Gereja Yang Tebuka Untuk Semua Orang
Termasuk di Dalamnya Kelompok “Disabilitas” Sebuah Refleksi Dari Gereja Awal
Penulis: Bona Sogi Sumbayak
I.
Latarbelakang
Masalah
Dari
zaman dulu hingga sekarang selalu ada di tengah tengah kita manusia yang disability tanpa membedakan bangsa,
gender, ekonomi, politik, kulit, social dan agama. Memang boleh dikatakan tidak
ada manusia mau, kalau bisa, lahir dengan kondisi disability. Tetapi kondisi ability atau disability bukanlah sekedar pilihan hidup karena kondisi itu datang
tanpa direncanakan atau diharapkan. Maka, pemikiran terbaik adalah bagaimana
hidup bersama dengan bersama dengan mereka yang disability tanpa menghakimi dan memarginalkan mereka. Mereka juga
adalah ciptaan Tuhan yang diciptakan menurut gambarNya seperti manusia yang
lain, mereka yang disability juga mempunyai aspek ability. Jadi adalah hal yang wajar bila mereka ikut aktif
berpartisipasi penuh membangun kehidupan ini. Seminar ini bertujuan untuk
memaparkan bagaimana Perjanjian Baru menceritakan keberadaan mereka yang disability didalam pelayanan Yesus
Kristus sampai kepada sejarah gereja mula-mula, dan bagaimana sikap gereja
terhadap mereka kamu disability
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian dan Pengistilahan Kata Bagi Kaum Disabilitas
Pengistilahan bagi orang-orang cacat
telah banyak digunakan pada perkembangannya kata cacat, kecacatan, penyandang
cacat mengalami penghalisan kata. Penghalusan kata yang dilakukan dengan
penggunaan kata Tuna bagi penyandang cacat. Kata disabilitas merupakan kata
serapan dari kata Ingris yaitu disability
yang berarti ketidakmampuan. Disability merupakan istilah bagi penyandang cacat
atau suatu bentuk ketidakmampuan. Disability berasal dari kata dis dan ability. Kata dis menunjukan kata ke-tidak atau hilang atau
juga kesalahan. Sedangkan ability
adalah kemampuan. Dari pengertian ini disability
diartikan sebagai ketidak mampuan atau kehilangan kemampuan. Penyebutan lain
yang digunakan bagi penyandang cacat adalah impairment,
handicap, dan difabel. Sedangkan kata difabel
merupakan singkatan dari differently abled,
yang berarti kemampuan yang berbeda. Istilah bagi penyandang cacat terus
mengalami perubahan sampai kepada penggunaan kata difabel yang artinya kemampuan yang berbeda. Perubahan penyebutan
ini merupakan salah satu upaya untuk merekonstruksi pandangan, pemahaman dan
persepsi masyarakat pada orang-orang difabel yang merupakan seorang yang tidak
normal.
2.2.
Pandangan Alkitab Tentang Disabilitas
Istilah disability adalah istilah modern yang tidak mempunyai kesejajaran
dengan bahasa kuno seperti Ibrani dan Yunani di alkitab. Dialkitab kita membaca
tentang orang yang buta. Tuli, lumpuh dan juga orang yang luka semuanya pada
zaman sekarang kita sebut orang yang difabel,
dan orang yang mempunyai kelainan mental disebut difabel. Jadi, istilah difabel
adalah istilah modern yang dibangun atas pengertian modern terhadap orang-orang
difabel sebagai kelompok orang yang
membutuhkan kebutuhan khusus oleh karena perbedaan fungsi fisik atau mental.[1]
Dari sudut pandang alkitab setiap orang
tanpa terkecuali (termasuk penyandang difabel) adalah gambar dan citra Allah.
Maka segala kekurangan yang terdapat dalam diri manusia, bukanlah penghalang
bagi mereka untuk menjadi gambar dan rupa Allah yang seutuhnya. Gereja seharusnya menerapkan konsep Alkitab
ini dalam memandang manusia sebagai gambar dan citra Allah seutuhnya. Gereja
seharusnya menerapkan konsep Alkitab ini dalam memandang manusia sebagai gambar
dan citra Allah: baik cacat atau sehat, miskin atau kaya, sama sama dapat
menjadi penatalayan di bumi untuk mendukung kehidupan menjadi lebih baik. Maka
segala bentuk diskriminasi terhadap orang cacat tentu sangatlah menyakitkan
hati Tuhan sebagai pencipta karan prbuatan itu berarti merusak gambar dan rupa
Allah. Tubuh manusia dengan segala keberadaan adan keterbatasannya tidak
dianggap sebagai penghalang hubungannya dengan Allah, hubungan manusia dengan
sesama, dan manusia dengan alam sekitar.[2]
Adalah sesuatu yang cukup sulit untuk
setuju tentang apa yang alkitab sebutkan mengenai disability. Orang yang disability
pada prinsipnya tidak mengharapkan simpati atau belaskasihan karena yang mereka
harapkan adalah kesempatan yang sama sebagaimana orang lain miliki. Mereka
tidak rela untuk diperlakukan berbeda. Pada zaman alkitabiah mereka yang disability jarang sekali berfungsi sepenuhnya
sebagai anggota masyarakat. Pertemuan Yesus sendiri dengan orang yang disability selalu ditandai dengan belas
kasihan dan kemudian menyembuhkannya. Injil Markus mencatatnya, dalam Markus 1:41.
Sikap ini mendukung model penyembuhan karena seorang yang disability mempunyai kekurangan dan perlu bantuan.[3]
Dalam Alkitab ibrani tidak terdapat
istilah paralel dari kata difabel
secara teapt, hanya saja kata cacat jasmani atau ketidak mampuan yang mengarah
kepada kelompok ini dalam Perjanjian Lama diartikan sebagai defects.[4]
Dalam Perjanjian Lama, difabel
dialami sebagai tanda kelemahan dan sekaligus dipahami sebagai sesuatu yang
terikat dengan dosa. Perjanjian Lama terlihat bersikap diskriminasi terhadap
penyandang difabel dengan menyebut
bahwa mereka tidak dapat mengikuti kelompok imam (Imamat 21:17-21). Orang
cacat, sakit, kerasukan roh jahat dianggap tidak mengambil bagian dalam berkat
Allah perjanjian Allah umat Israel, (Imamat 21:18-20, Ulangan 23:1-2, Imamat
20:27 ; 13:45-46). [5]
Dengan demikian pada konteks Perjanjian Lama, orang Cacat selalu didiagnosa
serta diawali dengan pernyataan apa dan siapa yang berdosa, Difabel merupakan hukuman atas perbuatan
yang salah atau berdosa kepada Allah.[6]
Perjanjian Baru menyebutkan disability itu antara lain adalah, orang
tuli yang tidak mampu berbicara dan mendengar (Markus 7:23), dan ada juga yang
tuli untuk sementara (Lukas 1:20). Lumpuh adalah istilah umum bagi tubuh yang
lemah dan cacat (Johannes 5:5 ; 1Timotius 5:23), sakit lepros atau kusta
merupakan sakit kulit yang sangat ditakuti oleh orang-orang di zaman Alkitab
karena mereka akan diisolasi disituasi tertentu (Lukas 5:18), ada juga orang
yang mati sebelah tangannya (Matius 12:10). Orang pada zaman Alkitab
menghubungkan kebajikan dengan kebaikan fisik. Pandanga umum terhadap disability adalah bahwa penyakit dikirim
Allah sebagai hukuman karena dosa s(Ulangan 32:39 ; John 9:2). Beberapa dari disability itu juga diyakini akibat
kerasukan roh (Markus 9:17). Tetapi memang Yesus datang membawa kerajaan Allah
sehingga orang yang disability
diterima dan bisa disembuhkan.[7]
Kecacatan pada seseorang rentan sekali
dihubungkan dengan dosa. Kata umum untuk dosa ialah Hamartia yang hampir selalu dipakai dalam bentuk tunggal, dan
biasanya berarti dalam keadaan berdosa. orang-orang farisi dengan pengertian
yang sangat meragukan, yang ditimbulkan dari pandangan bahwa kebutaan secara
langsung diakibatkan oleh dosa.[8]
Rasul Petrus dalam suratnya menyebutkan tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat
yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu
memberitahukan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil
kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib, kamu yang dahulu bukan
umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umatNya, yang dahulu tidak
dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belaskasihan (I Petrus
2:9-10). Ungkapan ini merupakan pandangan yang membangun gambar diri positif
penyandang cacat mental juga manusia normal.[9]
Jika kita mendalami akan gejolak dalam
batin, maka sesungguhnya gambari diri mereka adalah sebuah penderitaan yang
terpatri sedemikian rupa dalam hidup, karena kecacatan itu akan disandang
seumur hidup, sebuah gelar yang belum tentu semua orang dapat menyandangnya.
Yang perlu dipahami adalah apa arti dan makna yang terkandung dalam penderitaan
sehingga dapat mengerti bahwa penderitaan merupakan salah satu alat yang Allah
guakan untuk membuat kita lebih peka dan mencapai tujuanNya dalam kehidupan
kita. Dalam pemahaman yang lebih mendalam yaitu pada rencana Allah, penderitaan
adalah sesuatu yang menuntut manusia supaya berfikir positif. Penderitaan
dimaknai pada tujuan utamanya agar terbentuk sikap-sikap Kristus dalam diri
seseorang (Roma 8:28-29). [10]
2.3.
Disabilitas Pada Gereja Mula-mula[11]
Pemahaman para nabi Perjanjian itu
dipahami oleh gereja mula-mula dengan mengaitkan situasi ini dengan apa yang
telah dilakukan Yesus Kristusmelalui mukjizat penyembuhan yang dilakukanNya. Jika
kita membaca kisah-kisahNya Yesus menyembuhkan orang buta, orang lumpuh, orang
bisu-tuli, dan kaum disability
lainnya yang terdapat dalam injil, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi,
yaitu:
a. Ada
beberap stigma yang yang diberikan kepada kaum disabled ini, yaitu mereka
adalah orang-orang yang tidak bisa berbuat apa-apa dan patu dikasihani sehingga
mereka sangat bergantung pada Yesus yang bisa membebaskan mereka dari situasi
tersebut. Kehadiran Yesus kemudian dimaknai bahwa karyaNya akan membuat orang
buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang buta menjadi tahir, orangtuli
mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar
baik (Lukas 7:22 ; 4:18-19)
b. Kisah-kisah
penyembuhan oleh Yesus sering kali terabaikan sebab orangYahudi percaya disability berhubungan dengan dosa,
kenajisan, dan peyakit. Pemahaman ini kemudian ditolak oleh Yesus ketika ia
mengatakan Bukan dia danj juga bukan
orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam
dia (Yoh. 9:3)
c. Kisah-kisah
penyembuhan oleh Yesus memperlihatkan kaitan disabilitas dengan roh jahat;
misalnya ketika Yesus mengusir roh jahat dan menyembuhkan seseorang, baik
secara fisik maupun mental (Matius 4:24 ; Markus 1:32-34 ; Lukas 7:21 ; Kisah
Para Rasul 8:7)
Berdasarkan tiga penjelasan tentang
gambaran orang-orang disabled dalam
kitab injil ini, tampak bahwa orang-orang disabled
menjadi orang-orang yang tersingkir karena mereka digambarkan sebagai
orang-orang yang bergantung pada kuasa penyembuhan Allah, orang-orang berdosa,
dan yang dirasuki oleh roh jahat.
2.4.
Teologi Disabilitas
Teologi
disabilitas adalah upaya pengkajian teologi disailitas dan non-disabilitas. Diamana
orang Kristen dapat memahami dan menafsirkan injil Yesus Kristus, dan latar
belakang sejarah serta pengalaman kontemporer dari para pendeta. Gerakan teologi
ini muncul atas kritik sosilologis yang mendiskriminasikan penyandang
disabilitas.[12]
Manusia
adalah makhluk yang bergantung sepenuhnya pada Allah dan ciptaan lain. Saya
setuju dengan pemikiran Thomas E. Reynolds yang mengintepretasikan pemikiran
Friedrich Schleiermacher tentang “perasaan tentang ketergantungan absolut.”[13]
Reynolds menyatakan bahwa keadaan manusia yang merasakan ketergantungan absolut
ini tidak menjadikan manusia pasif, melainkan manusia yang menerima keringkihannya
sebagai anugerah.[14]
Betapa indahnya bergantung pada Allah yang memberikan kebebasan dan menciptakan
keindahan melalui keberagaman.
Jika
setiap pribadi diciptakan sebagai gambar Kristus, maka setiap pribadi memiliki
keindahan Allah dan keindahan tersebut tidak dapat ditampung sendiri. Keindahan
yang dimiliki oleh setiap pribadi adalah anugerah yang melimpah, karena itu
setiap pribadi tidak bisa tidak berbagi keindahan dengan pribadi lainnya di
dalam komunitas.
2.5.Gereja
dan Disabilitas
2.5.1.
Tugas
Gereja Menolong Kaum Disabilitas
Anak penyandang cacat mental juga
membutuhkan kathekisasi di gereja, dimana pada saat bernyayi merekapun bisa
mengikuti gerak-gerik temannya yang lain, mereka bisa berdoa dengan bahasa yang
sedikit terbata-bata, dan bisa mengikuti kegiatan lain dalam Sekolah Minggu dan
ibadah umum. Walaupun keadaan mereka masih dipandang sebelah mata oleh jemaat,
namun mereka bisa memahami firman Tuhan dengan merespon cerita dalam bentuk
menceritakan pengalaman yang berkaitan dengan cerita. Menurut Penyeminar
kathekisasi merupakan salah satu cara untuk menerima hak sebagai warga jemaat. Kathekisasi
berasal dari bahasa Yunani yaitu Katekhein
yang berarti memberitahukan, memberitakan, mengajar, memberi pengajaran (Luk.
1:4 ; Kis. 18:25 ; 21:21 ; Rom.2:17 ; 1Kor. 14:19 ; Gal. 6:6). Kathekisasi juga
dapat menjadi sebuah sarana akan adanya sebuah pengakuan bagi kaum difabel
mental, sehingga mereka dapat bergabung dan turut serta dalam setiap
persekutuan yang dilakukan oleh warga jemaat.[15]
Gereja mempunyai tugas penting dalam
pelayanan terhadap kaum disabilitas dan tugas pelayanan tersebut haruslah
ditunaikan secara berkesinambungan serta kongkrit. Sehubungan tugas gereja
terhadap penyandang disabilitas dilakukan dengan apa yang mereka butuhkan. Yang
mereka butuhkan adalah tindakanpelayanan yang memberi pengertian serta dapat
memimpin mereka kepada Allah didalam Kristus dan mereka mengimani bahwa Kristus
selalu menyertai mereka ditengah pendertitaan yang mereka alami, dan tujuan
yang akan dicapai adalah mereka agar dapat menerima keadaan sebagai tuna netra
serta memiliki kemauan bertemu dan bercakap-cakap kepada Tuhan tentang
keadaanya. Sampai pada keadaan dimana mereka berdamai terhadap kekurangan yang
disandangnya akan menghantar iman mereka bahwa penderitaan adalah sebagai
sesuatu yang memperkaya hidupnya. Satu hal yang perlu diingat dalam melayani
kaum disabilitas haruslah dilakukan seperti pelayanan kepada manusia biasa,
dalam artia pelayanan tidak dibeda-bedaka, sebab pelayanan yang dilakukan bukan
dilihat sebagai kecacatan, tapi dilihat dari sudut pandang Allah.[16]
III.
Refleksi
Teologis
Sebab
sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua
anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak
adalah satu tubuh didalam Kristus: Tetapi kita masing-masing adalah anggota
yang seorang terhadap yang lain. Demikianlah kita mempunyai karunia yang
berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita..(Roma
12:4-6). Ini adalah nasihat penting agar kita tetap sadar bahwa kita adalah
bagian dari tubuh Kristus yang merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan
dari saudara-saudara seiman lainnya. Selain itu Tuhan juga mengingatkan bahwa
kita harus saling mengasihi, karena Tuhan sendiri begitu mengasihi kita. Untuk itu
jangan pernah membeda bedakan kehadiran setiap orang didalam kehidupan ini,
mari kita melihat bahwa ada karya terbesar yang Allah kehendaki terhadap
seseorang, mari lihat bahwa disabilitas juga adalah bagian dari karya Allah.
IV.
Kesimpulan
Istilah
disability adalah istilah modern yang
mengacu kepada orang-orang yang mengalami pelemaham fisik atau mental yang
secara substansi membatasi satu atau
lebih aktivitas kehidupan seseorang seperti berjalan, melihat, bernafas
dan lain sebagainya. Kondisi disability itu memasuki semua lapisan masyarakat
tanpa membedakan status. Alkitab meceritakan bahwa banyak alasan mengapa orang
mengalami disabilitas, dan salah satu adalah karena dosa atau penghukuman (Yoh.
9:2). Oleh karena Yesus peduli melayani semua orang, termasuk mereka yang
disabilitas, maka gereja sebagai tubuh Kristus diminta untuk setia
memperhatikan para disabilitas. Sebagai umat yang percaya, mereka yang
disabilitas perlu diterima sebagaimana adanya. Mereka tidak hanya diterima,
tetapi juga dirangkul untuk berpartisipasi penuh di persekutuan orang yang
percaya dalam membangun Gereja sebagai tubuh Kristus
[1]
Arne Fritzon,”People With disability in
the Bible: Who are they and what can we learn from them?” (Leicester:
Intervarsity Press, 1992), 300
[2]
Petrus Pardede,Tanggungjawab Manusia
Sebagai Imagodei, Maj.IMMANUEL, vol:112, no.7(Tapanuli Utara: HKBP 2002),
31-34
[3]
Batara Sihombing, Perjanjian Baru dan
disability. Dalam Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Edisi XXX Juli-Desember.
(Medan: STT Abdi Sabda, 2013),18
[4]
Saul M. Olyan Disability In The Hebrew
Bible. (Amerika, Cambrigde University Press, 2008),1
[5]
Nancy L. Eisland, Theology of the Disable
God; Toward A Liberatory Disability (Nashvile; Abingdon Press, 1994),73-74
[6]
Nancy L. Eisland, Theology of the Disable
God; Toward A Liberatory Disability (Nashvile; Abingdon Press, 1994),80
[7] Batara
Sihombing, dalam Jurnal: Gereja dan
Disabilitas Edisi XXX:Juli-Desember 2013, (Medan:Abdi Sabda, 2013), 20-21
[8]
Donal Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I
(Jakarta: BPK-GM, 2012), 207-208
[9] Daniel L. Migliore, Faith
Seeking Understanding: An Introduction to Christian Theology, third edition., (Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company,
2014), loc. 145.
[10] Anthony A.
Hoekema, Created in God’s Image. (Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans
Publishing Co., 1994), 21
[11] Jan
S. Aritonang,Mereka Juga Citra Allah,(Jakarta:BPK-GM,
2017), 193-194
[12]
Jhon Swinton,Disability Theology,
dalam The Cambridge of Dictionary
Christian Theology, Ian A. McFarland, dkk (ed.), (New York: Cambridge
University Press, 2011), 141
[13] Thomas E. Reynolds, Vulnerable
Communion: A Theology of Disability and Hospitality, (Grand Rapids, MI: Brazoss Press, 2008), loc. 3560
[14]
Thomas E. Reynolds, Vulnerable Communion: A Theology of
Disability and Hospitality, (Grand Rapids,
MI: Brazoss Press, 2008), loc. 3560
[15]
M. Bons Strom,Apakah Penggembalaan itu?
(Jakarta:BPK-GM, 1979),115
[16]
Dr. J.I.CH. Abineno,Pelayanan Pastoral
Kepada Orang-orang Sakit, (Jakarta:BPK-GM, 1997), 39