lagi. Tanam paksa yang dicanangkan Belanda akan memberikan keuntungan yang
besar menggantikan kerugian yang pada masa perang Diponegoro itu jangan sampai
terganggu lagi oleh perang. Sikap anti perang dari pemerintah Belanda, nyata
dari tindakan Gubernur Jenderal Baud (1833), yang menyita seluruh
terjemahan kitab PB dan sejumlah buku-buku Kristen berbahasa Jawa yang ditulis
oleh Brueckner (seorang misionaris yang diutus pada masa pemerintahan Inggris)
dan membakarnya karena dianggap berbahaya. Kemudian Gubernur Jenderal Van
Rochussen yang menggantikannya pernah berkata: “pemberitaan Injil yang bebas mau
tidak mau harus mengakibatkan suatu perubahan yang besar dalam sistem
pemerintahan. Seorang pejabat tinggi pemerintahan Belanda yang pernah menjadi
ketua dari lembaga kerjasama PI di Jakarta
pernah mengatakan bahwa sebagai pejabat pemerintah Belanda dia tidak menyetujui
PI dilakukan kepada orang-orang Jawa”. Dengan demikian sampai tahun 1850,
hampir tidak ada UPI yang dilakukan oleh
Badan-Badan Zending di Pulau Jawa. Namun mulai tahun 1850, badan zending
diizinkan juga masuk dengan datangnya NZG yang memulai pekerjaannya di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. NZG-lah yang berusaha memulai PI secara resmi di Pulau
Jawa.
·
Tantangan
dari pencari “Ngelmu”. Selain sikap pemerintah Belanda, kesulitan yang lain
yang di hadapi UPI di Jawa ialah dari para pencari Ngelmu. Ngelmu adalah
semacam ilmu kebatinan dalam masyarakat Jawa. Pencari ngelmu adalah orang yang
ingin memperoleh pengetahuan tentang hidup yang sejati dan kekuatan batin untuk
mendapat selamat dan kesejahteraan melalui guru-guru ngelmu dan atau kiai-kiai.
Hal ini menjadi suatu tantangan bagi penginjilan, karena bagi pencari ngelmu
itu Ratu Adil-lah yang dianggap sebagai pelepas manusia.
·
Persoalan
bentuk kekristenan. Persoalan yang lain ialah mengenai bentuk kekristenan yang
diterapkan, apakah kekristrenan itu dibentuk secara Barat atau Jawa. Dalam hal
ini, para misionaris itu tidak sependapat karena ada yang mengatakan harus
dibentuk secara Barat karena ke-Jawa-an dianggap sebagai kekafiran, tetapi ada
yang berpendapat kekristenan harus dibentuk secara Jawa.
·
Tantangan
dari raja-raja setempat/Penghulu-penghulu. Raja-raja atau penghulu-penghulu
desa banyak yang menghambat kekristenan itu, karena mereka merasa dirugikan
oleh kehadiran kekristenan itu. Dengan datangnya kekristenan, fungsi mereka
untuk meresmikan pernikahan menjadi berkurang, karena dalam kekristenan
pemberkatan perkawinan dilakukan oleh para pendeta.
2. Gereja Kristen di Jawa Timur (Permulaan
PI di Jawa Timur oleh Penginjil perorangan:1815-1850) Usaha penyebaran Injil yang
pertama di Jawa Timur, bukan dilakukan oleh gereja atau badan zending melainkan
dilakukan oleh usaha perorangan. Inilah keistimewaan gereja di Jawa Timur dari gereja-gereja lain
di Indonesia dan pada umumnya adalah berasal dari hasil PI badan zending
atau gereja. Jemaat-jemaat yang berdiri
dari hasil penginjilan perorangan ini pada mulanya adalah di desa-desa atau
daerah pegunungan bukan di kota-kota. Dari antara misionaris perorangan ini
adalah Coolen, Emde, dan Paulus Tosari.
·
Coolen
(1775-1873). Mula-mula
ia bertempat tinggal di Ngoro dekat Surabaya.
Dia adalah seorang peranakan Belanda Jawa. Ayahnya adalah seorang Belanda, yang
dulu berimigrasi ke Rusia tetapi akhirnya menjadi tentara VOC. Ibunya adalah
seorang Jawa asli keturunan Raja Mataram. Dari ibunya, ia mewarisi tradisi
kebudayaan Jawa sehingga ia paham betul mengenai wayang musik dan tari-tarian
Jawa. Pada tahun 1827, ia memperoleh kawasan hutan yang luas di Ngoro. Di mana
ia menjadi seorang tuan tanah. Kepada orang-orang Jawa di sana, ia menyebarkan injil itu dengan
mempergunakan wayang sebagai alatnya, tetapi anehnya bagi orang-orang yang
sudah menyatakan diri sebagai pengikut Yesus ia tidak melakukan baptisan dan
juga tidak melalkukan pelayanan Perjamuan Kudus. Tetapi mengenai sikapnya ini,
dapat dipahami ada yang mengatakan disebabkan oleh pernikahannya sendiri tidak
diteguhkan di dalam gereja. Sebuah catatan terhadap usaha PI Coolen dapat
dibuat: dari segi reformasi pendirian Coolen mengenai Baptiosan tidak dapat
diterima karena sakramen adalah merupakan pekerjaan sangat penting di dalam
gereja. Menurut Luther, tanda gereja
yang benar adalah di mana firman Tuhan
diberitakan dan sakramen dilayani. Calvin menambahkan kepada ucapan
Luther dengan mengatakan bahwa konfessi (pengakuan yang benar) dan peraturan
yang benar juga merupakan persyaratan bagi gereja yang benar.
·
Emde
(1774-1859). Dia
adalah seorang Jerman yang beraliran pietis yang datang merantau ke Indonesia
di mana ia ingin melihat dengan mata dankepala sendiri apakah benar perkataan
dari Kej. 8:22 tentang musim dingin dan musim panas tidak sesuai dengan keadaan
iklim di daerah khatulistiwa. Pada mulanya ia bekerja sebagai tukang arloji di Surabaya tetapi kemudian
menjadi tentara Belanda. Sejak tahun 1815, ia telah mendirikan sebuah
perkumpulan PI di rumahnya di mana ia mengadakan pertemuan-pertemuan agama
Kristen. Alat-alat untu PI itu diperolehnya dari Brueckner, yakni seorang PI
yang diutus oleh lembaga PI Baptis dari Inggris selama masa pemerintahan
Inggris sementara yang sempat terjadi di Indonesia. Atas desakan Emde,
Brueckner sempat menterjemahkan kitab PB ke dalam bahasa Jawa dan menulis
beberapa surat
selebaran yang berbahasa Jawa tetapi semuanya itu kemudian di sita oleh
pemerintah Belanda seperti sudah di singgung di atas. Mula-mula pekerjaan Emde ini
tidak banyak membawa hasil. Pendeta GPI di Surabaya yang memandang dia sebagai
saingan mengadukan perbuatannya itu kepada pemerintah. Akibatnya Emde ditangkap
dan sempat dipenjarakan selama beberapa minggu (1820). Tetapi kemudian sikap
GPI menjadi lebih positif. Setelah Emde pensiun dari pekerjaannya sebagai
tentara, ia memperoleh sebidang tanah di Wiung dan menjadikan sebuah
perkampungan di sana.
Di tempat ini ada sekelompok orang yang
taat beragama yang merasa tertarik kepada kekristenan. Emde melayani mereka dan
mengajarkan kekristenan yang bercorak Barat kepada mereka. Sikapnya terhadap
klebudayaan Jawa sangat negatif dan dianggap sebagai kekafiran. Di Wiung,
berbeda dengan perbuatan Coolen orang Kristen itu dibaptiskan dan dilayani
Sakramen. Karena orang-orang Kristen Wiung dibentuk dalam corak kebudayaan
Eropa maka dia sangat dicela oleh masyarakat Jawa yang beragama Islam dan
orang-orang Kristen itu dijuluki sebagai “orang-orang Belanda tanpa topi atau
Belanda tanpa kursi atau orang Kristen Londo”, artinya orang yang
kebelanda-belandaan. Anak perempuan Emde kemudian juga menjadi seorang
penginjil wanita.
·
Paulus
Tosari.
Nama aslinya adalah Kasan, berasal dari Madura. Pada mulanya dia adalah seorang
pencari ngelmu, tetapi kemudian bergabung dengan kelompok Coolen di
Ngoro. Tetapi karena dia bersama sebagian kelompok Coolen itu menuntut
baptisan, maka mereka diusirnya dari Ngoro, sehingga mereka mendirikan sebuah
desa baru bernama Mojjowarno (1844). Di sini Paulus Tosari menjadi guru jemaat
kecil ayang baru terbentuk, yang anggotanya hanya terdiri dari orang-orang Jawa
saja. Di kemudian hari Paulus Tosari menjadi pendeta yang pertama dari putra
Jawa asli.
2. 1850-1931, Perkembangan Gereja Jatim
dengan Bimbingan NZG. Pada
tahun 1850, masuklah badan zending NZG ke Jatim, setelah memperoleh izin dari
pemerintah Belanda. Utusannya yang pertama ialah Jelessma (1817-1858).
Mula-mula dia menetap di Surabaya,
tetapi kemudian pindah ke Mojowarno (1851), bergabung dengan jemaat Kristen
Jawa yang dipimpin oleh Paulus Tosari. Di sini dia tidak mengambil pimpinan
jemaat itu. Pimpinan tetap dibiarkan berada di tangan Paulus Tosari. Dia yakin
bahwa usaha PI itu akan lebih maju kalau diselenggarakan oleh putra daerah
sendiri dengan cara yang sesuai dengan lingkungan setempat. Dalam hal ini
sikapnya berada antara sikap Emde dan Coolen. Kalau Coolen terlalu bersikap
positif terhadap budaya Jawa dan Emde terlalu bersikap negatif, maka Jelessma
bersikap selektif, yakni memilih dari unsur budaya itu yang tidak berlawanan dengan
kekristenan. Dia mempunayai kerjasama yang baik dengan Paulus Tosari.
Usaha-usaha Jelessma dan zending NZG yang terutama di Jawa Timur ialah:
·
Mengusahakan
penterjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jawa
·
Menentang
pendirian Coolen yang menolak baptisan dan perjamuan kudus
·
Menentang
sikap Emde tentang kekristenan Londo (yang kebelanda-belandaan). Kebudayaan
daerah tidak usah dihapuskan sama sekali.
·
Mempergunakan
tenaga-tenaga pribumi untuk UPI itu.
·
Mendirikan
sekolah penginjil yang pertama di pulau Jawa, yakni di Mojowarno.
·
Menganjurkan
supaya orang Kristen membuka tanah di Mojowarno dan di daerah Malang. Pembukaan tanah itu dimaksudkan
sebagai sarana penunjang terhadap usaha PI. Pada mulanya Mojowarnolah yang
dijadikan sebagai pusat kekristenan dan gereja di Jatim, tetapi kemudian
dipindahkan ke Malang.
·
Mendirikan
sebuah rumah sakit diMojowarno (1892) yang dipimpin oleh dokter Bervoets.
Pelayanan rumah sakit ini sangat baik, sehingga sampai sekarang rumah sakit ini
sangat terkenal. R.A. Kartini sangat tertarik kepada usaha ini, dan dia sempat
bermaksud hendak mengikuti pendidikan bidan di sana.
·
Di
kemudian hari (1925, NZG mendirikan sekolah pendeta di Malang, ayang tahun 1928 diberi nama: Bale
Wyoto, yang dipimpin oleh Dr. Shurman dan Nortier.
3.
1931-sekarang: Gereja Kristen Jawa Timur Berdiri Sendiri. Pada tanggal 11 Desember
1931, gereja Kristen di Jawa Timur berdiri sendiri dengan nama: Gereja Kristen
Jawi Weatan (GKJW). Inilah merupakan gereaja yang kedua berdiri sendiri di Indonesia
setelah HKBP (1930). Setelah gereja in berdiri sendiri, UPI di Jawa Timur
semakin berkembang, yang langsung ditangani oleh orang-orang Kristen Jawa itu
sendiri, antara lain ke Jember, khususnya kepada orang-orang Madura yang
merantau. Sebelumnya usaha PI kepada orang-orang Madura ini dilakukan oleh
“Komite Jawa”, yakni sebuah lembaga PI yang didirikan di Amsterdam 1876, khusus untuk memajukan
penginjilan kepada orang Jawa. Tetapi usaha Komite Jawa ini kemudian
dipersatukan kepada usaha NZG, sehingga orang-orang Kristen Madura pun
dijadikan masuk kepada Gereja Jawa Timur. Selain ke Madura, Gereja Jawa Timur
juga berperan mengabarkan Injil ke pulau Bali
atas desakan dari Dr. H. Kraemer. Ketika tahun 1931 jumlah anggota GKJW masih
berjumalah 23000 orang. Jumlah ini kemudian segera bertambah, sehingga tahun
1940 berjumlah 34000 orang, dan tahun 1972 menjadi 124000 orang. Sekarang ini
diperkirakan berjumlah lebih dari 200000 orang. Salah satu faktor yang ikut
mendorong pertambahan itu ialah kehadiran gereja melayani di tengah-tengah masyarakat
yang bergolak, sehingga semakin banyak orang Jawa yang tertarik menjadi
Kristen.
GEREJA KRISTEN DI JAWA TENGAH
1. Pendahuluan.
Nama Gereja Kristen Jawa Tengah baru muncul atahun 1949, ketika nama disatukan
menjadi satu gereja semua orang Kristen di Jawa Tengah yang berasal dari hasil
penginjilan perorangan, maupun hasil penginjilan beberapa badan zending seperti
NZG di bagian Utara Jawa Tengah dan NGZV di bagian Selatan. Tetapi nama itu
tidak bisa dipertahankan, karena gereja-gereja ayang sempat bersatu itu,
berpisah lagi.
2. Usaha
Penginjilan Perorangan (kira-kira tahun 1850-1900). Sebagaimana halnya di Jawa
Timur, usaha penginjilan di Jawa Tengah pada mulanya adalah dilakukan
penginjil-penginjil perorangan yang bekerja secara suka rela, bukan yang
diorganisir oleh gereja atau badan-badan zending. Di antara penginjil
perorangan itu yang terkenal ialah:
- Keukhenius (orang Belanda). Dia adalah seorang Kristen yang setia. Dia mengusahakan dua orang penginjil bekerja di kota Tegal. Kedua orang itu berasal dari kelompok Mr. Anthing, yaitu seorang wakil Ketua Mahkamah Agung dalam pemerintahan Belanda. Kedua orang penginjil itu mengumpulkan orang-orang Jawa di sekeliling mereka untuk diajar tentang pengetahuan kekristenan. Keukhenius juga menarik pekabar Injil pertama yang diutus oleh NGZV yang bernama Vermeer untuk bekerjasama dengan dia di Tegal. Di Tegal mereka telah membentuk satu jemaat kecil sejak tahun 1861.
- Tunggul Wulung (sekitar 1803-1885). Dia adalah seorang yang berasal dari Juwono (dekat gunung Muria). Karena keadaan ekonomi yang sangat sulit di Jawa Tengah pada masa mudanya, banyak orang yang terpaksa mengungsi dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, termasuk di antaranya Tunggul Wulung, yang pada waktu itu masih bernama Kyai Ngabdullah. Di lereng gunung Kelud, dia menjadi seorang pertapa. Ketika itulah nama Tunggul Wulung dikenakan kepadanya, karena dia dipandang sebagai penjelmaan seorang pangliama perang raja Joyoboyo yang bernama Tunggul Wulung. Pada waktu itulah dia juga berkenalan dengan agama Kristen, karena gunung Kelud adalah berdekatan dengan Ngoro dan Mojowarno, yakni pusat kekristenan yang pertama di Jawa Timur. Pada tahun 1853 dia telah menjadi salah seorang pengikut Kristen di Mojowarno, dan dibaptiskan oleh Jelesma tahun 1855 dengan nama Ibrahim. Setelah belajar kekristenan di sana, dia kemudian menjadi seorang penginjil keliling di pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah bagian Selatan. Dalam usaha menyebarkan Injil itu di tengah-tengah masyarakat Jawa, dia bertindak seperti seorang kyai, dan menyajikan Injil itu sebagai “ngelmu”, sehingga dia sering juga disebut Kyai Ibrahim. Pada waktu kematiannya tahun 1885, jumlah pengikutnya telah melebihi seribu orang. Tetapi jemaat-jemaat yang dipimpin oleh Tunggul Wulung itu kemudian beralih kepada Mennonit.
- Kyai Sadrakh (1840-1924). Sadrakh adalah juga seorang Kristen Jawa yang berasal dari Jepara. Dia termasuk salah seorang murid Tunggul Wulung, tetapi dibaptiskan menjadi Kristen di Gereja “Sion” Jakarta setelah menerima pendidikan kekristenan selama dua tahun dalam kelompok Mr. Anthing. Pada waktu itu ada sekitar 50 orang Jawa yang dibiayai Mr. Anthing untuk menerima pendidikan sebagai penginjil untuk orang Jawa. Setelah memperoleh pendidikan sebagai penginjil, Sadrakh sempat menjadi penginjil keliling diJawa Barat, tetapi sejak tahun 1867 dia kembali ke negeri asalnya di Jepara. Dia juga mengikuti jejak Tunggul Wulung menjadi penginjil keliling di Jawa Tengah, dan mengajarkan kekristenan itu dalam bentuk Jawa. Ini berarti dia menenatang kekristenan Londo. Dalam menyebarkan Injil itu dia juga bertindak sebagai seorang kyai. Sebagaimana kebiasaan seorang kyai, untuk menarik murid yang sebanyak-banyaknya, para kyai mempertandingkan “ngelmu” yang mereka miliki. Seorang kyai yang kalah dalam pertandingan itu, maka dia harus tunduk kepada kyai yang menang bersama dengan murid-muridnya. Demikianlah halnya dengan Kyai Sadrakh, dengan “ilmu” yang baru dia miliki yakni Injil itu, dia selalu menang dalam pertandingan “ngelmu” dengan kyai-kyai lainnya. Sehingga banyak kyai beserta dengan murid-muridnya, menjadi murid dari Kyai Sadrakh. Kepada mereka Sadrakh mengajarkan Injil itu dan dibaptis menjadi Kristen. Setelah memperoleh pengajaran Injil dari Kyai Sadrakh, kyai-kyai yang sudah menjadi Kristen itu diangkat oleh Sadrakh menjadi pimpinan jemaat-jemaat kecil. Tetapi jemaat-jemaat yang dibentuk Sadrakh ini tidak mau bergabung dengan jemaat-jemaat yang dibentuk oleh badan zending yang bekerja di Jawa Tengah. Pada tahun 1890 sudah ada + 53 jemaat kecil dengan jumlah seluruh anggotanya sekitar 3000 orang, yang dibentuk oleh Kyai Sadrakh. Kyai Sadrakh membangun gedung gereja mirip dengan bangunan Jawa, dan tidak memakai tanda salib yang biasa dipakai gereja ala Eropa, tetapi dengan penyilangan dua buah panah.
3. Karena tidak mau bergabung dengan
jemaat-jemaat yang dibentuk oleh zending, maka jemaat-jemaat Sadrakh ini
akhirnya menjadi satu bidat, yang disebut “bidat kerasulan”. Bidat kerasulan
ini juga berpengaruh di daerah Pasundan Jawa Barat. Dan di kalangan bidat kerasulan
ini, Sadrakh dianggap sebagai “rasul Jawa”. Menjelang akhir hidupnya, Sadrakh
menyadari bahwa jemaat-jemaat hanya dapat hidup apabila hidup bersatu dalam
Kristus dengan jemaat-jemaat yang lain. Karena itu sesudah Sadrakh meninggal
tahun 1924, banyak jemaat yang dibentuknya menjadi bergabung dengan
jemaat-jemaat yang didirikan oleh zending, tetapi sebagian jemaat itu tetap
dalam bidat kerasulan. Sekarang salah satu jemaat Kyai Sadrakh ini masih
dilestarikan di sebuah desa di Jawa Tengah, yang bernama Karangjasa, dekat
Purworejo.
- Seorang penginjil Tionghoa bernama Paulus Khow Tek San, yang baru dibaptis menjadi Kristen tahun 1867, menjadi seorang penginjil yang sangat giat sekali di kalangan orang-orang Tionghoa yang ada di Jawa.
- Di bagian Selatan Jawa Tengah, ada dua orang Indo-Belanda yang bekerja sebagai penginjil di sekitar Banyumas dan Purworejo, yang bernama nyonya Oostrom-Philips dan saudara iparnya yang bernama Ny. Philips-Steven. Mereka ini mengumpulkan pelayan-pelayannya bersama satu kelompok masyarakat Jawa yang berminat kepada kekristenan itu di rumah mereka masing-masing. Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka mengajarkan Injil itu yang kelompok yang hadir itu. Akhirnya terbentuklah jemaat-jemaat kecil, tetapi jemaat-jemaat tersebut bergabung dengan badan zending NGZV (Nederlands Gereformeerde Zending Vereeniging). NGZV ini berusaha dengan giat mengabarkan Injil di kota-kota Jawa Tengah seperti di Solo dan Yogyakarta.
4. PI yang Dilakukan Oleh
Badan-badan Zending.
a.
Nederlands Gereformeerde Zending Vereeniging (NGZV). NGZV bekerja di Jawa Tengah
bagian Selatan. Badan ini adalah sebuah badan zending yang dibentuk oleh Gereja
Gereformeerd yang memisahkan diri dari Gereja Hervormd. Gereja Gereformeerd
berpendapat bahwa PI harus langsung dilakukan oleh jemaat-jemaat, agar
pekerjaan itu cocok dengan ajaran Alkitab dan ajaran gereja. Zending
Gereformeerd mempunyai azas yang berbeda dengan pietis. Azas-azas zending
Gereformeerd adalah sbb:
q Tujuan PI adalah kemuliaan
Allah (bukanlah menyelamatkan jiwa yang menjadi perhatian utama).
q Yang menjalankan PI ialah
jemaat setempat (bukan kelompok para sahabat zending).
q Utusan-utusan harus pelayan
Firman yang berpendidikan akademis, dan yang berhak penuh sebagai pendeta juga
dalam gereja induk.
q Usaha zending tidak pertama
diarahkan kepada orang perorangan, melainkan kepada bangsanya (sukunya) dan
bermula pada pusat-pusat kehidupan bangsa (suku) itu.
q Orang-orang yang masuk
menjadi Kristen secepat mungkin dihimpun menjadi sebuah jemaat yang setingkat
dengan jemaat induk di Belanda dan jemaat itu sedapat mungkin dilayani oleh
seorang pendeta yang setingkat dengan pendeta di jemaat induk di Belanda.
q Mengadakan perbedaan tajam
antara Pelayan Firman (pekabar Injil, pendeta) yang merupakan pelayan
utusan dan pelayan di bidang kesehatan, pendidikan, dll, yang dianggap sebagai pelayan
penunjang.
5. Walaupun NGZV dibentuk oleh Gereja
Gereformeerd, namun badan itu bukanlah sebuah seksi dari gereja tersebut. Badan
ini hanya sebagai pengkoordinir dari usaha-usaha PI yang dilakukan oleh
jemaat-jemaat setempat. Dalam hal ini jemaat setempat dari Gereja Gereformeerd
yang ada di negeri Belanda berhubungan langsung dengan tempat-tempat
penginjilan tertentu di Jawa, seperti: Jemaat Utrecht berhubungan dengan
Purworejo, Zeeland dengan Magelang, Amsterdam
dengan Yogyakarta, Rotterdam
dengan Purbolinggo, dll. Dengan demikian juga nampak bahwa kota-kotalah yang
menjadi sasaran utama dari penginjilan ini. Pekerjaan zending dari gereja
Gereformeerd ini mulai berjalan dengan giat sejak tahun 1902. Dan seperti
terlihat dalam azas-azasnya di atas, tekanan mereka ialah supaya PI itu
senantiasa dijalankan sebagai pemuliaan Allah. Jemaat-jemaat hasil penginjilan
NGZV ini kemudian terhimpun dalam satu gereja yang bernama Gereja Kristen Jawa,
dengan sinode yang pertama 17-18 Februari 1931. Tetapi jemaat-jemaat dari GKJ
ini tersebar bukan hanya di Jawa Tengah tetapi juga terdapat di Jawa Timur,
Jawa Barat dan DKI Jakarta.
6. PI Salatiga. Badan ini sering juga
disebut “Faith Mission”, karena sifatnya yang pietis selalu menekankan bahwa
UPI itu harus senantiasa dilakukan dalam iman. PI Salatiga ini dilakukan oleh
sebuah perhimpunan PI di Jerman yang bernama “Neukirchener Missionshaus”, yang
didirikan tahun 1880. Badan ini bekerja di Jawa bagian Utara yang berpusat di
Salatiga, mulai tahun 1884. Badan ini yang selalu menekankan bahwa PI harus
dilakukan dalam iman, maka badan ini kurang memperhatikan soal-soal keuangan,
organisasi dan pejabat gereja. Pimpinan dan synode tidak dipentingkan. Bagi gereja
yang dihasilkan oleh badan ini yang ada adalah Parepaten Agung, yang sifatnya
merupakan musyawarah dari jemaat-jemaat setempat. Hasil dari musyawarah itu
tidak mengikat, apakah dijalankan atau tidak dijalankan oleh jemaat setempat.
Jemaat-jemaat setempat adalah mempunyai otonomi tersendiri, di mana setiap
jemaat setemapat bebas mengatur diri sendiri, termasuk dalam hal yang
menyangkut penerimaan pendeta. Bentuk gereja yang seperti ini biasanya disebut
“Congreagationalistis”. Dari sudut situasi Indonesia, penerapan bentuk gereja
yang kongregationalistis tidak cocok dan bahkan bisa menimbulkan bahaya,
karena:
v
Orang-orang
Kristen di Indonesia masih mudah dipengaruhi oleh sifat kedaerahan, marga dan
adat istiadat, sehingga jemaat-jemaat setempat masih memerlukan pimpinan dari
atas.
v
Karena
dalam hal yang menyangkut penempatan, pemindahan atau pemberhentian seorang
pendeta atau tenaga pekerja yang lain adalah hak jemaat setempat, maka sesuai
dengan point di atas, tindakan tersebut cenderung hanya mengikuti keinginan
atau kemauan jemaat setempat.
v
Di
Indonesia jumlah pendeta masih kurang, sehingga masih sulit mencari tenaga
pendeta untuk satu-satu jemaat sesuai dengan bakat-bakatnya.
Usaha PI Salatiga ini
bertolak dari daerah Salatiga dan meluas ke arah Barat sampai ke Tegal, dan ke
Timur sampai ke Bojonegoro. Di kemudian hari mereka juga menampung sebagian
jemaat-jemaat pengikut Sadrakh.
7. PI yang Dilakukan Oleh NZG. Zending
NZG sebenarnya telah mulai mengutus tenaga penginjil ke Semarang, bekerjasama dengan badan PI dari
Inggris, yakni G. Brueckner (seorang Jerman) tahun 1815. tetapi pada akhirnya
dia bekerja secara perorangan dan berusaha menterjemahkan dan menerbitkan Kitab
PB ke dalam bahasa Jawa. Selain itu dia juga menulis sejumlah buku-buku Kristen
ke dalam bahasa Jawa, walaupun semuanya buku yang ditulisnya itu termasuk
terjemahan kitab PB disita oleh pemerintah Belanda. Sampai ia meninggal tahun
1849, tidak ada satu jemaat pun yang didirikannya. Tahun 1849, NZG kembali lagi
mengutus tenaga penginjil ke Semarang
yaitu yang bernama Hoezoo. Dia ingin memupuk bibit-bibit kekristenan yang mulai
bertumbuh pada waktu itu oleh penginjil-penginjil perorangan, terutama di
daerah bagian Utara Jawa Tengah.
·
Upaya
Menyatukan Gereja-gereja Kristen di Jawa Tengah.
Sejak terjadinya PD II,
segala bantuan personil maupun materil yang datang dari luar terputus kepada
gereja-gereja yang ada di Jawa Tengah. Karena itu timbullah keinginan
gereja-gereja yang ada di Jawa Tengah, baik yang berdiri atas usaha penginjilan
perorangan, maupun yang berdiri atas usaha badan-badan zending yang datang dari
Eropa, untuk bersatu membentuk satu gereja. Keinginan itu bisa disepakati tahun
1949. Ketika itu seluruh jemaat di Jawa Tengah, mulai dari Tegal, Bojonegoro,
Cilacap sampai ke gunung Kidul, kecuali jemaat yang di sekitar gunung Muria,
bersatu membentuk satu gereja yang bernama Gereja Kristen Jawa Tengah. Pada
waktu itu telah disepakati bahwa jemaat-jemaat yang bergabung itu akan menyusun
tata gereja yang baru. Tetapi tahun 1953, sebagian jemaat-jemaat itu melepaskan
diri dari gereja kesatuan dan tahun-tahun berikut beberapa jemaat lain
menyusul. Persoalannya, selain dari jemaat-jemaat yang bergabung itu mempunyai
latar belakang historis yang berbeda-beda, juga karena menyangkut harta benda
gereja. Dengan demikian penyatuan itu tidak dapat berkelanjutan.
8. Gereja
Kristen Sekitar Gunung Muria. Gereja ini adalah beraliran Mennonit, yang
dihasilkan oleh “Doopsgezinde Zendingsvereniging” (DZV). Pendirian gereja yang
beraliran Mennonit adalah hampir sama dengan pendirian Gereja Baptis, yakni:
Ø
Menjauhkan
kehidupan politik.
Ø
Memantangkan
pemakaian kekerasan. Mereka tidak mau menjadi tentara atau mengangkat senjata
biarpun dalam usaha untuk mempertahankan diri.
Ø
Memberikan
otonomi kepada jemaat-jemaat setempat (kongregationalistis).
Ø
Mempertahankan
disiplin gereja yang ketat.
Ø
Menolak
baptisan anak-anak.
Perhimpunan zending
Doopsgezinde didirikan tahun 1847 di Belanda. Inilah badan zending yang pertama
memasuki Jawa Tengah, dengan utusannya yang pertama P. Jansz, seorang guru SD
di Belanda, yang tiba di Jepara tahun 1851. Pada tahun 1854 ia dapat
membaptiskan lima
orang. Tetapi selama 20 tahun bekerja di sana,
jumlah yang berhasil dibaptiskan hanya mencapai 16 orang laki-laki dan 21 orang
perempuan. Pekabar Injil yang lain yang diperbantukan kepadanya ialah Klinkert,
yang kemudian ditugaskan untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu.
Pada awal pekerjaannya, seorang pemilik tanah di Cumbring dekat Jepara
memberinya kesempatan untuk mendirikan sekolah dan mengabarkan Injil di
tengah-tenagh buruh perkebunannya, yang berjumlah 7000 orang. Tetapi ternyata
tuan Eropa itu beranggapan bahwa Injil itu akan bisa menjadi semacam obat
penenang bagi buruhnya. Karena pemberitaan Jansz berlainan dengan apa yang dia
harapkan, maka hubungan mereka menjadi putus tahun 1864 dan Jansz kemudian
menetap di kota
Jepara. Tetapi beberapa tahun kemudian dia bentrokan dengan pemerintah, karena
ada surat
selebaran berbahasa Jawa yang bertemakan: “Kerajaan Allah sudah dekat.
Bertobatlah dan percayalah kepada Injil”. Surat
selebaran ini dianggap pemerintah Belanda akan mengganggu “keamanan dan
ketertiban” masyarakat setempat. Pemerintah meminta para bupati di Jepara dan
Pati memberi penilaian terhadapnya. Ketika mereka ini menyatakan keberatan
terhadap isinya maka izin Jansz dicabut. Hanya berkat campur tangan menteri
jajahan di negeri Belanda, Jansz dapat meneruskan pekerjaannya di Jawa Tengah
walaupun tetap tanpa izin.
9. Pekabar Injil Mennonit ini juga tidak mempunyai hubungan
yang baik dengan golongan Kristen yang lain. Misalnya, hubungannya dengan NZG
agak buruk, karena perbedaan paham mengenai pembaptisan anak. Selain itu dia
juga mempunyai konflik dengan Tunggul Wulung, karena dia tidak mau membaptiskan
Tunggul Wulung yang memintanya untuk dibaptis tahun 1854. Alasannya karena P.
Jansz memandang iman Tunggul Wulung dibaptis oleh Jelessma, penginjil NZG. Pada
tahun 1874, P. Jansz memikirkan suatu cara baru untuk menyebarkan Injil itu,
yakni dengan membuat sebuah surat
selebaran yang berjudul: “Usaha PI dengan jalan membuka tanah”. Dengan cara ini
Jansz membuka suatu perkampungan Kristen, sehingga orang-orang Jawa banyak yang
tertarik untuk berkumpul di sekitarnya. Melalui gagasannya itu, berdirilah
beberapa perkampungan Kristen, antara lain: Margorejo (1881), Margokerto (1901)
dan Pakis (1925). Pimpinan desa dipegang oleh pekabar-pekabar Injil. Di dalam
desa-desa itu mereka juga mengusahakan usaha-usaha sosial, seperti
poliklinik-poliklinik, rumah sakit, dan juga asrama orang-orang kusta, yang
semuanya memberi pengaruh yang tidak sedikit. Penghuni dari perkampungan itu
bisa juga dari orang-orang Islam, tetapi mereka harus taat dengan peraturan
yang ditetapkan, yakni: tidak boleh bekerja pada hari Minggu, tidak boleh berpoligami,
dilarang meminum minuman keras dan menghisap ganja, dll. Di samping di
desa-desa, zending ini juga memberitakan Injil di kota-kota, seperti di Kudus
dan Pati. Dan untuk menghimpun seluruh jemaat yang telah berdiri itu, maka
tanggal 30 Mei 1940 didirikanlah sebuah organisasi yang bernama: “Patunggilan
Pasamuan Kristen Jawi tata Injil ing kresdenan Pati, Kudus lan Japara”
(Persekutuan Gereja Kristen Jawa yang Injili di keresidenan Pati, Kudus, dan
Japara). Pada waktu itu dalam organisasi ini bergabung 12 jemaat, dengan
anggota seluruhnya 5000 orang, termasuk anak-anak. Sedangkan yang sudah
terbaptis baru mencapai kira-kira 2000 orang. Di Pati sekolah ini telah
mempunyai sekolah theologi, yang sudah menjadi anggota Persetia. Dan walaupun
gereja ini mempunyai beberapa ajaran yang berbeda dengan gereja-gereja lain di
Indonesia, namun gereja ini ikut bekerjasama dengan gereja-gereja lain secara
oikumenis, sehingga gereja ini telah menjadi salah satu anggota DGI/PGI. Dan
mulai tahun 1956 nama gereja ini ialah: “Gereja Injili di Tanah Jawa”. Dalam
perhitungan tahun 1975, jumlah anggota gereja ini tercatat sebanyak 65000
orang.
GEREJA-GEREJA DI JAWA BARAT DAN JAKARTA
(GEREJA KRISTEN PASUNDAN)
1) Badan zending yang
mula-mula bekerja di daerah Jawa Barat (Pasundan) ialah NZV, yakni tahun 1865.
Badan ini mula-mula tinggal di Bandung.
Tetapi izin untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang Sunda di sana tidak diperoleh dari
pemerintah, karena pemerintah takut PI itu akan bisa menimbulkan huru-hara
didaerah itu. Karena itu mereka mula-mula hanya bekerja bagi orang-orang
Kristen Ambon yang ada di sana.
Tetapi setelah menteri jajahan di negeri Belanda turun tangan, maka para
penginjil NZV itu akhirnya diizinkan bekerja di Cianjur (1865), kemudian di
Bogor dan Depok (1868), Sukabumi (1872), Sumedang (1872), Jatinegara (1884),
Lebak (Banten Selatan, 1894) dan Tasikmalaya (1898). Tetapi tidak semua tempat
ini bisa dipertahankan terus. Misalnya di Banten, setelah tahun 1902 tidak ada
lagi tenaga penginjil NZV. Depok kemudian menjadi salah satu daerah Kristen
yang terkenal.
2) Suatu cara yang dipakai
untuk menyebarkan Injil itu aialah dengan membeli tanah untuk dapat dijadikan
sebagai perkampungan Kristen. Cara ini perlu mengingat orang-orang Pasundan
yang pada umumnya beragama Islam. Kalau ada dari antara mereka yang beralih
menjadi Kristen, maka mereka akan diusir dari tengah-tengah keluarga dan
masyarakat. Maka untuk menampung mereka yang telah menajdi Kristen itu sangat
diperlukan adanya desa atau perkampungan Kristen, agar mereka jangan sampai
terpencil. Ternyata memang sangat sulit untuk mengkristenkan orang-orang
Pasundan itu. Karena itu cara lain yang ditempuh oleh zending ialah dengan
mendirikan sekolah-sekolah, pelayanan kesehatan dan usaha-usaha sosial. Zending
juga berusaha untuk mendirikan asrama-asrama untuk para mahasiswa, misalnya di Bandung. Dari antara
golongan terpelajar ini ada juga yang tertarik kepada agama Kristen dan masuk
menjadi Kristen. Untuk pelayanan kesehatan didirikan sebuah rumah sakit yang
besar di Bandung
tahun 1910, yang diberi nama Rumah Sakit Immanuel. Rumah sakit ini sampai
sekarang masih merupakan salah satu rumah sakit yang terkenal di Bandung, karena pelayanan
dan pengobatannya yang cukup baik. Perkembangan kekristenan di daerah Pasundan,
ikut juga ditunjang oleh bantuan pribadi seorang pejabat tinggi pemerintahan
Belanda, yang bernama Mr. Anthing. Dia berusaha untuk membelanjai satu kelompok
yang beranggotakan 50 orang yang dididik menjadi calon-calon penginjil pribumi.
Cara ini memang sangat efektif, karena penginjil-penginjil pribumi itu mudah
memberi pendekatan terhadap masyarakat daerah setempat. Dan lagi Mr. Anthing
meminta supaya penginjil-penginjil yang berasal dari kelompoknya itu janganlah
menjadi mata-mata Belanda, tetapi kiranya mereka benar-benar berlaku sebagai
sebagai penginjil untuk orang Jawa asli. Pada mulanya Mr. Anthing dalam bantuan
yang diberikannya juga memperoleh pertolongan dari “Perhimpunan Pekabaran Injil
di dalam dan luar gereja”, yang dibentuk oleh orang-orang Kristen di Jakarta
yang mempunyai perhatian terhadap usaha penginjilan. Dalam perhimpunan ini Mr.
Anthing ikut sebagai salah seorang anggota pendiri. Hanya sayang dia kemudian
beralih ke bidat “kerasulan”, karena gagal memperoleh bantuan dari sebuah Perhimpunan
PI di negeri Belanda. Dalam bidat kerasulan ini dia diangkat menjadi salah
seorang “rasul” Jawa. Setelah Anthing meninggal tahun 1883, NZV mencoba
mendekati dan memelihara jemaat-jemaat yang dihasilkan oleh kelompok Mr.
Anthing tersebut dan dialihkan menjadi anggota Gereja Kristen Pasundan.
Ø Pada tanggal 14 Nopember
1934, Gereja Kristen Pasundan menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri. Pada
waktu itu klasis belum dibentuk,namun sudah ada 20 jemaat yang berdiri sendiri,
dan 15 jemaat yang belum mempunyai majelis sendiri tetapi masih langsung di
bawah asuhan zending. Dan semua anggota gereja itu tercatat sebanyak 6215 orang
(di antaranya 1460 orang Tionghoa). Pendidikan khusus untuk pendeta belum ada,
tetapi telah diadakan kursus-kursus penginjil yang dari antara merekalah
kemudian diangkat menjadi pendeta. Pendeta Pasundan yang pertama ialah Pendeta
Titus, yang ditahbiskan tahun 1918. Sekarang ini jumlah anggoata GKP tercatat +
28000 orang dengan 42 jemaat.
Ø Sementara di Depok terkenal
sebuah seminari yang bersifat oikumenis, yang menerima pelajar-pelajar dari
berbagai gereja yang ada di Indonesia
untuk dididik menjadi calon-calon guru-guru jemaat atau guru-guru Injil.
Seminari ini didirikan tahun 1878, tetapi kemudian ditutup tahun 1926, karena
kekurangan keuangan dan juga karena gereja-gereaja pendukungnya itu telah
banyak yang mempunyai seminari sendiri. Sisa keuangan dari seminari Depok ini,
kemudian dipakai sebagai modal pertama untuk mendirikan sebuah Sekolah Tinggi
Teologi yang didukung oleh beberapa gereja yang ada di Indonesia pada waktu
itu, termasuk HKBP, yakni: “Hoogere Thelogische School” (HTS), tahun 1834 di
Bogor, dan tahun 1836 dipindahkan ke Jakarta, yang sekarang menjadi STT
Jakarta.
3)
Badan-badan
zending yang bekerja di Pasundan ialah:
o
NGZV
o
Komite
Jawa
o
Perhimpunan
Pekabaran Injil di dalam dan luar gereja
o
Di
kota Jakarta sendiri bekerja antara lain: Gereja Protestan Indonesia
(pemerintah), Gereja Kristen Gereformeerd, Gereja Kristen Indonesia (Gereja
Tionghoa), Gereaja Methodist, Gereja Baptis dari Inggris dan juga sempat Gereja
Portugis (RK). Gedung gereaja Portugis ini sampai sekarang masih dipelihara dan
ibadah-ibadah istimewa diadakan di gedung gereja ini. Gedung gereja Inggris itu
sampai sekarang juga masih ada dan sempat dipergunakan oleh Gereja Punguan
Kristen Batak (yakni gereja yang memisah dari HKBP asuhan RMG tahun 1927).
Sekarang ini di Jakarta telah berdiri banyak
gereja, sejalan dengan arus perpindahan penduduk yang cukup besar dari
daerah-daerah ke kota metropolitan, ibukota Indonesia
itu. Gereja HKBP sendiri di sana
sudah mencapai ratusan jemaat setempat.
GEREJA-GEREJA PENTAKOSTA DI INDONESIA
1.
Permulaan Timbulnya Gerakan Pentakosta. Gereja-gereja Pentakosta berasal dari
gerakan Pentakosta yang timbul di Amerika Utara sekitar tahun 1906. Gerakan itu
adalah tunas dari “gerakan kesucian” (holiness movement) yang timbul dalam
gerakan Methodis pada abad 19. Gerakan kesucian itu ingin kembali kepada
semangat dan kesederhanaan yang terdapat dalam gereja Methodis pada zaman John
Wesley, serta menekankan pertobatan mendadak dan kesempurnaan Kristen seperti
dianjurkan dalam theologia Wesley. Untuk membangun kembali hidup kerohanian
warga gereja yang telah suam, tertarik kepada ajaran pentakosta itu. Tahun 1923
ia kembali datang ke Indonesia
dan tinggal di Bandung
sebagai penyebar ajaran pentakosta.
2. Masuknya
Gereja Pentakosta di Sumatera Utara. Penyebaran ajaran pentakosta ke
Sumatera Utara juga telah diusahakan tahun 1920an oleh pendeta-pendeta “Bethel
Temple”, Seattle, Amerika Serikat, yang sebelumnya telah bekerja di Surabaya
dan kota-kota pelabuhan lainnya. Khotnah dan pendemonstrasian penyembuhan yang
mereka lakukan sangat menarik perhatian masyarakat, sehingga mereka menerima
undangan untuk berkhotbah di beberapa tempat di Sumatera Utara antara lain di
Pematangsiantar dan Balige. Namun kegiatan mereka itu masih dihalangi oleh
pemerintah kolonial Belanda, karena Tapanuli masuh tertutup bagi usaha PI di
luar RMG. Karena larangan itu maka ajaran-ajaran pentakosta itu dikirim melalui
kursus Alkitab tertulis dari pos. Mulai tahun 1935, Gubernur Jenderal Belanda
memberi izin kepada penginjil Pentakosta untuk menjalankan missinya di Sumatera
Utara. Dan secara resmi penyebaran Pentakosta itu dimulai di Tapanuli tahun
1941 oleh beberapa pendeta Pentakosta dari suku Batak yang sebelumnya telah
memperoleh pendidikan kependetaan pentakosta di Surabaya, antara lain: Pdt.
P.C. Simanjuntak, Pdt. W.F. Siahaan, R. Siburian, L. Siburian, dan G.N. Pane.
Kebanyakan orang-orang yang berhasil ditarik menjadi pengikut pentakosta adalah
bekas warga gereja HKBP, terutama mereka yang sedang berada di bawah siasat
gereja (dikucilkan dari gereja) karena pelanggaran hukum gereja tertentu dan
juga mereka yang sering ingkar membayar kewajibannya kepada gereja. Dan
perkembangannya yang paling pesat pada mulanya ialah di jemaat pentakosta di
Samosir. Warga gereja HKBP di sana
memang banyak yang menyambut kehadiran pendeta-pendeta pentakosta itu, karena
mereka sebelumnya masih jarang memperoleh kunjungan yang intensif dari seorang
pendeta HKBP. Tetapi selain di Samosir, di daerah-daerah lain seperti: Balige,
Toba, Silindung, Pematangsiantar, gereaja-gereja pentakosta juga kelihatan
banyak berdiri.
3.
Perpecahan Dalam Gereja Pentakosta. Di dalam gereja-gereja Pentakosta di
Indonesia banyak terjadi perpecahan. Gereja itu sebagai lembaga mulai tahun
1923, yakni dengan berdirinya badan “Jemaat Pentakosta di Hindia Timur,
Belanda”. Kemudian tahun 1937, badan ini berganti nama menjadi “Gereja
Pentakosta di Hindia Timur Belanda”, yang tahun 1942 disebut “Gereja Pentakosta
di Indonesia” (GPdI). Gereja ini sejak mulanya diurus oleh suatu badan
pengurus, yang bernama: “Pinkster Convent” (Sidang Pentakosta). Tetapi tidak
beberapa lama, di dalam badan pengurus itu timbullah perbedaan paham atau
perselisihan yang menyebabkan gereja itu mengalami perpecahan. Menurut Th. Van
den End, pokok perselisihan disebabkan oleh empat faktor, yakni:
·
Ajaran
“Jesus Only” (hanya Yesus), yang dibawa dari As, yang mengatakan pembaptisan
cukup dilakukan hanya dalam nama Yesus, karena katanya nama Yesus telah
meliputi ketiga pribadi dalam Trinitas.
·
Mengenai
hak wanita untuk memegang kepemimpinan dalam gereja.
·
Hubungan
jemaat setempat dengan organisasi pusat.
·
Prestise
(gengsi) suku atau perorangan.
·
Sampai
tahun 1931, gereja itu masih satu kesatuan, tetapi sejak tahun 1931 gereja itu
telah terbagi-bagi paling sedikit atas 25 gereja, belum termasuk gereja-gereaja
yang hanya terdapat di satu tempat yang berjumlah 28 gereja lagi (ini
perhitungan tahun 1980). Dan di Sumut, ada beberapa gereja pentakosta yang
membawa nama pribadi pendeta yang mendirikannya, misalnya: GPdI Sinaga (1941),
GPdI Siburian (1948), GPdI Sianturi (1966), GPdI Sianipar (1971), dll. Beberapa
dari antara gereja-gereja Pentakosta, telah ada yang masuk anggota DGI/PGI,
yakni: Gereja Isa Almasih, Gereja Bethel Injil Sepenuh, Gereja Pentakosta Pusat
Surabaya dan Gereja Gerakan Pentakosta. Jumlah anggaota seluruhnya yang
tergolong kepada Gereja Pentakosta di Indonesia berkisar antara 1,2-1,5 juta
orang.
4.
Gereja-gereja dari Rumpun Kemah Injil.
(Berdirinya: “The Christian and Missionary Alliance, CAMA”). Gereja-gereja dari rumpun
Kemah Injil berasal dari gerakan “Alliance” (persekutuan) yang lahir di AS
tahun 1880an. Gerakan ini juga merupakan salah satu tunas dari “gerakan
kesucian”, seperti halnya gerakan Pentakosta. Yang mendirikan dan yang menjadi
pemimpinnya yang pertama ialah A.B. Simpson, seorang bekas pendeta Gereja
Presbyterian di New York,
tetapi keluar dari gereja itu, karena dia tidak menerima baptisan anak-anak.
Pada tahun 1897, dibentuklah “The Christian and Missionary Alliance”, yang
merupakan gabungan dari dua persekutuan yakni “The International Missionary
Alliance” dan “The Christian Alliance”. Ajaran dari CAMA disimpulkan dalam
empat azas, yakni:
¨
Kristus
menyelamatkan
¨
Kristus
menyucikan
¨
Kristus
menyembuhkan
¨
Kristus
datang kembali sebagai Tuhan
Ajaran yang keempat ini
sangat mendapat tekanan, sehingga badan ini mementingkan ajaran mengenai
kedatangan kembali Yesus Kristus dan Kerajaan Seribu Tahun. Dan itulah yang
mendorong badan ini giat mengabarkan Injil itu kepada orang-orang yang belum
pernah mendengarnya, karena menurut mereka, dengan usaha PI itu, kedatangan
kembali Tuhan Yesus akan dipercepat. Salah seorang tenaga penginjil CAMA ialah
R.A. Jaffray, yang tahun 1897-1927 bekerja di Cina, tetapi mulai tahun 1928
melakukan pelayanan di kota-kota pelabuhan di Indonesia,
yakni di Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali
dan Jawa Timur.
a. PI CAMA di Indonesia. R.A. Jaffray mulai tahun
1929 mendirikan pusat penginjilannya di Makassar (Ujung Pandang sekarang). Mula-mula ia
melakukan penginjilan kepada orang-orang Tionghoa. Tetapi dari hasil pelayaran
yang pernah dilakukan, dia mengetahui bahwa masih banyak orang-orang Indonesia yang
belum dilayani oleh Injil itu. Karena itu ia membuka penginjilan ke
daerah-daerah lain, ke Bali, Lombok, Sumbawa,
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, dan pedalaman Irian. Di
daerah-daerah itu masih sedikit usaha PI dari lembaga-lembaga penginjilan yang
lain. Tenaga-tenaga yang dipergunakan mula-mula adalah orang-orang Tionghoa
yang dibawa dari negeri Cina. Tenaga penginjil yang lain yang dipakai sebagian
juga berasal dari Amerika dan kemudian juga orang-orang Indonesia yang
sudah dilatih. Di Makassar, yang merupakan pusatnya didirikan sebuah gedung
yang disebut “Kemah Injil”, dan di situ juga didirikan sebuah Sekolah Alkitab
yang diberi nama Kalam Hidup, dengan lama pendidikan 5-6 tahun. Sekolah ini
sekarang sudah ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Theologia Jaffray.
b. Tokoh penginjil CAMA di
Kalimantan Timur ialah George E. Fish, yang mulai bekerja di daerah itu tahun
1929. Di sana
dia sering melakukan pembaptisan secara berkelompok, dan yang dibaptis hanya
orang dewasa, yang dianggap telah sanggup untuk mengungkapkan iman:
kepercayaannya mengenai keselamatan yang dibawa oleh Kristus. Selain itu dia
tidak menyerang langsung adat kebiasaan mereka, tetapi dia menyerahkan hal itu
kepada bimbingan Roh Kudus. Dan untuk nyanyian gereja, dia memakai lagu-lagu
pribumi, di samping lagu-lagu yang berasal dari Barat. Mulai tahun 1938 CAMA
membuka usaha penginjilan di pedalaman Irian. Untuk itu pesawat udara untuk
menjadi sarana perhubungan para penginjil itu didatangkan dari Amerika (1939).
Dan inilah yang pertama kali pesawat udara dipakai sebagai salah satu sarana
dalam usaha penginjilan di Indonesia.
Pada tahun 1941
tempat-tempat penginjilan CAMA di Indonesia sudah berjumlah 139.Sekolah Alkitab
Makassar mempunyai siswa sebanyak 209 orang dan jumlah orang yang sudah
dibaptis sebanyak 11694 orang. Pekabar Injil asing sebanyak 20 orang dan
pekabar Injil orang Indonesia
sebanyak 140 orang. Pada tahun 1942, semua pekabar Injil asing ditawan oleh
tentara Jepang yang menduduki Indonesia.
Jadi yang menggantikan mereka ialah tenaga-tenaga Indonesia, tamatan Sekolah Alkitab
Makassar. Selain ditawan ada juga tenaga asing itu yang tewas dibunuh oleh
Jepang, dan ada yang meninggal dalam tawanan, termasuk R.A. Jaffray sendiri
tahun 1945. Pada tahun 1950, banyak penginjil CAMA yang diusir oleh penguasa
komunis di negeri Cina, datang ke Indonesia. Dan pada tahun 1951
seluruh jemaat Kemah Injil di Indonesia digabung menjadi tiga gereja daerah,
yakni: Kemah Injil Gereja Masehi Indonesia Timur (KINGMIT), KINGMI Kaltim dan
KINGMI Kalbar.
Tahun 1956, CAMA mengambil
dua langkah penting dalam proses kemandirian cabang-cabangnya di seluruh Indonesia,
yakni:
·
Tenaga
luar negeri yang bekerja di lingkungan gereja itu berada di bawah pengawasan
pimpinan gereja itu. Dan pimpinan gereja berada di tangan pribumi.
·
Tunjangan
yang diberikan kepada sejumlah besar pendeta Indonesia dihentikan. Untuk
menanggulangi belanja pendeta Indonesia,
anggota jemaat diajar untuk memberi persepuluhan.
Pada tahun 1956 itu juga, bantuan keuangan
kepada jemaat-jemaat Cina juga dihentikan. Jemaat-jemaat itu kemudian bergabung
dalam dua badan gereja, yakni: Gereja Kebangunan Kalam Allah (GKKA), dan
Gereaja Persekutuan Kristen (GPK). Mulai tahun 1985, GKKA sudah masuk menjadi
anggota PGI.
5. Pembentukan
KINGMI/GKII. Pada tahun 1965, seluruh gereja yang termasuk aliran CAMA
(Kemah Injil) mengadakan konferensi di Makassar.
Di situ diadakanlah persekutuan dari seluruh gereja yang seazas, yakni: “Kemah
Injil Gereja Masehi Indonesia”
(KINGMI). Dan tahun 1983, kembali diadakan konferensi di Makassar, di mana
seluruh gereja itu disatukan dalam satu Gereaja kesatuan yang bernama: “Gereja
Kemah Injil Indonesia”
(GKII), yang berpusat di Jakarta.
Di dalamnya terdapat enam gereja wilayah, yakni:
·
GKII
bagian Timur, beranggota : 16000 orang
·
GKII
Kaltim, beranggota : 55000 orang
·
GKII
Kalbar, beranggota : 35000 orang
·
GKII
Toraja, beranggota : 40000 orang
·
GKII
Irian Jaya, beranggota : 240000 orang
·
GKII
Jawa-Sumatera beranggota : 12000 orang
Angka-angka ini merupakan
jumlah anggota, termasuk yang belum dibaptis (anak-anak), dalam perhitungan
tahun 1983.
Jika dibandingkan dengan gereja-gereja
lain di Indonesia hasil penginjilan zending dari Belanda dan Jerman, maka
Gereja Kemah Injil Indonesia,
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
·
Dalam
hal ekklesiologi (pandangan mengenai gereja), cirinya yang paling menonjol
ialah penolakan terhadap pembaptisan anak-anak. Yang dibaptis hanyalah
orang-orang dewasa yang sudah mengikrarkan imannya, dengan cara baptisan selam.
·
Dalam
hal hukum kelakuan masing-masing anggota jemaat, kekudusan jemaat harus nyata
dalam kehidupan sehari-hari. Untuk ini:
·
Anggota
tidak boleh berurusan lagi dengan ibadat kafir, seperti di Toraja: tidak boleh
menghadiri upacara orang mati.
·
Kesucian
perkawinan dijaga ketat.
·
Tidak
boleh minum alkohol, merokok dan makan sirih.
·
Gereja-gereja
yang masuk rumpun KINGMI tidak memiliki jaringan lembaga-lembaga umum, seperti
sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit.
6. Gereja-gereaja
dari Rumpun Baptis (Latarbelakang Timbulnya Gereja Baptis). Gereja yang
beraliran Baptis mulai timbul di Inggris sekitar tahun 1600. Gereja ini menolak
pembaptisan anak-anak dan juga hubungan yang erat antara gereja dan negara
seperti dianut oleh gereja Protestan dan RK. Ajaran serupa juga sudah muncul
sebelumnya yakni oleh kelompok Anabaptis di Jerman dan Mennonit di Belanda. Di
Amsterdam sejak tahun 1608/9 gerakan Baptisme dipelopori oleh John Smith,
seorang pendeta jemaat Inggris yang merantau ke sana. Kelompok Baptis kemudian dipisahkan
dari Mennonit, karena mereka tidak setuju dengan ajaran Mennonit yang
mengatakan seorang Kristen tidak boleh bersumpah di depan lembaga pemerintah,
tidak menduduki jabatan dalam pemerintahan dan tidak boleh masuk tentara. Nama
“baptis” yang dipakai mula-mula adalah merupakan sindiran yang datang dari
pihak lawan-lawan kelompok ini. Salah seorang tokoh Baptis pada abad
17 ialah John Bunyan, yang menulis buku “Perjalanan seorang musafir”,
sewaktu dia dipenjara karena kepercayaannya (1660-1672), karena pada waktu itu
belum ada kebebasan beragama di Inggris. Barulah setelah adanya revolusi
Inggris tahun 1689, ditetapkan azas kebebasan beragama di Inggris. Mulai tahun
1639, aliran Baptis telah tersebar juga ke Amerika Utara oleh orang-orang
imigran atau pindahan dari Inggris. Dan pada abad 19 Gereja Baptis telah
menjadi salah satu gereja Protestan terbesar di Amerika. Dan pada abad 19 dan
20 aliran Baptis telah meluas ke semua benua.
9. Masuknya ke Indonesia. Ketika Indonesia
sempat dijajah oleh Inggris tahun 1811-1816, usaha PI Baptis telah mulai masuk
ke Indonesia, yang diutus oleh “Baptist Missionary Society” dari Inggris, dan
juga melalui pusat PI Baptist yang didirikan oleh William Carey di India.
Antara tahun 1813 dan 1857, sudah ada 20 orang utusan Baptis bekerja di Indonesia. Di
antaranya yang terkenal ialah Nathaniel Ward dan Richard Burton, yang telah
berhasil menerobos sampai ke daerah Silindung dan tepi Danau Toba, Tapanuli
Utara, tahun 1824. merekalah penginjil yang pertama masuk ke Tanah Batak, walaupun
hasil penginjilan mereka belum ada. Dari tahun 1814-1818, Jaber Carey (anak
dari William Carey), pernah bekerja di Ambon.
Tetapi setelah pemerintah Belanda kembali berkuasa di Indonesia, kebanyakan penginjil berkebangsaan
Inggris kembali ke India.
Namun Nathaniel Ward yang pernah datang ke Tanah Batak, bertahan terus di Padang sampai kematiannya
tahun 1850. Dan di Semarang, Gottlab Brueckner menerjemahkan kitab PB ke dalam
bahasa Jawa, yang kemudian disita oleh pemerinatah dan dilarang peredarannya. Sesudah
kematiannya tahun 1857, PI Baptis di Indonesia menjadi terhenti. Kemudian
tahun1952, Konvensi Baptis Selatan (KBS) dari Amerika Serikat diberi izin untuk
masuk bekerja di Indonesia.
KBS ini merupakan golongan Baptis terbesar, tetapi ajarannya bersifat ortodoks,
dan tidak masuk menjadi anggota Dewan Gereja-gereja seDunia. Pusat PI KBS di
Indonesia dijadikan di Jawa, dengan mendirikan sebuah rumah sakit di Kediri tahun 1955, dan
Seminary Theologia di Semarang tahun 1954. Gereja-gereja Baptis yang ada di Indonesia yang berbenatuk kongregationalis,
bergabung dalam Gabungan Gereja Baptis Indonesia (GGBI) dengan pusat di Jakarta dan beranggota
kira-kira 60000 orang. Tetapi selain itu sudah ada lagi satu badan gereja
Baptis yang besar di Indonesia, yakni Gereaja Baptis Irian Jaya (GBIJ), yang
lahir oleh hasil penginjilan “The Australian Baptist Missionary Society” di
pedalaman Irian mulai tahun 1938. GBIJ beranggotakan kira-kira 75000 anggota.
10. Bala Keselamatan (Salvation
Army)
·
Permulaan
Bala Keselamatan. Bala
Keselamatan (Salvation Army) didirikan di London
tahun 1878 oleh William Booth (1829-1912). Sejak masa mudanya dia sudah menaruh
perhatian yang besar kepada masalah sosial dan hidup kerohanian orang-orang
miskin. Perhatiannya ini semakin besar, ketika dia menjabat sebagai seorang
pendeta gereaja Methodist di Inggris. Dalam tugasnya sebagai seorang pendeta,
dia sangat giat melakukan pelayanan kepada orang-orang gelandangan, pelacur dan
orang-orang miskin. Orang-orang malang
seperti ini tidak mendapat perhatian dari gereja pada waktu itu, dan yang lebih
banyak diperhatikan oleh gereja ialah orang-orang kaya dan masyarakat golongan
menengah ke atas. Karena itu dia mendesak gereja supaya banyak memberi
perhatian untuk menolong dan melayani mereka. Tetapi usahanya itu tidak
mendapat respons yang baik dari pihak gereja. Karena dia tidak merasa senang
melihat sikap gereja seperti itu, maka tahun 1862 dia keluar dari gereja
Metodis, dan mendirikan sebuah organisasi yang tersendiri, yang mula-mula
bernama “The Christian Mission”. Melalui organisasi ini dia melakukan kampanye
pelayanan kekristenan di dalam kemah-kemah yang berpindah-pindah. Pada tahun
1878, organisasi ini dirombak menjadi “The Salvation Army” (Bala Keselamatan),
yang disusun sesuai dengan pola militer. William Booth selaku pimpinan
tertinggi organisasi itu disebut “jenderal”, dan pekerja-pekerja penuh waktu
lainnya yang berada di bawahnya disebut: kolonel, kapten, sampai kepada
prajurit. Cabang-cabang organisasi ini di tempat lain disebut “korps”. Jenjang
kepangkatan itu juga diberikan kepada peaalayan wanita.Dalam waktu yang
singkat, organisasi Bala Keselamatan meluas ke seluruh dunia, yakni ke benua
Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Usaha mereka
selain mengabarkan Injil, terutama lebih aktif di bidang sosial, memberi orang
lapar makan, dan menampung atau menolong orang-orang tuna susila. Jadi itulah
salah satu ciri khas dari Bala Keselamatan, yakni bahwa usaha PI dilakukan
jalin-menjalin dengan usaha sosial. Pada mulanya organisasi ini tidak bermaksud
menjadi sebuah organisasi gereja di samping gereja lainnya. Karena itu di dalam
Bala Keselamatan tidak ada pelayanan sakramen. Tetapi di kemudian, Bala
Keselamatan dalam prakteknya telah merupakan lembaga gereja tersendiri dan
telah menjadi salah satu anggota Dewan Gereja-gereja se-Dunia.
·
Masuknya
Bala Keselamatan ke Indonesia.
Utusan
Bala Keselamatan yang pertama ke Indonesia tahun 1894, yakni dua
orang perwira yaitu: J.G. Brouwer dan E.A. van Emerik dari Belanda. Mereka
mula-mula tinggal di Purworejo, Jateng, tetapi kemudian pindah ke Semarang. Di kota ini tahun 1903 dibuka sebuah Pusat Latihan untuk
mendidik perwira-perwira (setaraf pendeta) Indonesia. Selain itu, di kota tersebut juga dibuka
sebuah tempat penampungan tuna wisma “Bugangan” dan koloni Salib Putih di
Salatiga. Bala Keselamatan juga membuka beberapa Rumah Sakit Kusta dan Rumah
Sakit Umum. Selain di pulau Jawa, Bala Keselamatan juga membuka kegiatannya di
luar Jawa. Misalnya tahun 1913, telah dibuka sebuah koloni di lembah Palu,
Sulawesi Tengah, dan menjadikan tempat itu sebagai pangkalan usaha penginjilan
di kalangan suku-suku setempat. Pelopor pekerjaan Bala Keselamatan di Sulawesi
itu ialah Letkol. Leonard Woodward bersama istrinya. Metode yang dipakai ialah
mendirikan sekolah, rumah-rumah sakit dan mendidik anak daerah menjadi guru,
sehingga pada akhirnya usaha itu diserahkan kepada mereka. Tahun 1984, di
Indonesia ada 60000 orang anggota, dan 3500 orang perwira. Semua anggota itu
terbagi atas 4 divisi dan 7 distrik. Tiaap-tiap “jemaat” disebut korps. Pada
hari Minggu ada dua macam kebaktian, yakni: pagi, “kebaktian kesucian”, yang
menghantar umat Allah kepada kesucian. Dan malam hari diadakan “kebaktian
tebusan”, yang terutama ditujukan kepada orang-orang yang belum bertobat agar
mereka memperoleh tebusan. Kebaktian adalah bersifat terbuka dan bebas.
11. Gereja Masehi Advent Hari
Ketujuh (Seventh Day Adventist)
·
Timbulnya
Gereja dan Ajaran Adventist. Sejarah permulaan gereja ini berakar dalam suatu gerakan
kebangunan rohani yang timbul di Amerika Serikat sekitar tahun 1820. Dalam
gerakan itu, ajaran eskatologis (penantian kedatangan kembali Kristus)
dipentingkan. Penggerak dari gerakan Adventist ialah William Miller, yang lahir
tahun 1780 di Pittsfield,
Amerika Serikat. Pada masa mudanya, dia adalah seorang petani, tetapi kemudian
menjadi seorang penginjil dari gereaja Baptis. Tanpa bantuan orang lain dia
berusaha untuk memperdalam pengetahuannya akan isi Alkitab. Dan khususnya yang
sangat menarik bagi dirinya dari isi Alkitab itu ialah yang berkenan dengan
nubuatan-nubuatan seperti Kitab Daniel dan Kitab Wahyu. Berdasarkan
penafsirannya sendiri atas kedua kitab itu, maka dia menghitung bahwa tahun
1843/4, Kristus akan datang kembali. Perhitungannya itu dimaklumkan kepada umum
dan dia menyerukan supaya semua orang bersiap menanti kedatangan Tuhan Yesus
yang kedua kalinya itu. Hasil penafsiran Miller ini memberi pengaruh yang besar
bagi banyak orang. Ratusan pendeta dan puluhan ribu orang percaya menerima
penafsiran itu. Akibatnya terjadilah bentrokan dalam gereja. Tetapi ketika
perhitungannya itu ternyata tidak benar, maka dia dengan cepat mengaku
kekeliruannya.
·
Setelah
itu muncullah fase kedua dari gerakan adventist ini, yang dipimpin oleh
seorang wanita yang bernama Ellen White. Dia tetap mempertahankan bahwa
kedatangan Kristus kedua kalinya bisa dihitung. Dan dia mencari jalan keluar
atas kekeliruan Miller. Dia katakan bahwa tahun 1844 yang disebut Miller itu
bukanlah tahun kedatangan kembalinya Tuhan Yesus, tetapi itu adalah saat Kristus
“memasuki tempat mahasuci” dalam sorga untuk menguduskannya. Gereja yang tidak
mempercayai ini tidak turut mengalami pengudusan itu. Tidak lama sesudah itu,
ajaran Adventist ditambah dengan suatu ajaran lain, yakni tentang “Hari
Sabbat”. Mereka menerima ajaran gereja Baptis hari ketujuh yang menentang hari
Minggu sebagai hari perayaan Kristen dan mempertahankan hari Sabbat sebagai
hari suci. Perintah mengenai Sabbat (hukum keempat dari Dasa Titah) malah
dijadikan sebagai perintah utama. Perayaan hari Minggu dinyatakan sebagai
perbuatan kekafiran dan yang merampas dari Allah, harinya yang suci. Karena
ajarannya yang sentral terhadap hari Sabbat ini maka gereja ini kemudian
bernama “Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh”. Ajaran-ajaran Adventis yang lain
ialah tentang baptisan, di mana baptisan anak-anak ditolak. Selain itu anggota
gereja dilarang makan daging babi, mengisap rokok dan meminum minuman alkohol;
dan mereka wajib memberi persepuluhan.
·
Masuknya
Gerakan Adventist ke Indonesia.
Gerakan
Adevntis mulai masuk ke Indonesia
tahun 1900 yang dibawakan oleh seorang pendeta Adventis dari Amerika, bernama
Dr. Ralph Waldo Munson. Mula-mula dia menetap di Padang. Dari Padang dia berusaha menyebarkan
ajaran itu ke Tapanuli melalui seorang putera Batak bernama Immanuel Siregar,
yang telah menerima ajaran Adventis itu melalui Waldo Munson. Immanuel Siregar
adalah putera Simon Siregar, yakni salah seorang orang Batak yang pertama masuk
menjadi Kristen tahun 1861, yang pada awal abad 20 ini pernah mengikuti
pendidikan di Seminary Narumonda, tetapi kemudian dikeluarkan dari sana karena menentang
kebijaksanaan zending yang mengasuh sekolah itu. Waldo Munson dan Immanuel
Siregar datang di Tanah Batak tahun 1907. Tetapi ketika mereka tiba di
Tarutung, mereka dinasehati oleh seorang pendeta Batak, Pdt. Henock
Lumbantobing, supaya mereka “janganlah bertindak seperti pencuri tanaman dari
ladang sesamanya, tetapi sebaiknya mengerjakan ladang yang masih kosong”.
Artinya jangalah mereka datang untuk menggarap orang-orang Batak yang sudah
Kristen, tetapi sebaiknya membuka lapangan PI yang baru di tengah-tengah
orang-orang yang belum mengenal Injil itu. Tetapi nasehat itu tidak diindahkan
sama sekali, dan Waldo Munson telah bertekad untuk menyebarkan ajaran Adventis
itu di tengha-tengah orang-orang Kristen Batak. Untuk itu Immanuel Siregar
segera disekolahkan ke Singapura.
Pada atahun 1910, R.W.
Munson pindah ke Bandung.
Tetapi karena di sana dia mendapat larangan dari
pemerintah Belanda, maka dia pindah ke Jakarta.
Sementara itu Immanuel Siregar yang sudah memperoleh pendidikan penginjil
Adventis dari Singapura memulai pekerjaannya di Balige dengan membuka Sekolah
bahasa Inggris dan mulai menyebarkan ajaran-ajaran Adventis itu melalui
murid-muridnya. Tetapi setelah kegiatannya itu diketahui oleh pemerintah
Belanda, maka dia diusir dari Balige. Akhirnya dia pindah ke Sipogu (dekat
Sipirok, Tapanuli Selatan), di mana sebelumnya seorang missionaris Adventis
dari Amerika bernama S. Kime, telah memulai pekerjaannya membuka sekolah yang
sama. Pada tahun 1932, pemerintah Belanda telah memberi izin bagi Adventis
menjalankan missinya di Tanah Batak, yang segera setelah itu berdirilah
beberapa jemaat Adventis di daerah Tapanuli. Tahun 1936, kota Pematangsiantar dijadikan sebagai pusat
kegiatan Adventis di Sumatera Utara. Selain melalui sekolah-sekolah, cara-cara
penyebaran ajaran Adventis yang dilakukan ialah perkunjungan dari rumah ke
rumah, sambil menjajakan buku-buku dan gambar-gambar Adventis.
Di tempat-tempat lain
seperti di Minahasa (Sulut) usaha penyebaran ajaran Adventis juga telah dimulai
tahun 1920 dan di Ambon tahun 1921. Tetapi
pada waktu itu mereka belum bisa melakukan missinya itu dengan bebas kareana
belum memperoleh izin dari pemerintah Belanda. Tetapi setelah pemerintah
Belanda mengizinkan Adventis menjalankan missinya di Indonesia tahun 1930an, maka
pertumbuhan gerakan Adventis di Indonesia berjalan dengan cukup pesat. Pada
tahun 1985, jumlah anggota Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Indonesia telah
berjumlah sekitar 150000 orang dalam 1500 jemaat. Tiap jemaat, selain dilayani
oleh seorang pendeta. Pelayan-pelayan yang lain yang dikenal dalam gereja itu
terdiri dari: penatua-penatua, diaken-diaken, bendahara, pemimpin Sekolah
Alkitab dan pemimpin usaha PI. Pelayan-pelayan ini dipilih oleh jemaat. Seluruh
jemaat Adventis tergabung dalam Uni Indonesia, yang terdiri atas
sejumlah distrik. Pusat Gereja Masehi Adventis Hari Ketujuh Sedunia ialah di
Washington, Amerika Serikat. Sekali empat tahun diadakan Sidang Raya, yang
dihadiri utusan-utusan jemaat untuk memilih Pengurus Am Uni Indonesia.
GEREJA ROMA KATOLIK DI INDONESIA
1. Permulaan Gereja Roma Katolik di Indonesia. Seperti
sudah diuraikan dalam bagian terdahulu, sejarah Gereja Roma Katolik (RK) di
Indonesia telah dimulai pada zaman Portugis (abad 16). Pada waktu itu
gereja-gereja RK telah berdiri di beberapa daerah di Indonesia, seperti di
daerah Maluku, Sulawesi Utara, Sangir dan Talaud, NTT, dll. Tetapi pada zaman
VOC, gereja-gereja Roma Katolik itu sempat menjadi hilang, kecuali di sebagian
daerah NTT, karena pemerintah VOC, sesuai dengan keadaan di negeri Belanda,
tidak mengizinkan keberadaan Gereja RK di daerah-daerah yang dikuasai. Sebagian
warga gereja RK peninggalan Portugis itu dipaksa menjadi pengikut Gereja
Protestan, dan sebagian lagi menjadi hilang begitu saja, karena tidak ada
pemeliharaan kepada mereka. Dan selama kekuasaan VOC itu, pekerjaan dan misi
gereja RK di Indonesia dilarang. Usaha gereja RK untuk memasuki kembali Indonesia,
terjadi setelah pemerintah Bealnda mengumumkan kebebasan beragama di negeri itu
dan juga di negeri yang dikuasai tahun 1808. Dengan demikian larangan terhadap
RK untuk memasuki Indonesia
selama dua abad itu tidak berlaku lagi. Setelah itu mulailah dikirim imam-imam
gereja RK ke Indonesia.
Dan tahun 1826 Paus menetapkan “prefektur apostolis” yang pertama di Indonesia.
Maksudnya menjadikan Indonesia
sebagai “negeri missi” yang dipimpin dan diatur secara langsung dari pusat
missi RK, melalui sebuah lembaga yang bernama: “Congregatio de propaganda fide”
(Komisi untuk menyiarkan iman), suatu lembaga gereja RK yang didirikan tahun
1622. Ini sesuai dengan bentuk gereja RK pada waktu itu yang membuat perbedaan
antara “daerah gerejani” dan “negeri missi”. Daerah gerejani ialah daerah di
mana gereja RK sudah berkedudukan, sedang “negeri missi” adalah negeri-negeri
di mana missi RK dilakukan masih dalam taraf permulaan. Pengiriman imam-imam
gereaja RK itu ke Indonesia
pada mulanya dimaksudkan untuk melayani orang-orang Kristen RK (asal Eropa)
yang ada di Indonesia.
Pada mulanya sebagaimana halnya diberlakukan kepada petugas gereja Protestan,
penempatan dan pembiayaan petugas-petugas gereja RK itu dilakukan oleh
pemerintah Belanda. Tetapi gereja RK tidak menyetujui peraturan pemerintah
seperti itu, dan menuntut supaya peraturan itu dirobah, dengan alasan, bahwa
keadaan itu tidak sesuai dengan kehormatan dan tugas gereja. Persengketaan
antara gereja RK dan pemerintah Belanda berakhir dengan kemenangan gereja RK
tahun 1847. Mulai pada waktu itu, gereja RK sudah terpisah dari pemerintah
secara administrasi (sedangkan gereja Protestan baru mulai memperoleh keadaan
seperti itu tahun 1935). Jadi mulai tahun 1847 gereja RK sudah mempunyai
kebebasan untuk mengatur organisasinya dengan ikhtiarnya sendiri. Tetapi sama
seperti gereja Protestan, gereja itu masih terus memperoleh bantuan dana dari
pemerintah Belanda sampai tahun 1950.
2. Seperti sudah disebutkan pada poin
1 di atas, usaha-usaha gereja RK waktu
itu pada dasarnya adalah merupakan pelayanan bagi orang-orang yang sudah
beragama RK. Sedang usaha missi pada hakekatnya dilakukan oleh pelbagai ordo
gereja RK yang secara berangsur-angsur juga sudah mulai memasuki Indonesia. Dan
usaha missi itu sering bersandar pada usaha pemeliharaan rohani yang telah ada
di beberapa kota.
Atau dengan kata lain, pusat-pusat pemeliharaan rohani gereja RK itu sering
dijadikan sebagai batu loncatan untuk usaha missi yang sangat giat dilakukan
dan semakin luas. Misalnya di Minahasa, pastori Manado yang didirikan untuk mengadakan missi
RK di sekitar daerah itu, mulai tahun 1886. Cara-cara yang sama juga dilakukan
didaerah-daerah lain, seperti daerah Kalimantan Barat tahun 1854, ke daerah
Timor Utara dan Flores, tahun 1859 dan ke kepulauan Maluku Selatan, tahun 1890.
Usaha-usaha yang kelihatan sangat giat dilakukan dalam menunjang missi RK itu
ialah melalui lapangan pendidikan (sekolah-sekolah) dan rumah-rumah sakit.
Untuk melaksanakan pendidikan itu ratusan “bruder” dan “suster” dari pelbagai
ordo didatangkan. Aturan subsidi untuk sekolah-sekolah swasta yang ditetapkan
pemerintah Belanda menguntungkan bagi mereka, karena para bruder dan suster itu
menerima gajin subsidi dari pemerintah Belanda, yang kemudian mereka serahkan
kepada biara-biara mereka berdasarkan janji-janji mereka. Dengan demikian
yayasan-yayasan sekolah mereka dapat menarik kesimpulan keuntungan dari uang
gaji itu. Di kota-kota besar mereaka mendirikan rumah-rumah sakit yang dilayani
suster-suster. Usaha-usaha itu memperlihatkan suatu perkembangan yang besar,
terutama pada pertengahan pertama abad 20 ini. Menurut Peraturan Pemerintah
(PP) Belanda tentang PI (pasal 123 PP tahun 1854 dan pasal 177 PP tahun 1925),
daerah-daerah penginjilan yang diberi izin kepada gereja RK adalah Flores, Maluku Selatan dan sebagian Irian. Tetapi mereka
selalu mencari jalan untuk bisa masuk ke daerah-daerah lain. Dan sering mereka
masuk ke daerah-daerah yang sudah dikerjakan oleh usaha penginjilan dari pihak
Protestan, misalnya, Tapanuli, Nias, Toraja, dll.
3. Masuknya Missi RK ke Tanah Batak/Tapanuli. Sejak
dasawarsa kedua abad ini, gereja RK sudah mulai berusaha menjalankan missinya
ke tengah-tengah masyarakat Batak. Karena pada waktu itu pasal 123 PP tahun
1854 masih diberlakukan, maka gereja RK mulai menjalankan missinya itu dengan
lebih dulu mengadakan kontak-kontak atau pendekatan kepada orang-orang Kristen
Batak di diaspora, seperti di Medan dan Jakarta. Pada waktu itu orang-orang
Kristen Batak, terutama kaum pemuda, telah banyak merantau ke kota-kota
tersebut untuk melanjutkan sekolah atau mencari pekerjaan yang lebih baik.
Mereka inilah yang dicoba didekati oleh pastor-pastor RK setempat, dan ternyata
banyak dari antara mereka yang bisa dipengaruhi masuk menjadi RK. Pada tahun
1927, sudah ada sebanyak 120 orang anggota HKBP yang beralih menjadi RK. Mereka
inilah sebagian yang mula-mula dipergunakan pihak gereja RK untuk menyebarkan
ajaran gereja RK itu di Tapanuli, dan melalui pengaruh mereka banyaklah anggota
Gereja Kristen Batak (HKBP) yang di Tapanuli tertarik kepada RK. Mereka inilah
kemudian juga diperalat oleh pihak gereja RK untuk menyampaikan tuntutan kepada
pemerintah Belanda agar pastor RK diizinkan bekerja di Tapanuli. Pasal 123 PP
atahun 1854 ini mulai dipertanyakan. Oleh desakan-desakan yang datang dari
pihak gereja RK itu, akhirnya pemerintah Belanda memberi izin kepada gereja RK
untuk menjalankan missinya di Tapanuli. Mula-mula izin itu diberikan untuk
daerah Sibolga (1928), tetapi mulai atahun 1933 diperluas sampai ke daerah
Tapanuli Utara. Kesempatan itu terus dimanfaatkan oleh RK, dengan mendirikan
stasi-stasi RK di tempat-tempat yang dianggap strategis untuk usaha missinya
itu, seperti di Balige, wilayah Toba, Samosir, Habinsaran, Humbang dan
Silindung. Berbagai cara yang dilakukan RK untuk menjalankan missinya itu, antara
lain melalui pengaruh sekolah-sekolah, pelayanan-pelayanan di rumah-rumah
sakit, dan bahkan juga dengan menawarkan gaji yang lebih baik bagi para pekerja
HKBP, asalkan bersedia bekerja dan beralih menjadi RK. Selain itu pembangunan
gedung gereja yang tidak memungut biaya dari warga gereja tidak sedikit artinya
dalam usaha menarik hati orang-orang Kristen Batak agar beralih menjadi anggota
RK. Adanya usaha RK yang tidak segan-segan mengajak orang-orang yang sudah
Kristen (Protestan) menjadi RK, adalah sesuaidengan pandangan gereja itu
(sebelum Konsili Vatikan II: 1962-1965), yang tidak mengakui PI Protestan
sebagai usaha PI yang sah. Orang-orang Kristen yang bukan RK dianggap sebagai
orang-orang Kristen yang palsu dan gereja Kristen Protestan dianggap sebagai
gereja yang murtad dari satu-satunya gereja yang mereka anggap benar, yakni
gereja RK. Pandangan ini sering dikemukakan pihak RK kepada orang-orang Kristen
Batak demi memenangkan missi mereka.
PERGUMULAN KEKRISTENAN DI INDONESIA
Berikut ini akan diuraikan
beberpa pergumulan kekristenan atau gereaja di Indonesia sampai sekarang, sebagai
akibat warisan sejarah kekristenan atau gereja itu dari masa yang lalu, antara
lain:
1. Motivasi menjadi Kristen. Kalau kita
meninjau kepada sejarah kekristenan di Indonesia
dari mulanya, maka terlihat bahwa umumnya orang-orang Indonesia masuk
menjadi Kristen adalah secara berkelompok, terutama mereka yang datang dari
agama suku. Memang ada pula yang masuk menjadi Kristen secara perorangan,
tetapi hany sangat kecil jumlahnya. Mereka yang datang secara perorangan ialah
yang berasal dari agama Islam atau orang yang tinggal di kota-kota. Jadi
sebagian besar orang-orang Kristen di Indonesia adalah berasal dari agama suku,
walaupun memang ada juga dari agama-agama lain, seperti dari Islam, Hindu dan
Budha. Suatu hal yang perlu kita kaji ialah mengapa mereka untuk menjadi
Kristen? Apakah mereka masuk menjadi Kristen karena sudah yakin akan kebenaran
agama Kristen itu? Atau apakah mereka masuk Kristen karena sudah sadar akan
perbedaan antara kepercayaan dan adat mereka yang lama dengan agama Kristen
itu? Memang pertanyaan ini sulit dijawab, karena hal ini menyangkut isi hati
orang, yang tentu tidak bisa kita ketahui secara tepat. Akan tetapi dari
catatan-catatan sejarah masa lalu, kita dapat melihat adanya beberapa alasan
yang mendorong orang-orang Indonesia
menjadi Kristen pada mulanya, seperti ayang diungkapkan oleh Th. Van den End
dalam bukunya Ragi Carita 1 (pasal 14 hal. 106 ff), yakni:
v
Alasan
politis.
Banyak orang masuk menjadi Kristen pada mulanya, seperti pada masa Portugis,
karena mengharapkan bantuan perlindungan dari orang-orang Barat yang datang ke
negeri mereka, dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Ini memang sesuai dengan
situasi masyarakat Indonesia
pada waktu itu, yang saling bermusuhan satu sama lain. Kalau di suatu tempat
ada dua kelompok masyarakat atau raja yang saling bermusuhan, biasanya pihak
yang lemah datang meminta bantuan kepada pihak pendatang dari Barat yang
lengkap dengan persenjataan mereka yang modern. Untuk ini mereka pun bersedia
menerima agama mereka, yakni agama Kristen. Dengan cara demikianlah pada
mulanya banyak orang masuk menjadi Kristen, dan mereka dibaptiskan secara
massal, tanpa lebih dulu menerima pengajaran yang memadai mengenai iman kekristenan
itu.
v
Alasan
psikologis.
Ada juga yang
tertarik menjadi Kristen karena melihat orang-orang Barat bersama agama mereka
mempunyai wibawa yang cukup tinggi, dibanding dengan diri dan agama mereka.
Karena itu untuk memperoleh status yang sama tingginya dengan orang-orang Barat
itu, mereka masuk menjadik. Mereka melihat dalam agama Kristen itu, keinginan
mereka dapat diperoleh.
v
Daya
tarik kepribadian pekabar Injil. Kepribadian para pekabar Injil ada juga yang menjadi
daya tarik bagi orang-orang Indonesia
untuk masuk menjadi Kristen. Misalnya Fransiskus Xaverius, penginjil RK dari
Serikat Yesuit yang kenamaan itu berhasil menarik banyak orang-orang Maluku
menjadi Kristen, karena keramah-tamahan, kesungguhan, kerajinan, semangat dan
pengabdiannya untuk berkorban demi Kristus. Demikian juga Heurnius, seorang
pendeta Belanda di Ambon (1633-01638), yang berhasil untuk menarik banyak orang
di tempat itu menjadi Kristen, karena usahanya untuk mendekatkan diri dengan
masyarakat setempat, dengan bergaul bersama mereka, mempelajari bahasa
setempat, berkhotbah dan melakukan ibadah dalam bahasa itu. Demikian juga
penginjil-penginjil yang diutus oleh badan-badan zending pada abad 19, seperti
I.L. Nommensen di Tanah Batak.
v
Pelayanan
yang dilakukan oleh para missionar, seperti pelayanan kesehatan yang baik,
pendidikan dan usaha-usaha sosial dalam rangka membantu orang-orang miskin, dan
meningkatkan taraf kehidupan mereka. Ini terutama banyak dilakukan oleh
penginjil-penginjil mulai abad 19, setelah para pekabar Injil diutus oleh
badan-badan zending yang telah melatih dan mempersiapkan penginjil-penginjil
itu sebelumnya dalam berbagai bidang pelayanan.
Dengan daya tarik atau
dorongan beberapa faktor yang disebut di atas, maka banyak orang yang masuk
menjadi Kristen secara massal atau berkelompok. Yang menjadi persoalan ialah
bagaimana pengajaran yang diberikan kepada mereka yang telah menyatakan masuk
menjadi Kristen itu. Persoalan ini menyangkut berapa lama persiapan yang
diberikan, cara persiapan dan bahasa yang diberikan dan juga menyangkut tenaga.
·
Lamanya
persiapan.
Umumnya persiapan yang dilakukan sangat singkat sekali, terutama pada missi
Portugis, maupun pada masa zending VOC. Pada waktu itu persiapan itu sering
terjadi hanya beberapa hari saja, atau paling banyak beberapa Minggu saja.
Hanya di tempat yang secara tetap dilayani pendeta, persiapan itu bisa
dilakukan.
·
Cara
persiapan yang dilakukan dan bahan yang diberikan. Bahan-bahan yang diberikan pada
calon-calon baptisan ialah tentang: kedua belas pasal Pengakuan Iman Rasuli,
Kesepuluh Hukum Tuhan dan Doa Bapa Kami. Mereka diharuskan untuk menghafalnya.
Kalau ada kesempatan yang lebih panjang, mereka diberi sedikit penjelasan,
mengenai isinya. Dan kalau ada kesempatan yang lebih panjang lagi, mereaka
diharuskan untuk menghafal isi Katekhismus. Pada zaman Portugis, missi Katolik
mempergunakan katekhismus yang disusun Xaverius. Orang-orang Protestan umumnya
mempergunakan “Katekhismus Heidelberg” (Pengajaran Agama Kristen), dan sebagian
mempergunakan Katekhismus kecil Martin Luther, terutama oleh
penginjil-penginjil yang berlatar belakang Lutheran seperti yang diutus oleh
RMG dari Jerman dan juga buku-buku penjelasan mengenai Katekhismus itu dalam
bentuk tanya jawab. Buku-buku itu juga yang dipergunakan untuk murid-murid di
sekolah dan juga untuk murid-murid sidi.
2. Itulah cara dan bahan-bahan yang
dipergunakan. Tetapi yang menjadi pertanyaan ialah apakah cara dan bahan yang
dipergunakan itu cocok untuk melepaskan mereka dari kepercayaan dan adat mereka
yang lama dan membawa kepada pengetahuan dan kepercayaan yang benar kepada
Allah di dalam Yesus Kristus? Apakah setelah menghafal semua bahan-bahan itu
mereka sudah mengetahui nilai-nilai kekristenan dengan baik, dan menjadi sadar
akan perbedaan antara kepercayaan dan adat mereka yang lama dengan iman dan
tata hidup Kristen? Jawaban yang bisa diberikan berdasarkan perjalanan sejarah
dan juga dari corak kehidupan yang ditunjukkan oleh orang-orang Kristen itu
sendiri ialah pada umumnya tidak. Kenapa dikatakan tidak, antara lain karena:
Pertama, semua bahan-bahan yang
diberikan itu adalah asing bagi orang-orang Indonesia. Rumusan-rumusan dari
bahan-bahan itu semua, adalah mencerminkan pergumulan di Eropa yang tidak
sesuai dengan situasi di Indonesia.
Akibatnya, isinya sulit mengena dalam hati mereka. Walaupun, mungkin isi semua
bahan-bahan itu bisa dihafal oleh otaknya, tetapi hal itu tidak banyak
mempengaruhi kehidupan mereka. Jalan yang terbaik sebenarnya ialah mengolah
bahan-bahan itu sedemikian rupa dan menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi
di Indonesia,
sehingga mereka dapat memahami arti iman Kristen itu bagi seluruh kehidupan
mereka.
Kedua, pola berpikir para
penginjil. Para pekabar Injil tidak banyak
mengenal lingkungan hidup orang-orang hidup orang-orang yang diinjili, yakni
agama dan kebudayaan mereka. Ini disebabkan karena para penginjil itu tidak
merasa perlu untuk mempelajari dunia agama suku dan mereka memandang agama dan
kebudayaan suku-suku itu dari sudut negatif. Artinya mereka melihat agama suku
itu hanyalah penyembahan kepada iblis saja atau penyembahan kepada
berhala-berhala.
- Kurangnya tenaga yang mampu memberikan pembinaan secara kontinu. Karena kekurangan tenaga pembina, orang-orang yang harus dibaptis yang hanya memperoleh pengajaran yang sangat minim sekali, tidak dapat memperoleh pembinaan lanjutan yang bersifat intensif. Hanya di beberapa tempat yang menjadi kediaman pendeta, bimbingan dapat dilanjutkan. Dan kebanyakan orang-orang Kristen pribumi itu hanya dilayani oleh guru-guru Injil aatau penatua-penatua yang tidak memperoleh pendidikan yang memadai. Masalah ini kemudian diatasi dengan mendidik tenaga-tenaga pribumi untuk mampu membina orang-orang Kristen tersebut. Tenaga-tenaga pribumi yang lebih terampil kemudian dipilih untuk dididik menjadi pendeta. Tetapi ini belum dilakukan dengan luas, dan pekerjaan pendeta-pendeta pribumi juga sangat dibatasi.
- Akibat dari pembinaan yang sangat kurang akan ajaran dan nilai-nilai kekristenan, dan apa yang sedikit diperoleh itu kurang meresap dalam hati mereka, maka orang-orang Kristen yang baru itu mudah sekali jatuh kembali kepada cara hidup dan kepercayaan mereka yang lama. Bahkan orang-orang Kristen yang sudah lebih lama pun juga sulit menghayati ajaran-ajaran kekristenan itu, sehingga banyak juga yang menjadi murtad terutama pada masa-masa permulaan kekristenan. Bahkan sampai sekarang boleh dikatakan bahwa kekristenan itu belum begitu kuat berakar dalam kehidupan orang-orang Kristen Indonesia itu.
4. Hidup Persekutuan jemaat Kristen
·
Ibadah.
Pada zaman
Portugis dan VOC, ibadah tidak jarang diselenggarakan dalam tiga bahasa, yakni
dalam bahasa penginjil untuk teman-teman sebangsanya dari Eropa, kemudian dalam
bahasa Melayu sebagai bahasa “kesatuan” orang-orang Indonesia dan bahasa
daerah. Keadaan seperti ini terutama dijumpai di jemaat-jemaat pusat atau
jemaat tempat kediaman pendeta. Dan sesudah banyak penginjil yang diutus oleh
berbagai badan zending dari Eropa, mulai abad 19 yang lalu, ibadah umumnya
dilakukan dalam bahasa daerah, karena pelayanan atau lapangan penginjilan
mereka dikhususkan pada daerah atau suku tertentu. Tetapi semua ibadah itu
adalah mengikuti kebiasaan atau bentuk ibadah yang berlaku di Eropa. Para imam Katolik menyelenggarakan missa menurut cara
yang ditetapkan gereja mereka. Para pendeta
Protestan mengikuti tata ibadah yang dibawakan dari gereja asal mereka di
Eropa. Misalnya, pendeta-pendeta yang berasal dari Belanda mengikuti tata
ibadah yang umum diterima di gereja-gereja Protestan Belanda. Demikaian ajuaga
para penginjil dari Jerman mengikuti tata ibadah yang diterima di gereja mereka
di Jerman. Para penginjil yang mula-mula itu belum ada usaha untuk menyusun
suatu tata ibadah ayang sesuai dengan kondisi Indonesia. Di Gereaja Batak
misalnya, tata ibadah yang dipergunakan diambil dari tata ibadah Gereja Uni di
Jerman.
·
Demikian
juga nyanyian-nyanyian yang dipergunakan dalam ibadah itu adalah nyanyian yang
dibawa dari Eropa, dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu atau bahasa
daerah setempat. Misalnya para pendeta atau penginjil dari Belanda,
mempergunakan nyanyian-nyanyian Mazmur dan nyanyian Rohani, seperti lainnya
dipergunakan di gereja-gereaja Belanda. Kitab Mazmur dan Nyanyian Rohani itu
sudah mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada zaman VOC dan mulai
terbit tahun 1735 dengan judul: “Sij’r, segala mazmur-mazmur Daud dan
pujian-pujian yang lain”. Kitab itu ditulis atas titah segala “Toewan
Pemarentah Kompanija”. Nyanyian-nyanyian itu juga mempergunakan lagu-lagu yang
lazim di gereja Belanda. Hasil yang sama juga terdapat di lingkungan
gereja-gereja suku hasil penginjilan penginjil-penginjil yang diutus
badan-badan zending dari Eropa. Misalnya di HKBP dipergunakan Kitab Nyanyian
yang merupakan kumpulan dari nyanyian-nyanyian yang berasal dari Eropa
khususnya dari Jerman. Lagunya langsung diambil alih, hanya syair-syairnya
diterjemahkan ke dalam bahasa Batak. Dalam hal ini juga terlihat tidak ada
usaha dari penginjil-penginjil itu untuk mempergunakan lagu-lagu Batak. Dan
karena tidak ada usaha penginjil-penginjil itu untuk melestarikan lagu-lagu
atau musik Batak, maka musik asli Batak menjadi hilang.
·
Penterjemahan
Alkitab Islam ke Dalam Bahasa Melayu. Mengenai penerjemahan Alkitab, sikap
zending Protestan berbeda dari sikap msi RK. Misi gereja RK tidak mengusahakan
penerjemahan Alkitab segera, karena dalam pandangan gereja RK, Alkitab bukanlah
merupakan pusat ibadah. Dalam gereja Rk pusat ibadah adalah sakramen. Karena
itu para imam Katolik tetap mempergunakan bahasa Latin. Berbeda dengan zending
Protestan. Penerjemahan Alkitab itu ke dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah
di Indonesia terus diusahakan, karena Alkitab merupakan unsur yang sangat
penting dalam ibadah dan sarana yang sangat penting untuk pembinaan orang-orang
Kristen dan pengajaran bagi orang-orang yang belum Kristen. Untuk pertama kali
kitab PL diterbitkan secara lengkap dalam bahasa Melayu tahun 1668, hasil
terjemahan Brouwerius, yang pernah menjadi pendeta jemaat berbahasa Melayu di
Batavia (Jakarta).
Dia juga sudah menerjemahkan Kitab Kejadian ke dalam bahasa Melayu. Tetapi
terjemahan ini tidak diterima secara resmi oleh gereaja, karena bahasa Melayu
yang dipergunakan adalah “bahasa Melayu rendah”, yang merupakan bahasa Melayu
pasaran. Dalam terjemahan itu pengaruh bahasa Portugis dan bahasa Belanda sangat
nyata, misalnya kata Allah diterjemahkan dengan “deos” dan salib diterjemahkan
dengan “crus”. Dari hasil terjemahan nampak bahwa Brouwerius belum menguasai
bahasa Melayu itu dengan baik. Misalnya, Kej. 13:2, dalam terjemahan bahasa
Indonesia sekarang: “Adapun Abraham sangat kaya, banyak ternak, perak dan
emasnya”. Tetapi dalam terjemahan yang dibuat Brouwerius pembaca mendapat kesan
bahwa Abraham adalah nama ternak itu. Jadi dengan demikian terjemahan itu tidak
bisa dipakai sebagai alat misioner.
·
Karena
terjemahan pertama itu tidak dapat diterima, maka majelis jemaat di Batavia,
menugaskan pendeta Leijdecker, yang melayani jemaat berbahasa Melayu di kota
itu, untuk mengadakan penerjemahan yang lebih baik. Dia sudah lebih ahli dalam
bahasa Melayu, dan sudah menguasai bahasa Melayu tinggi. Tetapi dari atahun
1691-1701, ia hanya selesai mengerjakannya sampai surat Efesus. Yang tertinggal diselesaikan
oleh seorang pendeta yang lain. Terjemahan ini memang juga sulit dipahami oleh
orang yang bukan Kristen, karena kalimat-kalimatnya terikat kepada bentuk
kalimat bahasa aslinya (Ibrani dan Yunani), dan jmuga karena banyak kata-kata
sulit yang dipergunakan. Namun akhirnya pemerintah VOC menerbitkan terjemahan
Leijdecker itu. Dan terjemahan itu umum dipakai oleh jemaat-jemaat berbahasa
Melayu sampai abad 19. Dengan sulitnya memperoleh terjemahan yang tepat, maka
isi Alkitab itu belum bisa terserap dengan baik oleh orang-orang Kristen itu.
Setelah abad 19 lembaga-lembaga zending telah mengusahakan penerjemahan yang lebih
baik dalam bahasa-bahasa daerah, bekerjasama dengan Lembaga-lembaga Alkitab
yang ada.
·
Pelayanan
Sakramen. Pelayanan
sakramen dilakukan imam dalam gereja Katolik dan pendeta dalam gereja
Protestan. Tetapi pada masa missi Katolik, sakramen baptisan tidak jarang juga
dilakukan oleh seorang awam atau seorang bruder yang memperoleh hak resmi untuk
itu. Dan di gereja Protestan pada zaman VOC, sakramen baptisan itu
kadang-kadang juga dilayani oleh “penghibur-penghibur orang sakit” atau
“diakon”. Cara-cara menjalankan sakramen itu juga mengikuti cara-cara di Eropa.
Tetapi pelayanan Perjamuan Kudus harus dilakukan oleh seorang imam atau seorang
pendeta. Dan dalam pelayanan Perjamuan Kudus ini, ada pembedaan dari
orang-orang Kristen yang dilayani. Misalnya dalam gereja Katolik pada zaman
missi, orang-orang Kristen dewasa yang baru dibaptis tidak otomatis bisa
diikutkan dalam sakramen Missa atau Ekaristi, melainkan mereka harus belajar
lebih lanjut lagi, sampai telah dapat menunjukkan hidup suci atau moral yang lebih
baik, barulah mereka boleh menerima sakramen tersebut. Tindakan seperti itu
dilakukan oleh Misi Katolik, karena banyak orang yang dibaptis tanpa persiapan
yang memadai.
·
Gereja
Protestan juga mengikuti praktek Misi itu. Bahkan dalam tata gereja Protestan
atahun 1643 ditetapkan bahwa orang-orang Indonesia yang masuk Kristen hanya
diperbolehkan mengikuti Perjamuan Kudus apabila dia telah mengikuti pengajaran
agama Kristen lebih lanjut dan juga telah menyatakan niatnya untuk itu. Karena
itu hanya di jemaat-jemaat pusat sakramen Perjamuan Kudus itu bisa diikuti oleh
banyak orang, sedangkan di luarnya hampir tidak ada yang mengikuti. Dan boleh
dikatakan bahwa hampir 90% orang-orang Kristen Indonesia pada zaman VOC tidak
pernah mengikuti Perjamuan Kudus. Pada zaman selanjutnya, setelah penginjilan
Protestan dilakukan oleh badan-badan zending, Perjamuan Kudus susah lebih
merata bisa dilakukan oleh orang-orang Kristen Indonesia, karena pada waktu itu
pembinaan kekristenan sudah bisa dilakukan lebih merata. Hanya ada tanggapan
bahwa Perjamuan Kudus hanya bisa dilakukan oleh orang-orang Kristen yang
mempunyai kwalitas kekristenan yang lebih baik, sedangkan orang-orang yang
merasa dirinya masih banyak melakukan dosa enggan mengikuti Perjamuan Kudus.
·
Penggembalaan
dan Disiplin Gereja. Baik
pada zaman Missi Katolik maupun pada Gereja Protestan, penggembalaan dilakukan
dengan mengadakan perkunjungan ke rumah-rumah, dan juga mengunjungi orang-orang
sakit. Penggembalaan atas anggota Gereja Protestan terutama dilakukan berhubung
dengan perayaan Perjamuan Kudus. Artinya, sebelum perayaan, setiap keluarga
dikunjungi oleh seorang pendeta disertai oleh seorang penatua. Yang banyak
mengunjungi orang-orang sakit ialah penghibur-penghibur orang sakit. Kepada
orang sakit itu diberi penghiburan dan dorongan untuk tetap berpengharapan dan
bertekun dalam imannya. Di jemaat-jemaat filial (di luar pusat), penggembalaan
dilakukan oleh guru-guru Injil bertugas di sana. Disiplin gereja juga dipertahankan dan
dijalankan. Di jemaat-jemaat pusat Protestan, pelaksanaan disiplin ini
ditangani oleh majelis jemaat. Pada waktu-waktu tertentu majelis jemaat
membicarakan hidup seluruh jemaat, orang demi orang atau keluarga demi
keluarga. Kalau ada yang tidak setia datang ke gereja, atau yang melanggar hukum-hukum
gereja atau hukum kekristenan, orang tersebut akan dikunjungi dan ditegor,
mula-mula oleh seorang pendeta, kemudian pendeta bersama seorang diaken. Kalau
orang tersebut tetap keras kepala, maka yang bersangkutan harus menghadap
majelis jemaat. Karena gereja berhubungan erat dengan pemerintah pada waktu
itu, campur tangan pemerintah sering juga dimintakan untuk menjaga disiplin
gereja dan menjalankan hukuman bagi orang-orang yang melanggar disiplin
gereaja. Hukuman itu ada berupa denda, dan bahkan ada hukuman mati.
5. Di luar jemaat-jemaat pusat yang
tidak mempunyai pendeta dan belum mempunyai majelis, disiplin itu tidak dapat
dijalankan dengan sungguh-sungguh. Disiplin baru dijalankan kalau pendeta
datang berkunjung. Demikian juga kepada penguasa-penguasa dalam pemerinatahan
VOC dan penjajah, terutama di luar kota Batavia, pelaksanaan
disiplin itu tidak dapat dijalankan dengan sungguh-sungguh. Apabila seorang
penguasa yang melanggar hukum-hukum gereja, pendeta dan majelis jemaat setempat
sering tidak berdaya menghadapi mereka. Misalnya kalau seorang gubernur ditegur
karena perilakunya yang kurang senonoh dsb., kemungkinan besar pendetanya yang
dibelenggu atau yang diadili, telah menghina gubernur tersebut. Karena tidak
berdayanya pendeta atau majelis untuk menjalankan disiplin gereja itu dengan
sungguh-sungguh terhadap semua pihak, khususnya terhadap penguasa dan pejabat
pemerintah, maka korupsi dan pemerasan rakyat merajela. Sejalan itu gereja juga
tidak dapat bersikap kritis terhadap pemerintah, kalau misalnya ada tindakan
pemerintah yang telah melanggar azas-azas kekristenan atau azas-azas hukum
gereja.
·
Organisasi
Gereja. Pada
zaman Portugis, missi Katolik mempunyai organisasi rangkap. Di satu pihak,
karena “padroado”, tugas-tugas gerejani telah diserahkan paus kepada raja
Portugis. Raja itulah yang mengangkat uskup-uskup dan mengirim imam-imam yang
harus memelihara orang-orang Kristen dan mengabarkan Injil kepada orang-orang
yang bukan Kristen. Dengan kata lain gereja dan kegiatan-kegiatannya berada di
bawah pimpinan raja. Tetapi Islam pihak lain ada juga di antara pekerja-pekerja
gereja itu anggota-anggota kebiaraan tertentu, yang juga harus tunduk kepada
kepala ordonya di Roma dan yang harus bertanggungjawab kepada Paus. Ini sering
menimbulkan pertikaian antara pihak pemerintah dan pekerja-pekerja gereja. Dan
dalam hierarki organisasi gereja, pada zaman itu belum ada seorang pun orang Indonesia asli
yang diberi jabatan imam, apabila jabatan uskup.
·
Gereja
Protestan, baik pada zaman VOC maupun pada zaman kolonialis Belanda, berada di
bawah pimpinan pemerintah. Pengangkatan dan pemindahan pendeta serta
tenaga-tenaga lain sama sekali ditangani oleh pemerintah. Rapat-rapat majelis
wajib dihadiri oleh wakil pemerintah. Surat-surat gereja di Indonesia kepada
gereja-gereja di negeri Belanda, harus dikirim dalam keadaan terbuka melalui
pos kompeni. Keadaan gereja yang berada di bawah kekuasaan pemerintah itu telah
melumpuhkan gereja, sehingga gereja tidak dapat mengeluarkan kritik terhadap
pemerintah. Dan kalaupun pihak pendeta dan majelis gereja mencoba mengadakan
protes terhadap pemerintah atas suatu tindakan pemerintah yang tidak memberi
kebebasan kepada gereja, protes-protes itu tidak berguna.
·
Karena
hubungan yang erat antara gereja dan pemerintah, struktur organisasi gereja
juga diresapi oleh suasana yang berlaku dalam tubuh pemerintahan, yakni suasana
hierarkis. Keadaan organisasi gereja itu tidak memberi kesempatan kepada jemaat
untuk berdiri sendiri, karena anggota jemaat, yang berada pada tingkat paling
bawah hanya dijadikan sebagai objek. Pengaruh pemerintah yang sangat besar
menyebabkan gereja diliputi suasana yang tidak cocok dengan hakekatnya sendiri.
6. Perjumpaan
gereja dengan budaya. Dalam bagian ini akan kita lihat bagaimana sikap para
missioner atau para utusan Injil terhadap kebudayaan di Indonesia. Hal
yang sangat perlu ditinjau secara historis, karena sikap gereja-gereja di
Indonesia sekarang terhadap kebudayaan, masih banyak dipengaruhi oleh sikap
yang diwarisi dari utusan-utusan Injil dulu. Untuk ini kita akan melihatnya
dalam tiga daerah penginjilan, yakni Jawa (Jatim dan Jateng), Sulawesi Tengah
dan Tanah Batak.
·
Jawa.
Seperti
sudah diuraikan dalam bagian Sejarah Gereja di Jawa, khususnya di Jatim dan
Jateng, bahwa usaha penginjilan di sana adalah dimulai oleh orang-orang Kristen
perorangan yang berdomisili di sana, barulah kemudian dilanjutkan oleh
badan-badan zending yang datang dari Eropa/Barat, setelah mulai mendapat izin
dari pemerintah Belanda tahun 1850an. Juga sudah dijelaskan bahwa
penginjil-penginjil perorangan itu mempunyai sikap yang berbeda terhadap
kebudayaan setempat atau kebudayaan suku Jawa itu sendiri. Ada yang bersikap positif, sehingga
kebudayaan itu dipergunakan dalam menyebarkan Injil itu dan dalam hidup
kekristenan. Emde (1774-1859) misalnya, seorang Kristen pietis Jerman, yang
tinggal di Surabaya,
dan yang memulai kegiatan PI di Jawa Timur, tahun 1815, menunjukkan sikap
negatif terhadap kebudayaan Jawa. Orang-orang Kristen yang baru dibaptis
dituntut untuk hidup mengikuti kebudayaan atau adat kebiasaan Eropa, misalnya
dalam hal berpakaian. Dan orang-orang Kristen itu tidak diperbolehkan menonton
wayang, mendengarkan gamelan, menyelenggarakan upacara-upacara selamatan secara
adat Jawa, dll, karena adat kebiasaan seperti itu dianggap bersifat kekafiran.
·
Suatu
sikap yang berbeda dengan sikap ini ialah sikap Coolen, yang mengadakan
penginjilan juga di Jawa Timur dengan pusatnya di Ngoro. Dia bersikap positif
terhadap kebudayaan Jawa itu. Dia memang menguasai wayang, musik dan
tari-tarian Jawa, karena ia adalah seorang peranakan Belanda-Jawa. Ayahnya
seorang Belanda, dan ibunya seorang puteri bangsawan Jawa. Pada hari Minggu,
Coolen mengadakan kebaktian di pendopo rumahnya. Dalam kebaktian itu
diperdengarkan nyanyian gaya
tembang Jawa. Pengajaran Kristen disampaikan dengan bermain gamelan, wayang dan
kiki, sambil mengulangi rumus-rumus Kristen (Doa Bapa Kami, dsb), hampir sama
dengan cara yang dipakai oleh santri-santri Islam. Dengan cara seperti itu
tealah terbentuk jemaat Kristen, yang untuk memimpinnya diangkat seorang
pengantar jemaat, yang disebut Kyai penghulu.
·
Kemudian
seorang penginjil pribumi Jawa yang bernama Sadarakh Surapranata berusaha
mengabrkan Injil kepada orang Jawa dan membangun jemaat berdasarkan konteks
sosial dan budaya Jawa abad 19. Jemaatnya merupakan fenomena yang bersifat
Jawa. Sadrakh adalah seorang penginjil yang hidupnya berlatar belakang Islam
Jawa abangan dan berpendidikan pesantren di Jawa Timur. Seperti kebiasaan yang
terdapat dalam masyarakat Jawa untuk mencari “ngelmu”, begitulah Sadrakh tidak
henti-hentinya kesana kemari berguru dari seorang guru yang satu kepada guru
yang lain, sampai pada saat dia menemukan “ngelmu” yang paling tinggi, yakni
keyakinan Kristen, berkat hubungannya dengan orang-orang Kristen awam seperti
Mr. Anthing di Batavia. Setelah dia dibaptis menjadi Kristen, dia menjadi
seorang penginjil di Purworejo, Jawa Tengah. Dia mengabarkan Injil itu sama
seperti kyai-kyai Jawa menyebarkan “nglemu” yang dimilliki, yakni dengan melakukan
perdebatan. Dalam kebiasaan kyai Jawa, barang siapa yang kalah dalam
perdebatan, maka ia bersama-sama dengan muridnya harus tunduk dan berguru
kepada guru atau kyai yang menang. Begitulah Sadrakh, dalam mengabarkan Injil
itu tidak pernah dikalahkan oleh guru-guru “ngelmu” yang lain, sehingga dalam
waktu yang relatif singkat, dia menjadi seorang yang terkenal dan mempunyai
banyak pengikut, sehingga dengan demikian terbentuklah banyak jemaat yang dia
pimpin di banyak tempat di Jateng.
·
Sifat
dari jemaat-jemaat itu juga mencerminkan perkutuan antara guru dan murid-murid
yang lebih menekankan ikatan batiniah daripada ikatan organisasi.
Pengikut-pengikut Sadrakh menganggap diri mereka sebagai anak-anak dan
cucu-cucu Sadrakh. Jemaat setempat dipimpin oleh seorang imam yang diangkat
oleh Sadrakh. Imam-imam itu kebanyakan adalah bekas kyai-kyai atau guru-guru
ngelmu. Para imam itu juga bertanggungjawab
atas kebaktian dan upacara agamaniah yang dilakukan. Dalam kehidupan jemaat,
adat dan tata cara Jawa masih tetap dipertahankan. Karena menurut prinsipnya,
orang Kristen Jawa itu harus tetap tinggal sebagai orang Jawa dengan segala
adat kebiasaannya. Gedung-gedung gereja dibangun bukanlah berbentuk gereja yang
bercorak atau bergaya Eropa, tetapi dibangun berbentuk joglo (rumah Jawa) atau
bahkan juga mirip mesjid Islam. Dan di atasnya tidak dibuat tanda salib, tetapi
persilangan dari dua anak panah tokoh perwayangan Jawa.
·
Pekabar-pekabar
Injil Eropa (Belanda) tidak dapat memahami kekristenan atau jemaat yang dibina
Kyai Sadrakh itu. Karena itu mereka menolaknya. Kyai Sadrakh dianggap sebagai
penyesat dan jemaatnya dianggap bukan sebagai jemaat Kristen yang benar. Tetapi
sampai sekarang jemaat-jemaat peninggalan Kyai Sadrakh itu masih ada, yang
sebagian telah bergabung dengan Gereja Kristen Jawa dan sebagian menjadi Gereja
Kerasulan.
7. Sulawesi Tengah. Seperti sudah kita
ketahui, dalam pembahasan sejarah gereja Sulawesi Tengah, penginjil pertama dan
terkemuka di Sulawesi Tengah ialah A.C. Kruyt (1869-1949). Dia diutus oleh NZG
untuk bekerja di sana
mulai tahun 1891. Dia seorang penginjil yang telah berhasil menanamkan Injil di
tengah-tengah masyarakat Sulawesi Tengah. Keberhasilannya itu disebabkan antara
lain karena dia sudah mempunyai sikap yang lebih terbuka kepada budaya dan
agama asli suku setempat. Dalam pendekatannya terhadap masyarakat Poso, yang
dijadikan sebagai pusat penginjilannya, dia tidak menyerang agama asli
orang-orang Poso itu secara langsung. Ini sudah berbeda dari sikap yang
ditunjukkan oleh penginjil-penginjil sebelumnya dan kebanyakan penginjil pada
zamannya dari Eropa, yang terus menyerang agama dan budaya suku setempat yang
diinjili. Bagi Kruyt usaha PI memerlukan persiapan yang matang. Pekabar-pekabar
Injil wajib mengenal lebih dulu dengan baik lingkungan masyarakat yang didekati
dan menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Berdasarkan pendirian inilah maka dia
tidak menyerang secara langsung agama orang-orang Poso itu, tetapi dia berusaha
lebih dulu mempelajarinya dengan sedalam-dalamnya. Banyak karangan yang
ditulisnya berdasarkan hasil penelitiannya itu, yang membuat dia menerima gelar
“Doctor Honoris Causa” dalam ilmu theologia tahun 1913. Bagi Kruyt, Injil itu
harus diperkenalkan kepada orang dalam lingkungannya sendiri, dan hanya kalau
kita mengenal lingkungan itu dengan baik, maka kita dapat mempertemukan kedua
belah pihak. Hanya dengan cara itu, Injil dapat menjadi kekuatan yang mengubah
kehidupan orang, yakni dari dalam.
8. Dalam pembinaan tata kehidupan
Kristen, sesuai dengan sikapnya terhadap agama dan kebudayaan suku Poso, Kruyt
berusaha supaya tata kehidupan yang harus diterima orang-orang Kristen yang
baru itu sebanyak mungkin mempunyai kesinambungan dengan yang lama. Dalam
banyak hal, pengaruh latar belakang pra-Kristen dalam jemaat tidak ditentang,
melainkan diterima atau dibelokkan saja. Misalnya upacara-upacara membersihkan
kuburan, yang bertujuan menjamin panen yang berhasil, menurut dia baik
dipertahankan, hanya waktunya dipindahkan dari bulan Desember ke hari Paskah,
dan dihubungkan kepada kebangkitan Kristus.
·
Tanah
Batak. Usaha
penginjilan di Tanah Batak dilakukan oleh zending RMG dari Jerman, dan salah
seorang penginjilnya yang paling berhasil dan digelar sebagai rasul orang Batak
ialah I.L. Nommensen. Dalam melakukan pendekatan terhadap masyarakat Batak, dia
telah menggunakan struktur-struktur adat Batak itu sendiri. Mula-mula dia
mendirikan desa atau perkampungan Kristen untuk menampung dan memberi
perlindungan bagi orang-orang Batak. Setelah adanya pemisahan ini maka dibuatlah
ketentuan yang menunjukkan sikap dari para penginjil itu, dalam konferensi
mereka tahun 1872, yakni: setiap partisipasi dalam hal-hal yang bersifat
agamani dilarang dan bahkan dihalang-halangi dengan keras, tetapi persekutuan
adat dipertahankan terus. Itu berarti bahwa orang-orang Kristen tidak boleh
ikut serta dalam “pesta-pesta atau perayaan-perayaan parbegu dan Islam”.
Berdasarkan ini maka orang-orang Kristen yang ikut serta dalam pesta penguburan
orang mati di mana dibunyikan “gondang” atau musik tradisional Batak
dibunyikan, maka mereka akan dikenakan disiplin gereja (dikucilkan dari
gereja), walaupun mereka hanya menonton (maniondur) di sana. Jadi pesta
penguburan orang mati menurut kebiasaan Batak dan juga pemukulan “gondang”
Batak dilarang dilakukan dan diikuti oleh orang-orang Kristen karena hal itu
dianggap bersifat keagamaan parbegu. Sikap membedakan dan memisahkan keagamaan
dan adat Batak itu telah menimbulkan sikap yang mendua dalam diri orang-orang
Kristen di kemudian (bahkan sampai sekarang), yang memisahkan urusan keagamaan
(gereja) dari kehidupan adat Batak itu sendiri.
·
Masalah
lahirnya gereja-gereja suku dan gereja-gereja daerah. Suatu pergumulan
gereja-gereja di Indonesia yang terjadi sampai sekarang ialah keadaan
gereja-gereja di Indonesia yang terdiri dari banyak gereja suku dan gereja
teritorial (daerah). Gereja suku yang dimaksud ialah gereja yang mempunyai
latar belakang kesukuan tertentu, atau yang anggota-anggotanya terdiri dari
suku tertentu. Sedangkan gereja teritorial yang dimaksud ialah gereja yang
ruang lingkupnya terbatas hanya pada daerah atau teritori tertentu. Artinya di
luar daerah tersebut, gereja itu tidak dimungkinkan untuk berdiri, misalnya
GKJW, GPM, GMIM, dll. Banyaknya gereja suku dan gereja teritorial tersebut, merupakan
salah satu penyebab sulitnya gereja-gereja di Indonesia mencapai kesatuannya.
Kalau ditelusuri secara historis, tumbuhnya gereja-gereja suku di Indonesia,
seperti: HKBP, GKPS, GKPA, GBKP, HKI, dll., dan gereaja-gereja daerah seperti
disebut di atas, pertama disebabkan oleh situasi di Indonesia pada zaman
penjajahan Belanda, dan kedua, juga disebabkan oleh cara penginjilan yang
dilakukan di Indonesia oleh badan-badan zending dari Eropa pada abad 19 yang
lalu. Memang sampai pertengahan abad 19 yang lalu, di Indonesia belum dikenal
adanya gereja-gereja suku dan gereja-gereja daerah. Yang ada pada waktu itu
hanya satu gereja yakni: Gereja Protestan di Indonesia (Indische Kerk), yakni
gereja yang langsung diasuh oleh negara dan pemerintah kolonial Belanda. Dan
walaupun pada waktu itu sudah ada para missioner di Indonesia, mereka masih bekerja
dalam lingkungan gereja Protestan tersebut. Tetapi seperti sudah diuraikan
dalam bagian-bagian terdahulu, mulai pada pertengahan abad 19 yang lalu, telah
terjadi suatu babak baru dalam sejarah PI di Indonesia. Karena mulai pada waktu
itu berdatanganlah banyak penginjil-penginjil yang diutus oleh bermacam-macam
badan zending dari Eropa. Keadaan ini dimungkinkan oleh keluarnya tahun 1854
Peraturan Khusus dari pemerintah kolonial Belanda yang mengatur dan memberi
kemungkinan bagi bermacam-macam badan zending untuk bekerja di Indonesia di
luar lingkungan Gereja Protestan. Dalam pasal 123 Peraturan itu ditetapakan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
·
Guru-guru
Kristen, imam-imam dan missionaris-missionaris harus terlebih dahulu memperoleh
izin khusus yang diberikan atas nama atau langsung oleh Gubernur Jenderal,
untuk diperbolehkan bekerja di suatu daerah tertentu di Indonesia.
·
Bila
izin yang telah diberikan itu kemudian dianggap merugikan pemerintah, atau
apabila syarat yang ditetapakan tidak ditaati, maka izin tersebut dapat dicabut
oleh Gubernur Jenderal.
·
Perundang-undangan
ini yang kemudian diperbaharui tahun 1925 dengan pasal 177, telah memberi
peluang kepada usaha penyebaran Injil oleh berbagai badan zending, asalkan
memperoleh izin dari pemerintah yang berkuasa. Dan pemerintah kolonial Belanda
telah memberi izin kepada pemerintah yang bekerja di Indonesia. Badan-badan
zending itu ada yang datang dari negeri Belanda, seperti NZG (Nederlands
Zendeling Genootschap), NZV (Nederlands Zendings Vereeniging), NGZV (Nederlands
Gereformeerde Zendings Vereeniging), DZV (Doopsgezinde Zendings Vereeniging),
dll., ada yang datang dari Jerman seperti RMG (Rheinische Missionsgesellscahaft),
ada yang datang dari Swiss, seperti: Basler Mission, dan ada yang datang dari
Amerika Serikat, seperti CAMA (Kemah Injil), dll.
9. Penyebaran
Injil yang dilakukan oleh badan-badan zending itu umumnya tidak berhubungan
dengan GPI yang diasuh oleh pemerintah Belanda, tetapi bekerja secara
sendiri-sendiri di daerah-daerah atau suku-suku tertentu sesuai dengan
pengaturan dan izin yang diperoleh dari pemerintah kolonial Belanda. Di
daerah-daerah atau suku-suku tertentu, tumbuhlah jemaat-jemaat Kristen yang mempergunakan
bahasa daerah/suku tersebut, dan mengikuti tradisi atau corak teologi yang
dibawakan oleh penginjil-penginjil itu, sesuai dengan latar belakang
kegerejaannya di Eropa atau Amerika. Dengan demikian tertanamlah dasar-dasar
bagi tumbuhnya gereja-gereja yang bersifat kesukuan (ethnis) dan kedaerahan di
Indonesia, yang mempunyai corak dan tradisi yang berbeda-beda, sesuai dengan
latar belakang historis yang menempa dirinya. Gereja-gereja suku dan
gereja-gereja daerah itu kemudian makin menuntut menjadi gereja yang berdiri
sendiri, yang dimulai oleh HKBP tahun 1930, dan disusul oleh gereja-gereja
lain. Tetapi di kemudian hari keadaan ini telah menimbulkan banyak masalah dan
pergumulan yang dihadapi oleh gereja-gereja di Indonesia, karena ternyata dalam
masing-masing gereja itu, sifat kesukuan dan kedaerahan sering lebih menonjol.
Dan sifat-sifat itu sering telah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
perpecahan gereja-gereja itu sendiri, dan bahkan seperti sudah disebut di atas,
sebagai salah satu faktor penghambat dalam mewujudkan gereja Kristen yang esa
di Indonesia.
·
(Masalah
hubungan gereja dan negara).
Pada masa Portugis di
Indonesia gereja dan negara merupakan dua lembaga yang tidak terpisahkan satu
sama lain. Kepada penguasa Portugis telah diberikan oleh Paus hak untuk
mengurus dan mengatur pekerjaan gereaja (padroado). Orang-orang Portugis di
Indonesia telah mempergunakan kedua lembaga itu untuk mencapai tujuan ekonomi,
politik dan agama mereka. Tetapi situasi itu kemudian telah menimbulkan masalah
di dalam tubuh gereaja RK. Para anggota ordo yang patuh kepada Paus telah
mengkritik usaha orang-orang Portugis yang telah memperalat gereja dalam
mencapai tujuan ekonomi dan politis. Gereja telah diperlakukan oleh orang-orang
Portugis itu berada di bawah kekuasaan negara. Tetapi bagi para anggota ordo
itu, gereja harus berada di atas negara bukan menjadi sebaliknya, seperti
diinginkan dan dilaksanakan oleh pedagang-pedagang Portugis yang sekaligus
telah menjadi penguasa itu. Karena gereja diperlakukan di bawah kekuasaan
negara, maka gereja menjadi lumpuh, dan tidak melakukan kegiatan PI yang
intensif. Usaha PI dilakukan, kalau usaha itu diperkirakan mendukung kepada
kemajuan ekonomi dan politik mereka. Kalau diperkirakan merugikan, maka
kegiatan itu dihentikan.
·
Pada
zaman VOC
di Indonesia, hubungan gereja dan negara, hampir sama dengan yang terjadi pada
zaman Portugis, yakni gereaja di bawah kekuasaan negara, bahkan gereja itu ikut
diperalat oleh VOC dalam mencapai tujuan ekonomi dan politiknya di Indonesia.
Tujuan utama orang-orang Belanda (VOC) juga sama dengan tujuan orang-orang
Portugis, yakni melaksanakan monopoli perdagangan, yang untuk itu perlu
menguasai daerah-daerah yang menghasilkan tanam-tanaman yang berharga dalam
perdagangan mereka. Jadi berangkat dari tujuan ekonomi itu, mereka ingin
menguasai daerah demi daerah secara politis. Sikap mereka terhadap agama
setempat (Islam dan agama suku) didasarkan atas tujuan ekonomi dan politis
mereka itu. Untuk memelihara rohani orang-orang Belanda di Indonesia, VOC
memperkerjakan sejumlah pendeta dan pelayan-pelayan gereaja yang lain. Dan
sejauh tidak merugikan terhadap usaha dagang mereka, para pendeta ini juga
ditugaskan oleh VOC untuk mengabarkan Injil di tengah-tengah orang-orang
pribumi yang masih menganut agama suku. VOC dalam hal ini menganggap dirinya
sebagai negara yang berkewajiban mendukung kehidupan bergereja bagi
anggota-anggotanya, dan juga untuk memprotestankan “orang-orang RK dari
kalangan pribumi sebagai peninggalan dari orang-orang Portugis”. Tetapi VOC
sebagai sebuah serikat dagang yang mengutamakan keuntungan ekonomis, tidak
pernah melakukan seluruh tuntutan pasal 36 dari Pengakuan Iman Belanda terhadap
setiap “penguasa Kristen”, yaitu “memelihara gereja yang kudus, melawan serta memberantas
segala agama palsu dan penyembahan berhala, memusnahkan kerajaan anti Kristus
dan memajuka kerajaan Yesus”. VOC sebagai penguasa Kristen Protestan (Calvinis)
di Indonesia, tidak selalu sependapat dengan negara Belanda dalam bidang
keagamaan atau kegerejaan. Gereja Protestan VOC yang secara praktis berpusat di
Batavia, terlalu dikuasai oleh VOC. Penguasaan VOC atas gereja itu terutama
nampak dalam tiga hal, yakni:
·
Pertama,
di bidang rapat-rapat majelis gereja. Setiap rapat majelis gereja harus dihadiri
oleh orang yang mewakili pemerintah VOC pada waktu itu. Pemerintah melalui
wakilnya itu ingin mengetahui segala sesuatu yang dibicarakan dan diputuskan
dalam rapat, dan kalau perlu ikut mempengaruhi segala keputusan yang akan
diambil oleh rapat.
·
Kedua,
dalam hal mutasi para pendeta. Hak untuk menempatkan dan memindahkan para
pendeta yang dikirim oleh “gereaja induk” dari nergeri Belanda, berada di
tangan Gubernur Jenderal sebagai penguasa tertinggi di daerah kekuasaan VOC.
Dalam soal penempatan dan mutasi para pendeta itu sering terjadi perselisihan
antara “gereja induk” dan penguasa Kristen di Indonesia.
·
Ketiga,
di bidang surat menyurat antara gereja di Indonesia dengan “gereja induk” di
negeri Belanda. Segala surat-surat yang dikirim oleh gereja VOC di Indonesia
harus melalui sensor Gubernur Jenderal, supaya perbuatan gereja itu selalu
sesuai dengan keinginan penguasa VOC. Hal ini berlangsung terus hingga masa
pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, sampai terjadinya pemisahan secara
“administratif” antara gereja dan negara tahun 1935.
Semuanya ini menunjukkan betapa
kedudukan gereja pada zaman VOC sebagai gereja negara, yang sangat dikuasai
oleh pemerintah VOC. Cita-cita “gereja induk” di negeri Belanda yang mau
menerapkan tata gereja “presbiterial sinodal” di dalam tubuh gereja di
Indonesia tidak berhasil, karena segala sesuatu yang menyangkut persoalan
organisasi dalam gereja VOC itu, adalah ditentukan oleh Gubernur Jenderal.
Setelah VOC bubar, dan digantgi oleh pemerintahan kolonial Belanda, kebebasan
beragama/bergereja telah dicanangkan di seluruh daerah jajahan Belanda di
Indonesia. Itu berarti bahwa agama yang dianggap resmi di daerah kekuasaan
Belanda, bukan lagi hanya agama Protestan Calvinis, tetapi juga agama-agama
Kristen lainnya, baik yang tergolong kepada Gereja Reformasi, maupun Gereja
Roma Katolik. Itu berarti, bahwa pada dasarnya, tidak ada lagi gereja yang
berkedudukan sebagai gereja negara.
Raja Belanda, Willem I, sebagai
penguasa tertinggi di negeri Belanda dan daerah-daerah jajahan ingin menerapkan
kehidupan kebebasan beragama di kalangan orang-orang Kristen Protestan, baik di
negeri Belanda maupun negeri jajahan. Raja ingin mempersatukan berbagai gereja
Protestan menjadi satu Gereja. Untuk menjalankannya, Willem I telah mengumumkan
Penetapan Raja tahun 1815, yang melimpahkan segala urusan kegerejaan kepada
kementerian jajahan. Di samping itu, di Den Haag dibentuk satu komisi yang
disebut “Haagse Commissie” yang bertugas untuk menyediakan tenaga-tenaga gereja
untuk daerah jajahan di Indonesia. Langkah ini adalah suatu upaya untuk
melepaskan Gereja Protestan di Indonesia dari ketergantungannya dengan “gereja
induk” di negeri Belanda, yakni Gereaja Hervormd. Dengan demikian akan terbuka
suatu jalan untuk membentuk suatu “gereja kesatuan” di Indonesia untuk
menggantikan “Gereja Calvinis”. Penetapan “Gereja Kesatuan” itu dikukuhkan oleh
Raja tahun 1835 untuk seluruh gereja-gereja “Kristen Protestan” yang ada di
Indonesia, baik yang berasal dari orang Eropa maupun yang menjadi Kristen dari
kalangan pribumi, tanpa membedakan jenis konfesi tertentu (hervormd, lutheri,
baptis, dll). Dalam peraturan gereja itu tahun 1840, ditetapkan bahwa setiap
orang Protestan adalah anggota dari Gereja tersebut. Ajaran dari Gereja
Kesatuan itu dirumuskan secara sederhana dan singkat, sebagai berikut: “Ajaran
agama dari pada Gereja Protestan Am di Indonesia adalah ajaran dari pada Injil
sesuai dengan asas-asas Protestan”.
Tetapi walau secara teoritis
pemerintah Belanda telah menetapkan kebebasan beragama/bergereja di seluruh
daerah yang dikuasai, namun di Indonesia pemerintah kolonial Belanda tidak
memberlakukan kebebasan bergereja itu bagi Gereja Kesatuan atau “Gereja
Protestan di Indonesia” itu. Secara struktur gereja ini masih tetap
diperlakukan sebagai “Gereja Pemerintah” atau “Gereja Negara”, sebagaimana
halnya terjadi pada Gereja VOC. Pengurus Pusat (Kerkbestuur) dari gereja itu
berkedudukan di Jakarta adalah dibentuk oleh Pemerintah Belanda. Ketuanya
adalah salah seorang anggota “Dewan Hindia Belanda”, anggotanya terdiri adari
para pendeta yang bertugas di Jakarta. Mereka dilantik oleh Gubernur Jenderal
sebagai pelaksana penguasa tertinggi di Indonesia. Pengangkatan, penempatan,
dan pemindahan para pendeta, atau usul dewan pengurus, dilakukan oleh Gubernur
Jenderal. Semua biaya gereja juga ditanggung oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dan surat-surat dari Gereja atau dari pendeta yang bertugas di Indonesia yang
ditujukan kepada “gereja induk” di negeri Belanda juga harus disensor oleh
Gubernur Jenderal. Dengan demikian kebebasan bergereja itu dalam tubuh GPI
tidak terlaksana sama sekali, dan bahkan sebagaiman pada zaman VOC, gereja itu
juga dipakai sebagai alat politisnya.
10. Keadaan ini tidak diinginkan oleh kalangan tertentu (tokoh gereja
dan juga politis) di negeri Belanda dan juga di daerah jajahan di Indonesia.
Sejak tahun 1863 pihak pemerintah kolonial Belanda telah mengupayakan pemisahan
lembaga gereja dari lembaga negara, tetapi gagal, karena belum ada jalan keluar
untuk mengatasi masalah sumber daya dan dana yang selama ini datang dari
pemerintah kolonial Belanda. Persoalan ini juga telah pernah dibahas selama
dalam “Dewan Rakyat” (Volksraad), pemisahan gereja dan negara bukan hanya di
bidang administrasi, tetapi juga di bidang keuangan. Tetapi usul ini juga tidak
berhasil, karena telah muncul pula usaha-usaha dari gereja-gereja di daerah
tertentu yang dulu masuk naungan GPI menjadi Gereja yang berdiri sendiri.
Misalnya GMIM sudah menyatakan berdiri sendiri tahun 1934 (30 September), satu
tahun sebelum Ratu Belanda menetapkan pemisahan lembaga Gereja dan Negara
secara administratif dalam lingkungan GPI, yakni 1 Agustus 1935. Setelah itu
menyusul lagi gereja-gereja daerah lain yang dulu dalam naungan GPI, menjadi
gereja yang berdiri sendiri, yakni: GPM tahun 1935 (6 September), GMIT tahun
1947 dan GPIB tahun 1948. Tetapi walaupun GPI dan gereja-gereja itu semua telah
dinyatakan berdiri sendiri, namun masih banyak tergantung dalam bidang keuangan
kepada pemerintah kolonial Belanda. Pemisahan di bidang keuangan barulah
dilakukan 15 tahun setelah penetapan raja tahun 1935 itu, yakni setelah
penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia merdeka. Dengan demikian GPI
beserta gereja-gereja daerah dalam lingkungannya sudah berdiri sendiri dalam
segala urusan gereja, terpisah dari lembaga Negara atau pemerintah. Usaha untuk
menjadi gereja yang berdiri sendiri timbul juga di tengah-tengah gereja-gereja
di luar naungan GPI, yakni gereja-gereja yang dihasilkan oleh berbagai badan
zending yang datang dari luar. Usaha ini erat kaitannya dengan gerakan
nasionalisme yang timbul di tengah-tengah bangsa Indonesia, yang berjuang untuk
membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan kolonial. Dalam kaitannya dengan
gerakan kemandirian itu, gereja-gereja tersebut telah berusaha untuk melepaskan
diri dari dominasi pendeta-pendeta Eropa/Barat, dan ingin dipimpin oleh putera
daerah sendiri. Peluang untuk memperoleh status sebagai gereja yang memperoleh
pengakuan dari pemerintah telah dimungkinkan oleh Keputusan Raja (Belanda) tahun
1925, yang menetapkan bahwa: “gereja-gereja serta perhimpunan-perhimpunan
gerejawi, bersama masing-masing unsurnya yang mandiri…secara hukum memiliki
kedudukan badan hukum”. Berdasarkan Keputusan Raja tahun 1925 itu telah banyak
gereja suku dan gereja daerah yang memohon untuk mendapat pengakuan sebagai
badan hukum. Permohonan itu diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan
syarat, permohonan itu disetujui oleh “gereja induk” atau lembaga PI yang telah
melahirkan gereja tersebut. Pemberian status sebagai badan hukum yang
memperoleh pengakuan dari pemerintah Belanda dimulai kepada HKBP tahun 1931,
setelah gereja ini telah menyusun tata gerejanya yang membuat gereja itu
memperoleh status sebagai gereja yang berdiri sendiri mulai tahun 1930. Setelah
HKBP menyusul GKJW (1931) dan Gereja Kristen Pasundan tahun 1934, dll. Dengan
status sebagai badan hukum maka gereja itu dapat memperoleh perlindungan hukum
dari pemerintah, dapat mempunyai hak milik, melakukan jual-beli, transaksi
utang-piutang, gugat-menggugat berdasarkan peraturannya yang telah ditetapkan,
dll.
11. Setelah Kemerdekaan
Indonesia tahun 1945, sebagian kebijaksanaan yang pernah dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda sudah berakhir, sejak pemerintahan diganti oleh
Pemerintah RI. Namun menurut J.R. Hutauruk (Perjumpaan Gereja dengan Negara
dalam Proses Sejarah Gereja di Indonesia, sebuah makalah dalam Studi
Institut Sejarah Gereja 5-15 Juli 1993 di Kaliurang, Yogyakarta), paling
sedikit ada tiga hal yang masih tetap hadir dalam kehidupan bergereja dalam
lingkungan pemerintah RI sampai kini, yakni:
Pertama:
kebebasan beragama sebagai salah satu unsur dari hak-hak asasi manusia tetap
berlaku hingga kini, seperti tercantum dalam UUD RI 1945. Sejiwa dengan ini,
pemerintah RI telah mengeluarkan “Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri” No. 01/BER/mdn-mag/1969 tentang: Pelaksanaan tugas aparatur
pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan
dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya”. Keputusan itu telah disambut oleh
pihak Kristen Protestan dan Katolik melalui “Dep. Gereja dan Masyarakat DGI dan
Kantor Wali Gereja Indonesia” dalam bentuk “Memorandum”, Jakarta 10 Oktober
1969. Berdasarkan beberapa konsiderasi historis dan hukum diungkapkan bahwa,
“…kami berpendapat bahawa Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri…tidak dapat menjamin kemerdekaan beragama seperti tercantum dalam pasal
29 UUD 1945, bahkan dapat membahayakan kesatuan dan persatuan negara dan bangsa
Indonesia…mohon ditinjau kembali”.
Kedua:
lembaga-lembaga gereja yang dulu telah diakui sebagai “gereja” dan dengan
demikian memiliki status badan hukum, seperti nampak dalam kebijakan pemerintah
RI membaharui pengakuan pemerintah terdahulu. Contoh: Pengakuan Pemerintah
untuk HKBP tanggal 11 Juni 1931 No. 48, Lembaran Negara tahun 1932, No. 360,
telah dilanjutkan dengan Pengakuan Ulang Pemerintah RI tanggal 2 April 1968,
No. Dd/P/DAK/d/135/68 dan Pengakuan Ulang Pemerinatah RI Cq. Dep. Agama RI No.
33 tanggal 6 Pebruari 1988. Sejajar dengan statusnya sebagai Badan Hukum, maka
setiap gereja di Indonesia harus memperhatikan dan melaksanakan ini dari “UU RI
No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan”. Dalam pasal 1 disebut:
“Dalam UU ini yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah Organisasi
yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara RI secara suka rela atas
dasar kesamaan kegiatan, profesi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, untuk berperan serta dalam Pembangunan dalam rangka mencapai tujuan
nasional dalam wadah Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”. Dan
DGI/PGI melalui keputusan Sidang Raya di Ambon telah menyetujui bahwa DGI/PGI
beserta anggota-anggotanya telah mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sebagaimana tercantum
dalam pasal 2 UU RI No. 8 tahun 1985 di atas. Pengakuan tersebut telah
tercantum dalam tata negara masing-masing Gereja.
Ketiga:
dalam bidang PI, misi atau dakwah, yang sejak dulu telah diatur sedemikain rupa
sehingga asas kebebasan beragama dan aspek kehidupan umum yang harus menjaga
“keamanan dan ketertiban” masih mewarnai pergumulan setiap pemeluk agama di
Indonesia saat ini. Keputusan menteri agama No. 70 dan 77 tahun 1978 dalam
rangka penyelenggaraan kebebasan beragama dan pemeliharaan kerukunan nasional
telah disambut oleh pihak Kristen Protestan dan Katolik melalui suatu tinjauan
kritis serta memberikan beberapa alternatif untuk melaksanakannya.
Dari keterangan di atas
nampak bahwa gereja- gereja di Indonesia dalam hubungannya dengan negara
(pemerintah) yang berkuasa telah mengalami pergumulan yang berat sepanjang
sejarahnya. Dari sudut pandangan pemerintah yang berkuasa gereja sering dilihat
hanya sebagai suatu organisasi yang sama sifatnya dengan organisasi-organisasi
kemasyarakatan lainnya. Karena itu, gereja sering diperlakukan di bawah
kedudukan negara atau di bawah kekuasaan pemerintah yang berkuasa. Akibatnya,
gereja sering tidak bisa secara bebas untuk melakukan tugas panggilannya di
tengah-tengah dunia lingkungannya. Secara ekllesiologis teologis kita memahami bahwa gereja tidak bisa disamakan
dengan organisasi biasa yang ada di dunia ini, karena yang melahirkan gereja
itu bukanlah manusia bukan pula badan zending atau lembaga negara, melainkan
Yesus Kristus yang adalah kepala gereja
itu. Kelahiran gereja itu terjadi melalui baptisan orang-orang yang mengaku
percaya kepada Allah Bapa anakNya Yesus
Kristus dan Roh Kudus. Bukan oleh karena kesepakatan beberapa orang,
sebagaimana lajimnya suatu organisasi biasa di dunia ini. Gereja senantiasa
terpangil untuk bersaksi di tengah-tengah dunia ini, termasuk di tengah-tengah
bangsa dan negara di mana ia berdiri, untuk membawa damai sejahtera. Dalam
menjalankan tugas panggilan ini, gereja perlu bekerjasama dengan pemerintah
yang berkuasa. Ini berarti bahwa kedudukan gereja bukan di bawah negara dan
sebaliknya negara bukan di bawah gereja tetapi gereja dan negara atau
pemerintah harus berjalan seiring dalam upaya membina warganya mencapai
kehidupan seutuhnya yang damai sejahtera baik rohani maupun jasmani.
Daftar Beberapa Peristiwa
Penting Dalam Sejarah Gereja Indonesia
·
1498: Orang-orang Portugis (Vasco Da Gama)
menemukan jalan laut ke Asia
·
1510:
Orang-orang Portugis menduduki kota Malaka yang dijadikan pusat kegiatan mereka
di kepulauan Nusantara.
·
1512: Orang-orang Portugis tiba di Maluku.
·
1522:
Orang-orang Portugis mendirikan benteng di Ternate yang dijadikan sebagai pusat
kegiatan mereka di Maluku.
·
1534:
Penduduk Mamuya (Halmahera Utara) menerima agama Kristen.
·
1535:
Perang antara kerajaan-kerajaan di Maluku Utara. Jemaat-jemaat Kristen di
Halmahera Utara menderita. Martir-martir pertama di Indonesia.
·
1536-1540:
Antonio Galvao menjadi Gubernur di Ternate, ia memulihkan keadaan agama kristen
di Maluku Utara
·
1538:
Orang-orang Portugis mengalahkan armada dari Jawa dekat Ambon.
·
1546-1547:
Franxiscus Xaverius bekerja di Maluku
·
1556:
Antonio Taveira OP membaptis ribuan orang di Timor dan Flores
·
1558:
Kota Malaka dijadikan keuskupan yang mencakup sampai ke Indonesia. Agama
Kristen di Maluku mengalami penghambatan akibat tindakan sewenang-wenang orang
Portugis terhadap Sultan Ternate.
·
1560-an:
Kedudukan agama Kristen di Maluku pulih kembali.
·
1561:
Nusa Tenggara Timur menjadi daerah misi ordo dominikan
·
1563:
Fater Magelheisa membawa agama Kristen ke Sulawesi Utara
·
1569:
Misionaris-misionaris dari ordo Fransiscan dikirim ke Jawa Timur
·
1570:
Orang-Orang Portugis membunuh Sultan Hairun dari Ternate, berkobarlah perang
antara Ternate dan Portugal. Agama Kristen di seluruh Maluku sangat menderita.
·
1574:
Benteng Portugis di Ternate ditinggalkan.
·
1578:
Orang-orang Portugis membangun benteng baru di Tidore, Tidore menjadi pusat
misi di Maluku dan sekitarnya.
·
1590:
Perlawanan terhadap Portugis, misi di Solor dan Flores.
·
1596:
Kapal-kapal Belanda pertama sekali muncul dalam perairan Nusantara.
·
1599:
Misi di Jawa Timur berhenti, Panarukan
dan Blambangan di Islam-kan.
·
1602:
VOC didirikan
·
1605:
Benteng Portugis di Ambon diserahkan kepada orang Belanda, orang orang Ambon di
jadikan Protestan. Orang-orang Portugis meninggalkan Maluku.
·
1606:
Orang-orang Spanyol dari Filippina mengalahkan Ternate dan menempati benteng
Portugis di Tidore, mereka mengambil alih usaha misi di Halmahera dan Sulawesi
Utara.
·
1607:
Orang-orang Belanda mengikat perjanjian
dengan Ternate.
·
1608:
Orang-orang Kristen Ambon meminta supaya sekolah dibuka kembali
·
1612:
Ambon dan Kupang mendapat seorang pendeta
·
1613:
Solor direbut orang-orang Belanda, misi di Halmahera ditinggalkan.
·
1614:
Ds. Wiltens di Ambon
·
1619:
Misi di Sulut di hidupkan kembali, Batavia didirikan dan dikepung oleh Sultan
Mataram
·
1620:
Ds. Dackaerts membuka pendidikan guru di Ambon.
·
1621:
Jemaat Batavia didirikan
·
1621-1633:
Seminari teologia di Leiden Nederland khusus untuk mendidik pendeta-pendeta
bagi jemaat-jemaat di Asia
·
1622:
Usaha misi di seluruh dunia ditempatkan di
bawah pengawasan suatu badan pusat di Roma yakni: Congregatio de
propaganda vide
·
1622:
Ds. Hulseboss meninggal di Ambon.
·
1623:
Peraturan gereja Batavia dikeluarkan
·
1624-1633:
Ds. Heurnius di Batavia. Pergumulan antara gereja dan pemerintah VOC mengenai
kebebasan gereja. Usaha zending di kalangan orang-orang Tionghoa.
·
1625:
Jemaat Ambon mendapat majelis, seorang
pendeta ditempatkan di Banda.
·
1628:
Misi di Siau dihidupkan kembali.
·
1633-1635:
Ds. Heurnius di Saparua berusaha untuk memakai bahasa daerah.
·
1635:
Heurnius kena racun, ia pindah ke Ambon dan di sana mendidik calon-calon
pendeta dari orang-orang Ambon
·
1638:
Heurnius meninggalkan Ambon
·
1661:
Ds. Cornelis Senen meninggal
·
1663:
Orang-orang Spanyol meninggalkan Maluku
·
1666:
Orang-orang Belanda membangun Benteng di Manado, orang-orang Kristen di
Minahasa di Protestankan
·
1667/1683:
Ternate ditaklukkan Belanda.
·
1667:
Perjanjian Baru terjemahan Brouwerius terbit.
·
1670:
Raja Salomo dari Kupang dibaptis; seorang pendeta ditempatkan di Kupang tetapi
segera meninggal.
·
1670-1675:
Seorang penghibur orang sakit bekerja di pulau Aru.
·
1675:
Seorang pendeta ditempatkan di Manado, tetapi segera meninggal. Sangir untuk
pertama kali dikunjungi oleh seorang pendeta.
·
1676:
Belanda dan Ternate merebut pulau-pulau Sangir dan Siau. Orang-orang Kristen di
sana diprotestankan.
·
1690:
Usaha Missi di Kalimantan. P. Ventimiglaia dibunuh.
·
1691:
Ds. Leijdecker ditugaskan menerjemahkan Alkitab.
·
1701:
Ds. Leijdecker meninggal.
·
1706:
Terjemahan Leijdecker selesai.
·
1733:
Alkitab Terjemahan Leijdecker selesai dicetak.
·
1734:
Buku Mazmur gubahan Werndly terbit.
·
1740
an: Gerakan ke arah Agama Kristen di pulau Rote.
·
1743:
Zendeling-zendeling Hernhut (Pietis) ditolak VOC.
·
1750:
Gerakan ke arah Agama Kristen di pulau Sawu.
·
1753:
Seorang pendeta ditempatkan di Kupang dan Semarang.
·
1758:
Seorang pendeta ditemaptkan di Surabaya.
·
1765:
Di Batavia bekerja 13 orang pendeta.
·
1797:
“Nederlands Zendeling Genootschap” (NZG) didirikan di negeri Belanda.
·
1799:
VOC dibubarkan.
·
1800:Indonesia
di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda.
·
1807:
Kebebasan beragama mulai berlaku di Hindia Belanda.
·
1808:
Dua imam Katolik Roma mendarat di Batavia.
·
1811
: Pulau Jawa diduduki Inggris. Tinggal tiga orang pendeta di sana.
·
1812:
William Robinson dari Baptist Missionary Society (BMS) tiba di Batavia.
·
1814:
Joseph Kam dan Bruckner tiba di Batavia. Kam bekerja di Surabaya dan berhasil
mengobarkan semangat Emde. Jabez Carey dari BMS tiba di Ambon.
·
1815:
Joseph Kam tiba di Ambon. Baseler Mission didirikan.
·
1817:
Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dibentuk. Joseph Kam mengadaakan perjalanan
ke Ternate, Minahasa dan Sangir.
·
1818:
Jabez Carey dilarang pemerinatah kolonial Belanda bekerja di Ambon dan kembali
ke India; NZG mengutus rombongan zendeling yang kedua berjumlah tiga orang.
·
1819:
Le Bruyn menjadi pejabat pendeta di Kupang.
·
1820:
NZG mengutus rombongan zendeling yang ketiga berjumlah lima orang. Bruckner
menyelesaikan penerjemahan PB ke dalam bahasa Jawa.
·
1822:
Dua zendeling ditempatkan di Minahasa.
·
1823:
Kam mengunjungi pulau-pulau Maluku Selatan.
·
1824:
“Rheinische Missionsgeselschaft” (RMG) didirikan di Jerman.
·
1825/1828:
Sejumlah zendeling ditempatkan di pulau-pulau Maluku Selatan.
·
1827:
Hellendoorn menjadi pejabat pendeta di Manado. Coolen mendirikan desa Ngoro.
·
1831:
PB terjemahan Bruckner selesai dicetak, dan disita pemerintah Belanda.
·
1831:
Riedel dan Schwarz menetap di Minahasa.
·
1833:
Joseph Kam meninggal.
·
1834:
Anggota-anggota kelompok Wiung bertemu dengan Coolen.
·
1835:
Roskott membuka SPG di Batumerah, Ambon.
·
1836:
Zendeling RMG yang pertama mendarat di Kalimantan.
·
1836-1850:
Usaha PI Methodis (Amerika) di Kalimantan Barat.
·
1842:
Missi RK di Indonesia diangkat menjadi Vikariat Apostolik.
·
1842:
Daerah Ambon dan sekitarnya ditutup untuk kegiatan PI.
·
1843:
Sejumlah orang Jawa dibaptis di GPI Surabaya.
·
18475:
Mojowarno didirikan.
·
1846:
PB bahasa Dayak Ngaju terjemahan Hardeland selesai dicetak (di Afrika Selatan).
·
1847:
Doopgezinde Zending Vereniging (DZV) atau lembaga PI Mennonit di Nederland
didirikan. Kedudukan Katolik Roma di Hindia Belanda diatur dalam perjanjian
antara pemerintah Belanda dengan Paus. Adrianus Angkuw diangkat menjadi
“penolong” yang pertama. NZG mengajak para pengerjanya untuk menggunakan
unsur-unsur pribumi dalam tata ibadah.
·
1848:
Heldring mulai mengutus penginjil-penginjil tukang.
·
1850:
Pemerintah membatasi kegiatan para zendeling/pendeta bantu di Maluku.
·
1851-1864:
NZG melakukan usaha PI di Sulawesi Selatan.
·
1851:
Jellesma menetap di Mojowarno Jawa Timur.
·
1852:
P. Jansz (DZV) menetap di Jepara (Jawa Tengah).
·
1855:
Tungggul Wulung di baptis, dua orang penginjil tukang didikan Gosner dan
Heldring mulai bekerja di Papua
·
1858:
Alkitab bahasa Dayak Ngaju terjemahan Hardeland selesai dicetak
·
1858:
Nederland Zending Vereeniging (NZV) memisahkan diri dari NZG
·
1859:
Perang Hidayat. Pekerjaan zending di Kalimantan Selatan dihentikan sampai tahun
1866. Utrechtse Zending Vereeniging (UZV)
memisahkan diri dari NZG
·
1860:
Pembaptisan pertama di Poerworejo (Ny. Philips)
·
1861:
Nederlands Gerevormeerde Zendings Vereeniging (NGZV) memisahkan diri dari NZG.
NZV mulai bekerja di Jawaa Barat dan NGZV mulai bekerja di Jawa Tengah.
·
1863:
NZV mendapat ijin bekerja di Cirebon
·
1863:
UZV mulai bekerja di Papua
·
1864:
Sekolah Roskott di Batu Merah di Ambon ditutup. NZG memutuskan kerjasama dengan
pemerintah (GPI) di Maluku dan
mengundurkna diri dari daerah itu.
·
1866:
UZV mulai bekerja di Bali dan Halmahera. RMG kembali ke Kuala Kapuas.
·
1867:
Kiai Sadrakh dibaptiss di Batavia. Gereja RK memulia misi Minahasa. Sentral
Komite Depok berdiri. Salatiga zending mulai bekerja di Jawa Tengah
·
1875:
Minahasa di serahkan NZG kepada GPI
·
1878:
Seminari Depok dibuka. UZV meninggalkan Bali.
·
1879:
Alkitab dalam terjemahan Klinkerd terbit.
·
1880:
Koprensi para zendeling yang pertama di Depok
·
1881:
NGZV memulai pekerjaan di Sumba. GPI menciptakan jabatan pendeta pribumi
·
1882: Desa Kristen Cideres didirikan
·
1884:
Neukirchener Mission mulai bekerja di Jawa Tengah Utara
·
1885:
NZV mengambil alih jemaat-jemaat Anting; STOVIL
Ambon didirikan. Tunggul Wulung meninggal.
·
1886:
Utusan UZV tiba di Buru. STOVIL Tomohon didirikan.
·
1887/1891:
Panitia Sangir Talaud (VTC) dibentuk.
·
1891:
NGZV menolak Kiai Sadrakh.
·
1892:
A.C Kruyt Mulai bekerja di Poso. RS di Mojowarno dibuka.
·
1894:
Bala Keselamatan mulai bekerja di Indonesia
·
1895:
UZV memulai karya PI di Sulsel
·
1898:
Gerakan kebangunan di Tobelo. Sadrakh diangkat menjadi Rasul Jawa
·
1900:
GPI memperluas pekerjaannya di Maluku Selatan. Gereja Advent mulai bekerja di
Indonesia
·
1902: Stovil Timor didirikan.
·
1903:
NZG mulai bekerja di Bolang Mongondow.
·
1905:
Zending Metodis mulai bekerja di Jawa Barat. UZV menghentikan PI Sulsel.
Pemerintah Belanda menegakkan kekuasaannya di sejumlah daerah di luar Jawa
(Sulawesi Tengah, Sumba dan lain-lain).
·
1906:
Gerakan Pentakosta dimulai. Sekolah guru Injil di Jogja, Konsulat Zending di
Jakarta (sampai 1953)
·
1907:
Gerakan kebangunan di Irian (Papua)
·
1908:
Mazmur dan nyanyian rohani gubahan Schroeder terbit
·
1909:
Pembaptisan pertama di Poso.(Papa I
Woente).
·
1910:
RS Imanuel di bandung dibuka
·
1911:
Pendeta Kitjftenbelt ke Makasar. GPI
mulai bekerja di Sulawesi Tengah.
·
1912:
Kelling membaptis sejumlah orang Toraja
·
1913-1917:
Zending diberi mopoli sekolah desa di sejumlah daerah
·
1915:
NZV mulai bekerja di Sulawesi Tenggara. Pembaptisan I di Rantepao.
·
1916:
Sidang Am pertama GPI. GPI mulai membuka pedalaman Timor
·
1917:
Penahbisan pendeta Sunda yang pertama
·
1919:
Gerakan Pentekosta (J. Barnhard) masuk ke Indonesia. HIK Kristen di Solo
dibuka.
·
1920/5:
RMG menyerahkan Kalimantan Selatan kepada Basler Mission.
·
1922:
Jemaat-jemaat zending Metodis berdiri sendiri. H. Kraemer datang ke Indonesia
·
1923:
Jemaat Mojowarno dinyatakan berdiri sendiri, pendeta Jawa pertama di Jawa Timur
ditahbiskan. Gereja Pentakosta di Indonesia berdiri.
·
1924:
Kiai Sadrakh meninggal
·
1925:
Jemaat margareza berdiri sendiri.
·
1926:
Bale Wiyata di Malang didirikan. Seminari Depok ditutup. Pendeta Jawa pertama di
tahbiskan di Jawa Tengah. Kristen Studentent Vereeniging (CSV) didirikan.
·
1928:
Zending Methodist menarik diri dari Jawa dan Kalimantar Barat.
·
1929:
J.A. Jefry (CAMA) menetap di Makasar.
·
1931:
GKJ berdiri. CAMA mulai bekerja di Kalimantan Timur
·
1932:
GKJW menerima tugas PI di Bali
·
1933:
Sidang Am GPI dan gereja Gereevormed memulai
PI di Sulawesi Selatan. Beberapa orang Bali
dibaptis di Mojowarno.
·
1934:
GMIM, GKP dan GKI Jatim berdiri. HTS didirikan di Bogor
dan 1936 dipindahkan ke Jakarta
·
1935:
Pemisahan Administratif GPI dari negara. GPM dan GDE (1954 GKE) berdiri.
Pendeta Dayak yang pertama ditahbiskan.
·
1936:
Sinode Am pertama GPI. GPM menerima tugas PI di Papua Selatan. DMIM di
Gorontalo dan Donggala. GKI Jateng berdiri.
·
1938:
GKI Jabar berdiri. Cama memulai PI di pedalaman Irian.
·
1939:
Jemaat-jemaat sending di Sumba retak.
·
1940:
GMI BM, GITJ (Patunggilan) bediri.
·
1941:
Pendeta Toraja yqang pertama ditahbiskan (Tator).
·
1942: Pendeta Sumba
yang pertama ditahbiskan.
·
1946:
Pendeta pertama ditahbiskan di Halmahera dan
Papua
·
947:
GKS, GMIST, GTR, GKST, GMIT berdiri.
·
1948:
Pembentukan GPIB. GTM dan GKBP berdiri.
·
1949
(6 Juni): GMIH berdiri.
·
1950:
DGI berdiri. Pemisahan GPI dari negara secara keuangan
·
1954::
LAI didirikan.
·
1956:
GKI Papua berdiri.
·
1957:
Gepsultra berdiri
·
1961:
Paus Johanes XXIII mendirikan Hierarki
di Indonesia. A. Jaya Seputra dan A. Sugiapranata Uskup pertama bangsa Indonesia.
·
1963:
KINGMI dibentuk.
·
1965-1969:
Gerakan kebangunan di Timor.
·
1966:
GKSS berdiri.
·
1979:
Dewan Pentakosta di Indonesia didirikan. GKBP menerima pengakuan iman.
·
1980:
Aliansi Baptis didirikan. GTR menerima pengakuan iman.
·
1983:
KINGMI menjadi GKII.
·
1984:
Pemebentukan PGI.
Orang Malas tidak akan menangkap buruannya.....
ReplyDeleteBegitu pula jangan mals juga lampirkan fotnote nya
Boleh biar lebih mudah dipahami, dibuat dalam bentuk powerpoitn
ReplyDelete