Tinjauan Etika Kirsten Terhadap
Eksistensialisme
I.
Pendahuluan
Membahas
topik etika dalam konteks eksistensialisme kadang-kadang menghasilkan respon
yang mengidentikkan bahwa: seorang eksistensialis pasti adalah seorang ateis,
yang menganut paham anarkis dan nihilisme. Pemikiran seperti ini sepenuhnya
tidaklah tepat dan terkadang muncul dari pemahaman yang kurang mendalam
mengenai eksistensialisme. Semakin banyak juga salah pengartian mengenai
eksistensialisme yang berpacu pada pemikiran bahwa Tuhan telah mati dan Neraka
adalah musuh yang harus diperangi. Untuk itu penyaji akan menjelaskan Tentang
Eksistensialisme untuk lebih jelasnya.
II.
Isi
2.1.Pengertian
Eksistensialisme
Eksistensialisme
adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada
eksistensi. Pada umumnya kata eksistensi
berarti keberadaan, akan tetapi didalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi
mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam
dunia berbeda dengan cara benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan
keberadaannya, tidaklah demikian cara manusia berada. Manusia berada bersama
sama dengan bend- benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia.
Disamping itu manusia berada bersama- sama dengan manusia. Untuk membedakan dua
cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan, bahwa benda-
benda “berada”, sedangkan manusia “bereksistensi”.
Jadi hanya manusialah yang bereksistensi.
Kata
eksistensi berasal dari kata “eks”
(keluar) dan sintesi. Yang diturunkan dari kata “sisto” (berdiri, menempatkan).
Oleh karena itu kata eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai dirinya
sendiri, manusia sadar bahwa dirinya ada. Dirinya tersebut disebutnya dengan
“aku” dan segala sesuatu disekitarnya dihubungkannya dengan dirinya contohnya
Mejaku, Kursiku, temanku, dsb.[1]
2.2.Sejarah
Eksistensialisme[2]
Secara umum
eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan
beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti
protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan spekulatif tentang
manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan
terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa
tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan
jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang
memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia
kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme
merupakan gerakan filosofis yang muncul di Jerman setelah perang dunia I dan
berkembang di Perancis setelah perang dunia II. Bermula dari reaksi terhadap
esensialisme Hegel, yang memandang bahwa konstruksi dipahami sebagai suatu
lintasan dari sesuatu yang tidak eksis (No existence, not being) kepada
‘sesuatu yang eksis’. Kierkegaard menentang pandangan tersebut dengan
menyatakan tentang kebenaran subjektif, yaitu suatu bentuk penegasan keunikan
dan sesuatu yang konkrit dan nyata sebagai sesuatu yang berlawanan dengan yang
abstrak. Konsep tersebut merupakan perlawanan terhadap usaha untuk
mengkonstruksi gambaran tentang dunia dengan memakai konsep kecukupan intelek
pada dirinya sendiri. Apa pun yang eksis menjadi sesuatu yang dihadapi secara
yakin sebagai sesuatu yang lebih aktual dibanding dengan sesuatu yang
dipikirkan.
Eksistensialisme
muncul sebagai reaksi terhadap pandangan materialisme. Paham materialisme ini
memandang bahwa pada akhirnya manusia itu adalah benda, layaknya batu atau
kayu, meski tidak secara eksplisit. Materialisme menganggap hakekat manusia itu
hanyalah sesuatu yang material, betul-betul materi. Materialisme menganggap
bahwa dari segi keberadaannya manusia sama saja dengan benda-benda lainnya,
sementara eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda lain
itu tidaklah sama. Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi
manusia itu mengalami beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia
menyadari dirinya ada di dunia. Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai
subjek, artinya sebagai yang menyadari, sedangkan benda-benda yang disadarinya
adalah objek.
Eksistensialisme
juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Idealisme dan materialisme adalah
dua pandangan filsafat tentang hakekat yang ekstrem. Materialisme menganggap
manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek, dan hal ini
dilebih-lebihkan pula oleh paham idealisme yang menganggap tidak ada benda lain
selain pikiran. Idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek, dan
materialisme memandangnya sebagai objek. Maka muncullah eksistensialisme
sebagai jalan keluar dari kedua paham tersebut, yang menempatkan manusia
sebagai subjek sekaligus objek. Manusia sebagai tema sentral dalam pemikiran.
Munculnya
eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara umum, terutama dunia
Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada umumnya tidak menentu akibat
perang. Di mana-mana terjadi krisis nilai. Manusia menjadi orang yang gelisah,
merasa eksistensinya terancam oleh ulahnya sendiri. Manusia melupakan
individualitasnya. Dari sanalah para filosof berpikir dan mengharap adanya
pegangan yang dapat mengeluarkan manusia dari krisis tersebut. Dari proses
itulah lahir eksistensialisme.
Kierkegaard
seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme yang terkenal
abad 19 berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup sesungguhnya jika
ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan
merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki
keterbatasan untuk melakukan itu. Jean-Paul Sartre filsuf lain dari
Eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului esensi, manusia adalah
mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam dunia. Tidak ada
natur manusia, karena itu tidak ada Tuhan yang memiliki tentang konsepsi itu.
Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu
apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri.
2.3.
Pemikiran dan Tokoh-tokoh Eksistensialisme
Ajaran
Eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah satu
aliran filsafat yang bersifat tehnis, yang menjelma dengan bermacam macam
sistem, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada juga ciri
ciri yang sama yang menjadikan sistem sistem itu dapat dicap sebagai filsafat
eksistensialisme. Paling sedikit ada 4 pemikiran yang jelas dapat disebut
eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl
Jaspers dan gabriel Marcel.
Paham
eksistensialisme terdiri dari berbagai pandangan yang berbedabeda. Meski
berbeda pandangan-pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan, sehingga
pandangan tersebut dapat digolongkan filsafat eksistensialisme.
Persamaan-persamaan tersebut di antaranya:
a) Motif
pokok eksistensialisme adalah apa yang disebut “eksistensi”, yaitu cara manusia
berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada
manusia. Dengan kata lain bersifat humanis.
b) Bereksistensi
harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya
secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
c) Manusia
dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih
dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya,
terlebih lagi terhadap sesama manusia.
d)
Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang
eksistensial.[3]
1. Jean Paul Sartre (1905)[4]
Jean-Paul
Sartre filsuf lain dari eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului
esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di
dalam dunia. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak
memiliki suatu apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut
Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre” melainkan “a etre”. Artinya manusia
itu tidak hanya ada tapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus
dibentuk dengan tidak henti-hentinya.
Satre berkeyakinan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling menegasikan terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek bagi yang lain. Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan orang lain ke dalam pusat ”dunia”-nya. Mengikuti Nietzsche, Sartre mengutuk setiap bentuk objektivikasi dan impersonalisasi.Tak ada standar baik dan buruk kecuali kebebasan itu sendiri. Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
Satre berkeyakinan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling menegasikan terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek bagi yang lain. Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan orang lain ke dalam pusat ”dunia”-nya. Mengikuti Nietzsche, Sartre mengutuk setiap bentuk objektivikasi dan impersonalisasi.Tak ada standar baik dan buruk kecuali kebebasan itu sendiri. Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
Sepanjang
sejarah eksistensialisme, kebebasan ala Sartre ini boleh dibilang paling
ekstrim dan radikal. Dalam sejarah perkembangan filsafat, agaknya tidak ada
pendirian tentang kebebasan yang ekstrim dan radikal seperti Sartre.
2. . Karl Jaspers (1883-1969)
Memandang
filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan
obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan
dirinya sendiri .Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan
transendensi.
2.4.
Konsep- Konsep Dasar eksistensialisme[5]
1.
Ada
dan Nonada
Ada
(being) dan Non-ada (non-being)
adalah konsep ontologis yang digunakan oleh para eksistensialis dan untuk
menerangkan gejala dasar dari keberadaan manusia. Ada ialah ukuran bagi keberadaan manusia, suatu dimensi yang
mengacu kepada kesubjekan manusia. Dengan meng-ada, manusia hadir menampakan
diri, mengalami dirinya sebagai subjek yang sadar, aktif dan berproses.
Sedangkan non-ada adalah ukuran bagi
ketiadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada keobjekan dari manusia.
Dalam nonada, manusia melakukan negasi atas keberadaannya dan mengalami dirinya
sebagai objek ( sartre, 1976)
2.
Ada-
dalam- duniam
Konsep ada dalam dunia yang diperkenalkan oleh
Martin Heidegger ini mengandung implikasi bahwa manusia hidup atau
mengungkapkan keberadaannya dengan mengada di dalam dunia ini. heideger sendiri
menekankan bahwa ada dalam dunia adalah Seinkonnen
yang berarti manusia mampu berada. Jadi, ada dalam dunia itu tidak menuju
kepada fakta beradanya manusia di dalam dunia seperti beras di dalam karung,
melainkan menujuk kepada realitas dasar bahwa manusia hidup atau mengungkapkan
keberadaannya di dalam dunia sambil merancang, mengolah atau membangun dunia
itu. Perlu dicatat pula bahwa manusia manusia dan dunia adalah totalitas yang
menjalin reaksi dialektis. Torelaksi dan dialektis manusia-duniaitu mengandung
implikasi bahwa keberadaan dan perkembangan manusia tidak terlepas dari
keberadaan dan perkembangan dunia. Dalam kenyataannya, manusia akan berkembang
jika dia mengembangkan dunianya.
3.
Relasi
Aku- Kamu
Martin Buber (1970) mengembangkan konsep relasi aku
dan kamu untuk menggambarkan relasi antar pribadi yang sungguh sungguh atau
sejati, yang kontras dengan suatu bentuk relasi yang disebut I- it relationship. Didalam relasi ini
individu sadar dan menghargai partner relasinya sebagai subjek seperti dirinya.
4.
Kesadaran
Diri
Kesadaran
diri Para eksistensialis percaya bahwa kesadaran dalam hal ini kesadaran diri
(self-consciousness), adalah salah satu ciri yang unik dan mendasar pada
manusia, yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya. May 1953)
menyebut kesadaran diri sebagai kapasitas yang memungkinkan manusia mampu
membedakan diri dan dunia, mampu mengamati dirinya sendiri, mampu menempatkan
diri dalam waktu maupun melam pauinya, mampu menciptakan dan memahami simbol,
khususnya bahasa dan mampu menempatkan diri dalam dunia orang lain atau mencoba
memahami orang lain. Pendek kata, pandangan para eksistensialis dalam kesadaran
diri adalah kapasitas yang memungkinkan manusia bisa hidup sebagai pribadi
dalam arti kata yang sesungguhnya, yakni pribadi yang utuh atau penuh. Dan
sebagaimana dinyatakan oleh Kierkegaard, semakin tinggi kesadaran diri
seseorang, maka akan semakin utuh pula pribadi orang itu.
5.
Kebebasan
dan Tanggung jawab
Kebebasan adalah konsep yang memberi aroma yang kuat pada eksisten
sialisme, sebab para eksistensialis selalu menekankan kebebasan seba ciri yang
esensial dari manusia. Para eksistensialis melihat kebebasan selalu di dalam
kaitan dengan tanggung jawab membuat putusan-putusan Manusia ada jawab) bebas
sekaligus bertanggung jawab dituntut dalam untuk membuat putusan-putusan atau
memilih tindakan-tindakan rangka membentuk kehidupan atau keberadaan Karena itulah
Nietzsche menyebut kebebasan sebagai kapasitas manusia untuk menentukan siapa
dan bagaimana dia jadinya. menegaskan pen Sartre dapat Nietzsche itu melalui
pernyataannya yang terkenal: Saya adalah sesuatu yang saya pilih ejalan dengan
Nietzsche, May mengemukakan bahwa kebebasan adalah kapasitas manusia untuk
menentukan sikap terhadap diri dan du nianya, kapasitas untuk menentukan
tindakan-tindakan dan bahkan arah kehidupannya. Bersama dengan kesadaran diri,
kebebasan memungkinkan manusia mampu melampaui rantai kekuatan-kek
deterministik yang dalam maupun yang ada di luar dirinya. (May, 1953; Frankl,
1984)
2.5.
Etika eksistensialisme
Dalam hal Etika, karena karena hidup ini
terbuka, kaum eksistensial memegang kemerdekaan sebagai norma. Dirumuskan
secara ringkas sebagai aliran Etika, eksistensialisme adalah paham yang
memandang hidup sebagai proyek untuk mencapai bentuk keberadaan yang optima.
Untuk melaksanakan proyek hidup itu, kemerdekaan merupakan hal yang mutlak dan
tanggung jawab pribadi merupakan sikap utama. Sebagai satu satunya hal yang
dipertimbangkan dalam bertindak adalah situasi. Adapun tata tertib, kebiasaan,
peraturan, hukum, dan norma dianggap penggangu kemerdekaan dan mengaburkan masa
depan yang menjadi ruang penyelesaian proyek hidup.[6]
Segi positif dan merupakan kekuatan dan
daya tarik etika eksistensialis adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam
hidup, penghargaan atas peran situasi, penglihatannya tentang masa depan.
Berbeda dengan orang lain yang berpikiran bahwa hidup ini telah selesai dan
yang harus diterima seperti apa adanya, dan tak perlu dirubah. Etika
eksistensialisme berpendapat bahwa hidup ini belum selesai, tidak harus
diterima sebagai mana adanya, dan dapat diubah, dan memang harus dirubah. Orang
yang memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai sikap pasrah, adalah
orang yang tidak berjuang untuk memperbaharui kehidupan ini dengan kata lain orang
pasrah dan malas. [7]
III.
Kesimpulan
·
Eksistensialisme adalah Aliran yang
pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya
yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak
benar.
·
Penulis melihat bahwa Etika Kristen
menerima sisi positif dari Etika Eksistensialisme dan menolak sisi Negatif
Etika Eksistensialisme
·
Segi positif dan merupakan kekuatan dan
daya tarik etika eksistensialis adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam
hidup, penghargaan atas peran situasi, penglihatannya tentang masa depan.
Berbeda dengan orang lain yang berpikiran bahwa hidup ini telah selesai dan
yang harus diterima seperti apa adanya, dan tak perlu dirubah. Etika
eksistensialisme berpendapat bahwa hidup ini belum selesai, tidak harus
diterima sebagai mana adanya, dan dapat diubah, dan memang harus dirubah. Orang
yang memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai sikap pasrah, adalah
orang yang tidak berjuang untuk memperbaharui kehidupan ini dengan kata lain orang
pasrah dan malas. Etika kristen menerima
ini karena Seseorang telah diberikan Tuhan akal dan pikiran untuk memperbaharui
Hidupnya, sehingga manusia tidak hanya berpasrah atas apa yang ia terima dari
awal atau beranggapan pasrah terhadap nasib.
·
Segi Negatif Etika Eksistensialisme
ialah yang pertama etika ini
terperosok kedalam sifat yang Individualisme, kedua,dengan mengabaikan peraturan, tata tertib dan hukum, kaum ini
menjadi individu yang antisosial, ketiga¸dengan
mengambil sikab bebas merdeka kaum eksistensialis memandang kebebasan tidak
terbatas. Padahal dihidup ini tidak ada kebebasan tanpa batas.keempat,kaum eksistensialis amat
memperhitungkan situasi. Namun, situasi itu mudah goyah. Bila orang bersandar
pada situasi dan diri sendiri saja, pandangnnya menjadi terbatas, lingkup
perbuatannya dipersempit, dan pendiriannya rapuh
IV.
Daftar
Pustaka
Brouwer M.A.W.,Psikologi eksistensial, (Bandung:
Kasinus, 1987)
Hadiwijono Harun,Sari sejarah filsafat barat 2,
(Yogyakarta:Kasinus, 1980)
Hadiwijono Harun,Sari sejarah filsafat barat,
(Yogyakarta:Kanisus,1988)
Mangunhardjana A., Isme-isme dalam etika dari A-Z,(Yogyakarta:
Kasinus, 1997
Sumber
Media lain ( media internet )
Muktar Ibenk, sumber internet yang
diakses pada tanggal 05 mei 2016 di http://mukhtaribenk.blogspot.co.id/2010/10/filsafat-eksistensialisme.html
[1]
Harun Hadiwijono,Sari sejarah filsafat
barat 2, (Yogyakarta:Kasinus, 1980) 148
[3]Harun
hadiwijono,Sari sejarah filsafat barat,
(Yogyakarta:Kanisus,1988), 149
[4]
Muktar Ibenk, sumber internet yang diakses pada tanggal 05 mei 2016 di http://mukhtaribenk.blogspot.co.id/2010/10/filsafat-eksistensialisme.html
[5]
M.A.W. Brouwer,Psikologi eksistensial, (Bandung:
Kasinus, 1987), 9-14
[6]
A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam etika
dari A-Z,(Yogyakarta: Kasinus, 1997),63
[7]
Ibid, 64